Strategi
pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak dibarengi pemerataan merupakan
kesalahan besar yang dilakukan para pemimpin negara-negara sedang berkembang,
termasuk Indonesia. Dalam menjalankan strategi tersebut, pinjaman luar negeri
telah memainkan peran besar sebagai sumber pembiayaan. Padahal, sering terjadi
adanya ketidak-sesuaian antara paket pembangunan yang dianjurkan donor dan
kebutuhan riil masyarakat. Kebijakan fiskal dan moneter juga tidak pro kaum
miskin, perencanaan pembangunan bersifat top-down, liberalisasi perekonomian terlalu dini
tanpa persiapan yang memadai untuk melindungi kemungkinan terpinggirkannya
kelompok-kelompok miskin. (HS Dillon,
Utusan
Khusus Presiden RI Bidang Penanggulangan Kemiskinan; 2001)
YOGYAKARTA,
awal 2003. Sebayak 12 orang Gubernur dan 418 bupati/walikota
seluruh Indonesia mengikrarkan Deklarasi Yogyakarta untuk menegaskan komitmen
bersama dalam upaya penanggulangan kemiskinan secara terpadu. Pembacaan
deklarasi dipimpin oleh Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X
pada tanggal 22 Maret 2003 saat penutupan Rapat Kerja Nasional (Rakernas)
Penanggulangan Kemiskinan yang diikuti para gubernur dan bupati/walikota dari
seluruh Indonesia.
Secara langsung, deklarasi tersebut
disaksikan Menko Kesra (waktu itu) Jusuf Kalla selaku Ketua Komite Penanggulangan
Kemiskinan. Rakernas dihadiri pula Menko Perekonomian Dorodjatun
Kuntjoro-Jakti, Mendagri Hari Sabarno, Menkes Suyudi, Gubernur Bank Indonesia
Syahril Sabirin, serta sejumlah direktur utama bank BUMN, antara lain E.C.W.
Neloe (Bank Mandiri) dan Rudjito (BRI).
Pada kesempatan itu Jusuf Kalla
mengatakan bahwa pengurangan tingkat kemiskinan tidak ada kaitan secara otomatis
dengan besarnya dana yang dikerahkan. "Berapa pun besarnya uang yang telah
dikeluarkan selama 32 tahun untuk memerangi kemiskinan, tidak ada gunanya jika
tidak disusun cara dan strategi yang baik untuk mengatasi masalah ini,"
tandasnya.
Tahun 2003, menurut Kalla,
BI dan Komite Penanggulangan Kemiskinan mengkoordinir 13 bank swasta dan BUMN
untuk mengucurkan kredit usaha mikro kecil dan menengah sebesar Rp40,37 triliun
serta sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebanyak Rp2,1 triliun.
Strategi untuk mengatasi
kemiskinan, lanjut Kalla, minimal perlu disinergikan dengan sistem perbankan
nasional. Ini karena sistem perbankan bisa bertindak seperti malaikat ataupun,
sebaliknya, seperti setan. "Beberapa waktu lalu ekonomi kita ambruk karena
sistem perbankannya rusak. Bank hanya mau memberi kredit kepada pengusaha besar
saja," ujar Kalla.
Kalla menambahkan perlu dua
hal untukmengurangi tingkat kemiskinan, yaitu meningkatkan pendapatan yang
dibarengi menurunkan biaya hidup, serta memperbaiki berbagai pelayanan sosial
utama yakni pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Dia mengharapkan pemerintah
daerah mampu dan bersedia mengerahkan seluruh sumber daya untuk mendukung
kesuksesan gerakan ini.
Dalam kaitan gerakan ini,
Sekretaris Komite Penanggulangan Kemiskinan Gunawan Sumodiningrat mengatakan
angka kemiskinan sampai 2002 mencapai 38,4 juta orang, atau 18,20% dari total
penduduk Indonesia. "Sesuai Propenas, pada 2004 pemerintah akan menurunkan
angka tersebut sampai 11%," ungkapnya.
Sementara itu Menko
Perekonomian Dorodjatun mengharapkan Deklarasi Yogyakarta dapat mendorong
kebangkitan gerakan revolusioner dalam memerangi kemiskinan di Indonesia.
Deputi Gubernur BI Maulana
Ibrahim mengungkapkan komitmen kucuran kredit tersebut telah dituangkan dalam business plan masing-masing bank dan
akan dipantau pelaksanaannya oleh BI. "Setiap tiga bulan mereka harus
melaporkan pelaksanaan komitmen tersebut kepada BI. Kami akan terus memantau
pelaksanaannya," jelas Maulana.
Dan Gubernur BI Syahril
Sabirin menambahkan proses pengucuran kredit tersebut diarahkan sesuai prinsip
bisnis dan bebas tekanan dari luar agar gerakan memerangi kemiskinan ini bisa
berjalan berkesinambungan.
Ya, di era Otonomi Daerah
(Otda), pembangunan –termasuk di antaranya upaya pengentasan kemiskinan—semaksimal
mungkin melibatkan peran aktif pemerintah daerah. Pemerintah daerah diberi
peluang sebesar-besarnya untuk aktif mulai dari merencanakan, melaksanakan
sampai monitoring/evaluasi program sehingga program pembangunan bisa tepat
sasaran.
A. Peluang Pembangunan di Era Otonomi
Daerah
Sedikit kilas balik, pada
masa Orde Baru semua keputusan dipusatkan di Jakarta sehingga tidak memberi
ruang bagi aspirasi dari bawah. Dalam upaya penghapusan kemiskinan, konsentrasi
pengambilan keputusan di Pusat tidak mampu membawa hasil yang maksimal. Ada
penduduk yang tidak terlayani dengan baik yang berakibat tidak tercapainya tujuan
kesejahteraan kepada seluruh masyarakat. Pemerintah menyadari bahwa pelayanan
kepada masyarakat akan sangat efektif bila kewenangan pengambilan keputusan
diberikan kepada daerah. Karena itu, sejak tumbangnya Orde Baru, desentralisasi
diberlakukan secara penuh di Indonesia.
Sejauh ini desentralisasi
masih merupakan konsep yang belum jelas. Konsep ini terus mengalami perubahan
makna dari waktu ke waktu. Konsep densentralisasi awal diperkenalkan pada 1950
ketika pemerintah Kolonial (baca Inggris) mulai mempersiapkan kemerdekaan
negara jajahan mereka (Osmani 2005). Ada lima prinsip yang perlu diperhatikan
dalam proses desentralisasi:
·
Pemerintahan Lokal secara kelembagaan harus
dipisahkan dari pemerintahan Pusat ;
·
Pemerintahan Lokal harus mempunyai anggaran
belanja sendiri. Pendapatan pemerintahan Lokal dapat diperoleh dari pajak
langsung;
·
Pemerintah Lokal juga berhak mengangkat
pegawai sendiri. Mungkin mulai dengan tenaga honorer;
·
Pemerintahan Lokal perlu dikontrol oleh
parlemen lokal yang dipilih secara demokratis;
·
Administrasi Pusat, dalam hubungan dengan
pemerintah Lokal, harus menarik diri dari urusan eksekutif lokal dan hanya
bertindak sebagai penasehat atau pengawas.
