* DUA
Tak
seorang pun pernah memperoleh kehormatan atas apa yang diterimanya. Kehormatan
diperoleh sebagai imbalan atas apa yang telah diberikannya.
Calvin Coolidge, Presiden
ke-30 Amerika Serikat, 1923-1929
DESA
SULEWANA, awal 1960-an. Sebuah kepahitan hidup dialami oleh
seorang Piet Inkiriwang. Di tengah upayanya terus bersekolah di SD yang ada di
kampungnya, Desa Sulewana, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Piet kecil
harus menjadi yatim lantaran ditinggal wafat ayahandanya. Pondasi perekonomian
keluarganya pun goyah gara-gara ditinggalkan oleh sang tulang punggung. Ibunya
yang hanya seorang ibu rumah tangga seolah tidak memberikan asa apa-apa.
Namun, Piet tidak lantas patah
arang. Terlebih lagi, Piet kecil sempat diberkati ayahandanya. Dengan memegang
kepala Piet, ayahanda berpesan, “Kau harus jadi orang yang berguna dan
mengangkat martabat keluarga.” Begitulah kurang-lebih memori Piet mengingat
pesan ayahanda yang sedari awal mengerti karakter seorang Piet yang disiplin
dan penuh kepedulian dibandingkan saudara-saudara kandung yang lain.
Karena itu pula, dalam
kondisi apapun, Piet tetap terus bersekolah. Ketika lulus dari SD di desanya,
Piet mau tidak mau harus keluar desa, mengingat di desanya belum ada sekolah
setingkat SMP. Dia harus bersekolah SMP di Tentena. Sehari-hari kemudian dia
harus berjalan kaki pergi-pulang sekolah dengan jarak sekitar 12 kilometer. Ternyata
kekuatan fisik manusia relatif terbatas, lalu Piet yang baru masuk remaja itu
memilih tinggal di rumah sebuah keluarga yang tinggal tidak jauh dari SMP-nya.
Meski, dengan begitu, dia harus bekerja membantu keluarga yang sehari-hari
membuka kedai makan tersebut. Dia mengenal keluarga yang cukup berada itu
dengan sebutan Mama Lin.
Piet mengenang, “Saya
harus tahu diri kan. Waktu itu Mama Lin membantu lima orang yang tinggal di
rumahnya. Ada dua orang laki-laki tukang masak, lalu saya sebagai tukang nyuci
dan nimba air. Sampai selesai kelas tiga SMP saya tinggal di situ. Mama Lin itu
kenalan baik ibu saya, dan Lin sendiri teman saya sekolah di SMP. Semua itu bisa
berjalan berkat Tuhan.”
Lulus dari SMP, Piet
melanjutkan SMA di Poso. Jelas, Poso lebih jauh lagi dari rumahnya di Desa
Sulewana. Tidak sekadar jauh, di SMA pun Piet tidak punya sepatu, bersekolah
dengan telanjang kaki. Padahal, dia harus berjalan kaki relatif jauh, sekitar
12 kilometer dari tempatnya saat masih di SMP. Bersyukur, dia kemudian
memperoleh tumpangan tinggal pada keluarga pengusaha es batu di Kota Poso. Dan
dia tidak perlu jauh-jauh berjalan kaki dengan buku sekolah diselipkan di
bagian belakang celana.
Ujar Piet mengenang lebih
mendalam:
“Di SMA saya tidak punya
sepatu, padahal sehari-hari harus berjalan kaki ke sekolah. Pakaian juga bukan
kemeja, tapi seperti kaos berbahan karung gandum. Buku dilipat di sini (bagian
belakang celana), lalu jalan kaki. Pulang sekolah terpaksa utang untuk beli
sandal nilek, saya masih ingat sandal nilek. Saya harus menyadari diri sebagai
orang miskin. Saya punya banyak teman pakai sepatu mahal dan bersepeda ke
sekolah. Tak ada sedikitpun rasa rendah diri, karena banyak teman bertanya soal
pelajaran ke saya. Dari banyak teman sekolah, cuma saya yang jadi bupati. Itu
Tuhan yang atur. Waktu di SMA sempat jualan dan bikin es batu. Karena saya
tinggal di orang Cina yang punya pabrik es yang istrinya orang asli sini. Di
situ sampai kelas tiga.”
