“... Barangsiapa yang
meninggalkan perkara syubhat (tidak jelas) dari suatu dosa, maka atas perkara
yang sudah jelas lebih pantas dosanya untuk ditinggalkan. Dan barangsiapa yang
melakukan perkara yang tidak jelas, maka ia diragukan akan jatuh pada hal-hal
yang sudah jelas. Maksiat itu laksana penggembalaan Allah, orang yang berada di
sekitar penggembalaan itu dikhawatirkan bakal jatuh ke tempat itu.”
HR
Bukhari dan Muslim
JAKARTA, 2008. Lega rasanya Ardju Fahadaina –yang
akrab pula disapa Pak Haji—melepas kepemilikan 20% saham di PT Inti Alasindo Holding
Company. Lega berselimut sikap ikhlas karena telah lepas dari berbagai
aral-lintang yang sempat menghalangi perjalanan hidup Pak Haji, isteri, anak
dan cucu-cucunya. Lega penuh rasa syukur bahwa dengan melepas kepemilikan saham
itu, dia sekaligus memperoleh berkah karena mengantongi dana segar lumayan
besar.
Sebagai
orang yang mengedepankan hati, Ardju seperti mengulang apa yang dia lakukan di
tahun 1998 ketika mengakuisisi perusahaan yang tengah dirundung krisis. Dan,
sekali lagi seolah mengulang, dia mengakuisisi perusahaan yang masih bergerak
di bisnis sekitar elpiji. Waktu itu, Ardju bercerita, dengan duit hasil
pelepasan saham di PT Inti Alasindo, dia mengambil alih PT AMP yang sarat soal.
Perusahaan yang fokus ke reparasi tabung elpiji ini menghadapi persoalan izin,
lahan dan peralatan. Pendek kata, semua hal bermasalah. Hatinya tersentuh
manakala ada orang mengajukan proposal yang komplit plus perkiraan prospek
bisnis yang penuh asa. Sampai sekitar 4-5 tahun di tangan Ardju dan dua
koleganya, perusahaan itu belum jua mendatangkan laba. Yang ada cuma menguras
dana buat biaya memperbaiki semua aspek perusahaan. Ardju berusaha
berkontemplasi diri. Adakah ini lantaran dia belum menerapkan syariah dalam
berbisnis. Entahlah.
Di tengah
rasa risau itu, salah seorang koleganya mengajak bisnis di bidang musik.
Sesuatu yang belum pernah dijamah oleh Pak Haji. Tapi, katanya, “Saya punya
niat bisnis musik ini di genre musik religi.” Apalagi koleganya mengaku punya
studio rekaman yang cukup lengkap di Kemang Pratama, Bekasi. Lalu berjalan lah
akuisisi perusahaan rekaman musik itu. Sampai di satu saat kemudian launching
album baru grup musik di bawah manajemen perusahaan musik milik Ardju Fahadaina
ini. Launching di sebuah panti asuhan di kawasan Jalan Kramat Raya, Jakarta
Pusat. Sewaktu launching itu, kepada artis yang berada di bawah manajemen,
seorang ibu bertanya tentang fenomena umum yang melanda kalangan artis yang
rata-rata berada dalam satu fase kehidupan di jalur-jalur maksiat nan suram.
Ardju tidak
terlalu mengambil pusing pertanyaan
ibu-ibu yang boleh jadi berangkat dari keseharian yang tampak nyata pada acara infotainment yang tayang di berbagai
stasiun televisi. Dia berharap artis-artis –grup musik—di bawah manajemen
perusahaannya tidak seperti apa yang menancap di benak ibu-ibu itu. Grup musik
yang beranggota para karyawan perusahaan Ardju itu memang sempat tidak masuk ke
dalam ingar-bingar kehidupan selebritis yang cenderung permisif. Terlebih grup
musik ini mengusung warna musik religi dengan mengandalkan lagu Syukur di album perdana.