Namun, dalam kenyataan,
kelima prinsip desentralisasi klasik yang dimaksud hampir tidak pernah berjalan
di negara berkembang. Kemudian diperkenalkan klasifikasi lain yang membedakan
desentralisasi menjadi empat bentuk yang didasarkan pada proses pengambilan
keputusan:
·
Dekonsentrasi.
Dekonsentrasi merupakan perubahan kelembagaan di mana kewenangan pengambilan keputusan
oleh aparat pemerintah pusat digeser ke aparat pemerintah yang berada di
daerah. Dalam sistem ini sumber-sumber dari pusat ditransfer ke daerah dan
wewenang keputusan penggunaan dana diberikan kepada aparat daerah tanpa harus
konsultasi kepada pemerintah pusat.
·
Devolusi. Yang
dimaksud devolusi adalah upaya reorganisasi di mana daerah diberi kebebasan
kewenangan membuat aturan dan kewenangan fiskal. Pemerintah daerah mempunyai
otonomi dan diberi tanggung jawab membuat keputusan penggunaan dana tersebut.
·
Delegasi.
Delegasi adalah transfer kewenangan kepada Badan Usaha Milik Negara atau
petugas khusus ditunjuk negara yang berada di luar struktur birokrasi
pemerintah. Delegasi wewenang dari pemerintah pusat kepada Badan atau petugas
hanya dilakukan untuk tugas atau pekerjaan tertentu. Pemerintah pusat yang
menetapkan tujuan proyek dan mentransfer sumber keuangan yang tersedia sesuai
kesepakatan yang telah dibuat bersama. Pihak yang menerima wewenang bertindak
sebagai agen yang memiliki otonomi yang cukup dalam melaksanakan tugasnya.
·
Privatisasi
dan partnership. Privatisasi dan partnership yang dimaksud
adalah transfer tanggung jawab publik kepada organisasi volunter atau perusahaan
swasta. Tujuan privatisasi adalah memobilisasi kapasitas dan inisiatif
organisasi masyarakat sipil yang bekerja bagi perkembangan sosial dan pembangunan
ekonomi. Sumber keuangan ditransfer kepada organisasi atau perusahaan
berdasarkan program kerja yang telah ditetapkan. Pemerintah biasanya tidak
campur tangan dalam perencanaan dan anggaran, namun meminta pertanggungan-jawaban
penggunaan dana setelah program selesai.
Dari keempat bentuk
desentralisasi tersebut, dekonsentrasi kurang memberi ruang bagi transfer
kekuasaan kepada masyarakat lokal. Sama halnya dengan delegasi juga kurang
memberi peluang bagi transfer kekuasaan, walaupun lembaga yang mendapat
delegasi melibatkan masyarakat lokal dalam pembuatan keputusan. Devolusi dan
privatisasi atau partnership yang paling memberi kesempatan bagi kepemerintahan
lokal berdasarkan partisipasi masyarakat luas. Keterlibatan masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan merupakan prakondisi penting bagi keberhasilan
penghapusan kemiskinan dari sisi efisiensi dan kesetaraan. Salah satu alasan
adalah pelayanan terhadap masyarakat lokal dapat disesuaikan dengan keinginan
masyarakat setempat.
Sejak tahun 2001, memasuki
era Otda, Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki kewenangan yang cukup besar dalam
menentukan arah membangun daerahnya. Ruh desentralisasi sangat kental
pembangunan di daerah, tidak lagi semata-mata ditentukan oleh Pusat. UU Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (lalu disempurnakan menjadi UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) dan UU Nomor 25 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah memberi warna kepada pengembangan
pembangunan ekonomi daerah. Selain telah menampung tuntutan akan meningkatnya
tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah, kehadiran kedua undang-undang
tersebut juga secara tegas dan jelas telah mengatur bahwa kewenangan pemerintah
di tingkat lokal akan bertambah dan mencakup kewenangan pada hampir seluruh
bidang pemerintahan.
Selain itu, hal yang sangat
mendasar yang tersirat di dalam undang-undang tersebut adalah upaya
pemberdayaan masyarakat, upaya menumbuhkan prakarsa dan kreativitas,
peningkatan peran serta masyarakat secara aktif, dan peningkatan peran dan
fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada setiap jenis pemerintahan
dari desa sampai dengan provinsi. Dengan demikian otonomi daerah sebagaimana
dirumuskan dalam UU No. 22 Tahun 1999 secara eksplisit merupakan kewenangan
hakiki yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola
berbagai urusan penyelenggaraan pemerintahan di daerah bagi kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat di daerah di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Terlebih dengan penguatan UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah betul-betul
memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang - undangan.
B. Komitmen Kepala Daerah dalam Pengentasan
Kemiskinan
Spirit otonomi daerah yang
kemudian dikokohkan melalui Deklarasi Yogyakarta pada bulan Maret 2003, dapat
dikatakan menjadi komitmen kuat kepala daerah untuk membangun daerah
masing-masing, terutama dalam upaya pengentasan kemiskinan. Pada puncak krisis
ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari
jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2002 angka tersebut sudah
turun menjadi 18%, dan diharapkan menjadi 14% pada tahun 2004.
Upaya penanggulangan
kemiskinan yang paling strategis di era otonomi daerah dapat dirumuskan dalam
satu kalimat yaitu “berikan peluang kepada keluarga miskin dan komunitasnya
untuk mengatasi masalah mereka secara mandiri”. Ini berarti pihak luar harus
mereposisi peran mereka, dari agen pemberdayaan menjadi fasilitator
pemberdayaan. Input yang berasal dari luar yang masuk dalam proses pemberdayaan
harus mengacu sepenuhnya pada kebutuhan dan desain aksi yang dibuat oleh
keluarga miskin itu sendiri bersama komunitasnya melalui proses dialog yang
produktif agar sesuai dengan konteks setempat.
Sejauh mana kepala daerah
bersama segenap jajarannya berkomitmen mengentaskan kemiskinan yang bertumpu
pada pemberian peluang pada keluarga miskin dan komunitasnya untuk mandiri? Komitmen
dan kerja keras yang berorientasi kepada pengentasan kemiskinan harus menjadi
tekad dari pemerintah --baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tak
terkecuali, kepala daerah yang aktif, kreatif dan berinisiatif dalam memantik
kemandirian kelompok miskin yang ada di wilayahnya
Hiruk-pikuk pelaksanaan
pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat di berbagai daerah sebagai
tindak lanjut pelaksanaan otonomi daerah disambut antusias rakyat Indonesia.
Mereka berharap melalui pemilihan secara langsung, rakyat dapat memunculkan
sosok kepala daerah yang mampu mewujudkan cita-cita proklamasi --yaitu memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa secara nyata. Lalu apa
sebenarnya relasi proses pemilihan langsung kepala daerah di era otonomi ini
dengan upaya pengentasan kemiskinan?
Tujuan otonomi daerah adalah
agar pemerintah daerah dapat berfungsi sebagai instrumen untuk menciptakan
kesejahteraan dan mendukung proses demokratisasi di tingkat lokal. Melalui
otonomi daerah, pemerintah daerah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
berperan lebih kongkrit dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bagaimana kita dapat
melihat dan mengevaluasi sejauh mana pemerintah daerah telah melakukan upaya
serius dalam menciptakan kesejahteraan atau mengentaskan kemiskinan?
Berdasarkan Human Development Index
(Indeks Pembangunan Manusia), indikator kesejahteraan dapat dilihat dari tiga
aspek penting, yaitu meningkatnya kualitas pendidikan, derajat kesehatan dan
daya beli masyarakat. Sederhananya bahwa keberadaan pemerintah (daerah) itu
untuk membuat rakyat cerdas, badannya sehat dan dompetnya berisi. Inilah komitmen
yang harus dibangun oleh kepala daerah bersama DPRD sehingga mereka tidak hanya
sibuk berlomba untuk mencerdaskan, menyehatkan dan mengisi dompetnya
sendiri-sendiri.
Tiga indikator itulah yang
bisa kita jadikan parameter untuk mengevaluasi berjalannya fungsi pemerintahan
terutama di tingkat daerah. Sebuah kebijakan harus berorientasi untuk
memperkokoh penguatan tiga indikator tersebut. Contoh kebijakan yang tidak
berorientasi kepada penguatan tiga hal tersebut adalah kebijakan pemerintah
pusat untuk menaikkan harga BBM sehingga berakibat menurunnya daya beli
masyarakat dan gairah dunia usaha. Kebijakan seperti ini jelas tidak
berorientasi mengurangi kemiskinan.
Bagaimana dengan pemerintah
daerah? Apakah kepala daerah memiliki tekad yang kuat untuk mensejahterakan
rakyat atau mereka sekadar menjalankan tradisi birokrasi, kita bisa melihatnya
berdasarkan tiga indikator tersebut.
Sebagai pemegang kekuasaan
penuh di daerah, kepala daerah berhak
melakukan perombakan dan perubahan tradisi birokrasi yang kadang menjadi
ritualisme sehingga menghambat upaya mewujudkan kesejahterakan rakyat. Sebab
itu diperlukan Kepala daerah yang memiliki komitmen dan keberanian yang memadai
untuk melakukan perubahan agar kesejahteraan rakyat itu tidak hanya menjadi
sebuah cita-cita.
Komitmen dan keberanian
seorang kepala daerah dalam melakukan perubahan mewujudkan kesejahteraan masih
jarang kita temui, hanya 7 – 10 Kota/Kabupaten dari sekitar 450 Kota/Kabupaten
di seluruh Indonesia yang secara nyata menunjukkan hal tersebut. Satu di antaranya
adalah Kabupaten Padang Pariaman, terutama di masa kepeimpinan Bupati Muslim
Kasim.
Di masa pemerintahan
Kabupaten Padang Pariaman dipimpin Muslim Kasim (2000-2005 dan 2005-2010),
Pemkab menerapkan strategi penanggulangan kemiskinan berbasis nagari. Pemkab
membina institusi sosial ekonomi lokal seperti:
·
Revitalisasi peran “Tali Tigo Sapilin, Tungku Tigo Sajarangan”. Hasil akhir dari
revitalisasi peran ini adalah dimilikinya kemampuan oleh seluruh komponen yang
eksis pada institusi tersebut sebagai pelopor dalam proses penguatan basis
ekonomi rumah tangga miskin.
·
Revitalisasi peran Bunda Kandung (perempuan) dalam pembangunan nagari melalui
pembentukan kelompok-kelompok usaha ekonomi produktif.
·
Revitalisasi peran Karang Taruna pada tingkat
nagari. Melalui revitalisasi ini diharapkan institusi tersebut mampu berperan
strategis dalam membina dan mengembangkan basis ekonomi rumah tangga miskin.
Dalam konteks penanggulangan
dan pengentasan kemiskinan berbasis nagari di Kabupaten Padang Pariaman, di
bawah kepemimpinan Bupati Muslim Kasim,
Pemkab mengusung visi dengan capaian, “Berkurangnya jumlah KK miskin sebesar 50
persen pada tahun 2010.”
Lalu visi itu diejawantahkan
ke dalam misi penanggulangan kemiskinan:
·
Meningkatkan kemampuan dasar masyarakat
miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui perbaikan kesehatan dan
pendidikan.
·
Meningkatkan pendapatan masyarakat miskin
melalui peningkatan kesempatan kerja dan berusaha dengan meningkatkan
permodalan, pelatihan dan pendampingan.
·
Mengurangi pengeluaran kelompok masyarakat
miskin melalui peningkatan pelayanan bagi pemenuhan kebutuhan dasar, seperti
pangan, kesehatan, pendidikan dan pemukiman.
·
Membangun sistem perlindungan sosial bagi
masyarakat miskin, khususnya masyarakat miskin yang terkena bencana, dampak
negatif dari krisis ekonomi dan konflik sosial.
·
Mendorong terciptanya kerja sama antara
masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya memberdayakan masyarakat.
Misi-misi tersebut kemudian
diperkuat dengan empat strategi penanggulangan dan pengentasan kemiskinan:
·
Perluasan
kesempatan bekerja dan berusaha. Menciptakan kondisi dan
lingkungan ekonomi politik dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin
memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan
peningkatan taraf hidup secara berkesinambungan.
·
Pemberdayaan
masyarakat. Memperkuat kelembagaan sosial politik,
ekonomi dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin (laki-laki dan
perempuan) dalam pengambilan keputusan kebijakan publik (menyalurkan aspirasi,
mengidentifikasi masalah dan kebutuhan sendiri).
·
Peningkatan
kapasitas sumber daya manusia. Peningkatan kemampuan
masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui langkah perbaikan
kesehatan dan pendidikan, keterampilan berusaha, permodalan/prasarana,
teknologi dan informasi pasar.
