oleh Indra Setia Bakti
Bagai siang dan malam, hidup dan mati adalah suatu kenyataan. Kematian merupakan keniscayaan bagi setiap insan. Selama ini kita mengenal pepatah, ‘gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang’. Lalu pertanyaannya kalau manusia yang mati kira-kira meninggalkan apa? Jawabannya yaitu pertama, kalau manusia mati meninggalkan duka. Kedua, meskipun kematian adalah sebuah kepastian, tutup usia seseorang tidak dapat dipastikan waktunya. Oleh karena itu, bila manusia mati ia berpotensi meninggalkan risiko bagi orang lain, yaitu adanya beban biaya kematian yang harus ditanggung oleh keluarga yang ditinggalkan.
John Vail dalam bukunya yang berjudul ‘Insecure Times’
menyatakan bahwa masyarakat hidup dalam masa yang tidak aman. Dengan
adanya jaminan perlindungan, manusia dapat mencapai rasa aman yang
merupakan salah satu kebutuhan dasar dan hak asasi manusia.
Jika
melihat kepada jumlah penduduk Indonesia, pada tahun 2010 sudah
mencapai 237.641.326 jiwa (Badan Pusat Statistik Indonesia). Fakta di
lapangan menunjukkan jumlah masyarakat Indonesia yang hidup tanpa
perlindungan sosial masih cukup tinggi, yaitu diperkirakan sebesar 57%
dari keseluruhan jumlah penduduk. Tambahan pula, baru sekitar 20.000.000
rakyat Indonesia yang terlindungi dengan jaminan sosial lengkap, masih
banyak lagi yang hidup tanpa jaminan sosial, terutama dari risiko
kematian.
Risiko
kematian sesungguhnya dapat diminimalisir, dan negara (dalam hal ini
pemerintah) dapat berperan penting dalam mengurangi risiko tersebut agar
beban hidup rakyat menjadi lebih ringan. Bagi bangsa Indonesia sendiri,
sila kelima Pancasila menjadi gambaran ideal cita-cita bernegara,
kemudian didukung dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang menetapkan
beberapa jaminan bagi masyarakat dalam rangka mencapai kondisi
kesejahteraan. Misalnya dalam pasal 34 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan
bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat….”. Konstitusi ini selanjutnya perlu didukung dan
diimplementasikan melalui sejumlah kebijakan sosial.
Undang-Undang
No.32 Tahun 2004 sesungguhnya telah memberi ruang kepada pemerintahan
di tingkat lokal untuk memberikan pelayanan sosial dasar kepada
masyarakat konstituennya. Pemerintah Kota Depok menerapkan kewenangan
tersebut melalui Program Santunan Kematian, sebagai salah satu pilihan
kebijakan sosial, dan telah menjadi pelopor program tersebut di
Indonesia. Program ini memberikan santunan sebesar Rp.2.000.000,- kepada
ahli waris penduduk yang meninggal dunia.
Kebijakan
sosial memfokuskan perhatian pada penyediaan sumberdaya sosial.
Pemerintah Kota Depok menyisihkan sebagian dari anggaran untuk
kepentingan sosial. Dana santunan pada dasarnya merupakan dana
masyarakat yang diperoleh melalui mekanisme pajak, lalu didistribusikan
kembali kepada masyarakat melalui Program Santunan Kematian.
Menurut
pandangan James Midgley, ada tiga elemen yang menjadi pusat perhatian
dalam upaya peningkatan kesejahteraan, yakni penanganan permasalahan
sosial, pemenuhan kebutuhan, dan peningkatan kesempatan. Bila merujuk
pada Teori Kebutuhan Maslow, Pemerintah Kota Depok sedikit atau banyak
tengah berupaya memenuhi kebutuhan akan rasa aman (yakni kebutuhan
jenjang kedua setelah kebutuhan fisik) bagi setiap individu, melalui
mekanisme perlindungan sosial yang mereka terapkan. Dengan adanya
Program Santunan Kematian, penduduk (terutama sekali kelas ekonomi
bawah) secara psikologis akan merasa lebih aman karena ketika meninggal
dunia pemerintah telah menjamin tanggungan biaya prosesi kematian
mereka.
Masih
berbicara mengenai masalah kebutuhan, Program Santunan Kematian
merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan masyarakat. Lalu
pertanyaaannya siapa yang mendefinisikan prosesi kematian menjadi sebuah
kebutuhan sosial? Bila merujuk pada klasifikasi Bradshaw, kebutuhan
sosial yang dijadikan patokan dalam merumuskan Program Santunan Kematian
secara teoritis berangkat dari konsep kebutuhan komparatif (comparative needs), yang merupakan perpaduan antara kebutuhan normatif (normative needs) dan kebutuhan yang dirasakan (felt needs).
Kebutuhan normatif merupakan kebutuhan yang ditafsirkan oleh birokrasi
negara. Dalam hal ini, tujuan pemerintahan adalah mensejahterakan
masyarakat melalui penyediaan kebutuhan dasar dan memberi keadilan
dengan melaksanakan fungsi distribusi.
Selain
itu, perumusan Program Santunan Kematian memperhatikan kebutuhan yang
dirasakan oleh masyarakat sebagaimana pemaparan dari pihak Pemerintah
Kota Depok, yakni dengan melihat adanya kebutuhan masyarakat terhadap
dana santunan kematian, antara lain kebutuhan untuk pemakaman seperti
kain kaffan, ongkos pemakam, hutang biaya rumah sakit, dan sebagainya
serta kebutuhan pasca pemakaman seperti kebutuhan untuk tahlilan.
Perumusan
Program Santunan Kematian berangkat dari kebutuhan yang muncul ketika
terjadi kematian seseorang dan kemudian diikuti oleh prosesi-prosesi
kultural pasca kematian yang keseluruhannya membutuhkan biaya. Hal ini
kemudian ditangkap oleh Pemerintah Kota Depok sebagai sebuah kebutuhan
sosial. Melalui keterlibatan Pemerintah Kota Depok dalam mengambil alih
beban risiko almarhum/almarhumah dari pihak keluarga yang bersangkutan,
maka konsep perlindungan sosial pun terwujud.
Menurut
Spicker, bila hendak meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sangat
penting memahami bagaimana masyarakat hidup dan bagaimana kebijakan akan
mengubah kondisi mereka. Pemerintah Kota Depok telah berupaya ke arah
tersebut, yakni dengan mempelajari satu sisi kehidupan masyarakat di
Kota Depok dalam menghadapi masalah kematian. Melalui kajian sosial yang
ada, Pemerintah Kota Depok memahami bahwa masyarakat memiliki
nilai-nilai kultural dalam melaksanakan prosesi kematian, dan hal ini
perlu dihargai. Permasalahannya adalah bahwa kegiatan semacam ini
menelan biaya sehingga membebani pihak ahli waris. Melalui pemahaman
tersebut, Pemerintah Kota Depok menawarkan sebuah bentuk kepedulian yang
diimplementasikan dalam bentuk kebijakan perlindungan sosial. Tujuannya
adalah dalam rangka mengubah kondisi masyarakat untuk keluar dari
kesulitan karena beban biaya prosesi kematian, dengan tetap berfokus
kepada masyarakat yang kurang mampu.
…
*Penulis adalah alumnus jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia
…
No comments:
Post a Comment