Pak Haji
boleh-boleh saja berharap pada grup musiknya jauh dari musik-musik yang
mendekati maksiat. Tapi, Pak Haji rupanya terlalu baik hati. Mudah tersentuh
manakala ada orang datang mengajak bermitra bisnis. Modal yang ditanamkan di
usaha permusikan ternyata habis begitu saja tanpa ada harapan untuk kembali. “Uang
yang saya suntikkan untuk acara-acara usaha musik itu ternyata diselewengkan
mitra bisnis. Bisnis musik itu habis, kandaslah uang saya. Barangkali memang
musik tidak bisa disyariahkan seperti seorang ibu yang nanya di saat launching,”
ujar Ardju Fahadaina.
Asbabul Nuzul
Kendati
gagal di pendakian usaha reparasi tabung elpiji dan musik, Ardju tidak lantas
berhenti mendaki. Tekadnya untuk menjadi entrepreneur tiada surut. Kali
berikutnya datang seseorang membawa proposal bisnis pemasangan komputer di BTS
–pemancar operator telepon seluler. Dia sampai menggelontorkan Rp6 miliar ke perusahaan
bernama PT Sel Net Optima yang tengah dilanda krisis keuangan itu. Dengan
rincian Rp3 miliar sebagai pinjaman dan Rp3 miliar lagi buat pengambil-alihan
saham.
Apa yang
terjadi di lapangan ternyata tak seindah ulasan di proposal bisnis yang
diajukan mitranya. Katanya, “Mungkin di sinilah langkah saya yang tidak hati-hati.
Pas ada uang, mereka bikin proposal bagus, lalu saya tanamkan di situ sebesar
Rp6 miliar. Di awal bermitra, orangnya baik-baik saja. Dalam perjalanan
ternyata tidak amanah dan tidak jujur. Akhirnya saya tarik kembali dengan konsekuensi
kerugian uang dan waktu.”
Di tengah
resah-gelisah bisnis konvensional yang tak kunjung memberikan pengharapan,
Ardju lantas bermunajat, mendekatkan diri, kepada Allah SWT. Pada keheningan
ujung dinihari, dia senatiasa mengadukan perihal langkah-langkahnya yang seolah
terus-menerus tersandung batu dan tergelincir kerikil-kerikil tajam. Hasbunallah wa ni’mal wakil. Di benak Ardju,
cukup Allah sebagai penolong kami dan Dia sebaik-baik Pelindung (QS Ali Imran
[3]: 173). Tidak kurang dari tiga bulan,
dia tiada putus bersujud di sepertiga akhir malam dalam kesunyian dan
perhambaan yang tiada daya. Sebagai hamba Allah yang tak ada kekuatan selain kekuatan
yang diberikan oleh Allah Al ‘Aziz, Allah Yang Maha Perkasa. Menjadi hamba yang
benar-benar hanya bergantung kepada Allah, bukan hamba yang bergantung ke sesama
manusia.
Selain
shalat malam (tahajud), Ardju juga memperkuat pondasi spiritualnya dengan puasa
sunah Senin-Kamis. Rasulullah Muhammad saw bersabda: “Amal perbuatan itu
diperiksa tiap hari Senin dan Kamis, maka saya suka diperiksa saat saya sedang
berpuasa.” (HR At-Tirmidzi) Boleh jadi, dalam bahasa akal manusia, ketika Allah
memeriksa amal alangkah mulianya, si anak manusia sedang berpuasa. Artinya, si
anak manusia itu senantiasa baik di hadapan Allah Al Hakam –Allah Yang Maha
Menetapkan Hukum, Dia yang menetapkan hukum dan memutuskan segala sesuatu
sesuai haknya.
Dalam
pendakian di bukit spiritual yang cukup melelahkan itu. Sampai kemudian Allah
memberi petunjuk melalui langkah kaki jalan-jalan ke Desa Cinagara, Kecamatan Caringin,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Keinginannya waktu itu cuma satu, yakni mencari
lahan yang produktif sekaligus buat membangun vila. Dan dari lahan plus vila
itu dia bisa gunakan membantu sesamanya agar lebih bermanfaat. Karena, dia
berkeyakinan, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama. Kiat
memberi arti bagi sesama pun amat sederhana namun sarat manfaat. Ketika ada
salah seorang temannya hendak memasuki masa pensiun. Dari lahan plus vila dia mempersilakan
kawannya mengisi hari tua di vila itu sembari agrobisnis anggrek dan tanaman
hias lain. Saat itu sedang booming tanaman
‘mahal’ Gelombang Cinta dan Germanii. Namun, rupanya, garis tangan Ardju bukan di
bisnis tanaman hias.