Kerja keras dan belajar
yang tekun ternyata tidak membuahkan hasil optimal bagi seorang Piet Inkiriwang
muda. Pada saat duduk di kelas tiga SMA, dia tidak bisa ikut ujian karena pecah
peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S). “Kami tidak diberi ijazah karena ada dua
guru kami terlibat komunis,” tutur Piet mengenang masa getir di SMA.
Jelas, Piet kecewa berat.
Mau melamar pekerjaan terpaksa hanya bermodal ijazah SMP. Apalah arti ijazah
SMP untuk menggapai masa depan yang lebih berpengharapan.
A.
Dari
Jantung Rimba Jadi Polisi
Piet punya kemauan keras
untuk maju. Poso tanah kelahirannya langsung dia tinggalkan. Mendayung sampan
sampai ke daerah Tojo. Di tempat itu biasanya ada kapal milik ABRI yang singgah
tiga bulan sekali untuk mengantar logistik. Dengan menumpang kapal itulah, Piet
sampai pula di Manado, Sulawesi Utara.
Hanya menyandang predikat
lulusan SMP tampaknya tidak mudah buat menaklukkan Manado, kota terbesar di
Sulawesi Utara. Di tengah kegalauan, dia teringat pada pesan ibunda bahwa
dirinya mesti mampu mengangkat derajat keluarga dengan cepat-cepat bekerja,
cukuplah sang ibunda yang hidup serba susah. Tanpa banyak berpikir, dia lantas
mendaftarkan diri ke Sekolah Angkatan Kepolisian (SAK) yang berada di Jalan Sam
Ratulangi Nomor 322 Kelurahan Karombasan, Kecamatan Wanea, Kota Manado. Bersyukur
Piet dapat diterima masuk menjadi salah satu siswa SAK Karombasan pada tahun
1965.
“Bayangkan saya ini orang
ndeso, asli Desa Sulewana yang
artinya jantung rimba. Hidup di tengah-tengah rimba sejak kecil. Kemudian bisa
masuk di sekolah polisi. Tidak terbayangkan sebelumnya. Mengapa saya masuk
polisi, karena kehidupan yang susah waktu itu,” tutur Piet yang kini mengemban amanah
sebagai Bupati Poso (2005-2010 dan 2010-2015).
Piet muda pun mengikuti
pendidikan selama enam bulan di Sekolah Angkatan Kepolisian—sekarang dikenal
sebagai Sekolah Polisi Negara (SPN) Manado. Usai pendidikan, resmilah Piet
menjadi polisi dengan pangkat Brigadir Polisi Tingkat II.
Lalu di mana Brigadir
Polisi Piet bertugas? Secara kebetulan, ujar Piet, ada orang Poso yang punya
kewenangan menempatkan para lulusan sekolah angkatan kepolisian di Manado
tersebut. “Kebetulan yang ngatur-ngatur di sana itu orang asal Poso. Saya
sampaikan ke dia bahwa saya harus bekerja untuk meringankan beban ibu dan saya
juga harus merawat ibu. Waktu itu saya mau dikirim ke Sangihe, wilayah perbatasan
dengan Filipina. Untung tidak jadi ke sana. Akhirnya saya ditempatkan di Poso. Saat
di Poso saya ketemu dia lagi dan kemudian saya melapor ke dia selaku atasan di Markas
Polres Poso,” tutur Piet penuh kenangan. Di Polres Poso, Piet ditempatkan
sebagai Anggota Sub-Detasemen P2U.
