“Berlakunya Pasal 60 ayat (2) huruf a UU BPJS telah berakibat hilangnya kepastian hukum dan hilangnya hak pemohon untuk bekerja,” kata kuasa hukum pemohon, Iskandar Zulkarnaen dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi di ruang sidang MK, Rabu (26/3).
Pasal 60 ayat (2) huruf a menyebutkan, “Sejak beroperasinya BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kementerian Kesehatan tidak lagi menyelenggarakan program jaminan kesehatan masyarakat.”
Iskandar menegaskan berlakunya pasal itu mengakibatkan berakhirnya masa kontrak dirinya sebagai verifikator independen Jamkesmas dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk kepentingan PT ASKES (kini disebut BPJS Kesehatan). Pemohon sebagai verifikator independen Jamkesmas tidak dapat melayani program itu dengan alasan PT ASKES hanya menginginkan tenaga verifikator di bawah usia 25 tahun.
“Kemenkes telah mengakhiri kontrak karena melebihi batas usia yang dipersyaratkan BPJS Kesehatan,” kata Iskandar.
Dia mengeluhkan alih-alih seharusnya tetap mempertahankan tenaga verifikator yang bersertifikat dengan pendidikan D3 Kesehatan hingga S-2 Kesehatan, kini BPJS Kesehatan malah merekrut tenaga verifikator baru. Hal ini justu akan menghambat keberlangsungan jalannya pelayanan kesehatan bagi lebih 115 juta rakyat Indonesia, sehingga hak-hak kesehatan masyarakat tidak terpenuhi.
“Tenaga verifikator baru harus dilatih terlebih untuk mendapatkan sertifikat Indonesian Diagnostic Related Group (IDRG) dan Indonesian Case Base Groups (ICBG) serta beradaptasi tugas-tugas verifikasi adminitrasi, kepersetaan, pelayanan, dan keuangan,” lanjutnya.
Faktanya, mundurnya beberapa rumah sakit dari kerja sama dengan BPJS Kesehatan lantaran keterlambatan pembayaran klaim yang belum dapat dicairkan pemerintah. Alhasil, menyebabkan banyaknya penolakan rumah sakit terhadap rakyat ingin memeriksa kondisi kesehatannya.
Atas dasar itu, pemohon meminta MK menafsirkan secara bersyarat dengan menyatakan Pasal 60 ayat (2) huruf a UU BPJS bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hak kepastian bekerja tenaga pelaksana verifikator independen, meskipun terjadi pergantian pengelolaan penyelenggaraan jaminan kesehatan dari PT ASKES menjadi BPJS Kesehatan.
Anggota Panel Anwar Usman menilai posita permohonan belum menggambarkan kerugian konstitusional pemohon. “Jadi dimana letak kerugian konstitusional pemohon dengan berlakunya norma itu? Ini harus dielaborasi lagi dimana letak kerugiannya hingga pemohon tidak mengalami kerugian lagi, ini harus diuraikan secara jelas,” saran Anwar.
Anggota lainnya, Maria Farida Indrati justru mempertanyakan letak kejanggalan norma Pasal 60 ayat (2) huruf a itu dimana? Sebab, sejak beroperasinya BPJS Kesehatan per 1 Januari 2014, Kemenkes memang sudah tidak lagi melaksanakan program itu. Dalam Pasal 60 ayat (1) UU BPJS juga, program Jamkesmas memang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan.
“Ini kan berarti program Jamkesmas ini tetap ada, hanya penyelenggaranya yang berbeda. Pasal 60 ayat (2) huruf a dan pasal seterusnya ada karena lahirnya BPJS Kesehatan. Jadi sebenarnya pengujian ini menyangkut implementasi norma pasal,” kata Maria.
Dia menilai norma Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU BPJS adalah norma yang wajar. Sebab, ada dua lembaga yang mengelola program Jamkesmas justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Misalnya, ketika BPJS Kesehatan dan Kemenkes dua-duanya melaksanakan program Jamkesmas.
“Kalau petitum seperti itu, berarti pemohon tetap meminta ada dua lembaga yang melaksanakan Jamkesmas. Ini mohon dikaji ulang.” (www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment