* LIMA
Katakanlah:
“Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa’at tanda
kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang
tidak beriman”. (QS 10:101)
Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi
manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri. (QS 10:44)
ACEH,
26 Desember 2004. Di penghujung tahun 2004 itu, tepatnya
pada hari Ahad, 26 Desember 2004, Indonesia dan delapan negara lainnya di
kawasan Samudera India dilanda bencana gempa dan tsunami sangat hebat. Tsunami
tersebut telah merenggut lebih dari seperempat juta jiwa pada beberapa negara
Asia dan Afrika yang meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar,
Bangladesh, Srilangka, India, Maladewa, Somalia dan Kenya.
Gempa terjadi pada waktu
tepatnya jam 7:58:53 WIB. Pusat gempa terletak pada bujur 3.316° N 95.854°
E kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh
sedalam 10 kilometer. Gempa ini berkekuatan 9,3 menurut skala Richter dan dapat
dikatakan merupakan gempa bumi terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir
yang menghantam Aceh, Pantai Barat
Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka, bahkan sampai
Pantai Timur Afrika.
Kepanikan terjadi dalam
durasi yang tercatat paling lama dalam sejarah kegempaan bumi, yaitu sekitar
500-600 detik (sekitar 10 menit). Beberapa pakar gempa menganalogikan kekuatan
gempa ini mampu membuat seluruh bola Bumi bergetar dengan amplitude getaran di atas
1 (satu) cm. Gempa yang berpusat di tengah Samudera Indonesia ini juga memicu
beberapa gempa bumi di berbagai tempat di dunia.
Gempa yang mengakibatkan
tsunami itu menyebabkan sekitar 230.000 orang tewas di 8 (delapan) negara.
Ombak tsunami setinggi 9 (sembilan) meter. Bencana ini merupakan kematian
terbesar sepanjang sejarah. Indonesia, Sri Lanka, India, dan Thailand (negara
dengan jumlah kematian terbesar).
Kekuatan gempa semula
dilaporkan mencapai magnitude 9.0. Pada Februari 2005 dilaporkan gempa
berkekuatan magnitude 9.3. Meskipun Pacific Tsunami Warning Center telah
menyetujui angka tersebut, namun United States Geological Survey menetapkan magnitude
9.2. atau bila menggunakan satuan seismik momen (Mw) sebesar 9.3.
Kecepatan rupture diperkirakan sebesar 2.5km/detik
ke arah antara utara - barat laut dengan panjang sekitar 1200 hingga 1300 km.
Menurut Koordinator Bantuan Darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jan
Egeland, jumlah korban tewas akibat badai tsunami di 13 negara (catatan sampai
awal Januari 2005) mencapai 127.672
orang.
Namun jumlah korban tewas
di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika Timur yang sebenarnya tidak akan
pernah bisa diketahui, diperkirakan sedikitnya 150.000 orang. PBB memperkirakan
sebagian besar dari korban tewas tambahan berada di Indonesia. Pasalnya,
sebagian besar bantuan kemanusiaan terhambat masuk karena masih banyak daerah
yang terisolir.
A.
Duka
dan Derita Rakyat Aceh
Tragedi tsunami di akhir
tahun 2004 itu telah meninggalkan kesedihan dan penderitaan luar biasa bagi rakyat-masyarakat
Provinsi Aceh dan Sumatera Utara khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Merujuk data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 173.741 jiwa
meninggal dan 116.368 orang dinyatakan hilang, sedangkan di Sumatera Utara 240
orang tewas. Tragedi tsunami Aceh mengakibatkan ribuan rumah dan bangunan
rusak, dan menyebabkan hampir setengah juta orang jadi pengungsi.
Tanah yang semula hijau
subur, perumahan yang tadinya tertata dengan baik, hancur musnah hanya dalam
hitungan jam dan yang tertinggal sampah serta tubuh-tubuh tidak bernyawa. Aceh
menangis, Indonesia berduka dan dunia pun mengulurkan tangan sebagai bentuk
solidaritas sesama umat manusia.
Data lain menyebutkan,
gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara menelan lebih dari 126.000
korban jiwa. Puluhan gedung hancur oleh gempa utama, terutama di Meulaboh dan
Banda Aceh di ujung Sumatera. Di Banda Aceh, sekitar 50% dari semua bangunan
rusak terkena tsunami. Tapi, kebanyakan korban disebabkan oleh tsunami yang
menghantam pantai barat Aceh.
Pemerintahan daerah Aceh
lumpuh total, saat terjadi gempa bumi dan tsunami. Kepanikan sempat pula
merambat ke Jakarta (Istora) yang saat itu sedang diadakan acara Halal Bi Halal
masyarakat Aceh pasca menyambut lebaran Idul Fitri. Tepat 26 Desember 2004
pukul 09:00 WIB, satu per satu warga masyarakat Aceh yang hadir di Istora
Jakarta panik lantaran hubungan telepon seluler ke Aceh putus total, mata
mereka berkaca-kaca.
Wakil Presiden (saat itu)
Jusuf Kalla yang hadir mengatakan, ”Aceh dalam musibah besar, saya baru dapat
kabar terjadi gempa bumi di Aceh, banyak bangunan rusak, semoga tidak lebih
parah dari gempa Papua sebesar 6,4 SR.” Sebagaimana kita ketahui beberapa saat menjelang gempa bumi di Aceh
telah terjadi gempa bumi pada 26 November 2004, gempa sebesar 6,4 SR
mengguncang Nabire, Papua tercatat 30 orang tewas.