Kendati
gagal di bisnis tanaman hias, Ardju tetap bertekad membantu kawannya yang sebentar
lagi pensiun. Dia tetap memberikan jalan yang lain buat sang kawan. Selain
menunggui vila, dia bermimpi sang kawan memasuki usaha budidaya ikan air tawar.
Pada masa lalu, Desa Cinagara dan sekitarnya pernah dikenal sebagai sentra
penghasil ikan mas.
Soal
petunjuk Allah dan pengalamannya sampai membeli lahan di Desa Cinagara,
Kecamatan Caringin, Ardju berkisah:
“Saya
beli tanah di Cinagara itu rencananya untuk bikin vila. Kemudian teman saya yang menunggu sambil usaha budidaya
ikan air tawar. Rupanya Allah tidak mengarahkan jalan saya ke sana. Waktu turun
usai cari-cari lahan di situ, saya ketemu orang yang bernama Pak Haji Bahrum. Dia
menawari tanah yang ada mata airnya, katanya bisa untuk memproduksi air minum dalam
kemasan. Jelas saya tidak tertarik, saya tidak punya kompetensi di bisnis air. Saya
tidak tertarik sama sekali. Sempat saya tawarkan ke PT SNO (Sel Net Optima), tapi
SNO juga tidak mau karena investasinya terlalu gedhe.
Ternyata
Pak Haji Bahrum tidak menyerah begitu saja. Pak Haji Bahrum terus mengejar, sampai
cari rumah saya di sini (Bintaro, Tangerang Selatan). Di sini sempat cukup lama
ngobrol, merengek-rengek agar saya bersedia membeli tanahnya. Saya tetap tidak
mau. Eh datang lagi, katanya perlu uang. Saya bilang uang buat apa Pak Haji. Katanya,
dia ingin membuat pesantren yang berorientasi wirausaha.
Sekadar
pengetahuan, Pak Haji Bahrum ini terkenal dulu dekat dengan mantan Presiden Soeharto
dan almarhum Gus Dur. Dia bisa terangkat ketika Soeharto mengadakan lomba mengapa
ada ikan mas yang berwarna hitam dan ada yang merah-kuning. Bagaimana cara
membudidayakan ikan mas merah-kuning? Bagaimana pula cara membudidayakan ikan
mas hitam. Peserta melakukan banyak
eksperimen dan tidak juga ketemu. Suatu siang di sawahnya, Pak Haji Bahrum melihat
ikan mas warna merah-kuning di air yang cetek. Akhirnya dia ketemu rumusan,
ikan mas di air cetek langsung kena sinar matahari sehingga ikan jadi berwarna merah-kuning.
Sedangkan ikan yang berada di air dalam, jadi berwarna hitam. Dari situlah dia memperoleh
penghargaan, dikirim ke Jepang. Apresiasi lebih jauh, dia mendapatkan banyak tanah.
Pak Haji Bahrum jadi orang kaya. Bahkan waktu zamannya Presiden Gus Dur, dia
masuk tim ekonomi.
Nah,
waktu ketemu saya, mungkin dia mulai mbleret.
Dia bilang mau usaha pesantren. Dia siang hari, para santri ikut pelatihan
agrobisnis dan malam hari nyantri. Saya pikir bagus, kebetulan dia juga jebolan
pesantren dan sampai sekarang di lahannya ada diklat untuk pensiunan. Biasanya
pensiunan dididik untuk bisa agrobisnis, wirausaha untuk peternakan, perikanan
atau pertanian lainnya. Itu tujuannya bagus, saya juga punya keingin punya
usaha yang syariah. Jadi ketemu, bersalaman. Ya, jadi Pak Haji, mudah-mudahan Pak
Haji tercapai cita-citanya dan usaha air saya bisa jalan. Mungkin Allah menunjukkan
ke situ.
Kemudian
tanah seluas 5,3 hektar saya beli dengan harga Rp100 ribu per meter persegi,
termasuk bagian yang ada mata airnya itu. Setelah saya tawar, saya cukup bayar
Rp5 miliar, dengan perjanjian surat-surat yang selesaikan Pak Haji Bahrum
sampai sertifikat tuntas dan jelas.“
Ada jalan
yang cukup panjang ditempuh seorang Ardju Fahadaina untuk meretas pola pikir
bisnis syariah. Dia ingin menyempurnakan langkahnya yang telah berusaha
menunaikan semua kewajiban zakat dan kerelaan berinfak atau bersedekah.
Menyempurnakan dengan membangun bisnis yang benar-benar bersandar pada pondasi
syariah. Bukan lagi semata-mata syariah dalam membelanjakan harta yang
diperoleh dari penghasilan dan atau gaji selama bekerja di perusahaan
konvensional.
“Perubahan
pola pikir ini didorong oleh pemikiran pribadi dan diperkuat petunjuk dari
Allah. Dari dalam diri saya ingin membuat usaha yang betul-betul menerapkan
syariat Islam, khususnya dalam penunaian dan pemungutan zakat, infak dan
sedekah (ZIS). Dan kebetulan, kok saya ditendang, dipaksa keluar, dari
perusahaan yang lama. Ketidak-nyamanan dikeluarkan itu boleh dikatakan menjadi
berkah dan jalan yang ditunjukkan oleh Allah SWT,” ucap Ardju sembari
menambahkan, “Jadi asbabun nuzulnya kira-kira seperti itu.”
Gigih Mencari Ilmu
Allah SWT
telah menunjukkan jalan usaha ke arah yang lebih syariah melalui bisnis air. Tapi,
Ardju merasa dirinya tidak memiliki pengetahuan dan skill yang cukup untuk
memulai usaha bisnis air yang betul-betul syar’i. Ardju tidak lantas berkecil
hati. Sebagaimana pengalaman sebelumnya, untuk urusan produksi dan sejenisnya
cukuplah diselesaikan dengan merekrut tenaga-tenaga profesional yang cukup
banyak bertebaran di muka bumi ini. Tapi bukanlah perkara gampang mencari
tenaga profesional yang saleh.
Sejenak
Ardju melupakan pencarian tenaga profesional untuk memulai usaha bisnis air minum
dalam kemasan. Dia lebih memilih memperdalam pengetahuan dan petunjuk dari
Allah SWT. “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia
memberikan petunjuk.” (QS Adh Dhuhaa [93]: 7)
Tentu
petunjuk Allah itu tidak bisa kita dapatkan dengan duduk manis di rumah atau
semata-mata menunggu turun dari langit. Harus ada upaya yang serius dan sungguh-sungguh
agar petunjuk Allah itu menghampiri kita. Sebagaimana pesan spiritual Allah “...
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah
selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain.” (QS Alam Nasyrah [94]: 6-7)
Sebelum
jauh berburu ilmu (agama) dari majlis ke majlis, dari satu masjid ke masjid
yang lain, Ardju berusaha menimba ilmu dari perjalanan hidup yang telah dilintasinya.
Dia mencoba menelaah hikmah dan makna apa yang bisa dipetik dari perjalanan
waktu membesarkan PT Masula Agung Garda Mas yang hampir-hampir saja tergelincir
pada praktik pengurangan timbangan isi elpiji. Melalui praktik yang benar, ujar
Ardju, perusahaan itu mampu berkembang dan membiayai perusahaan yang lain.
Sampai kemudian berkembang menjadi PT Inti Alasindo Holding Company.
“Dari
perjalanan membesarkan usaha SPPBE, saya meyakini kebenaran Surat Alam Nasyrah
dan Surat Adh Dhuhaa. Menurut saya, di situ ada langkah-langkah yang merupakan satu
kesatuan. Bersamaan kesulitan ada kemudahan, bukan dilihat secara terbatas
kata-kata ‘setelah kesulitan ada kemudahan’.
Jadi waktu kita masih kerja itu ada pekerjaan berikutnya. Kemudian kita
mesti istighfar, kita ada masalah itu datangnya dari diri kita sendiri, bukan
dari Allah,” tutur Ardju Fahadaina.
Benar bahwa
kita mesti memperbanyak istighfar agar pintu rezeqi dari Allah senantiasa
terbuka lebar dan semakin mekar. Allah SWT berfirman: “Maka Aku katakan kepada
mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Rabb-mu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.
Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, membanyak harta dan
anak-anakmu, mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya)
untukmu sungai-sungai.” (QS Nuh [71]: 10-12)
Al-Qurtubi
berkata bahwa dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa istighfar
merupakan salah satu cara diturunkan rezeki dan hujan. Rasulullah saw bersabda,
“Barangsiapa memperbanyak istighfar (memohon ampun pada Allah), niscaya Allah
menggantikan setiap kesempitan menjadi jalan keluar, setiap kesedihan menjadi
kelapangan dan Allah akan memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangka.” (HR Abu Daud)
Dari
perjalanan hidup yang sarat makna itu, Ardju lantas menambah wawasannya dengan
menyambangi majlis taklim yang ada di banyak masjid –baik di sekitar tempat
tinggalnya (Bintaro, Tangerang Selatan) maupun di lingkup Jabotabek. Dia aktif
mengikuti berbagai taklim yang diselenggarakan oleh masjid, pesantren, dan
lembaga bisnis.
“Dari
berbagai pencarian ilmu itu, saya yakin bahwa mayoritas penduduk Indonesia yang
Muslim itu harus diproteksi dengan produk yang syar’i. Ya mereka harus memakai
produk Islam. Saya pun semakin kuat mewujudkan tekad bagaimana agar air yang
saya produksi mampu memenuhi kebutuhan umat Islam secara syar’i,” jelas ayah
dari dua orang anak ini.
Makna Hijrah ke
Ekonomi Syariah
Berbekal
pengetahuan atas makna kehidupan dilengkapi dengan berbagai pengetahuan yang
komprehensif dari berbagai kalangan ulama, Ardju benar-benar sangat ingin
berhijrah dari ekonomi konvensional ke ekonomi syariah melalui bisnis air minum
dalam kemasan.
Dalam
kerangka kehidupan masa kini, tidak ada salahnya kita merujuk pada hijrah
semasa Nabi Muhammad saw sebagaimana difirmankan Allah, “Dan ingatlah), ketika
orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap
dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu
daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu
daya.” (QS Al Anfaal [8]: 30)
Sekali lagi
dalam konteks kehidupan masa kini, khususnya dalam bisnis air minum dalam
kemasan, menurut Ardju, umat Islam menghadapi gempuran produk-produk yang
sepenuhnya dikendalikan oleh pelaku ekonomi yang berorientasi kapitalis, yang
tidak peduli pada proses produksi yang syar’i dan tidak pula peduli pada pemenuhan
ZIS. Untuk itulah, dia berusaha meretas bisnis air minum dalam kemasan yang
syariah.
Hijrah
ternyata tidak sebatas memberikan kemanfaatan kepada umat. Hijrah dapat pula
memperluas pintu rezeqi. “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka
mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak ...”
(QS An-Nisa`[4]: 100). Penggalan ayat
ini merupakan dorongan untuk berhijrah dan menyukai berpisah dari kaum musyrik,
dan bahwa di mana pun seorang mukmin berada, dia akan mendapatkan tempat
bernaung dan berlindung guna menjaga diri guna melanjutkan kehidupan.
Ayat tadi jelas
bertutur tentang hijrah kaum mukmin dari Makkah ke Madinah di masa Rasulullah
saw. Namun, menurut Ardju, hijrah di masa sekarang bukan dalam hal fisik
berpindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain sebagaimana pendapat Ibnu
Abbas. Bukan hijrah karena dimusuhi kaum musyrik. Dia memaknai hijrah ini dari
ekonomi kapitalis yang menghalalkan segala cara dan tidak mengenal ZIS (hanya
mengenal pajak) ke ekonomi syariah yang sarat warna ZIS yang berkeadilan. Ekonomi
dunia kini dikuasai oleh ekonomi kapitalistik yang penuh keserakahan dan
menghancurkan sendi-sendi perekonomian masyarakat.
Mengenai
penerapan ZIS ini, Ardju pernah memperoleh pemahaman sederhana dari ustadz
Subki Abdulkadir. Ibarat kata, rezeqi yang baru saja kita peroleh bernilai 40,
maka satu nilai kita keluarkan untuk zakat, 13 untuk dimakan, 13 buat sedekah,
dan 13 lainnya guna mengembangkan bisnis yang dijalankan. “Masalah umat Islam
itu kan masalah ekonomi, ya dari segi bisnis harus kita perbaiki,” tandas Ardju.
