Muhamad
bin Bakar al-Khuza'i meriwayatkan, "Seorang wanita mempunyai anak. Lalu
anak itu menghilang cukup lama dan membuatnya putus asa. Pada suatu hari,
wanita itu makan, ketika dia menghancurkan suapan dan ingin memasukkannya ke mulut,
seorang peminta-minta berdiri di depan pintu minta makanan. Lalu wanita itu
tidak jadi memakan suapan itu dan membawanya bersama roti lalu
mensedekahkannya. Tinggalah dia dalam keadaan lapar.”
Beberapa
hari kemudian, anaknya datang. Dia bercerita pada ibunya tentang
kejadian-kejadian besar yang telah dilaluinya. Dia bertutur, "Kejadian yang paling besar adalah beberapa hari yang lalu
aku melalui hutan di sebuah daerah. Tiba-tiba muncul singa. Lalu singa itu
menarikku dari atas punggung keledai yang aku tunggangi. Keledai itu
melawannya, lalu cakar singa itu mengoyak tasku. Pakaian dan jubahku ada di bawahnya.
Cakarnya yang besar tidak sampai ke badanku. Aku heran dan terkejut lalu dia
membawaku ke dalam hutan dan dia menjilatiku.
Lalu
aku melihat seorang laki-laki yang sangat besar, wajah dan pakaiannya putih.
Dia datang dan menangkap singa itu tanpa senjata. Dia mengangkatnya dan membantingnya
ke tanah. Dia berkata, ‘Bangunlah. Satu suap dengan satu
suap.’ Singa itu bangun dan lari. Aku mulai siuman, lalu aku mencari
laki-laki itu, tetapi aku tidak menemukannya. Selama beberapa saat aku duduk di
tempatku sampai kekuatanku pulih lantas aku melihat keadaan diriku. Aku
mendapati diriku baik-baik saja. Kemudian aku berjalan sampai aku berjumpa dengan
rombonganku. Mereka merasa heran ketika melihatku, lalu aku ceritakan semuanya.
Aku tidak tahu makna ucapan laki-laki tersebut, ‘Sesuap
dengan sesuap’.”
Wanita itu memandang, lalu dia mengeluarkan suapan dari mulutnya dan dia menyedekahkannya.[1]
Munajat dan Permintaan
Ibnu
al-Syaizhami berkata, "Aku menunaikan ibadah haji saat kemarau. Ketika aku
sedang melakukan thawaf, tiba-tiba aku melihat seorang jariyah (budak
perempuan) yang sangat cantik bergelayutan di dinding Ka'bah sambil berkata, ‘Tuhanku, aku umatmu yang asing, peminta-Mu yang miskin. Tangisku
tidak tersembunyi dari-Mu. Keadaanku yang buruk tidak tertutup dari-Mu.
Kebutuhan telah menyingkap hijabku, kemiskinan telah membuka niqabku. Kau
melihat wajah yang lembut saat dihina dan hina saat meminta. Demi keagungan-Mu,
apa yang ditutupi oleh air kekayaan amatlah panjang, dilindungi oleh air malu.
Telapak tangan-tangan orang kaya telah membeku padaku, hati makhluk telah sempit
denganku. Siapa yang menolakku, aku tidak mencacinya dan siapa yang menyambung
silaturrahim denganku, aku serahkan balasannya pada rahmat-Mu karena Kau
adalah sebaik-baiknya yang memberi rahmat’."[2]
Di Antara Penduduk
Surga
Suatu
hari, Imran bin Hithan mendatangi istrinya. Imran adalah seorang yang jelek dan
pendek. Saat itu istrinya yang sangat cantik telah berhias. Ketika Imran
melihatnya, di matanya istrinya terlihat bertambah cantik dan dia tidak bisa
tidak terus memandangnya. Istrinya bertanya, "Kenapa kau?" Dia
menjawab, "Demi Allah, engkau bertambah cantik." Lalu istrinya
berkata, "Aku beri kabar gembira. Aku dan kau
akan berada di surga." Imran bertanya, "Tahu dari mana?"
Istrinya menjawab, "Karena kau dianugerahi orang sepertiku, lalu kau
bersyukur dan aku diberi orang sepertimu, lalu aku bersabar. Bukankah orang
yang bersyukur dan orang yang sabar itu berada di surga?"
Kabar Gembira untuk Rabi’ah al-Adawiyah
Dari Abdah binti Abdi Syawwal –dia termasuk hamba Allah yang paling baik
dan dia membantu Rabi'ah– dia berkisah, "Rabi'ah
melakukan shalat sepanjang malam. Ketika terbit fajar, dia tidur sebentar
sampai fajar menyingsing. Aku pernah mendengar dia berkata ketika dia meloncat
dari tempat tidurnya dalam keadaan sedih, ‘Wahai nafsu, berapa lama kau tidur? Sampai
kapan kau bangun? Aku takut kau akan tidur lalu tidak bangun lagi kecuali saat
mendengar teriakan pada hari kiamat’."
Abdah berkata, "Itulah pekerjaannya sepanjang waktu sampai dia wafat.
Ketika dia akan wafat, dia memanggilku dan berkata, ‘Wahai Abdah, jangan kau beri tahu seseorang tentang kematianku, kafanilah
aku dengan jubahku ini.’ Jubah dari bulu yang dia pakai kalau dia dalam
suasana senang.”
Lanjut Abdah, "Lalu kami mengkafani dengan jubah itu dan kerudung dari
bulu domba yang dipakainya. Setelah satu tahun atau lebih, aku melihat dalam
mimpi dia mengenakan pakaian dari sutra hijau dan selendang dari sutra hijau
yang tidak pernah sekalipun aku melihat yang lebih bagus daripada itu. Lalu aku
bertanya, ‘Wahai Rabi'ah, apa yang kau lakukan dengan jubah dan selendang bulu
domba yang dulu kami pakai buat mengkafanimu?’ Rabi'ah menjawab, ‘Allah telah
mencabutnya dariku dan telah menggantinya dengan yang kau lihat tadi. Lalu kain
kafanku dilipat, diberi stempel, lalu diangkat ke Iliyyiin untuk
menyempurnakan pakaianku pada hari kiamat.’ Aku bertanya padanya, ‘Untuk inilah
kau beramal di dunia.’ Rabia'h menjawab, ‘Ini adalah kemulian Allah untuk para
Wali-Nya.’ Aku bertanya, ‘Lalu apa yang diperbuat oleh Abdah binti Abi Kilab?’
Rabi'ah
menjawab, ‘Bagaimana mungkin, jauh sekali! Demi Allah, dia telah mendahului
kami ke derajat yang paling tinggi.’ Aku bertanya, ‘Dengan apa? Bukankah kau lebih mulia darinya menurut manusia?’ Rabi'ah menjawab,"Dia tidak pernah peduli pada urusan dunia.’
Aku
bertanya, ‘Apa yang dilakukan Abu Malik? Yaitu seekor singa.’ Rabi'ah menjawab, ‘Dia mengunjungi Allah kapan saja dia mau.’
Aku
bertanya lagi, ‘Apa yang dilakukan Bisyr bin
Manshur?’ Rabi'ah menjawab, ‘Demi Allah, dia diberi di atasku apa
yang dia harapkan.’
Aku
berkata, ‘Perintahkanlah aku dengan satu perbuatan untuk mendekatkan diri
pada Allah SWT?’ Rabia'ah menjawab, ‘Banyaklah menyebut-Nya, kau akan
bergembira dalam kuburmu dengan dzikir itu’."[3]
No comments:
Post a Comment