Wednesday, April 9, 2014

EPILOG: Bagaikan Kebun di Tanah Subur



“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah ...sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu...”
QS Al Baqarah [2]: 267

DARI sisi sumber asal, boleh jadi, komoditi yang menjadi obyek bisnis Haji Ardju Fahadaina tidak berubah walau sekarang dia telah berhijrah dari bisnis konvensional ke bisnis syariah. Dulu ketika menjalankan bisnis konvensional, dia meraih sukses dalam bisnis Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE) lewat bendera PT Masula Agung Garda Mas yang diakuisisinya pada 1998.
Ya, dia berhasil membawa perusahaan yang diakuisisinya tersebut dari posisi semula merugi sampai untung besar, dari banyak utang menjadi perusahaan yang senantiasa meraup laba, dan dari hanya modal (pembelian) Rp5 miliar kemudian (tahun 2008) memiliki aset senilai Rp350 miliar. Sungguh lompatan yang berlipat-lipat, yang tak lepas dari niat baik agar orang-orang di dalam perusahaan itu tetap bisa bekerja di tengah krisis moneter di akhir 1990-an.
Sebuah lompatan yang mengingatkan kita pada sebuah hadits bahwa Abu Hurairah ra berkata Rasulullah bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian menjalankan agamanya dengan baik maka setiap kebaikan yang ia lakukan dicatat sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, dan setiap amal keburukan yang dilakukan hanya dicatat semisalnya (dihitung satu).” (HR Bukhari-Muslim)
Lantaran bisnis konvensional, ketika itu, Haji Ardju tidak terlalu ngotot menunaikan zakat, infak dan sedekah (ZIS) di balik keuntungan bisnisnya. Dalam benak ingatannya baru sekali dia menyalurkan ZIS setelah mendesak manajemen untuk mengeluarkan ZIS. Padahal, sebagian dari setiap yang dikeluarkan dari perut bumi (elpiji kan dikeluarkan juga dari perut bumi) mesti dinafkahkan (di jalan Allah). (QS [2]: 267)
Tanpa penunaian ZIS yang semestinya saja, Allah melimpahi Haji Ardju dan kawan-kawan dalam bisnis pengisian dan pengangkutan elpiji dengan laba dan peningkatan aset yang begitu pesat. Andai saja bisnis itu berjalan sesuai dengan syariah, barangkali lompatan yang terjadi lebih dahsyat lagi.
Ah, kita tidak selayaknya berandai-andai sesuatu yang belum tentu terjadi. Haji Ardju pun tak mau larut dalam ‘kesuksesan’ yang telah menjadi sekadar catatan masa silam. Kini dia memang masih berbisnis komoditi yang juga dikeluarkan dari dalam perut bumi, yakni air minum dalam kemasan (AMDK) dari mata air di kaki Gunung Pangrango, Desa Cinagara, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Tekadnya bulat melangkah berhijrah dari bisnis konvensional ke bisnis syariah, dari bisnis SPPBE tanpa peduli hak orang lain melekat yang harus dikeluarkan ke bisnis AMDK dengan brand infak Rp15 per liter. Dia ingin benar-benar berjanji membumikan pesan suci al-Quran Surat Al Baqarah ayat 267. Dia ingin memenuhi janji secara sempurna.
Haji Ardju berusaha istiqamah (konsisten) dalam menafkahkan sebagian dari apa yang dikeluarkan oleh Allah dari bumi untuk umat manusia. Tanpa berkilah perusahaan tengah merugi atau lantaran perusahaan sedang beruntung, Haji Ardju terus menginfakkan hasil penjualan air minum doa Ufia pada waktu siang dan malam, secara sembunyi ataupun secara terang-terangan, dengan keyakinan ada janji pahala dari Allah. (QS Al Baqarah [2], 274)
Haji Ardju tidak ingin menunda-nunda berinfak dan bersedekah. Dia tidak ingin menjumpai suatu masa di mana seorang laki-laki sedang berjalan membawa sedekahnya, lalu berkatalah orang yang akan diberi sedekah: “Jika kamu datang kemakin maka aku dapat menerimanya, tetapi sekarang aku tidak membutuhkan hartamu.” Dan orang yang akan memberikan sedekahnya itu tidak mendapati orang yang akan menerima sedekahnya. (HR Bukhari-Muslim)
Masa itu memang belum datang. Saat ini masih banyak antrean penerima zakat, infak dan sedekah manakala ada orang kaya ingin membagikan ZIS. Bahkan, tidak jarang mereka rela berdesak-desakan sekadar untuk mendapatkan sepucuk amplop berisi Rp25.000. Sebab itulah, saban tahun Haji Ardju tiada henti menyalurkan infak Rp15 per liter dari pelanggan Ufia ke Baznas. Lantaran perusahaan belum mendatangkan laba, dia pun menunaikan ZIS diri dan keluarganya yang mencapai 35% dari apa yang diterimanya.
Mimpinya untuk menyalurkan 35% dari keuntungan perusahaan sebagai ZIS belum kesampaian sampai di tahun keempat perjalanan Ufia. Namun begitu, dia amat meyakini bahwa masa di mana dia mampu menyalurkan 35% keuntungan Ufia bakal tiba. “Dan perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya karena menghadap ridha Allah dan untuk menetapkan (keimanan) di dalam hatinya adalah seperti sebidang kebun yang terletak di dataran tinggi yang subur, diguyur hujan lebat maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Maka jika hujan lebat tidak menyiraminya, hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” (QS Al Baqarah [2]: 265)
Ya, Ufia sudah cukup kuat pada pondasi spiritual. Tapi, dalam bisnis, pondasi spiritual saja tidak cukup. Mesti kuat pula pondasi sumber daya manusia yang kompeten di bidangnya agar perusahaan terus tumbuh berkembang. Jelas, Haji Ardju tidak mau menyerahkan operasional dan manajemen perusahaan kepada orang-orang yang tidak amanah, tidak profesional dan tidak jujur. Dia telah memiliki orang-orang amanah, profesional dan jujur. Namun, itu masih terbatas di jajaran produksi (pabrik). Dia belum mempunyai tenaga andal pada urusan distribusi dan pemasaran (marketing). Dia mengakui sejauh ini belum menemukan tenaga yang ahli di pemasaran air minum dalam kemasan. “Suatu saat pasti kami menemukan,” ujar Haji Ardju suatu waktu.
Semoga saja Haji Ardju segera menemukan tenaga ahli marketing yang amanah, rajin dan jujur. Dengan begitu perusahaannya (Ufia) mampu tumbuh berkembang dan bersaing dengan pemain lain di bisnis air minum dalam kemasan. Dan langkahnya memberi dan berbagi semakin meluas. Karena, langkah memberi penuh keyakinan akan janji Allah itu pada gilirannya akan meningkatkan penerimaan dan secara berantai memperbaiki kondisi perekonomian negeri dengan mayoritas penduduk bergama Islam ini. ***     


No comments:

Post a Comment