Cukup dua tahun
(1965-1967) Piet menempati pos di Sub-Detasemen P2U Polres Poso. Kemudian (1967-1969)
dia ditugaskan pada Denpos di Desa Kuku, masih di wilayah kerja Polres Poso. Dan
tahun 1969-1971, dia menjadi Polisi Lalu-lintas Polres Poso.
Bertugas di Poso di
masa-masa pertengahan 1960-an yang ditandai peristiwa tragedi G-30-S itu rupanya
mendatangkan apresiasi tersendiri bagi seorang Piet. Di tenggang dua tahun,
1965-1967, Piet betul-betul bekerja keras ikut aktif memberantas gerakan berdarah
yang sangat menggores di ingatan rakyat Republik Indonesia itu. Berkat kerja
kerasnya, dia memperoleh penghargaan Satya Lencana Penegak. Sedikit
pengetahuan, Satyalencana Penegak adalah sebuah tanda kehormatan yang
dikeluarkan dan diberikan kepada anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) yang secara aktif sedikit-dikitnya selama 30 hari sejak 1 Oktober 1965
sampai tanggal yang ditentukan oleh Menteri Utama Bidang Pertahanan Keamanan
dalam gerakan pembersihan dan pemberantasan G-30-S PKI.
Tahun 1972, Piet harus
meninggalkan Poso yang dicintainya. Dia diberi kesempatan untuk mengikuti
Sekolah Lanjutan Brigadir Khusus Instruktur di Candi, Semarang, Jawa Tengah. Sepulang
dari Semarang, Piet tidak lagi ditugaskan di Polres Poso. Dia langsung mendapat
tempat sebagai instruktur di Sekolah Polisi Negara (SPN) Karombasan, Manado. Sampai
sekitar tahun 1982 di sana dengan jabatan terakhir Kepala Sub-Detasemen Provoost.
Di SPN Karombasan, Piet
berusaha banyak belajar kepada atasannya. Atasan yang paling dia idolakan
adalah AKBP A. Sujuti Mappasiata. Piet banyak belajar dari AKBP Sujuti yang
menjadi Kepala SPN Karombasan pada 1983-1987. “Sekali waktu beliau panggil saya, beliau
berpesan bila kau nanti memimpin maka tulislah agendamu tiap hari, apa yang
akan dikerjakan hari ini, besok dan seterusnya. Begitu masuk kantor langsung sudah
melihat apa yang harus dikerjakan. Jadi kerja tidak semrawut. Kami susun
rencana bulanan, rencana mingguan, dan rencana harian. Kalau tidak ada itu, maka
akan sulit bekerja. Kita tidak akan tahu apa yang mesti kita kerjakan. Sebagai
pemimpin, juga harus berani menegur bila ada bawahan yang bersalah,” tutur Piet
yang memegang prinsip selalu belajar dari pengalaman. Arti kata, ketika menjadi
bawahan dia belajar pada atasan, dan tatkala menjadi atasan maka dia tidak
segan-segan belajar dari bawahan yang langsung berada di ujung tombak pelayanan
masyarakat.
Usai mengemban jabatan
Kepala Sub-Detasemen Provoost SPN Karombasan, 1983, Piet memperoleh promosi
menjadi Kepala Satuan Lalu-lintas (Kasatlantas) Polres Bolmong, Polda
Sulutteng. Hanya dalam hitungan bulan dia menyandang jabatan Kasatlantas.
Masih di tahun 1983,
Kapolda Sulutteng mencari polisi muda untuk dijadikan ajudan. Piet bercerita,
“Kapolda Sulutteng waktu itu, Pak Boby Rama, tengah mencari ajudan, beliau
menugaskan beberapa perwira untuk menyeleksi beberapa polisi yang layak menjadi
ajudan, beliau ingin laki-laki yang tinggi dan gagah. Dari beberapa orang, saya
lah yang kemudian terpilih. Jadi nasib saya di situ. Sebelum-sebelumnya tidak
ada ajudan yang tinggal di rumah dinas Kapolda. Waktu itu usai menikah, saya
bawa isteri tinggal di rumah dinas Kapolda. Urusan Kapolda dan ibu, semua kami
yang atur. Saya diberi kepercayaan penuh. Sampai urusan jahit baju, isteri saya
yang menjahit. Kebetulan isteri saya penjahit. Kapolda memberi banyak
pelajaran. Saya belajar dari beliau soal kepemimpinan. Beliau katakan ‘kau punya
bakat jadi pemimpin, kau ada bakat tersembunyi’. Namun saya katakan saya belum
pernah ikut Sespim. Beliau hanya berpesan ‘lihat apa yang saya perbuat’.”
