Wanita
yang bertaubat ini bercerita:
"Aku
tidak tahu dengan kata-kata apa aku tulis ceritaku atau dengan kalimat apa aku
tulis kenangan lama yang aku tidak ingin itu terjadi.
Dulu
aku sangat suka mendengarkan musik sampai aku tidak tidur dan tidak bangun
kecuali mendengar musik. Sinetron dan film selalu aku tonton di waktu
aku menganggur. Aku selalu menontonnya sampai subuh. Saat Allah SWT turun ke langit dunia dan Dia berkata,
"Apakah ada yang meminta ampunan, aku akan mengampuninya. Apakah ada yang
meminta, aku akan memberikannya?” Sedangkan aku begadang hanya untuk menonton
film yang tidak ada manfaatnya. Perhiasan dan dandananku seperti dandanan
remaja-remaja yang lalai seumuranku, cerita barat, pakaian yang pendek dan
ketat, kuku panjang, meremehkan hijab dan sebagainya.
Pada
kelas dua SMA, datang seorang guru kimia. Dia adalah seorang guru yang baik,
akhlaknya yang mulia, banyaknya dia menyebut kebaikan dan menghubungkan kimia
dengan agama telah menarik diriku kepadanya. Satu kali pernah kakiku melangkah
menghampirinya tetapi aku tidak tahu untuk apa? Rupanya itu
hanyalah sebuah permulaan. Kemudian aku menemuinya satu atau dua kali. Ketika
dia melihatku menerima, dia menasehatiku untuk menjauhi musik dan menonton
sinetron. Aku berkata, "Aku tidak dapat melakukannya." Dia berkata,
"Demi aku." Aku menjawab, "Oke, demi engkau. Aku terdiam
sejenak, lalu berkata, "Tidak, bukan demi engkau, tetapi karena Allah SWT. Insyaallah." Dari situ dia tahu ada jiwa
perlawanan dalam diriku. Dia berkata, "Hendaknya menjadi perlawanan antara
kamu dan syaitan, kita lihat siapa yang akan menang."
Itulah akhir pertemuan pada hari itu. Keadaanku masih seperti semula. Aku
mendengarkan dari jauh suara artis dalam sinetron. Apakah aku akan mendekat dan
menontonnya? Kalau begitu, syaitan telah mengalahkanku. Sejak saat itu aku
meninggalkan musik dan sinetron. Kurang lebih satu bulan kemudian, aku kembali
mendengarkan musik dan syaitan dengan sedikit tipu dayanya mampu mengalahkanku lantaran imanku yang lemah.[1]
Pada tahun ketiga atau tahun terakhir, datang guru baru. Aku tidak kuat
pada pelajarannya, kata-katanya yang fasih dan nasehat-nasehatnya. Dia adalah
guru bahasa Arab. Lalu pada awal ujian mata pelajaran Nahwu (Grammar), aku
dikejutkan dengan hasil yang sangat buruk. Di ujung kertas jawaban, guru itu
menuliskan beberapa kalimat tentang niat yang ikhlas dalam mencari ilmu dan
perlunya aku meninggalkan usahaku dalam belajar. Bumi seakan-akan menghimpitku
karena aku tidak terbiasa mendapat nilai yang buruk. Tapi, barangkali apa yang kamu benci itu lebih baik
untukmu.
Aku langkahkan kakiku menemui guruku dan dengan kebenaran apa
kalimat-kalimat itu tertuju kepadaku? Lalu dia berbicara kepadaku tentang niat
yang ikhlas dalam mencari ilmu dan lain sebagainya. Hari berikutnya, salah
seorang temanku mengabarkan bahwa guruku ingin bertemu denganku, namun aku tidak peduli. Secara tidak sengaja aku bertemu dengannya saat
dia keluar dan dia memegang sebuah mushaf kecil. Dia menyalamiku dan meletakkan
mushaf itu di tanganku. Dia menggenggam tanganku dan berkata, "Ini bukan
hadiah untukmu, tetapi amanah, jika kau mampu mengembannya. Kalau tidak,
kembalikan mushaf ini kepadaku.” Kata-katanya menghunjam dalam jiwaku, tetapi
aku tidak menyadari betapa beratnya amanah itu kecuali setelah aku bertemu
dengan salah seorang teman yang salehah.
Temanku itu bertanya, "Apa yang dia inginkan dari dirimu?" Aku
menjawab, "Dia memberiku mushaf ini dan dia berkata ini adalah amanah.” Lalu wajah temanku itu berubah. Dia berkata,
"Apakah kau tahu arti amanah? Kau tahu apa tanggung jawab pada kitab ini?
