Thursday, April 10, 2014

Pasien Gagal Ginjal Tak Terlayani Maksimal oleh BPJS

Pasien Gagal Ginjal Tak Terlayani Maksimal oleh BPJS
Puluhan pasien gagal ginjal dari keluarga miskin di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, mendatangi gedung DPRD Kabupaten Madiun, Jumat (3/8). TEMPO/Ishomuddin




Mendadak sekujur tubuh Susiati, 50 tahun, lemas. Warga Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, itu tak sadarkan diri hingga harus menjalani perawatan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Tentara dr Soepraoen Malang. "Tiba-tiba lemas seperti tak ada tulang, kepala pusing hingga pingsan," katanya, 28 Maret lalu.
Selama Januari, tiga kali ia harus menjalani perawatan intensif. Gejalanya sama, lemas, pusing dan sesak nafas sampai kehilangan kesadaran. Menurut dokter, katanya, hemoglobin (HB) darah anjlok sehingga tak ada suplai oksigen ke otak. “Jantung bengkak," kata ibu tiga anak ini.
HB darah anjlok gara-gara tak mendapat Hemapo Epoetinalfa usai menjalani cuci darah (hemodialisa). Cairan injeksi Hemapo dipergunakan untuk menjaga kadar HB darah. Sejak migrasi dari peserta Asuransi Kesehatan (Akses) menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Susiati tak mendapat suntikan Hemapo. Suaminya, Samsul Arifin, tak memiliki dana cukup untuk membeli obat. Maklum, ia hanya mengandalkan pensiunan sebagai pegawai negeri sipil.
Cuci darah dilakukan sepekan dua kali, Selasa dan Jumat, sejak dia mengalami gagal ginjal lima tahun lalu. Masalah lain dialami Susiati pertengahan Januari lalu, sembilan unit mesin cuci darah di RST bermasalah. Akibatnya, bersama puluhan pasien gagal ginjal lain ia tak bisa menjalani terapi. BPJS Kesehatan mengalihkan pasien ke Rumah Sakit Saiful Anwar Malang dan Rumah Sakit Lavalette. Namun, kedua rumah sakit tak bisa melayani karena sudah menampung terlalu banyak pasien gagal ginjal.
Akhirnya, sejumlah pasien memilih merogoh koncek sendiri untuk mendapat pelayanan cuci darah. Namun, pasien yang tak memiliki dana cukup memilih tak menjalani cuci darah. Padahal, jika tak cuci darah metabolisme tubuh terganggu dan berbahaya bagi kesehatannya.

Sendirian, Susiati memprotes persoalan tersebut ke kantor BPJS Kesehatan. Setelah protes, perempuan yang aktif dalam Forum Masyarakat Peduli Pendidikan ini mendapat pelayanan cuci darah di Rumah Sakit Panti Waluya. "Antara Rumah Sakit Panti Waluya dan BPJS tak ada kerja sama," katanya.
Bagi Arifin berat untuk membayar biaya cuci darah secara mandiri sebesar Rp 825 ribu.
Di lain pihak, Kepala BPJS Kesehatan Malang, Bimantoro, menyatakan jika menyatakan terjadi perbedaan pelayanan antara Askes dengan BPJS Kesehatan. Askes membayar klaim seluruh pembiayaan pengobatan mulai jasa pelayanan, pemeriksaan laboratorium hingga pembelian obat. Sedangkan BPJS Kesehatan membiayai dengan sistem paket sesuai penyakit menggunakan standar Ina CBG's yang ditetapkan Kementerian Kesehatan. "Manajemen rumah sakit yang mengatur keuangan. Peserta BPJS harus dapat pelayanan optimal dan tak boleh membayar sepeser pun," katanya.
Metode ini juga mencegah dokter memberikan resep sembarangan, apalagi bekerja sama dengan produsen obat. Sehingga rumah sakit tak bisa main-main dan dokter tak sembarangan memberikan resep.
Seharusnya, katanya, pasien mendapat pelayanan yang sama seperti Askes. Karena anggaran yang disediakan bagi pasien cuci darah juga sama antara Askes dengan BPJS Kesehatan.
Kepala Rumah Sakit Soepraoen Malang, Kolonel Sofyan Solichin, mengaku terjadi permasalahan komunikasi antara manajemen rumah sakit dengan petugas di lapangan. Di lain pihak, pelaksana di lapangan belum bisa beradaptasi dengan aturan baru yang diterapkan BPJS Kesehatan. "Kurang komunikasi, sejak akhir Januari semua terlayani. Obat diberikan komplit," katanya.
Berdasarkan paket INA CBG's, katanya, anggaran yang dialokasikan BPJS untuk cuci darah sebesar Rp 982 ribu. Rinciannya, anggaran dialokasikan untuk belanja bahan dan peralatan medis Rp 460 ribu, Hemafo Rp 175 ribu, Neorobion Rp 7 ribu, dan sisanya Rp 340 ribu untuk jasa pelayanan.
Selain itu, pada Januari sembilan unit mesin cuci darah bermasalah. Sebanyak 12 pasien menggigil setelah menjalani cuci darah. Setelah diteliti ternyata sistem filter harus diganti. "Bu Susi dirujuk ke Rumah Sakit Panti Waluya."
Akhir pekan lalu, kaki dan tangan Susiati kesemutan. Dia sampai kesulitan menggerakkan tubuh. Akibatnya, Susiati harus menjalani perawatan intensif di RST Soepraoen Malang.
Setelah menjalani perawatan selama sehari, nyawa Susiati tak tertolong pada 1 April lalu. Arifin pun tertunduk lesu kehilangan istri tercinta. Ia ikhlas menerima takdir kematian Susiati serta berharap manajemen dan pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan diperbaiki. Ia berharap agar pasien penyakit kronis tak bertaruh nyawa. (www.tempo.co)

No comments:

Post a Comment