Koalisi Merah Putih memberikan sejumlah catatan terhadap rencana kebijakan pemerintah menaikan harga BBM. Meski menghargai hal tersebut sebagai domain pemerintah, namun pemerintahan Jokowi-JK diminta tetap harus memperhatikan pertimbangan dan panduan sebelum benar-benar menaikan harga BBM beserta kebijakan turunannya.
"Apa saja guidance terkait perubahan-perubahan asumsi makro, lifting minyaknya seperti apa, realokasi BBMnya diarahkan kemana," ujar Taufik Kurniawan, Sekretaris Jenderal DPP Partai Amanat Nasional, di gedung parlemen, Jakarta, Kamis (6/11/2014).
Menurut Taufik, justru pemerintah saat ini memunculkan berbagai kartu sakti, demi memberi kompensasi kenaikan BBM. Padahal, apapun nama kompensasi itu seharusnya muncul setelah kenaikan BBM. "Kami terus terang saja kebingungan, dasar dari pelaksanaan program kompensasi BBM yang BBM nya sendiri belum dinaikkan. Ini yang menjadi bahan pertanyaan di Badan Musyawarah tadi," kata Taufik.
Posisi itu, kata Taufik, makin menjadi pertanyaan besar, karena dana munculnya kartu sakti Jokowi didapat melalui CSR Bank Mandiri. Komisi XI yang membidangi perbankan secara khusus mempertanyakan munculnya kebijakan sepihak itu. "Bagaimana mungkin CSR yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat kok secara spontan, sepihak, digunakan untuk meng-cover seluruh subsidi BBM," ujarnya.
Taufik meminta agar pemerintahan Jokowi mempertimbangkan kebijakan itu kembali. Seharusnya, kemunculan kompensasi itu diambil nanti setelah muncul keputusan kenaikan harga BBM. "Ya kalau jadi naik, kalau tidak jadi naik. Bagaimana?" ujarnya mengingatkan.
Menggunakan dana CSR, kata Taufik, harus menaati aturan yang ada. Mekanisme penggunaan dana CSR diperuntukkan untuk berbagai kepentingan masyarakat. "Itu tak semuanya untuk merespon kenaikan BBM. Daripada jadi kontroversi, harus dilihat payung hukumnya," tandasnya.
Terkait payung hukum tersebut, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani sempat pula mengungkapkan, kalau pemerintah akan membuat instruksi presiden (Inpres) dan keputusan presiden (Kepres) terkait hal itu. Presiden Jokowi yang akan menandatanganinya sebagai payung hukum.
Peringatan juga disampaikan mantan menteri sekretaris negara (mensesneg) di era Presiden SBY, Yusril Ihza Mahendra. Menurut dia, pihak pemerintah harus memahami kalau inpres maupun kepres bukanlah instrumen hukum dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan. Meski pernah digunakan di era orde lama dan orde baru, di era reformasi, keduanya tidak memiliki posisi yang sama lagi.
Inpres, menurut dia, hanya perintah biasa dari presiden. Begitupun dengan kepres yang juga hanya surat untuk penetapan seperti mengangkat dan memberhentikan pejabat. "Lebih baik dia (Puan Maharani, Red) belajar mengelola negara dengan benar dulu, jangan asal ngomong," kata Yusril.
Lebih lanjut, dia kemudian juga mengingatkan agar pemerintah menyiapkan secara sungguh-sungguh landasan hukum sebelum benar-benar melaksanakan sebuah kebijakan. Misalnya, kalau kebijakan itu berkaitan dengan keuangan negara, maka presiden harus bicara dulu dengan DPR sebagai pihak pemegang hak anggaran.
"Jadi, kalau belum ada, siapkan dulu landasan hukumnya agar kebijakan itu dapat dipertanggungjawabkan. Mengelola negara itu tidak sama dengan mengelola rumah tangga atau warung, apa yang terlintas bisa langsung diwujudkan," bebernya.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menambahkan kalau kejelasan dasar hukum itu penting agar pemerintah nanti tidak justru mendapat masalah dikemudian hari. Dia menunjuk semisal kasus bailout Bank Century. "Semuanya kan waktu itu demi alasan yang baik, demi kebutuhan yang mendesak, tapi kalau tidak hati-hati ya akhirnya jadi masalah," ingat Fahri.
Tidak hanya pihak di luar koalisi, sejumlah anggota fraksi dari PDIP juga melontarkan sinyal keberatan kebijakan kenaikan BBM. Dua anggota fraksi PDIP, Effendy Simbolon dan Rieke Diah Pitaloka pada Rabu (5/11) menyatakan penolakannya atas kenaikan harga BBM. Mereka menilai kebijakan Jokowi itu tidak sesuai dengan garis perjuangan PDIP yang selama ini menolak kenaikan BBM.
