“Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah ...sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk
kamu...”
QS
Al Baqarah [2]: 267
DARI sisi sumber asal, boleh jadi, komoditi
yang menjadi obyek bisnis Haji Ardju Fahadaina tidak berubah walau sekarang dia
telah berhijrah dari bisnis konvensional ke bisnis syariah. Dulu ketika
menjalankan bisnis konvensional, dia meraih sukses dalam bisnis Stasiun Pengisian
dan Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE) lewat bendera PT Masula Agung Garda Mas yang
diakuisisinya pada 1998.
Ya, dia berhasil
membawa perusahaan yang diakuisisinya tersebut dari posisi semula merugi sampai
untung besar, dari banyak utang menjadi perusahaan yang senantiasa meraup laba,
dan dari hanya modal (pembelian) Rp5 miliar kemudian (tahun 2008) memiliki aset
senilai Rp350 miliar. Sungguh lompatan yang berlipat-lipat, yang tak lepas dari
niat baik agar orang-orang di dalam perusahaan itu tetap bisa bekerja di tengah
krisis moneter di akhir 1990-an.
Sebuah
lompatan yang mengingatkan kita pada sebuah hadits bahwa Abu Hurairah ra
berkata Rasulullah bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian
menjalankan agamanya dengan baik maka setiap kebaikan yang ia lakukan dicatat
sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, dan setiap amal keburukan
yang dilakukan hanya dicatat semisalnya (dihitung satu).” (HR Bukhari-Muslim)
Lantaran
bisnis konvensional, ketika itu, Haji Ardju tidak terlalu ngotot menunaikan
zakat, infak dan sedekah (ZIS) di balik keuntungan bisnisnya. Dalam benak
ingatannya baru sekali dia menyalurkan ZIS setelah mendesak manajemen untuk
mengeluarkan ZIS. Padahal, sebagian dari setiap yang dikeluarkan dari perut
bumi (elpiji kan dikeluarkan juga dari perut bumi) mesti dinafkahkan (di jalan
Allah). (QS [2]: 267)
Tanpa
penunaian ZIS yang semestinya saja, Allah melimpahi Haji Ardju dan kawan-kawan dalam
bisnis pengisian dan pengangkutan elpiji dengan laba dan peningkatan aset yang
begitu pesat. Andai saja bisnis itu berjalan sesuai dengan syariah, barangkali
lompatan yang terjadi lebih dahsyat lagi.
Ah, kita
tidak selayaknya berandai-andai sesuatu yang belum tentu terjadi. Haji Ardju
pun tak mau larut dalam ‘kesuksesan’ yang telah menjadi sekadar catatan masa
silam. Kini dia memang masih berbisnis komoditi yang juga dikeluarkan dari
dalam perut bumi, yakni air minum dalam kemasan (AMDK) dari mata air di kaki
Gunung Pangrango, Desa Cinagara, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Tekadnya
bulat melangkah berhijrah dari bisnis konvensional ke bisnis syariah, dari bisnis
SPPBE tanpa peduli hak orang lain melekat yang harus dikeluarkan ke bisnis AMDK
dengan brand infak Rp15 per liter. Dia
ingin benar-benar berjanji membumikan pesan suci al-Quran Surat Al Baqarah ayat
267. Dia ingin memenuhi janji secara sempurna.
Haji Ardju
berusaha istiqamah (konsisten) dalam menafkahkan sebagian dari apa yang
dikeluarkan oleh Allah dari bumi untuk umat manusia. Tanpa berkilah perusahaan
tengah merugi atau lantaran perusahaan sedang beruntung, Haji Ardju terus
menginfakkan hasil penjualan air minum doa Ufia pada waktu siang dan malam,
secara sembunyi ataupun secara terang-terangan, dengan keyakinan ada janji
pahala dari Allah. (QS Al Baqarah [2], 274)
Haji Ardju
tidak ingin menunda-nunda berinfak dan bersedekah. Dia tidak ingin menjumpai
suatu masa di mana seorang laki-laki sedang berjalan membawa sedekahnya, lalu
berkatalah orang yang akan diberi sedekah: “Jika kamu datang kemakin maka aku
dapat menerimanya, tetapi sekarang aku tidak membutuhkan hartamu.” Dan orang
yang akan memberikan sedekahnya itu tidak mendapati orang yang akan menerima
sedekahnya. (HR Bukhari-Muslim)
Masa itu memang
belum datang. Saat ini masih banyak antrean penerima zakat, infak dan sedekah
manakala ada orang kaya ingin membagikan ZIS. Bahkan, tidak jarang mereka rela
berdesak-desakan sekadar untuk mendapatkan sepucuk amplop berisi Rp25.000. Sebab
itulah, saban tahun Haji Ardju tiada henti menyalurkan infak Rp15 per liter
dari pelanggan Ufia ke Baznas. Lantaran perusahaan belum mendatangkan laba, dia
pun menunaikan ZIS diri dan keluarganya yang mencapai 35% dari apa yang
diterimanya.
Mimpinya
untuk menyalurkan 35% dari keuntungan perusahaan sebagai ZIS belum kesampaian
sampai di tahun keempat perjalanan Ufia. Namun begitu, dia amat meyakini bahwa
masa di mana dia mampu menyalurkan 35% keuntungan Ufia bakal tiba. “Dan
perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya karena menghadap ridha Allah
dan untuk menetapkan (keimanan) di dalam hatinya adalah seperti sebidang kebun
yang terletak di dataran tinggi yang subur, diguyur hujan lebat maka kebun itu
menghasilkan buahnya dua kali lipat. Maka jika hujan lebat tidak menyiraminya,
hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” (QS
Al Baqarah [2]: 265)
Ya, Ufia
sudah cukup kuat pada pondasi spiritual. Tapi, dalam bisnis, pondasi spiritual
saja tidak cukup. Mesti kuat pula pondasi sumber daya manusia yang kompeten di
bidangnya agar perusahaan terus tumbuh berkembang. Jelas, Haji Ardju tidak mau
menyerahkan operasional dan manajemen perusahaan kepada orang-orang yang tidak
amanah, tidak profesional dan tidak jujur. Dia telah memiliki orang-orang
amanah, profesional dan jujur. Namun, itu masih terbatas di jajaran produksi
(pabrik). Dia belum mempunyai tenaga andal pada urusan distribusi dan pemasaran
(marketing). Dia mengakui sejauh ini belum menemukan tenaga yang ahli di
pemasaran air minum dalam kemasan. “Suatu saat pasti kami menemukan,” ujar Haji
Ardju suatu waktu.
Semoga saja
Haji Ardju segera menemukan tenaga ahli marketing yang amanah, rajin dan jujur.
Dengan begitu perusahaannya (Ufia) mampu tumbuh berkembang dan bersaing dengan
pemain lain di bisnis air minum dalam kemasan. Dan langkahnya memberi dan
berbagi semakin meluas. Karena, langkah memberi penuh keyakinan akan janji
Allah itu pada gilirannya akan meningkatkan penerimaan dan secara berantai
memperbaiki kondisi perekonomian negeri dengan mayoritas penduduk bergama Islam
ini. ***
No comments:
Post a Comment