Kau tahu perkataan siapa ini? Perintah siapa ini?" Saat itulah aku
merasakan beratnya amanah ini. Al-Quran al-Karim adalah hadiah terbesar yang diberikan kepadaku. Aku
amat tekun membacanya dan dengan segenap kekuatan dan kesungguhan aku
tinggalkan musik dan sinetron. Hanya saja, dandananku belum berubah. Guru itu
telah berubah kedudukannya dalam diriku dan aku menyembunyikan rasa cinta dan
hormat padanya. Hal ini bersamaan dengan keinginan untuk mengambil manfaat dari
pelajarannya dan dia mengaitkan pelajaran dengan ancaman terhadap keinginan
Barat yaitu kebebasan dan menyingkirkan kitab Allah SWT.
Setiap
pekan, dia menulis satu ayat al-Quran untuk kami di pojok papan tulis
dan meminta kami mengamalkan hukum yang ada dalam ayat tersebut. Demikianlah,
nasehatnya terus berjalan, ditambah dengan nasehat beberapa orang teman, sampai
aku meninggalkan model rambut ala Barat karena itu tidak sesuai dengan pemudi Muslim yang beriman, dan itu bukan termasuk sifat Ummul Mukminin.
Alhamdulillah, keadaanku semakin baik dan aku mantap memakai hijab secara
sempurna dengan menutup dua telapak tangan dan kedua kaki. Setelah sebelumnya, aku
dan seorang temanku memandang rendah memakai kaus kaki sampai kami memakainya
di atas sepatu untuk menghina dan menertawakan pemandangan itu.
Aku
menyelesaikan SMA-ku dan aku masuk ke Universitas Islam al-Imam Muhamad bin
Saud, Saudi Arabia. Suatu hari aku bersama seorang teman pergi ke pemandian
orang mati. Aku melihat orang sedang memandikan seorang pemudi berusia 23 tahun
dan aku tidak dapat menggambarkan apa yang aku lihat. Dia di balik ke kiri dan
ke kanan untuk dimandikan dan dikafankan, dia dingin seperti es. Ibu, saudari
dan kerabatnya ada di situ. Apakah dia akan melihat mereka, lalu bangun,
melihat untuk terakhir kali, memeluk dan berpamitan dengan mereka? Atau kau
akan melihatnya menyampaikan pesan terakhirnya? Sama sekali tidak.
Ibunya
mencium kedua pipinya dan keningnya dengan menangis dia berkata, "Ya Allah,
kasihilah dia. Ya Allah, luaskanlah jalan masuknya. Ya Allah, jadikanlah kuburannya
sebagai taman surga. Aku memaafkanmu, anakku." Kemudian dia menutup kain
pada wajahnya dengan kain kafan.
Alangkah
susahnya pemandangan itu dan alangkah indah nasehat yang diberikan. Sebentar
kemudian, dia diletakkan di liang lahad, lalu ditimbun tanah dan ditanya
tentang setiap detik dalam hidupnya. Demi Allah, meskipun ditulis dengan
beberapa kalimat, aku tidak akan sanggup menggambarkan peristiwa itu. Peristiwa
itu memberikan banyak perubahan dalam hidupku dan membuatku zuhud di dunia yang
fana ini. Aku sampaikan pada setiap guru dan da'iyah bahkan kepada setiap Muslimah untuk tidak meremehkan nasehat. Berkata dengan baik
sehingga walaupun semua pintu di wajahnya telah tertutup, yakinlah bahwa pintu Allah
SWT selalu terbuka.
Aku
juga sampaikan kepada semua saudariku yang masih lalai dari mengingat Allah,
tenggelam dalam kelezatan dan nafsu duniawi, kembalilah kepada Allah,
saudariku. Demi Allah, kebahagiaan yang paling tinggi adalah dalam ketaatan
kepada Allah SWT. Juga kepada orang yang melihat
dalam hatinya ada kekerasan, atau dia tidak bisa meninggalkan dosa, pergilah ke
tempat pemandian orang mati, lalu lihatlah mereka saat dimandikan dan
dikafankan. Demi Allah, itu adalah nasehat yang paling agung, dan cukuplah
kematian itu menjadi nasehat. Aku bermohon kepada Allah SWT untukku dan untuk kalian husnul khatimah.
Saudari
kalian, Ummu Abdullah.[2]
No comments:
Post a Comment