Saturday, June 21, 2014

Penanggulangan Kanker di Era SJKN

Shutterstock
Ilustrasi
 Pelayanan kesehatan dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) berjalan lebih dari lima bulan. Diperlukan banyak perbaikan demi kepentingan rakyat dan terkait besarnya beban rumah sakit rujukan. Khusus untuk kanker, ada Keputusan Menteri Kesehatan No 430/2007 tentang Pengendalian Penyakit Kanker yang fokus pada upaya pencegahan.

Keputusan Menkes itu dijadikan acuan semua pihak yang peduli pengendalian penyakit kanker, mulai dari tingkat desa hingga provinsi dan pusat. Namun, program pencegahan primer dan deteksi dini yang dikoordinasi Direktorat Penyakit Tidak Menular Kemenkes belum memberi hasil memuaskan. Mayoritas penderita kanker di banyak RS rujukan di sejumlah daerah telah mencapai stadium lanjut, yang harapan sembuhnya kecil dan butuh biaya pengobatan mahal.

Kini, perkembangan bidang biologi molekul membawa kemajuan besar diagnosis dan terapi kanker. Kemajuan biologi molekul menunjukkan, kanker amat heterogen, tak hanya dari satu individu ke individu lain, tetapi juga dari satu tumor ke tumor lain pada individu sama.

Berbagai molekul pada sel kanker itu memengaruhi sifat dan perilaku sel kanker. Sel kanker payudara—dengan molekul HER-2 pada permukaan sel—memiliki pertumbuhan/daya proliferasi lebih tinggi dan agresif dibandingkan yang tak mengandung HER-2 meski sama-sama punya reseptor estrogen dan progesteron.

Hal berbeda tampak pada sel kanker payudara yang tak punya ketiga sifat (HER-2 serta reseptor estrogen dan progesteron) itu. Perbedaan sifat biologis itu memengaruhi respons tiap jenis pada terapi. Perbedaan biologis, termasuk genetik, bisa terjadi pada jenis kanker lain, seperti kanker paru dan limfoma.

Sebagai konsekuensi penerapan terapi kanker sesuai perkembangan biologi molekul, RS rujukan butuh biaya lebih besar untuk diagnosis tepat (laboratorium, patologi, radiologi) dan pengobatan kanker. Biaya obat kanker termasuk terbesar sesuai data pemakaian dana Jaminan Kesehatan Nasional.

Di sisi lain, belum ada sistem audit medis yang bisa menilai prioritas, efektivitas, dan efisiensi pemakaian obat kanker yang mahal. Peraturan Menkes Nomor 69/2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan belum menjamin penentuan pasien kanker mana yang perlu mendapat prioritas terapi.

Sebagai contoh, transplantasi pada 50 kasus leukemia akut anak dan remaja (dengan tingkat harapan sembuh lebih dari 50 persen) pada RS rujukan di wilayah lebih maju, seperti DKI Jakarta, perlu mendapat prioritas penggantian biaya penuh dari Jaminan Kesehatan Nasional/Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (JKN/BPJS). Itu jika dibandingkan dengan, misalnya, ”terapi target” pada 1.000 kasus kanker lain yang hanya memperpanjang usia beberapa bulan.

Hal itu menunjukkan pentingnya proses audit dan analisis bersifat khusus pada tiap kasus. Tujuannya, agar pengobatan mahal yang diberikan memberi hasil optimal (cost-effective).

Mubazir dan boros

Sejumlah laporan dari negara maju, seperti Amerika Serikat, menyatakan, terjadi pemakaian dana mubazir pada terapi kanker. Protokol terapi kanker kerap jadi terlalu mahal. Padahal, ada protokol jauh lebih murah dengan hasil hampir sama.

Jika itu tak diperhatikan pemerintah (Kemenkes, direksi RS, dan BPJS Kesehatan) lebih serius, akan terjadi pemborosan anggaran negara amat besar. Aturan program JKN/BPJS memungkinkan jumlah pasien kanker yang berobat naik berlipat ganda meski kombinasi dan dosis obat mahal yang dipakai mungkin tak tepat.

Untuk mencegah hal itu, pemerintah perlu melakukan upaya, seperti mengaktifkan secara konsisten tim kanker multidisiplin di tiap RS sesuai aturan yang belum dijalankan di mayoritas RS. Ketua tim kanker RS sebaiknya medical oncologist (ahli penyakit dalam yang mendapat pendidikan onkologi) atau minimal internis yang menaruh minat pada kanker.

Kanker kini bukan lagi penyakit terminal yang penderitanya dipastikan meninggal dalam beberapa bulan, melainkan lebih sering penyakit menahun. Internis dalam pendidikannya dibiasakan merawat penyakit kronik dan menghitung soal pasien secara holistik, mulai dari kondisi umum pasien, antara lain usia; penyakit penyerta, seperti diabetes dan hipertensi; fungsi berbagai organ (banyak efek samping kemoterapi pada organ); kondisi ekonomi; dan peran dalam keluarga.

Aturan pemberian terapi sistemik (kemoterapi) pada pasien kanker harus oleh medical oncologist merupakan hal wajar di banyak negara maju. Indonesia sebagai negara berkembang justru belum menerapkan hal itu. Fasilitas radioterapi di sejumlah wilayah juga perlu ditambah, disertai peningkatan kemampuan para ahli bedah dalam berbagai teknik operasi kanker.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan acuan penanggulangan kanker bagi negara berkembang. Penyusunan program pengendalian kanker Indonesia oleh Kemenkes sejak lima tahun lalu semestinya dijadikan peraturan pemerintah sebelum pergantian kabinet, termasuk pembentukan RS rujukan kanker regional di provinsi besar.

Tak seperti malaria, tuberkulosis, dan HIV/AIDS yang mendapat bantuan dana swasta triliunan rupiah, penanggulangan kanker di Tanah Air masih perlu perhatian besar dari penentu kebijakan. (health.kompas.com)

A Harryanto Reksodiputro Ketua Umum Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia

No comments:

Post a Comment