Anggota Fraksi PDIP Tubagus Hasanuddin menilai pernyataan dari sejumlah kader partai berlambang banteng yang menolak dan mempersoalkan rencana pemerintah menaikkan harga BBM adalah hal yang sangat tidak strategis. Sebab Presiden Joko Widodo merupakan presiden yang diusung PDI Perjuangan. "Penolakan dari kader PDIP sendiri atas rencana kenaikan BBM jelas membingungkan publik. Termasuk, kader-kader partai pemenang pemilu 2014 itu di daerah," kata Ketua DPD PDIP Jawa Barat itu.
Tubagus menilai, harus ada sikap kelembagaan atas hal ini. Dia mendorong Fraksi PDIP di DPR untuk segera mengambil alih opini tentang rencana kenaikan BBM agar tidak menjadi bola liar yang kontraproduktif baik bagi pemerintahan Jokowi maupun untuk integritas PDI Perjuangan itu sendiri.
"Di era demokrasi ini setiap orang bisa berpendapat beda. Tetapi setiap kader seharusnya taat azas atau mengikuti kebijakan partai," ujarnya secara terpisah.
Dia mengatakan, apa yang menjadi kebijakan Presiden Jokowi tentunya merupakan kepanjangan tangan dari prinsip-prinsip ideologi partai. Tubagus meyakini jika kebijakan Jokowi telah melalui berbagai pertimbangan matang. "Menaikkan harga BBM sudah barang tentu dengan perhitungan yang matang demi kepentingan masyarakat," tandasnya.
Program Konpensasi Masih Karut Marut
Sementara itu, program kompensasi yang disiapkan oleh pemerintah untuk kenaikan BBM subsidi ini masih karut marut. Hingga kemarin, belum separoh dari seluruh kartu diberikan pada mereka yang dinyatakan berhak menerima.
Dari data yang diberikan oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ( PMK) saat ditanya data terbaru menyebutkan, per 3 November, baru 600 Kartu Keluarga Sosial (KKS), 2.775 Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan 177 Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang disebar. Kartu-kartu tersebut pun baru tersebar di wilayah Jakarta.
Kekhawatiran pun muncul dari masyarakat yang sebelumnya telah menerima manfaat dari program pendahulunya, seperti Bantuan SIswa Miskin (BSM), Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Mereka khawatir tidak bisa lagi memanfaatkan kartu mereka karena masih belum berganti dengan kartu yang baru.
Menjawab hal ini, Dirjen Bina Upaya Kesehatan (BUK) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Akmal Tahir sebelumnya telah menegaskan bahwa kartu lama masih dapat digunakan sepenuhnya. "Tidak perlu risau, bagi yang belum menerima kartu baru masih dapat menggunakan kartu lama. karena memang prosesnya harus bertahap," ungkapnya.
Namun, persoalan lain pun muncul ketika disinggung tentang para penerima baru dari kalangan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang dimasukkan kali ini. Dari 1,7 juta PMKS yang diwacanakan untuk masuk dalam program KIS, KIP, dan KKS, baru sebanyak 50 orang yang menerima KIS dan KKS tersebut. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana nasib dari PMKS lainnya yang
sebelumnya belum menerima bantuan apapun dan saat ini juga masih belum menerima tiga kartu sakti itu? Sayangnya, pertanyaan tersebut masih belum dijawab oleh pihak pemerintah. Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa belum memberikan jawaban saat ditanya kemarin.
Pengusaha Desak Pemerintah Segera Naikkan BBM
Di bagian lain, pengusaha meminta pemerintah segera memutuskan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Sebab, ketidakpastian kenaikan harga BBM dikhawatirkan akan membuat iklim perekonomian dalam negeri semakin tidak stabil.
Wakil Ketua Umum Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur (Jatim) Nelson Sembiring mengatakan, Sejak awal pihaknya mendukung BBM subsidi ditiadakan. "Kami menganggap subdisi yang digelontorkan pemerintah untuk BBM tidak dinikmati oleh golongan semestinya. Artinya, subsidi ini salah sasaran," katanya di sela-sela pelatihan energi kemarin (6/11).
Menurut Tim Business Development Center Kadin Jatim Puguh Iryantoro, makin berlarutnya pemerintah menetapkan kenaikan harga BBM subsidi akan memicu banyak spekulasi. Harga berbagai kebutuhan ikut terkerek tanpa ada standar yang jelas. Selain itu, makin membuka peluang bagi masyarakat untuk membeli BBM subsidi secara besar-besaran dan melakukan penimbunan. "Ini harus segera ditetapkan. Tapi untuk menaikkannya, pemerintah juga harus melihat kemampuan atau daya beli masyarakat serta harga minyak dunia," ujarnya.