Sekitar dua tahun Piet
Inkiriwang menjadi ajudan Kapolda Sulutteng. Lalu, 1987-1988, dia kembali
bertugas di lapangan. Kali ini dipercaya menjadi Kepala Polsek di salah sudut
Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sebagai orang lapangan, karirnya lumayan bagus. Akhir
1988 dia kembali dipromosikan dan menjadi Kepala Satuan Reserse Kepolisian
Wilayah (Kasatserse Polwil) Sulteng. Sampai tahun 1989 dia mengemban tugas
sebagai Kasatserse.
Kembali ke Manado. Dan
kembali menjadi guru atau instruktur. Begitulah tapak karir Piet Inkiriwang memasuki
kalender tahun 1989. Dia kembali masuk ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Karombasan,
Manado, dengan posisi sebagai Kepala Korps Siswa (Kakorsis). Berkat kesetiaannya
sebagai guru atau instruktur, dia memperoleh apresiasi Satya Lencana
Dwidiasista (pengabdian sebagai instruktur atau guru).
Sekali lagi sebagai orang
lapangan, setelah sekitar tiga tahun menjadi Kakorsis SPN Karombasan, Piet
kemudian dipromosikan lagi menjadi Kepala Pusat Komando Pengendalian dan
Operasional (Kapuskodalops) pada Polresta Manado. Selama kurang-lebih tiga
tahun pula dia berada di kursi ini.
B.
Bawa
Mama ke Lautan Luas
Di sela-sela tugasnya ke
Polresta Manado, ibunda memanggil Piet. Memang dia demikian dekat dengan ibunda.
Banyak nasehat dan curahan hati ibunda yang kemudian seolah menjadi guratan
tapak karir Piet di dunia kepolisian.
Memasuki tahun 1995, Piet
tour of duty dari Polresta Manado ke
Polres Bolmong, masih di wilayah Polda Sulut. Dari Kapuskodalops, dia kemudian
diberi tanggung jawab sebagai Wakil Kapolres Bolmong. Ya, dia menjadi orang
nomor dua di Markas Polres Bolmong.
Satu waktu di tahun 1997,
Piet dipanggil ibunda yang ingin menyampaikan curahan hati. Sampai sekarang dia
masih ingat benar apa yang disampaikan ibunda, karena curahan hati ibunda
seolah menjadi titian karir yang tidak pernah diimpikannya. Tutur Piet penuh
kenangan:
“Sebelum jadi Kapolres
Sangihe-Talaud, beliau panggil saya. Beliau sampaikan, kamu ini mau bawa mama
ke lautan yang sangat luas. Lho mau ke mana? Mama belum pernah lihat itu
daerah, di situlah kau akan sampai di satu pulau. Sampai kemudian turun surat
keputusan Kapolri, saya diangkat jadi Kapolres Sangihe dari Wakapolres Bolmong.
Setelah beberapa waktu menjadi Kapolres Sangihe, beliau panggil saya lagi.
Katanya beliau ingin lihat laut, tapi merasa ramai sekali. Beliau bilang banyak
uang di situ. Berapa pekan kemudian saya ditelepon staf Kapolri yang
menyampaikan surat keputusan perihal pengangkatan saya menjadi Kapolres Bitung.