Tentu
tidaklah gampang mewujudkan bisnis air minum dalam kemasan yang syariah. Apalagi
penerapan bisnis dengan pemenuhan ZIS tersebut. Ardju mengingatkan bahwa
tantangan penerapan itu amat berat. Terlebih di tengah penguasaan bisnis air di
tangan pengusaha yang tidak peduli ZIS. Seperti diingatkan oleh Allah melalui
Surat At Taubah (9) ayat 23-24, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, bila mereka
lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang
menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim. Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kami khawatiri kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada
Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik.”
Menyimak
peringatan tersebut, Ardju berusaha beradaptasi sebenar-benarnya dalam
menjalankan bisnis air minum dalam kemasan yang syariah. Dia tidak ingin main
tabrak dan frontal melawan pemain yang telah lama mapan.
Terjun ke
bisnis, demikian Ardju, identik dengan maju ke medan perang atau ujian. Pada Perang
Badar, seperti disitir Al-Quran, terdapat tiga golongan musuh, masing-masing musuh
Allah, musuh yang kelihatan dan musuh yang tidak kelihatan tapi Allah melihat.
“Pada Perang
Badar, umat Islam berada pada posisi yang lemah. Umat muslim hanya 300 orang sedangkan
lawan berjumlah 1.000 orang dengan berbagai peralatan lengkap. Kendati begitu
umat Islam mampu memenangkan perang.
Kemenangan itu tidak terlepas dari kematangan strategi yang diterapkan
Rasulullah saw . Dengan keyakinan dan persiapan yang matang, saya merasa yakin
bakal mampu memenangkan perang. Saya siapkan pabrik dan segala kebutuhan
infrastrukturnya plus sumber daya manusia (SDM) yang profesional serta siap
menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat,” papar Ardju yang aktif
menyapa dan menyambangi karyawan perusahaannya itu.
Sedikit
kembali ke Perang Badar, untuk menghadapi musuh-musuh yang nyata (kaum musyrik)
ditempuh dengan cara yang tegas dan jelas. Sedangkan untuk musuh yang tidak
kelihatan namun Allah melihat, kata Ardju, kita mesti bersandar kepada
pertolongan Allah. “Saya yakin Allah akan memperlihatkan ke kita atau tidak
memperlihatkan tapi langsung mengeksekusi orang-orang itu agar tidak
terus-menerus menghalangi kita. Seperti orang munafik mendirikan masjid di
dekat Masjid Quba, Allah langsung memberitahukan dan kaum Muslim harus segera menghancurkannya,”
ujar Ardju penuh keyakinan.
Memperkuat Tali
Silaturrahim dan Ukhuwah Islamiyah
Secara
historis, Islam datang sebagai rahmatan
lil alamin –rahmat bagi alam semesta. Sebelum Islam datang, bangsa Arab
hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri, satu sama
lain terkadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional;
yang ada pada mereka hanya ikatankabilah. Dasar perhubungan dalam kabilah itu
adalah pertalian darah. Rasa ashabiyah
(kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bilamana terjadi salah
seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota kabilah itu akan
bangkit membelanya. Semboyan mereka “tolong saudara, baik dia menganiaya maupun
teraniaya”.
Setelah
bangsa Arab memeluk agama Islam, kekabilahan itu ditinggalkan, dan tumbuh
kesatuan persaudaraan dan kesatuan agama, yaitu kesatuan umat manusia di bawah
satu naungan kalimah syahadah. Dasar pertalian darah diganti dengan dasar
pertalian agama. Demikianlah bangsa Arab yang semula hidup tercerai-berai,
berkelompok-kelompok, berkat agama Islam, mereka menjadi satu kesatuan bangsa,
kesatuan umat, yang memiliki pemerintahan pusat, dan mereka tunduk kepada satu
hukum, yaitu hukum Allah dan Rasul-Nya.
