Wednesday, June 4, 2014

Jaminan sosial di Indonesia kalah efektif dibanding Nepal




Jaminan sosial di Indonesia kalah efektif dibanding Nepal
SBY tinjau pelaksanaan BPJS di Surabaya. ©Rumgapres/Abror Rizki

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait sistem perlindungan sosial. Sebut saja program Bantuan Tunai Langsung (BLT), Beras Untuk Orang Miskin (Raskin), Program Keluarga Harapan, Kredit Untuk Rakyat (KUR) dalam upayanya meningkatkan kemampuan ekonomi dan memberikan perlindungan sosial bagi warga negara. Program BLT pemerintah saat ini diadopsi oleh beberapa negara di benua Afrika.
Pakar bidang perlindungan sosial atau Senior Social Protection Adviser for the Australian Government funded Poverty Reduction Support Facility (PRSF) John Rook mengatakan di Indonesia, sistem perlindungan sosial mencakup dua hal, yaitu asuransi sosial dan bantuan sosial.
"Bantuan sosial, contohnya program raskin diambil dari pajak dan diberikan cuma-cuma untuk orang miskin. Sedangkan asuransi sosial, seperti asuransi pada umumnya di mana peserta harus membayar premi," ujarnya dalam diskusi Aliansi Jurnalis Independen, di Jakarta, Selasa (3/6).
Direktur Economy Policy Research Institute (EPRI), yang bermarkas di Cape Town, Afrika Selatan, Michael Samson mengatakan sistem perlindungan sosial merupakan instrumen yang bisa digunakan untuk menurunkan kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan membangun lingkungan sosial dan politik yang stabil. Kondisi tersebut terjadi di Nepal.
"Sistem Perlindungan sosial bukanlah anekdot tapi terbukti mampu menstabilkan ekonomi negara, 60 tahun lalu Nepal lebih miskin dari Indonesia. Melalui program perlindungan sosial mereka berkembang dalam 15 tahun terakhir," kata Samson.
Namun demikian menurut Samson, banyaknya program perlindungan sosial di Indonesia, belum mampu melindungi seluruh warganya, disebabkan banyaknya warga yang bekerja di sektor informal.
"Jika pemerintah dan elit politik membuat program yang efektif dan terintegrasi maka rakyat bisa menikmati keuntungan yang besar."
Pendapat lain dikemukakan Paul Rowland, seorang analis politik asal Kanada, yang mengatakan perlindungan sosial harus menjadi bagian dari isu yang harus diusung dan dipertajam oleh partai politik. Paul menegaskan saat ini belum ada parpol yang punya kebijakan khusus atau usulan konkrit tentang perlindungan sosial warga Negara.
"Indonesia bukan Negara miskin, hanya saja belum mampu mengkonsolidasikan kekayaannya dan belum mampu mengimplementasikan program perlindungan sosial secara benar dan terintegrasi," ujar Paul.
Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Eko Maryadi, mengingatkan pemerintah agar memberlakukan program layanan perlindungan sosial yang efektif, terintegrasi dan memberikan maanfaat bagi seluruh warga negara.
"Termasuk perusahaan media, wajib memberikan perlindungan sosial berupa asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja, tabungan hari tua atau pensiun seperti yang diamanatkan UU SJSN dan Ketenagakerjaan," ujar Eko.
Kegiatan ini mengundang jurnalis dari berbagai media yang biasa meliput isu sosial ekonomi. Tujuan diskusi AJI itu untuk menyerap aneka pandangan, perkembangan, serta kelemahan program perlindungan sosial dari pemerintah Indonesia, membandingkan dengan sistem perlindungan sosial di negara lain.
Apalagi, sejak awal 2014, pemerintah mengeluarkan program anyar perlindungan sosial bagi masyarakat miskin, pekerja formal, dan informal, yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang Kesehatan serta program perlindungan tenaga kerja yang semula dikelola Jamsostek.(sumber: http://www.merdeka.com)

No comments:

Post a Comment