"Tidak jelas berapa untuk operasional
dan berapa untuk jasa pelayanan. Dari jasa pelayanan juga belum diatur
berapa untuk dokter dan berapa untuk tenaga kesehatan lain," katanya.
Zaenal mengatakan, dari pengaduan
beberapa anggota IDI di daerah, hingga saat ini peraturan teknis perihal
pembagian tersebut masih belum ada. Akibatnya, pihak pemerintah daerah
tidak bisa memberikan dana yang telah ditransfer BPJS kesehatan pada
pihak puskesmas. Selain itu, pihak RS juga kesulitan membagi surplus
yang diperoleh. Yang akhirnya memakasa pembagian hanya dilakukan
berdasarkan pertimbangan subjektif pihak RS.
Padahal, lanjut dia, dikatakan oleh
pihak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan, hampir
seluruh rumah sakit dan puskesmas mengalami keuntungan atau surplus
cukup besar dalam program JKN ini. "Mereka (tenaga kesehatan) kan
bekerja cukup keras dengan banyaknya pasien yang membludak. Sepantasnya
mereka mendapat imbas dari surplus tersebut," tuturnya.
Melihat kondisi tersebut, tim satuan
tugas JKN yang dibentuk oleh beberapa organisasi kesehatan termasuk IDI,
Ikatan Bidan Indonesia, dan Ikatan apoteker Indonesia telah mengajukan
permohonan pada pemerintah daerah. Satgas meminta Pemda untuk membuat
aturan pembagian tersebut. "Namun itu kan sifatnya sementara, tidak bisa
terus-terusan menggunakan aturan itu," ungkapnya.
Karenanya, ia meminta pemerintah dalam
hal ini Kementerian Kesehatan untuk segera mengambil alih tugas
tersebut. permohonan tersebut telah disampaikan pihaknya kepada Menteri
Kesehatan, namun sayangnya hingga kini masih belum ada keputusan.
"Menteri Kesehatan jangan tanggung-tanggung kalau mengamil alih
pembuatan aturan, jangan hanya tarif pelayanan di rumah sakit (INA CBGs)
saja. Jika memang tidak bisa, serahkan saja sepenuhnya ke BPJS
kesehatan.," tandasnya. (www.jpnn.com))
No comments:
Post a Comment