Kekuatan
Islam menyatukan bangsa Arab terletak pada silaturahim dalam hubungan sesama. Rasulullah
saw berpesan, “Sayangilah apa yang ada di muka bumi, niscaya Allah dan semesta
alam akan menyayangimu.” (HR Tirmidzi). Dalam perjalanan perkembangan
selanjutnya, Islam tidak hanya menyatukan bangsa Arab. Islam pun tampil menyatukan
dunia. Karena, mengacu pada hadits tadi, hak saling berkasih sayang dan
silaturahim tidak terbatas pada kerabat, tetapi sesama makhluk ciptaan Allah
SWT di muka bumi ini.
Menjadi
sangat penting bagi kita untuk menyadari bahwa silaturahim tidak hanya tampilan
lahiriah belaka, namun harus melibatkan pula aspek hati. Dengan kombinasi
amalan lahiriah dan amalan hati, kita akan mempunyai kekuatan untuk bisa
berbuat silaturahim lebih baik. Kalau orang lain mengunjungi kita dan kita
balas mengunjunginya, ini tidak terlalu memerlukan mental yang kuat. Namun,
bila ada orang yang tidak pernah bersilaturahim kepada kita, lalu secara
sengaja kita mengunjunginya, maka inilah yang disebut silaturahim. Apalagi bila
kita bersilaturahim kepada orang yang membenci kita atau seseorang yang sangat
menghindari pertemuan dengan kita, lalu kita mengupayakan diri untuk bertemu
dengannya. Inilah silaturahim yang sebenarnya.
Sebuah hadits
mengilustrasikan. "Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar
pahalanya daripada shalat dan shaum?" tanya Rasul pada para sahabat.
"Tentu saja," jawab mereka. Beliau kemudian menjelaskan, "Engkau
damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus,
mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai
kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan tali persaudaraan di antara mereka adalah
amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya
dan diluaskan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali silaturahmi" (HR
Bukhari Muslim).
Dalam
hadits tersebut terdapat dua masalah: bagaimana ia diluaskan rezekinya dan bagaimana
pula ia dipanjangkan usianya. Ini masalah yang sulit yang didiskusikan oleh Ibn
al-Qayyim. Apakah itu benar-benar demikian? Artinya, apakah Allah benar-benar
memanjangkan usia orang yang menyambung tali silaturahim? Misalnya, usia
seseorang telah ditentukan 40 tahun. Karena ia aktif menjalin silaturahim,
Allah jadikan usianya 60 tahun. Padahal, ajalnya telah ditentukan ketika masih
berada di perut ibunya sebagaimana hadits Ibn Mas'ud yang tersebut dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim,
"Sesungguhnya malaikat mendatanginya dan ia diperintahkan menulis empat
kalimat: menulis rezekinya, amalnya, ajalnya, dan keadaannya (sengsara ataukah
bahagia).”
Allah SWT
berfirman, "Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan [apa
yang Dia kehendaki], dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)." (QS Ar-Ra'd [13]: 39).
Sebagian ulama berpendapat bahwa di dalam Ummul Kitab, anak manusia telah
ditentukan rezekinya, amalnya, ajalnya, dan keadaannya (sengsara atau bahagia).
Pendapat yang
lain mengatakan bahwa arti dipanjangkan usianya adalah diberkahi dalam
hari-harinya, sedangkan panjang usianya tetap sebagaimana yang telah
ditentukan, tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Tetapi Allah
memberkahinya. Misalnya, usianya telah ditentukan 60 tahun. Apabila ia
bersilaturahim, usianya tidak menjadi lebih dari 60, namun Allah memberikan
keberkahan dalam usianya ini dengan melakukan amal-amal shaleh, bersedekah,
memiliki hati yang tenang, senantiasa menghadap Allah, memiliki iman dan
keyakinan. Jadi, Allah memberkahi usianya.
Orang lain
ada yang usianya 60 tahun juga, tapi Allah tidak memberkahinya, karena dalam
usianya itu tidak terdapat iman dan agama, tidak ada shalat, tidak ada
ketaatan, dan tidak ada dzikir. Yang ada dalam usianya hanya penyimpangan,
penolakan, pengingkaran, dan kemaksiatan, sehingga tak ada keberkahan dalam
usianya. Hari-hari dan waktu-waktunya berlalu tanpa ia simpan sedikit pun untuk
akhiratnya. Ini benar-benar suatu kesesatan dan merupakan kerugian yang nyata.