Dibandingkan Sangihe, Bitung jelas lebih ramai karena Polres Bitung termasuk
Polres tipe A sedangkan Polres Sangihe tergolong tipe C. Sepertinya beliau
sudah tahu ke depan dalam doanya. Di lain waktu beliau juga memberi tahu bahwa saya
jadi orang baik, jadi pemimpin. Belum dua tahun di Bitung, saya pulang ke rumah
(Manado), jadi Kepala Sekolah Polisi Negara (SPN) Karombasan setelah keluar SK pengangkatan dari Kapolri.”
Tatkala menjabat sebagai
Kepala Polres Sangihe-Talaud, Piet Inkiriwang sempat menorehkan prestasi yang
cukup membanggakan. Ketika itu, bersama jajarannya, dia memperoleh tugas
mengungkap jaringan terorisme yang masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) melalui laut Filipina Selatan (Moro). Di bawah komando Piet,
tim dari Polres Sangihe berhasil menangkap delapan orang kader terlatih.
Bermula dari pantauan radio, kode SOS berasal dari tengah laut, sebuah kapal
dibajak kelompok bersenjata. Piet berusaha menindak-lanjutinya namun apa daya
Polres Sangihe tak punya kapal laut. Dia berupaya meminjam ke beberapa
perusahaan perikanan tapi nihil hasil. Akhirnya, dengan menggunakan kapal
nelayan seadanya, sambil terus mendayung, dia dapat tiba di kapal yang dibajak kelompok
bersenjata.
Terjadilah perlawanan,
namun Piet berhasil meringkus –kendati ada beberapa orang mampu melarikan diri.
Kelompok teroris tersebut semula tidak bersedia mengakui di mana mereka
menyembunyikan senjata-senjatanya. “Di tempat penyimpanan ikan, senjata-senjata
canggih milik mereka kami temukan. Semua senjata otomatis, kami saja yang
aparatur kepolisian ketika itu belum menggunakan senjata seperti itu,” kenang
Piet.
C.
Apresiasi
dari Gus Dur Lalu Jadi Kepala SPN Karombasan
Berkat torehan prestasi
tersebut, Piet memperoleh apresiasi dari Presiden (saat itu) Abdurrahman Wahid
(Gus Dur). Tak seberapa lama setelah keberhasilan penangkapan kelompok
bersenjata dari Moro tersebut, dia menerima sambungan telepon dari Presiden Gus
Dur. Berikut sekilas petikannya:
“Saya Gus Dur, apakah
saya berbicara dengan Bapak Kapolres?” suara terdengar dari seberang telepon.
“Siap perintah Bapak
Presiden,” Piet menjawab tegas.
“Saya mendengar bahwa
kamu berhasil menumpas kelompok teroris yang akan masuk ke Indonesia. Saya
ucapkan selamat. Sudah berapa lama kamu menjadi Kapolres?” Gus Dur bertanya
dalam gayanya yang santai.
“Siap, sudah dua tahun
Bapak Presiden,” Piet kembali menjawab.
“Ah sudah lama, kamu mau minta jabatan apa?”
Gus Dur memberikan tawaran.
“Siap, sebagai prajurit,
saya siap ditugaskan di mana saja Bapak Presiden, terserah pimpinan saya Bapak
Kapolda dan Kapolri,” jawab Piet.
“Bilang saja kamu mau
jabatan apa, orang lain sampai minta-minta jabatan, kamu ditawarin kok malah
menolak,” sergah Gus Dur.
Berselang beberapa waktu,
Piet Inkiriwang yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel (sekarang istilahnya
Komisaris Besar) Polisi menerima Surat Keputusan dari Kapolri ihwal penugasan
dirinya sebagai Kepala Sekolah Polisi Negara (SPN) Karombasan. Dia menjadi kepala
sekolah yang ke-10 yang bertugas pada rentang tahun 2001-2002.
