Tak dapat dimungkiri, biaya berobat bagi yang sakit belakangan ini semakin mahal. Bagi kelompok masyarakat yang hampir miskin (near poor), biaya berobat anggota keluarganya, bisa menurunkan status mereka menjadi keluarga miskin. Bahkan, dalam beberapa kasus, keluarga kelas menengah pun bisa jatuh miskin karena menanggung biaya berobat yang sangat besar.
Kesadaran bahwa biaya berobat semakin mahal sejatinya telah dimiliki pemerintah dan DPR sejak lama, sehingga disiapkan RUU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). RUU tersebut secara spesifik menugaskan pemerintah menyiapkan institusi untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan dan juga jaminan kecelakaan kerja, pensiun, hari tua, hingga kematian, dengan sistem asuransi. Rakyat yang mampu membayar sendiri iurannya, sedangkan yang tidak mampu ditanggung negara.
Setelah melalui perdebatan panjang dan tarik-menarik kepentingan politik, akhirnya pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan RUU SJSN menjadi undang-undang yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada Desember 2004. Amanat terpenting dari UU tersebut adalah pembentukan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) paling lambat pada 2009. Sayangnya amanat tersebut diabaikan, sehingga UU BPJS baru ditandatangani Presiden SBY pada November 2011 dan peraturan pelaksanaaannya diterbitkan pada 2013. Akibatnya, operasional BPJS juga molor, yakni BPJS Kesehatan mulai Januari 2014 dan BPJS Ketenagakerjaan Juni 2015.
Tak heran bila perjalanan BPJS Kesehatan pun tertatih-tatih. Waktu persiapan yang kurang dari satu tahun membuat lembaga baru tersebut belum sepenuhnya siap melayani rakyat. Hal itu tercermin dari masih sedikitnya masyarakat yang secara mandiri mendaftarkan diri sebagai peserta dan juga masalah reimburse kepada pusat layanan kesehatan. Ke depan, dua hal pokok tersebut harus ditangani lebih serius.
Pertama, mengakselerasi jumlah peserta. Setelah beroperasi sekitar 2,5 bulan, warga masyarakat yang menjadi peserta mandiri masih kurang dari 1 juta, sementara jumlah yang harus dijangkau sekitar 150 juta penduduk. Penyebabnya masih banyak warga belum mengenal BPJS Kesehatan, apalagi cara mendaftarkan diri menjadi peserta, besarnya iuran yang dibayar, serta manfaatnya. Fakta itu membuktikan lemahnya sosialisasi kehadiran BPJS Kesehatan yang menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kita yakin rakyat akan berbondong-bondong mendaftarkan diri apabila mereka mendapat informasi yang jelas dan lengkap. Sosialisasi lewat media massa tetap dilakukan, tetapi yang tak boleh dilupakan adalah keterlibatan birokrasi, khususnya di tingkat kelurahan, serta perangkat desa hingga tingkat rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT). Selain itu, bisa dimanfaatkan jalur puskesmas dan pos pelayanan terpadu (posyandu).
Hal terpenting yang harus disampaikan adalah JKN merupakan konsep pembiayaan pengobatan dengan sistem gotong-royong. Bagi yang punya penghasilan diwajibkan membayar iuran sesuai kemampuan, yakni setiap bulan per orang Rp 25.500 untuk pelayanan kelas III, Rp 42.500 buat kelas II, dan kelas I Rp 59.500. Bagi kaum miskin, pemerintah yang membayar iuran mereka melalui APBN dan disebut sebagai penerima bantuan iuran (PBI).
Para pembayar iuran hendaknya tak berpikir bisa mengambil kembali uangnya, apabila tidak sakit dan berobat dalam jangka waktu tertentu. Hendaknya ditanamkan pemahaman bahwa lebih baik selalu sehat dan tetap membayar iuran, tetapi apabila sakit si pasien dan keluarga tak perlu lagi mengeluarkan uang. Seluruh biaya pengobatan ditanggung BPJS Kesehatan, mulai dari penyakit ringan, seperti flu dan batuk, hingga yang berat, seperti cuci darah dan bypass jantung, termasuk biaya melahirkan.
Prinsip itulah yang harus disosialisasikan agar seluruh rakyat betul-betul mengetahui manfaat BPJS Kesehatan serta sukarela mendaftarkan diri dan membayar iuran. Bila semua berjalan lancar, tak perlu waktu lima tahun agar seluruh rakyat dilayani BPJS Kesehatan. Bahkan, dengan metode sosialisasi yang tepat, disertai upaya jemput bola dari aparat kelurahan dan perangkat desa, serta RT/RW, pada akhir tahun ini, seluruh rakyat Indonesia bisa menikmati JKN.
Kedua, BPJS Kesehatan yang didukung pemerintah harus lebih cepat membayar tagihan klinik dan rumah sakit yang melayani peserta. Tunggakan pembayaran dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) hendaknya tak terulang dalam program JKN. Bila terjadi tunggakan, kita khawatir kepercayaan rakyat yang mulai tumbuh terhadap sistem asuransi kesehatan nasional, perlahan luntur. Kita tak ingin hal itu terjadi!
Bagi kita, BPJS Kesehatan merupakan jawaban atas masalah pembiayaan kesehatan yang selama ini mahal. BPJS Kesehatan dengan program JKN bukan program di awang-awang, sehingga harus dibumikan agar betul-betul bermanfaat bagi rakyat.(www.beritasatu.com)
No comments:
Post a Comment