Menurut
ulama sunnah, pendapat kedua adalah pendapat yang benar. Umurnya tidak
ditambahkan beberapa hari, beberapa bulan, atau beberapa tahun. Melainkan
sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah ketika berada di perut ibunya.
Jadi, panjang umurnya tetap begitu, namun Allah menambahnya dengan perbuatan
baik dan keberkahan yang dijadikan pada waktu-waktunya, hari-harinya,
bulan-bulannya, dan tahun-tahunnya. Jadi, seolah-olah umurnya bertambah.
Ketika
Muhammad bin Humaid ath-Thusi terbunuh sebagai pahlawan dalam usia 40 tahun,
datanglah Abu Tamam, seorang penyair besar, lalu mengucapkan syair-syairnya
memuji pahlawan yang terbunuh ini. Ia telah terbunuh di jalan Allah. Sejak
shalat Shubuh sampai shalat Zhuhur ia bertempur dengan bangsa Romawi sampai
beberapa pedang yang ada di tangannya patah sehingga tak tersisa lagi pedang
padanya. Akhirnya mereka dapat membunuhnya.
Kita pernah
menyaksikan seseorang diwawancarai oleh reporter media massa. Usia orang itu
130 tahun. Tetapi, apa yang telah ia persembahkan untuk dirinya? Kita lihat ia
berbicara tentang makanan dan minumannya, bahwa ia tidur pada jam sekian dan
bangun pada jam sekian. Ia juga pernah menikahi dua puluh lima wanita. Ia
pernah melakukan perjalanan ke Indonesia dan memiliki enam belas bangunan!
Tetapi, di mana prinsip-prinsipnya? Di mana shalatnya? Di mana puasanya? Berapa
banyak ZIS yang ditebarkan? Di mana hajinya? Di mana pula dzikirnya? Tidak ada
perhatian pada dirinya terhadap hal-hal tersebut.
Usia Ibn
Taimiyyah hanya 63 tahun. Tapi ia dapat memenuhi dunia dengan ilmu dan jihad
serta meninggalkan murid-murid yang bagaikan bintang-bintang di langit zaman.
Umar bin Abdul Aziz hanya berusia 40 tahun dan menjabat khalifah tidak lebih
dari 30 bulan. Namun di sisi Allah ia lebih baik daripada 30 kurun. Sa'ad bin
Mu'adz usianya cuma 37 tahun dan berada dalam Islam selama tujuh tahun, tapi ia
lebih baik daripada tujuh kurun. Masalahnya tidak terletak pada berapa panjang
usianya, melainkan kebaikan atau keburukan yang ada dalam usianya itu.
Kemudian ihwal
Rasulullah saw mengatakan, "Barangsiapa yang suka diluaskan
rezekinya." Para ulama mengatakan bahwa keluasan dalam rezeki dapat
bersifat maknawi dengan diberikan keberkahan dalam rezekinya itu. Mungkin pula
Allah menambahnya dengan tambahan yang nyata (yang sesungguhnya).
Silaturahim
merupakan aktivitas hati dan fisik, maka rezeki bisa datang melalui berbagai
cara. Pertemuan Anda dengan saudara bisa mendatangkan peluang, baik peluang
kerja maupun peluang bisnis. Namun kita jangan membatasinya hal itu saja, sebab
Allah memiliki wewenang memberikan rezeki kepada hamba-Nya dari arah yang tidak
diduga-duga. Kapan dan seberapa besarnya, itu adalah hak prerogatif Allah.
Allah Maha Tahu, seberapa banyak dan kapan waktu yang terbaik buat kita.
Silaturahmi
adalah kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dengan terhubungnya
silaturahim, maka ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik. Ardju Fahadaina
ingin langkah-langkahnya meretas di bisnis (air) syariah penuh rahmat dan
keberkahan dari Allah melalui rajutan tali silaturahim dan ukhuwah Islamiyah. Dia
memanfaatkan masjid, majlis pengajian, kegiatan amal dan sosial, seminar,
organisasi, bahkan acara milad sebagai alat untuk bersilaturahmi dan membangun
ukhuwah. ***
No comments:
Post a Comment