·
Perlindungan
sosial. Memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat
miskin (perempuan, kepala rumah tangga fakir miskin/orang jompo, anak-anak
terlantar, penyandang cacat, serta masyarakat yang terkena dampak krisis
ekonomi dan bencana alam).
Visi, misi dan strategi
tersebut lantas diimplementasikan ke dalam langkah-langkah nyata:
·
Bidang kesehatan, digulirkan dana bantuan
kepada 33 KK. Jumlah bantuan sebanyak Rp23,25 juta dialokasikan dari APBN
(2005) dan Rp2,25 juta dari APBD (2005).
·
Bidang pertanian, digulirkan dana bantuan
kepada 3.820 KK. Jumlah bantuan sebanyak Rp350 juta dialokasikan dari APBN
(2005) dan Rp135 juta dari APBN (2006). Selain itu juga dikucurkan dana Rp365
juta yang dialokasikan dari APBD (2005) serta Rp730 juta dan Rp110 juta dari APBD
(2006).
·
Bidang sosial, digulirkan bantuan pada 420
KK. Jumlah bantuan sebanyak Rp640 juta dari APBN (2005) dan Rp110 juta dari
APBN (2006). Selain itu dikucurkan pula dana
Rp1,171 miliar yang dialokasikan dari APBD (2005) serta Rp1,912 miliar dari
APBD (2006).
·
Bidang peternakan, digulirkan dana bantuan
kepada 3.715 KK. Jumlah bantuan sebanyak Rp102 juta dialokasikan dari APBD
(2005) dan Rp215 juta dari APBD (2006).
·
Bidang koperasi, digulirkan dana bantuan
kepada 30 KK. Jumlah bantuan sebanyak Rp45 juta yang dialokasikan dari APBD
(2006).
·
Bidang perikanan, digulirkan dana bantuan
kepada 140 KK. Jumlah bantuan sebanyak Rp90 juta yang dialokasikan dari APBD
(2005) dan Rp85 juta dari APBD (2006).
Selanjutnya pada 2008,
melalui alokasi APBD, Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman kembali menggulirkan
serangkan program dan kegiatan penanggulangan dan pengentasan kemiskinan,
meliputi: (1). Pembinaan kelompok KK miskin pengguna TTG dengan alokasi
anggaran Rp20 juta dengan target 20 kecamatan dan terealisasi 20 kecamatan;
(2). Pelatihan keterampilan bagi KK miskin dengan alokasi anggaran Rp35 juta
dengan target 16 nagari dan terealisasi 16 nagari; (3). Operasionalisasi TKPK Kabupaten
dalam mengkoordinasikan PPK Kecamatan dengan alokasi anggaran Rp28,225 juta
dengan target 16 kecamatan dan terealisasi 16 kecamatan; (4). Operasionalisasi
TKPK Kecamatan dan nagari serta P2KL, dengan alokasi anggaran Rp560,5 juta
dengan target 46 nagari dan terealisasi 46 nagari; (5). Pembinaan dan evaluasi
kelompok UEM-SP KKM, dengan alokasi anggaran Rp59,1 juta dengan target 16
nagari dan terealisasi 16 nagari; (6). PAP kegiatan PNPM, dengan alokasi
anggaran Rp1,392 miliar dengan target 16 kecamatan dan terealisasi 16
kecamatan; serta (7). Pembinaan Latsitardanus dengan alokasi anggaran Rp249
juta dengan target 250 orang dan terealisasi 250 orang.
Selain itu, juga dikucurkan
dana yang bersumber dari APBD Sumatera Barat. Pada tahun anggaran 2007, dana
ini dialokasikan khusus untuk bantuan Kredit Mikro Nagari pada 14 kecamatan dan
16 nagari yang ada di wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Jumlah dana Kredit
Mikro Nagari yang dikucurkan sebanyak Rp3,36 miliar. Sedangkan pada 2008, dana
Kredit Mikro Nagari yang dikucurkan mencapai Rp2,94 miliar.
Dengan bekal komitmen dan
konsistensi kebijakan yang tinggi dari top
management Pemkab Padang Pariaman dan segenap aparaturnya serta pengawasan
yang ketat terhadap pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan di
lapangan, maka sejumlah kebijakan, program dan aksi serta kucuran dana bergulir
yang dialokasikan dari APBN, APBD provinsi dan APBD kabupaten, ternyata membawa
manfaat yang cukup berarti bagi warga miskin. Secara bertahap, jumlah warga
miskin (angka kemiskinan) menurun relatif signifikan. Bila pada 2005 jumlah KK
miskin yang tersebar di 17 kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman masih
tercatat sebanyak 24.683 KK (BPS 2005), maka dua tahun berselang berkurang
cukup berarti menjadi 14.885 KK (BPS 2007). Bahkan, jumlah KK miskin semakin menurun
jika mengacu pada data yang dikeluarkan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat
(BPM) Kabupaten Padang Pariaman, yang mencatat KK miskin sebanyak 14.221 KK
(2007). Barangkali, selisih perbedaan angka pada kedua lembaga ini muncul
lantaran memang secara berkala, minimal tiap semester, BPM Kabupaten Padang
Pariaman terus memantau dan melalui survai langsung ke lapangan. Sementara
Badan Pusat Statistik (BPS) juga melakukan survai dan pendapataan statistik,
namun pada umumnya dilakukan sekali dalam setahun.
Kendati berbeda angka dan
jumlah KK miskin versi BPM dengan versi BPS, yang terpenting dicatat, semenjak
2005 sampai 2007, wlayah hinterland
Kota Padang ini terbukti mampu menurunkan angka kemiskinan cukup signifikan,
dari 24.683 KK (BPS, 2005) turun menjadi 14.885 KK (BPS, 2007) atau 14.221 KK
miskin versi BPM Kabupaten Padang Pariaman (2007). Sungguh ini suatu
keberhasilan yang cukup membanggakan, sekaligus membuat optimis bahwa kebijakan
pengentasan kemiskinan berbasis nagari yang dicanangkan secara simbolis oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2006 silam telah berada pada trek yang
benar (on the right track).
Hal ini tidak dapat
dilepaskan dari kerja keras, kekompakan dan fokus Bupati Muslim Kasim bersama
segenap jajaran birokrasi serta stakeholders
yang ada di wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Sayangnya, hasil positif
pengentasan kemiskinan itu kembali hancur berantakan tatkala gempa dahsyat
melanda wilayah Sumatera Barat, terutama Kota Padang dan Kabupaten Padang
Pariaman, pada tahun 2010. Bupati Padang Pariaman 2010-2015 Ali Mughni harus
memulai dari nol untuk membangun puing-puing kehancuran Kabupaten Padang
Pariaman.
Sekadar bercermin, kekuatan
tekad dan kerja keras juga tampak di Kabupaten Jembrana, Bali. Jembrana adalah
kabupaten paling miskin di Provinsi Bali, namun kepala daerahnya memiliki
komitmen dan keberanian mensejahterakan rakyatnya sehingga langkah-langkah yang
diambil lebih fokus dan kongkrit.
Dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyat, langkah kongkrit yang diambil oleh Bupati Jembrana adalah:
*
Peningkatan
kualitas pendidikan dengan menggratiskan biaya pendidikan dari SD sampai SMA
yang bertujuan agar tidak ada alasan bagi rakyat Jembrana tidak menyekolahkan
anaknya --minimal sampai dengan SMA-- karena alasan biaya.
*
Menggratiskan biaya kesehatan bagi masyarakat
melalui JKJ (Jaminan Kesehatan Jembrana).
* Meningkatkan
perekonomian rakyat melalui dana bergulir bagi usaha perekonomian rakyat yang
mencapai Rp20 miliar dan dana talangan bagi para petani. Usaha peningkatan
ekonomi juga dilakukan oleh Pemkab Jembrana dengan membuat air kemasan (merk Megumi) yang disuling dari air laut dan
menjadi konsumsi di kantor-kantor pemerintahan.
Untuk mewujudkan
langkah-langkah tersebut Bupati Jembrana melakukan prinsip efisiensi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dengan melakukan perampingan struktur birokrasi
dari 21 lembaga pemerintahan menjadi 11 lembaga (7 Dinas, 2 badan dan 2
kantor). Langkah efisiensi dilakukan pula dengan meniadakan mobil Dinas. Semua
keperluan Dinas yang berhubungan dengan operasional di lapangan disewakan mobil
dari rent car, sehingga Pemkab
Jembrana tidak diributkan anggaran
membeli mobil dinas dan biaya perawatannya. Untuk menghindari mark up (penggelembungan harga) pada
proyek-proyek pemerintah yang cenderung dikorup, dibentuk tim independen dari
Universitas Udayana (yang tidak melibatkan orang Dinas). Dengan begitu, proyek
pembangunan yang biasanya dianggarkan untuk membuat sebuah jembatan, bisa
dipakai untuk membuat dua buah jembatan dengan kualitas yang sama.
Langkah-langkah berani
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Bupati Jembrana masih sulit dilakukan
oleh para kepala daerah di daerah-daerah yang lain. Misalnya tentang
perampingan organisasi perangkat daerah, di beberapa daerah masih
mempertahankan struktur organisasi perangkat daerah yang gemuk. Bahkan ada
sebuah pemerintahan kota yang tidak punya lahan pertanian dan perkebunan namun
ada Dinas Pertanian dan Perkebunan, ada sebuah kantor yang dipertahankan
keberadaannya meskipun fungsinya tidak jelas sekadar untuk menampung seseorang
yang menjadi pendukung pada saat pilkada. Model pengelolaan pemerintah daerah
yang demikian hanyalah menjalankan tradisi birokrasi pemerintahan sehingga
sulit mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya meskipun daerahnya tergolong
daerah yang kaya. Padahal telah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003
tentang organisasi perangkat daerah yang menekankan agar organisasi perangkat
daerah berprinsip hemat srtruktur kaya fungsi. Latar belakang PP No. 8 Tahun
2003 dimaksudkan untuk memfasilitasi penyelenggaraan otonomi daerah sehingga
daerah dapat lebih meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.
C. Peran Birokrasi Pemerintah Daerah dalam
Pengentasan Kemiskinan
Birokrasi kadang menjadi
penghambat bagi jalannya program-program pembangunan, termasuk upaya
pengentasan kemiskinan di berbagai daerah. Terlebih lagi, tatkala kepala daerah
dipilih secara langsung oleh rakyat, setiap kepala daerah ingin memiliki “penanda”
kepemimpinan dengan merombak birokrasi. Padahal, di tengah pergantian kepala
daerah setiap periode kepemimpinan, birokrasi seharusnya dapat menjadi
penghubung transformasi pemerintahan lama ke pemerintahan yang baru. Karena,
mereka memiliki sistem dan regulasi yang ajek. Sebab itu kualitas pelayanan
publik idealnya semakin baik dari waktu ke waktu.
Namun kecenderungan hasil
penelitian Indonesia Governance Index
(IGI) di 33 Provinsi justru menunjukkan kenyataan sebaliknya, pergantian kepala
daerah kerapkali berpengaruh besar dan, bahkan pada beberapa kasus, sangat
besar terhadap birokrasi dan kualitas pelayanan publik.
Hasil penelitian IGI tahun 2008 dan 2012 menunjukkan adanya gelagat
tersebut, misalnya Provinsi Bengkulu yang mengalami penurunan ranking dari
peringkat 17 ke 31, Sumatera Barat turun drastis dari peringkat 3 ke 20, dan Gorontalo
dari 8 ke 23. Sebaliknya ada provinsi-provinsi yang peringkatnya naik, misalkan
Jambi dari peringkat 22 naik ke 4, Sumatera Utara dari peringkat 33 naik ke peringkat
13.
Gubernur Bengkulu saat ini
terjerat kasus korupsi, sementara Gubernur Sumatera Barat periode sekarang
belum mampu menyamai prestasi Gamawan Fauzi, pun dengan Gorontalo di era kepemimpinan
Fadel Muhammad yang tercatat telah melakukan banyak inovasi, sedangkan Gubernur
kali ini relatif biasa-biasa saja. Provinsi yang mengalami peningkatan
peringkat juga sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor Gubernur. Provinsi Jambi
tercatat telah melakukan beberapa inovasi program pro-rakyat dan melakukan
reformasi birokrasi, sedangkan di Sumatera Utara, Gubernur periode sebelumnya
terlibat kasus korupsi.
Kunci dari terjadinya
perubahan di Provinsi (termasuk daerah kabupaten/kota) terletak pada bagaimana
pemerintah daerah menata-kelola daerahnya.Salah satu contoh peringkat yang
kontras di IGI adalah Jambi dan Bengkulu, meskipun letak mereka berdekatan. Kendati
Indeks Pembangunan Manusia tahun 2011 Jambi dan Bengkulu hampir sama (72.74 dan
72.92) dan tingkat pertumbuhan ekonomi berada di level (5.88% dan 4.77%), namun
cara kedua provinsi ini menata-kelola daerahnya jauh berbeda.
Sekadar contoh, biaya overhead aparatur birokrasi terhadap
belanja program di Jambi hanya 42%, sedangkan Bengkulu 92%. Biaya birokrasi
Bengkulu jauh lebih boros dibandingkan dengan Jambi. Begitu pun dengan biaya
operasional DPRD di Bengkulu yang menghabiskan dana 6% dari total APBD
Provinsi, bandingkan dengan Jambi yang hanya 2% dari total APBD. Komitmen kedua
provinsi di bidang investasi, kesetaraan jender, dan lingkungan juga berbeda
jauh.