Sekadar catatan historis,
SPN Karombasan merupakan salah satu Lembaga Pendidikan Polri yang ada di Provinsi
Sulawesi Utara yang terletak di Jalan Sam Ratulangi Nomor 322 Manado, dengan
luas keseluruhan baik lingkungan pendidikan maupun asrama/perumahan seluas 28
Ha (280.000 meter persegi) dengan sertifikat dari Badan Pertahanan Nasional Provinsi
Sulawesi Utara Nomor 18 tgl 22 September 2000. Lokasi SPN Karombasan terletak
di salah satu pemukiman masyarakat Kota Manado, tepatnya di Kelurahan
Karombasan, Kecamatan Wanea.
SPN Karombasan didirikan
pada tahun 1961 dengan nama semula Sekolah Kepolisian Negara dan sebagai
Direktur/Kepala Sekolah adalah Komisaris Polisi Tingkat II Jep Torpedo, di mana
sekolah ini mendidik siswa kepolisian menjadi Agen Polisi Angkatan Pertama
dengan jumlah siswa 240 dan berada di Wilayah Kecamatan Sario, Manado.
Pada tanggal 16 Mei 1963
berubah nama menjadi Sekolah Angkatan Kepolisian (SAK). Dan dalam perkembangan
selanjutnya, tanggal 11 Agustus 1964 Sekolah Angkatan Kepolisian SAK berubah menjadi
Deplat 019 Karombasan dan Kompol Tingkat I Imam Wahono sebagai Dan Deplat. Kemudian
pada tahun 1979 nama Deplat 019 berubah menjadi Dodiklat 015 dan sebagai Kepala
Dodiklat adalah Letkol Pol Sujuti Mappasiata BSc.
Pada tahun 1985, nama
Dodiklat berubah menjadi Sekolah Kepolisian Negara (SPN) yang mendidik siswa
Kepolisian menjadi Anggota Polri yang berpangkat Brigadir II Polisi. Seiring
dengan perkembangan Polri, maka mulai tahun 2012 sampai dengan sekarang Kepala
Sekolah Polisi Negara Karombasan (Kepala SPN) dijabat oleh AKBP Satake Bayu, SIK,MSi.
SPN Karombasan mengusung filosofi pendidikan Polri “Mahir, Terpuji dan Patuh Hukum”
dengan motto “Disiplin adalah kunci kesuksesan”.
Tercatat nama-nama yang
pernah membangun dan menggawangi sebagai Kepala SPN Karombasan:
NO
|
Nama
|
Pangkat
|
Periode
|
1
|
Victor Pantow
|
LETKOL POL
|
1972-1979
|
2
|
Drs. A.F Abast
|
LETKOL POL
|
1979-1983
|
3
|
A Sujuti Mappasiata
|
LETKOL POL
|
1983-1987
|
4
|
Drs. Soekarji
|
LETKOL POL
|
1987-1990
|
5
|
Drs. Irwan Sumarno
|
LETKOL POL
|
1990-1993
|
6
|
Drs. Setyono P
|
LETKOL POL
|
1993-1995
|
7
|
Drs. A.A Mapparessa
|
LETKOL POL
|
1995-1997
|
8
|
Drs. Heru Purnomo
|
LETKOL POL
|
1997-1999
|
9
|
Drs. Edi Sugianto
|
LETKOL POL
|
1999-2001
|
10
|
Piet Inkiriwang, MSi
|
LETKOL POL
|
2001-2002
|
11
|
Drs. Yohanes Wardoyo
|
AKBP
|
2002-2004
|
12
|
Drs. I Nyoman S, Jaya
|
AKBP
|
2004-2006
|
13
|
Drs. Daniel Pasaribu
|
AKBP
|
2006-2007
|
14
|
Drs, Yadi Suryadinata, MSi
|
AKBP
|
2007-2009
|
15
|
Drs. H Sesmawan Putra, MH
|
AKBP
|
2009-2010
|
16
|
Rio Permana, SH,MH
|
AKBP
|
2010-2012
|
Mengakhiri masa pengabdian
sebagai Kepala SPN Karombasan, 2002, Piet sudah memasuki umur 55 tahun. Sebuah
usia mendekati masa pensiun. Dia pun memilih untuk segera pensiun dari dunia Kepolisian
Republik Indonesia (Polri). Terlebih lagi dia sudah mengantongi penghargaan
Bintang Bhayangkara Nararya dari Kapolri. Penghargaan ini diberikan kepada
polisi yang tidak memiliki cacat selama bertugas. Dia juga sudah menyabet
penghargaan Satyalencana Kesetiaan 24 tahun. Pendek kata tidak ada lagi
mimpi-mimpi yang lebih tinggi. Dia mengakui sebagai rakyat jelata dari jantung rimba,
cukuplah sampai di titik karir Kepala SPN Karombasan.