Saat ini harga minyak dunia cenderung turun ke level USD 85 per barrel dari posisi sebelumnya yang mencapai USD 111 per barrel. Untuk itu Puguh berharap kenaikannya tidak terlalu tinggi.
Dukungan Kadin terhadap kenaikan harga BBM subsidi juga mengacu pada rendahnya pendapatan dari produksi minyak dalam negeri. Paguh menyampaikan, pendapatan dari lifting minyak dalam negeri sebagian besar digunakan untuk membayar biaya recovery perusahaan yang melakukan proyek eksporasi minyak. Dia mencontohkan, tahun dari hasil produksi minyak yang mencapai 830.000 barrel per hari atau setara dengan Rp 233 triliun per tahun, sebanyak Rp 191 triliun digunakan untuk cost recovery.
"Sisanya hanya tinggal Rp 31 triliun. Padahal impor kita mencapai 23,03 juta liter minyak atau setara dengan Rp 230 triliun. Jadi devisit masih sangat banyak. Ironisnya, BBM subsidi yang digunakan sektor transportasi sangat besar yakni sekitar 40 persen. Sementara industri mencapai 42-44 persen," tuturnya.
Menurut dia, idealnya penggunaan BBM subsidi minimal 50 persen untuk industri sehingga mampu menggerakkan perekonomian dalam negeri seperti di beberapa negara lain. Sedangkan sektor transportasi yang cenderung bersifat konsumtif harusnya kurang dari 40 persen. Tujuannya untuk menekan angka konsumsi BBM.
Paguh menyatakan, kondisi seperti ini menyebabkan lonjakan konsumsi BBM subsidi akan semakin besar. Saat ini rata-rata pertumbuhan konsumsi BBM subsidi dalam negeri mencapai 4,5-5,5 persen dari konsumsi sebesar 1,1 miliar hingga 1,2 miliar setara barrel minyak.
Selain menaikkan BBM subsidi, lanjut dia, pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi juga menjadi harga mati untuk dilaksanakan. "Jangan sampai seperti tahun-tahun sebelumnya, di mana upaya optimalisasi energi terbarukan dan konservasi energi ke gas hanya ramai dibicarakan dan digagas saat gonjang-ganjing kenaikan harga BBM," ungkapnya.
Paguh menilai pemerintah hanya sebatas memberikan apresiasi untuk pengembangan energi alternatif ini ketika peresmian saja, setelah itu hilang. Dia berharap pemerintah baru akan lebih serius menggarap dan mengoptimalkannya, mengingat potensi energi alternatif di Indonesia sangat besar. Beberapa jenis energi alternatif yang bisa dioptimalkan di Indonesia diantaranya Energi Surya Foto Voltaik, Energi Surya Termal, Energi Air, Energi Biomassa, Energi Bioethanol, dan Energi Biodise.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Sutarman menyatakan jika operasi penimbunan BBM masih terus dilakukan oleh jajarannya. Belajar dari kasus penimbunan BBM jenis solar di Batam yang gila-gilaan, pihaknya kini berupaya mengantisipasi dengan mempelajari berbagai modus yang digunakan para pelaku.
Razia secara tertutup maupun terbuka kini kerap dilakukan. "Kalau ada SPBU yang kehabisan BBM, kami tanyai," ujarnya usai membuka pameran foto pilpres di Mall Kota Kasablanka Jakarta kemarin. Menurut dia, polisi kini mudah curiga dengan kelangkaan BBM karena penyebabnya seringkali tidak wajar. Kecuali, jika Pertamina mengumumkan pengurangan pasokan ke daerah tertentu.
Jika Pertamina menyatakan tidak ada pengurangan pasokan, maka jajarannya akan langsung menyelidiki penyebab kelangkaan BBM tersebut. Di sejumlah daerah, kerja sama antara Polri dan Pertamina terbukti berhasil mengungkap sejumlah kasus penimbunan BBM.
Di Batam misalnya, konsumsi BBM solar perhari mencapai 400 kiloliter. "Begitu dirazia, konsumsi langsung turun setengahnya," ujar Sutarman. Temuan tersebut menegaskan jika ada penyimpangan dalam distribusi. Benar saja, ada sejumlah SPBU yang nakal dengan menjual BBM di luar batas konsumsi normal kendaraan.
Pihaknya sudah menjalin kerja sama cukup lama dengan Pertamina. Hanya saja, kerja sama itu diharapkan bisa sampai ke level hilir. Transparansi Pertamina dalam memasok BBM di level hilir akan memudahkan polisi mendeteksi penyimpangan. (http://www.jambi-independent.co.id/)
No comments:
Post a Comment