Terlebih lagi kualitas
pelayanan publik yang tercermin dalam komitmen anggaran dan keberadaan unit
layanan pengaduan. Di bidang pengentasan kemiskinan, Jambi mengalokasikan
Rp106.933/orang miskin dengan tingkat kemiskinan 8%, sedangkan Bengkulu
mengalokasikan Rp38.472/orang miskin dengan tingkat kemiskinan 17.5%.
Anggaran pendidikan juga
memprihatinkan, alokasi Jambi adalah Rp226.955/ siswa/tahun (Usia Wajib belajar
9 tahun), sedangkan Bengkulu hanya mengalokasikan Rp158.523. Melihat kenyataan
ini, dapat ditarik benang merah bahwa komitmen Bengkulu terhadap pelayanan
dasar lebih rendah dibanding Jambi. Jika dilihat lebih jauh, komitmen anggaran tersebut
adalah wewenang Gubernur dan DPRD, sedangkan birokrasi hanya mesin pelaksana
kebijakan yang telah dibuat. Karena itu, besar-kecil anggaran yang dialokasikan
oleh Provinsi sangatlah bergantung pada figur seorang Gubernur.
Selain kecenderungan faktor
Kepala Daerah, IGI 2012 juga membuktikan bahwa sedikitnya ada tiga faktor yang
menghambat pembangunan daerah, di antaranya: pertama,sukses-tidaknya pembangunan daerah sangat dipengaruhi oleh
kualitas perencanaan dan penganggaran. Ironisnya, proses yang seharusnya
melibatkan publik ini justru belum terbuka sepenuhnya. Partisipasi yang sering
digaungkan hanya bersifat formalitas, bukan konsultatif. Hasil uji akses
dokumen publik seperti APBD dan LKPJ di 33 provinsi pun sangat sulit sekali
didapatkan.
Ketika interaksi antara
birokrasi dan masyarakat terkunci, maka mustahil perubahan pelayanan publik
dapat terjadi, sebab tidak ada mekanisme untuk mengevaluasi dan saling
merespon. Sebagian besar provinsi tidak memiliki unit pengaduan publik guna
menampung masukan dan perbaikan layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan dan
pengentasan kemiskinan.
Kedua, belum
ada sinkronisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan
perencanaan tahunan. Dari analisa RPJMD dan LKPJ 33 provinsi di Indonesia,
hanya ada dua provinsi yang dapat ditelusuri kesesuaian perencanaan lima tahun
dan laporan tahunannya, yakni DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
Sebagian besar provinsi
tidak memiliki indikator tahunan yang dapat diukur dan transparan agar dapat
dimonitor bersama-sama. Idealnya RPJMD dilengkapi dengan target pencapaian yang
terukur, misalkan prosentase turunnya tingkat kemiskinan, kecilnya kesenjangan
pendapatan, sempitnya kesenjangan sekolah anak laki-laki dan perempuan, naiknya
tingkat penyerapan kerja, dan sebagainya.
Ketiga,
siklus anggaran yang suka molor, dari 33 daerah hanya satu provinsi yang
mengesahkan Perda APBD di bulan Oktober 2010 yaitu Sumatra Utara, sebagian
besar di bulan Desember 2010 dan paling lambat adalah bulan April 2011. Dengan
kondisi ini, anggaran setahun hanya digunakan dalam waktu 3-4 bulan efektif.
Pertanyaannya kemudian, dapatkah pelaksanaan pembangunan dilakukan secara
maksimal, dan dana mampu terserap secara optimal?
Diperlukan kelegowoan
seorang kepala daerah untuk meneruskan program prioritas kepala daerah
sebelumnya dalam menjalankan roda pembangunan. Seperti yang dilakukan oleh
Gubernur DKI, program seperti MRT, normalisasi waduk Pluit, monorail adalah
program-program yang sejatinya sudah diagendakan oleh Gubernur sebelumnya.
Selain itu, diperlukan tolok
ukur yang sama dalam mengukur perkembangan bukan hanya dari sisi pemerintah
namun juga dari sisi masyarakat. Sudah waktunya masyarakat memiliki basis data
dan penelitian yang bisa menjadi rujukan bagi semua pihak sehingga perbaikan
lebih terfokus dan dapat dimonitor. Akhirnya, kuncinya adalah dengan
meningkatkan interaksi dan keran partisipasi serta transparansi pembangunan
dengan menggunakan rujukan data dan tolok ukur yang sama, niscaya pergantian
kepala daerah membawa keberuntungan karena membawa warisan birokrasi pelayanan
publik yang responsif bukan menganulir pembangunan sebelumnya. Dengan cara ini,
Indonesia seyogianya dapat menikmati buah manis dari proses demokratisasi yang
katanya dapat membawa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
D. Efektivitas Pengentasan Kemiskinan di
Era Otonomi Daerah
Sebelum era Ototnomi Daerah,
berbagai upaya pengentasan kemiskinan telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Di
antaranya menggulirkan kebijakan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada
tahun 1993. Sayangnya, upaya ini menjadi sia-sia setelah negeri ini diterpa
krisis moneter pada tahun 1997 yang berlanjut pada krisis ekonomi, sosial dan
politik, yang mencapai klimaksnya pada 1998 dengan keruntuhan rezim Orde Baru
dan digantikan Orde Reformasi yang pada 2001 mulai mendorong Otonomi Daerah.
Krisis multidimensi seakan
tidak akan berakhir. Imbasnya, jumlah warga masyarakat yang hidup di bawah
garis kemiskinan terus bertambah, banyak balita kekurangan gizi, dan semakin
banyak anak usia sekolah yang terpaksa drop
out lantaran tak cukup biaya. Berpijak pada kondisi ini, pemerintah pusat
dan pemerintah daerah berupaya memformulasikan berbagai program kebijakan guna
mengerem laju tingkat kemiskinan. Antara lain program PDM-DKE, program
kompensasi subsidi BBM, program Kartu Sehat, program Raskin (Beras Miskin),
program P2D, dan beberapa program serupa lainnya, yang semua itu merupakan
bentuk kepedulian pemerintah pada kaum miskin.
Agar berbagai program
penanggulangan kemiskinan tersebut lebih terkoordinasi, lalu Presiden
menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 jo Nomor 2 Tahun 2002 jo
Nomor 34 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK).
Fokus dan pendekatan utama yang telah diterapkan dalam rangka menanggulangi
kemiskinan adalah: mengurangi beban biaya dan meningkatkan pendapatan penduduk
miskin.
Upaya tersebut ditempuh
melalui empat langkah kebijakan sebagai berikut:
·
Perluasan
kesempatan kerja, pemerintah dan sektor swasta bersama
masyarakat menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha bagi warga masyarakat
miskin.
