Pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (kanan), bersama Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi (dua kiri) saat melihat seorang anak yang terkena demam berdarah di di Puskesmas Tebet, Jakarta (10/6). Dalam kunjungan tersebut untuk memantau elancaran penanganan warga serta melihat perlengkapan alat pada setiap ruangan poli kesehatan. TEMPO/Dasril Roszandi
Pemerintah baru diharapkan memberi perhatian pada masalah kesehatan. Caranya: melakukan rekonstruksi sistem kesehatan nasional dan memasukkan hal ini dalam rencana pembangunan nasional.
Hal itu disampaikan dalam diskusi bertema “Menilai Agenda Pembangunan Kesehatan Capres dan Cawapres Tahun 2014-2019” yang dilaksanakan MerDesa Institute yang bekerja sama dengan Prisma Resources Center di Jakarta, Selasa, 24 Juni 2014.
Hadir dalam diskusi: Ikatan Dokter Indonesia (IDI),Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal.
“Kami merumuskan persoalan bidang kesehatan yang harus menjadi perhatian presiden terpilih nanti, karena masih banyak sekali yang harus dibenahi,” kata Asisten Deputi Urusan Sumber Daya Kesehatan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Hanibal Hamidi.
Sejumlah masalah di bidang kesehatan antara lain belum meratanya pelayanan. Tidak saja soal tenaga kesehatan, tapi juga peralatan kesehatan, yang menjadi modal dasar mengejar ketertinggalan Indonesia untuk mencapai target-target MDGs.
Jika dirumuskan, menurut Hanibal, hal yang krusial untuk melahirkan kebijakan revolusioner yakni merekonstruksi sistem kesehatan nasional yang mengintegrasikan sejumlah peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Hal kedua, kata dia, untuk menunjang masalah kesehatan nasional, harus ada dukungan infrastruktur antara lain ketersediaan sarana air bersih dan sanitasi. Ini menjadi kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum. Hal ketiga, masalah keterjangkauan bahan pangan yang terkait dengan kewenangan di Kementerian Pertanian.
“Jadi, memang kebijakan di bidang kesehatan terkait dengan kebijakan di instansi lainnya. Di sinilah perlu adanya koordinasi antarlembaga. Namun, agar sasaran program tepat guna, harus dipikirkan juga pihak mana yang bertanggung jawab, apakah Kementerian Kesehatan, Kesra, ataukah lembaga baru,” ujarnya.
Menurut dia, jika masalah kesehatan tidak ditangani secara serius, pada akhirnya akan berdampak bagi kualitas sumber daya manusia. Hanibal mengungkapkan salah satu program dan kebijakan yang digagas Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal adalah Kebijakan Perdesaan Sehat.
“Kebijakan Perdesaan Sehat merupakan pilihan pendekatan penajaman bagi upaya percepatan pembangunan kualitas kesehatan berbasis perdesaan di daerah tertinggal,” katanya. (Baca :1,6 Juta Warga Kalteng Belum Dapat Layanan BPJS )
Menurut dia, apabila seluruh desa mencapaii derajat kesehatan yang menjadi sasaran dan target pembangunan nasional, dapat dipastikan seluruh kabupaten dan kota, provinsi, dan nasional akan dapat mencapai sasaran dan target kinerja pembangunan kesehatan.
“Kebijakan ini sekaligus diharapkan akan menjadi pintu masuk untuk mewujudkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan berbasis perdesaan,” ujarnya.
Dalam pelaksanaan Pembangunan Perdesaan Sehat di 158 kabupaten daerah tertinggal, dibentuk tujuh Manajemen Wilayah Pembangunan Perdesaan Sehat di tujuh pulau besar. Manajemen Wilayah Pembangunan Perdesaan Sehat di tingkat provinsi dan kabupaten dikoordinasi oleh perguruan tinggi.
Program ini didukung oleh distribusi 200 sarjana kesehatan sebagai Relawan Pembangunan Perdesaan Sehat di 200 wilayah kerja dan puskesmas di 22 provinsi pada 84 kabupaten sasaran prioritas. (www.tempo.co)
Hal itu disampaikan dalam diskusi bertema “Menilai Agenda Pembangunan Kesehatan Capres dan Cawapres Tahun 2014-2019” yang dilaksanakan MerDesa Institute yang bekerja sama dengan Prisma Resources Center di Jakarta, Selasa, 24 Juni 2014.
Hadir dalam diskusi: Ikatan Dokter Indonesia (IDI),Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal.
“Kami merumuskan persoalan bidang kesehatan yang harus menjadi perhatian presiden terpilih nanti, karena masih banyak sekali yang harus dibenahi,” kata Asisten Deputi Urusan Sumber Daya Kesehatan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Hanibal Hamidi.
Sejumlah masalah di bidang kesehatan antara lain belum meratanya pelayanan. Tidak saja soal tenaga kesehatan, tapi juga peralatan kesehatan, yang menjadi modal dasar mengejar ketertinggalan Indonesia untuk mencapai target-target MDGs.
Jika dirumuskan, menurut Hanibal, hal yang krusial untuk melahirkan kebijakan revolusioner yakni merekonstruksi sistem kesehatan nasional yang mengintegrasikan sejumlah peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Hal kedua, kata dia, untuk menunjang masalah kesehatan nasional, harus ada dukungan infrastruktur antara lain ketersediaan sarana air bersih dan sanitasi. Ini menjadi kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum. Hal ketiga, masalah keterjangkauan bahan pangan yang terkait dengan kewenangan di Kementerian Pertanian.
“Jadi, memang kebijakan di bidang kesehatan terkait dengan kebijakan di instansi lainnya. Di sinilah perlu adanya koordinasi antarlembaga. Namun, agar sasaran program tepat guna, harus dipikirkan juga pihak mana yang bertanggung jawab, apakah Kementerian Kesehatan, Kesra, ataukah lembaga baru,” ujarnya.
Menurut dia, jika masalah kesehatan tidak ditangani secara serius, pada akhirnya akan berdampak bagi kualitas sumber daya manusia. Hanibal mengungkapkan salah satu program dan kebijakan yang digagas Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal adalah Kebijakan Perdesaan Sehat.
“Kebijakan Perdesaan Sehat merupakan pilihan pendekatan penajaman bagi upaya percepatan pembangunan kualitas kesehatan berbasis perdesaan di daerah tertinggal,” katanya. (Baca :1,6 Juta Warga Kalteng Belum Dapat Layanan BPJS )
Menurut dia, apabila seluruh desa mencapaii derajat kesehatan yang menjadi sasaran dan target pembangunan nasional, dapat dipastikan seluruh kabupaten dan kota, provinsi, dan nasional akan dapat mencapai sasaran dan target kinerja pembangunan kesehatan.
“Kebijakan ini sekaligus diharapkan akan menjadi pintu masuk untuk mewujudkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan berbasis perdesaan,” ujarnya.
Dalam pelaksanaan Pembangunan Perdesaan Sehat di 158 kabupaten daerah tertinggal, dibentuk tujuh Manajemen Wilayah Pembangunan Perdesaan Sehat di tujuh pulau besar. Manajemen Wilayah Pembangunan Perdesaan Sehat di tingkat provinsi dan kabupaten dikoordinasi oleh perguruan tinggi.
Program ini didukung oleh distribusi 200 sarjana kesehatan sebagai Relawan Pembangunan Perdesaan Sehat di 200 wilayah kerja dan puskesmas di 22 provinsi pada 84 kabupaten sasaran prioritas. (www.tempo.co)
No comments:
Post a Comment