D.
Memikul
Kayu Beserta Akar-akarnya
Benar, Piet Inkiriwang
memilih pensiun lebih cepat dari batas waktu yang diberikan oleh negara. Ya, di
seputaran tahun 2002, dia memasuki masa pensiun. Beberapa saat sebelum
mengajukan pensiun lebih awal daripada waktunya, dia bersua ibunda dan nasihat
pun keluar dari mimik ibunda yang sarat petuah nan menyejukkan.
Tutur Piet Inkiriwang
ihwal nasehat ibunda terakhir kalinya:
“Nasehat terakhir, mama
lihat saya akan pikul kayu yang sangat berat. Berat sekali kayu tersebut, karena
berupa pohon yang masih ada akar-akar dan cabang-cabangnya, berat untuk dipikul.
Kata ibu saya, tangan kiri saya menjinjing karung yang sangat berat. Tapi kau
tetap jalan sampai di suatu batas tidak ada lagi pohon dan tidak ada lagi karung.
Itu nasehat terakhir mama saya yang meninggal dunia tahun 2009. Setelah
bernasehat usai saya mendekati pensiun, mama tidak pernah ngomong apa-apa lagi.
Nasehat mama saya luar biasa. Begitu beliau meninggal, tidak ada lagi orang yang
beri nasehat ke saya. Mama saya ini sumber nasehat.”
Pensiun dari kepolisian,
Piet tidak berhenti mengabdi kepada bumi pertiwi. Dia memilih terjun ke jagad
politik praktis sampai kemudian terpilih menjadi Anggota DPRD Kabupaten Minahasa
Selatan (Minsel), Provinsi Sulawesi Utara. Bahkan Piet yang maju ke pemilihan
legislatif lewat Partai Demokrat ini sempat didaulat sebagai Wakil Ketua Komisi
I DPRD Kabupaten Minsel.
Sebagai kader Partai
Demokrat, pada tahun 2004 Piet memperoleh amanah sebagai Ketua Tim Kampanye
Nasional Gabungan Lintas Partai Capres/Cawapres Susilo Bambang Yudhoyono –
Jusuf Kalla (SBY-JK). Dan dia berhasil “memberikan” suara terbanyak buat
pasangan SBY-JK untuk wilayah pemilihan Sulawesi Utara.
Ya, Piet Inkiriwang telah
memberikan banyak hal kepada institusi pengabdiannya, kepada parta politik, dan
kepada rakyat yang diwakilinya. Dia telah pula memperoleh berbagai apresiasi
dan penghargaan dari pemerintah dan berbagai lembaga. Bahkan ladang
pengabdiannya bertambah luas, merambah pada ranah agama yang dianutnya. Dia
sempat menjadi Ketua Pemuda GPdl Pakowa, Kodya Manado; Ketua Rukun Keluarga
Besar Inkiriwang; Ketua Rukun Kemurahan Masyarakat Karombasan, Kodya Manado;
Pelaksana Gembala GPdl Sulawesi Utara; dan Ketua Bidang Penginjilan GPdl Jemaat
Sam Ratulangi Kota Manado.
Dan saatnya apresiasi
dari rakyat-masyarakat segera tiba, saat memikul kayu beserta akar-akarnya dan
tangan menjinjing karung yang berat. (*)
No comments:
Post a Comment