·
Pemberdayaan
masyarakat, yakni pemerintah, sektor swasta dan
masyarakat memberdayakan masyarakat miskin agar memperoleh kembali hak-hak
ekonomi sosial dan politiknya, mengontrol keputusan yang menyangkut
kepentingannya, menyalurkan aspirasi, mengidentifikasi masyalah dan
kebutuhannya sendiri.
·
Peningkatan
kemampuan, yakni pemerintah, sektor swasta dan
masyarakat, dengan meningkatkan kapasitas dan kemampuan masyarakat miskin agar
mampu bekerja dan berusaha secara lebih produktif dan memperjuangkan
kepentingannya.
·
Perlindungan
sosial, yakni, melalui kebijakan publik, pemerintah mengajak
sektor swasta dan masyarakat memberikan perlindungan dan rasa aman bagi warga
masyarakat miskin.
Sebagai follow up kebijakan Pemerintah Pusat tersebut, Bupati Padang
Pariaman (2000-2005) Muslim Kasim membentuk Komite Penanggulan Kemiskinan (KPK)
di wilayahnya dan menuangkannya dalam Keputusan Bupati Padang Pariaman
Nomor 85/KEP/BPP/2003 yang kemudian
diperbarui dengan Keputusan Bupati Padang Pariaman Nomor 08 KEP/BPP-2004
tanggal 6 April 2004. Pembentukan KPK ini bertujuan untuk mengkoordinasikan
berbagai kegiatan atau program penanggulangan kemiskinan oleh dinas atau
instansi terkait. Sasarannya adalah terciptanya keterpaduan program dalam
rangka mendapatkan hasil yang optimal dan bermanfaat bagi pengentasan
kemiskinan di wilayah Kabupaten Padang Pariaman.
Secara umum, Komite
Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Padang Pariaman bertugas melakukan
sinkorinisasi kebijakan nasional dengan perumusan Program Penanggulangan
Kemiskinan Daerah, dalam satu pola atau acuan, dengan menciptakan kebijakan
strategi jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Dalam beberapa kali
pertemuan dan rapat-rapat Komite Penanggulangan Kemiskinan telah disepakati untuk
merumuskan dan menetapkan strategi penanggulangan kemiskinan. Penyusunan
strategi penanggulangan kemiskinan Kabupaten Padang Pariaman mengacu pada strategi
penanggulangan kemiskinan nasional, dan mengakomodasi Renstra Pembangunan
Kabupaten Padang Pariaman (2005-2010), serta Program Prioritas Pembangunan
Kabupaten Padang Pariaman lainnya.
Tujuan dan strategi
penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Padang Parimanan, secara umum, adalah untuk
memberikan arahan dan panduan terhadap program-program strategis dalam konteks
penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh masing-masing dinas teknis
atau sektor, baik program jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.
Sedangkan sasarannya adalah membuat
sinkronisasi kebijakan makro strategis (Rencana Strategis Pembangunan Kabupaten
Padang Pariaman), kebijakan makro operasional (Program Prioritas Pembangunan
Kabupaten Padang Pariaman) dengan mikro operasional (berupa proyek/kegiatan),
menetapkan kelompok sasaran (target area)
penanggulangan kemiskinan dan sinkronisasi kebijakan dengan anggaran biaya yang
diperlukan dan implementasinya dalam APBD Kabupaten Padang Pariaman.
Penyusunan Strategi
Pembangunan Kabupaten Padang Pariaman ini melibatkan secara penuh partisipasi
seluruh unsur Komite Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Padang Pariaman dan
membentuk suatu tim perumus yang beranggota unsur Bappeda; BPM Statistik;
BKKBN; Dinas Kesehatan; Dinas Pendidikan, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan
Koperasi; Dinas Peternakan; Dinas Pekerjaan
Umum dan Transmigrasi; Dinas Kelautan dan Perikanan; Dinas Pertanian, dan
Bagian Hukum.
Di tahun 2004, Pemerintah
Kabupaten Padang Pariaman –untuk pembangunan wilayah pedesaan— langsung mulai
menggulirkan program kongkrit pemberdayaan masyarakat sekaligus pengentasan
kemiskinan di wilayahnya. Berbagai program yang dilakukan meliputi: program
pendampingan masyarakat terpadu; program peningkatan kualitas SDM aparatur
pedesaan; dan program pertanian rakyat terpadu. Kemudian ada lagi program
pemberdayaan di bidang peternakan; program pemberdayaan di bidang perikanan dan
kelautan; program pemberdayaan di bidang pendidikan; dan program pemberdayaan
di bidang kesehatan.
Kemudian ada pula revitalisasi
program pemberdayaan masyarakat miskin di semua bidang kehidupan. Di antaranya
pembebasan SPP mulai dari tingkat SD sampai SMA, pemberian fasilitas kesehatan
gratis bagi warga miskin dan tidak mampu. Ditambah lagi program teknologi masuk
desa; program sarjana masuk desa; program pemeliharaan prasarana pedesaan; program
dakwah pedesaan; dan program pembinaan kelembagaan sosial pedesaan.
Apa yang dilakukan oleh
Bupati Muslim Kasih cukup efektif mengurangi angka kemiskinan di Kabupaten
Padang Pariaman. Parameternya: pertumbuhan ekonomi Kabupaten Padang Pariaman
relatif bagus meski masih di bawah angka provinsi namun masih di atas angka
nasional. Begitu pula dalam pengurangan kemiskinan, penurunannya masih di bawah
angka provinsi tapi masih sedikit di atas skala nasional.
Di era Otda, penanggulangan
kemiskinan relatif lebih efektif dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Terlebih
lagi ada dukungan komitmen internasional (Bank Dunia dan lembaga donor lainnya)
melalui pencanangan Millenium Development
Goals (MDGs) pada 2003. Sebuah komitmen politik yang harus tercapai dalam
rangka perdamaian global. Langkah-langkah dan program-program yang ditempuh
oleh Bupati Muslim Kasim dapat dikatakan selaras dengan beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui
program MDGs seperti:
·
Menghapus kemiskinan ekstrim atau kronis.
·
Memberikan pendidikan dasar bagi semua anak.
·
Menjamin hak dan kesempatan yang sama bagi
perempuan.
·
Mengurangi tingkat kematian bayi.
·
Mengurangi tingkat kematian ibu melahirkan.
·
Menghambat penyebaran penyakit menular HIV/Aids.
·
Menjamin pelestarian lingkungan.
