Mendadak sekujur
tubuh Susiati, 50 tahun, lemas. Warga Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji,
Kabupaten Malang, itu tak sadarkan diri hingga harus menjalani perawatan di
Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Tentara dr Soepraoen Malang.
"Tiba-tiba lemas seperti tak ada tulang, kepala pusing hingga
pingsan," katanya, 28 Maret lalu.
Selama Januari,
tiga kali ia harus menjalani perawatan intensif. Gejalanya sama, lemas, pusing
dan sesak nafas sampai kehilangan kesadaran. Menurut dokter, katanya,
hemoglobin (HB) darah anjlok sehingga tak ada suplai oksigen ke otak. “Jantung
bengkak," kata ibu tiga anak ini.
HB darah anjlok
gara-gara tak mendapat Hemapo Epoetinalfa usai menjalani cuci darah
(hemodialisa). Cairan injeksi Hemapo dipergunakan untuk menjaga kadar HB darah.
Sejak migrasi dari peserta Asuransi Kesehatan (Akses) menjadi peserta Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Susiati tak mendapat suntikan
Hemapo. Suaminya, Samsul Arifin, tak memiliki dana cukup untuk membeli obat.
Maklum, ia hanya mengandalkan pensiunan sebagai pegawai negeri sipil.
Cuci darah
dilakukan sepekan dua kali, Selasa dan Jumat, sejak dia mengalami gagal ginjal
lima tahun lalu. Masalah lain dialami Susiati pertengahan Januari lalu,
sembilan unit mesin cuci darah di RST bermasalah. Akibatnya, bersama puluhan
pasien gagal ginjal lain ia tak bisa menjalani terapi. BPJS Kesehatan
mengalihkan pasien ke Rumah Sakit Saiful Anwar Malang dan Rumah Sakit
Lavalette. Namun, kedua rumah sakit tak bisa melayani karena sudah menampung
terlalu banyak pasien gagal ginjal.
Akhirnya, sejumlah
pasien memilih merogoh koncek sendiri untuk mendapat pelayanan cuci darah.
Namun, pasien yang tak memiliki dana cukup memilih tak menjalani cuci darah.
Padahal, jika tak cuci darah metabolisme tubuh terganggu dan berbahaya bagi
kesehatannya.
Sendirian, Susiati
memprotes persoalan tersebut ke kantor BPJS Kesehatan. Setelah protes,
perempuan yang aktif dalam Forum Masyarakat Peduli Pendidikan ini mendapat
pelayanan cuci darah di Rumah Sakit Panti Waluya. "Antara Rumah Sakit
Panti Waluya dan BPJS tak ada kerja sama," katanya.
Bagi Arifin berat
untuk membayar biaya cuci darah secara mandiri sebesar Rp 825 ribu.
Di lain pihak,
Kepala BPJS Kesehatan Malang, Bimantoro, menyatakan jika menyatakan terjadi
perbedaan pelayanan antara Askes dengan BPJS Kesehatan. Askes membayar klaim
seluruh pembiayaan pengobatan mulai jasa pelayanan, pemeriksaan laboratorium
hingga pembelian obat. Sedangkan BPJS Kesehatan membiayai dengan sistem paket
sesuai penyakit menggunakan standar Ina CBG's yang ditetapkan Kementerian
Kesehatan. "Manajemen rumah sakit yang mengatur keuangan. Peserta BPJS
harus dapat pelayanan optimal dan tak boleh membayar sepeser pun,"
katanya.
Metode ini juga
mencegah dokter memberikan resep sembarangan, apalagi bekerja sama dengan
produsen obat. Sehingga rumah sakit tak bisa main-main dan dokter tak
sembarangan memberikan resep.
Seharusnya,
katanya, pasien mendapat pelayanan yang sama seperti Askes. Karena anggaran
yang disediakan bagi pasien cuci darah juga sama antara Askes dengan BPJS
Kesehatan.
Kepala Rumah Sakit
Soepraoen Malang, Kolonel Sofyan Solichin, mengaku terjadi permasalahan
komunikasi antara manajemen rumah sakit dengan petugas di lapangan. Di lain
pihak, pelaksana di lapangan belum bisa beradaptasi dengan aturan baru yang
diterapkan BPJS Kesehatan. "Kurang komunikasi, sejak akhir Januari semua
terlayani. Obat diberikan komplit," katanya.
Berdasarkan paket
INA CBG's, katanya, anggaran yang dialokasikan BPJS untuk cuci darah sebesar Rp
982 ribu. Rinciannya, anggaran dialokasikan untuk belanja bahan dan peralatan
medis Rp 460 ribu, Hemafo Rp 175 ribu, Neorobion Rp 7 ribu, dan sisanya Rp 340
ribu untuk jasa pelayanan.
Selain itu, pada
Januari sembilan unit mesin cuci darah bermasalah. Sebanyak 12 pasien menggigil
setelah menjalani cuci darah. Setelah diteliti ternyata sistem filter harus
diganti. "Bu Susi dirujuk ke Rumah Sakit Panti Waluya."
Akhir pekan lalu,
kaki dan tangan Susiati kesemutan. Dia sampai kesulitan menggerakkan tubuh.
Akibatnya, Susiati harus menjalani perawatan intensif di RST Soepraoen Malang.
Setelah menjalani
perawatan selama sehari, nyawa Susiati tak tertolong pada 1 April lalu. Arifin
pun tertunduk lesu kehilangan istri tercinta. Ia ikhlas menerima takdir
kematian Susiati serta berharap manajemen dan pelayanan kesehatan BPJS
Kesehatan diperbaiki. Ia berharap agar pasien penyakit kronis tak bertaruh
nyawa. (www.tempo.co)
No comments:
Post a Comment