·
Membangun kerjasama pembangunan secara global
Lembaga internasional sudah
mempunyai komitmen agar program MDGs ini sudah terlihat hasilnya pada tahun
2015. Masalah kemiskinan ekstrim sudah harus berakhir pada tahun 2025. Hal ini
berarti sebelum 2025 banyak negara sudah keluar dari jebakan kemiskinan. Dalam
rangka keberhasilan program ini perlu ada komitmen keuangan dari negara maju
membantu lembaga-lembaga donor internasional (Sachs 2005).
Di negara mana pun upaya
menghapus kemiskinan tidak mungkin dilepaskan pada sektor swasta meski tetap merupakan
tugas utama pemerintah. Namun pemerintah perlu menyadari bahwa pembangunan
ekonomi regional merupakan suatu proses jangka panjang dan bukan untuk jangka
pendek (The NGO Committe for Social
Development 2003). Sebab itu, ketika pemerintah daerah membuat rencana
pembangunan regional, yang perlu diperhatikan adalah dimensi keberlangsungan.
Untuk itu pemerintah perlu menyadari beberapa hal berikut:
·
Perlu pemahaman pemerintah bahwa proyek
pembangunan selalu untuk jangka panjang;
·
Konsekuensinya perlu ada tanggung jawab
jangka panjang untuk manajemen dan pengawasan;
·
Pemerintah harus menyediakan infrastruktur
dan teknologi dasar;
·
Menjamin stabilitas sosial dengan menciptakan
stabilitas politik sehingga tidak terjadi perang dan konflik sosial.
Pengentasan kemiskinan tidak mungkin terjadi di daerah yang tidak aman dan
penuh konflik;
·
Mengintegrasi pelayanan sosial dengan
struktur ekonomi;
·
Menghapus korupsi; dan
·
Melakukan streamline
struktur birokrasi.
Tentu tujuh poin tersebut
merupakan syarat penting yang perlu diperhatikan pemerintah daerah dalam
menghapus kemiskinan. Salah satu poin penting adalah kestabilan sosial dan
politik. Program pengentasan kemiskinan tidak mungkin berjalan di wilayah
konflik.
Poin ke 6 sangat krusial
untuk seluruh negara berkembang. Korupsi di daerah akan menghambat proses
pengentasan kemiskinan. Dalam kasus tertentu penguasa sendiri dapat menjadi
penyebab kemiskinan. Penguasa lokal sering mengeksploitir masyarakatnya dalam
bentuk korupsi kecil-kecilan. Kaum penguasa daerah seolah-olah merasa mempunyai
keistimewaan menerima upeti dari masyarakat. Masyarakat sering diminta uang
untuk pelayanan yang seharusnya mereka terima secara cuma-cuma. Bagi kelompok
masyarakat kaya membayar pungutan liar mungkin tidak terlalu memberatkan namun
tidak demikian bagi masyarakat miskin. Pengeluaran untuk pungli terlalu
memberatkan bagi ekonomi rumah tangga (Bhagwandin, 1993).
Selain itu ada faktor lain
yang tidak kalah penting, yakni pelibatan masyarakat lokal dan pemberdayaan
perempuan. Pelibatan masyarakat lokal dapat dilakukan dalam hal rancangan
strategi pengentasan kemiskinan di wilayah bersangkutan. Khusus tentang
pemberdayaan perempuan tidak dapat diragukan lagi. Perempuan yang paling banyak
bersentuhan dengan kesejahteraan rumah tangga.
Dalam upaya menghapus
kemiskinan ada beberapa masalah yang sering dihadapi pemerintah di negara
berkembang, yaitu konsep, konten, koordinasi, korupsi, dan kontinyuitas (5K).
·
Masalah
konsep. Pemahaman konsep kemiskinan oleh pemerintah daerah
turut pula berpengaruh terhadap strategi pengentasan kemiskinan. Sering
pemerintah tidak bersungguh-sungguh ingin menghapus kemiskinan tapi dipakai
sebagai komoditas politik untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Misalkan
dalam hal kelangkaan pupuk, pemerintah membuat kebijakan pengadaan pupuk agar
partai yang berkuasa semakin populer dan mendapat suara banyak dalam pemilu.
·
Masalah
konten. Kelemahan pengentasan kemiskinan bisa disebabkan oleh
konten yang kurang. Contohnya, pengentasan kemiskinan sering bersifat topdown dan kurang melibatkan aspirasi
masyarakat bawah. Pemerintah daerah tidak mempunyai pengetahuan tentang kondisi
lokal sehingga upaya pengentasan kemiskinan lebih banyak mengandalkan buku-buku
teks umum yang tidak bersentuhan dengan realitas kemiskinan masyarakat
setempat.
·
Masalah
koordinasi. Masalah yang sering muncul di lapangan adalah terlalu
banyak lembaga yang terlibat dalam pengentasan kemiskinan. Kerapkali program
kerja satu lembaga tumpang tindih dengan lembaga lain atau justru bertentangan.
Hal semacam ini terjadi lantaran koordinasi antar-lembaga sangat lemah.
·
Masalah
korupsi. Banyak pengalaman menunjukkan program pengentasan
kemiskinan tidak berjalan dengan baik karena ada bagian dana yang hilang.
Korupsi menyebabkan pemberdayaan masyarakat miskin tidak mencapai tingkat
kualitas seperti yang diharapkan. Korupsi tidak selamanya dalam bentuk uang.
Bisa terjadi bahwa sasaran pemberdayaan yang seharusnya untuk orang miskin
ternyata dinikmati orang kaya di suatu wilayah karena kelompok ini mempunyai
pengaruh politik yang lebih kuat. Kita sering mendengar pemberian dana yang
seharusnya untuk masyarakat miskin diterima mereka yang mampu. Akibatnya masyarakat
miskin tetap bergelut dalam kemiskinan.
·
Masalah
kontinyuitas. Dalam hal pengentasan kemiskinan sering
terjadi pergantian rezim tidak mendukung kebijakan sebelumnya. Hal ini terjadi
karena ada kesombongan kekuasaan seorang kepala daerah tidak ingin hidup dalam
bayangan kepala daerah sebelumnya. Dalam kaitan dengan pengentasan kemiskinan setiap
program cuma bertahan terbatas pada masa kekuasaan seorang kepala daerah.
Kondisi seperti ini tidak menguntungkan masyarakat miskin karena program
pemberdayaan bisa berhenti setelah masa kekuasaan seorang pejabat berakhir.
Pada
prinsipnya langkah-langkah dan program pengentasan kemiskinan di Kabupaten
Padang Pariaman (mulai dari kepemimpinan Bupati Muslim Kasim sampai
penggantinya Bupati Ali Mughni) telah memperhatikan apa yang ingin dicapai MDGs
dan persoalan-persoalan 5K. Langkah dan program yang sekarang berlangsung
bukanlah sesuatu yang putus dari program yang telah dirintis oleh kepala daerah
sebelumnya. (*)
No comments:
Post a Comment