Faktanya, gempa bumi dan
tsunami Aceh jauh lebih dahsyat dan memakan korban lebih banyak dibandingkan
gempa bumi yang menggoyang Nabire (Papua).
B.
Nestapa
Aceh Jaya
Tragedi gempa bumi yang
diikuti tsunami Aceh akhir 2004 betul-betul menusuk duka-nestapa bagi siapa pun
yang berada di wilayah Serambi Mekkah tersebut, terutama di wilayah Kabupaten
Aceh Jaya (wilayah terparah sapuan tsunami). Banyak orang (tanpa pandang
jabatan dan kekayaan) kehilangan orang-orang terkasih dan terdekat. Tak
terkecuali orang-orang terdekat Ir. Azhar Abdurrahman (yang kini menjadi Bupati
Aceh Jaya). Dia kehilangan kedua orang-tua dan beberapa kerabatnya.
Turut kehilangan
keluarganya pula adalah Bupati Aceh Jaya (waktu itu) Ir. Zulfian Ahmad. Hal ini
dapat kita simak dari ungkapan-ungkapan tulisan sejumlah warga masyarakat. Melalui
emailnya bertanggal 12 Jun 2005, Ir.
Sambas, seorang pekerja untuk sebuah program USAID dan ketika itu sedang
bertugas di Aceh, menulis: “Berita Aceh yang paling menggetirkan tetapi mulai
berangsur senyap dari liputan media massa adalah tentang Kabupaten Aceh Jaya
yang beribu-kota di Calang. Di sini lah
sebetulnya kejadian paling mencekam dan menggetarkan. Bupatinya sendiri, Ir Zulfian Ahmad, kehilangan 4 anak
dan istrinya, yang sampai sekarang belum ditemukan rimbanya. Di sini 25 ribu
penduduk meninggal. Di kota Calang sendiri, 60 persen penduduk yang meninggal,
mayatnya hilang.”
Lebih lanjut Sambas
menuliskan emailnya: “Menurut penuturan Bupati Aceh Jaya --yang kehilangan
seluruh orang yang dicintainya lebih daripada hidupnya sendiri itu-- dirinya
adalah bagian dari yang tersisa-bertahan hidup dalam kegelapan tanpa listrik,
empat hari hanya minum air kelapa. Baru hari kelima ada bantuan mie instan yang
bisa masuk Calang. Di hari kelima itulah mereka yang tersisa hidup baru dapat
makan sekadar penawar lapar. Sekarang ini 40 ribu penduduk Aceh Jaya masih
hidup di tenda-tenda pengungsi.”
Cerita pilu kedahsyatan
tsunami meluluh-lantakkan Calang, ibukota Kabupaten Aceh Jaya, juga dicatat
oleh Fuady Satriani, pegawai Mahkamah Syar’iyah Calang yang selamat dari arus
balik tsunami yang meruntuhkan kantor Mahkamah Syari’iyah Calang. Katanya,
salah satu tempat yang sangat dahsyat dihantam tsunami di Ahad pagi akhir 2004
itu adalah kantor Mahkamah Syar’iyah Calang, dahulu beralamat di Desa Sentosa
Calang, Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, sekitar 300 meter dari
bibir pantai Samudra Hindia. Kenangan pahit nan sulit dilupakan betapa dahsyatnya
arus gelombang tsunami, 22 jiwa keluarga Mahkamah Syar’iyah Calang hilang
disapu gelombang tsunami dan dinyatakan telah meninggal dunia sebagai syuhada
yang sampai kini tidak diketahui di mana letak kuburannya, kecuali hanya
kuburan massal Prahara Tsunami
sebagai saksi sejarah untuk dikunjungi dan didoakan. Dikuburkan di sana, antara
lain:
* Alm. Hasballah Usman, BA
(Pansek), besama 1 isteri 2 anak 1 keponakan;
* Alm. Dra. Yurlina
(Hakim), bersama 1 suami 2 anak;
* Alm. Dra. Nailussa’dah
(Panmud Permohonan), bersama 1 suami 2 anak;
* Alm. Rusli, Is (Wasek),
bersama 2 anak;
* Alm. Salmiyah (Panmud
Hukum);
* Alm. Muhibbuddin
(Pesuruh/Pramusaji), bersama sekeluarga garis keturunan vertikal dan harizontal.
* Alm. Yusmarni Zulfar
(isteri Hakim Zulfar) bersama 2 anak;
* Alm. Drs. Rizami
(Pembuat daftar gaji) meninggal di Banda Aceh berselang satu bulan setelah
tsunami, akibat luka infeksi pada waktu upaya penyelematan dari arus gelombang
tsunami.
Tercatat pegawai lainnya
yang selamat dari musibah tersebut:
* Drs. Bakhtiar (Wakil
Ketua); rumah dan seluruh perlengkapan tempat tinggal di Calang, hanyut dibawa
gelombang tsunami;
* Drs. Ramli Aziz (Ketua)
berdomisili di Banda Aceh karena sakit beberapa bulan kemudian beliau memasuki
usia pensiun;
* Drs. Fuadi Satriani (Kaur
Umum), seluruh harta benda dan tempat tinggal, hilang disapu gelombang tsunami;
* Mukhtar (Kaur Keuangan/Bendahara
Rutin), seluruh harta benda dan tempat tinggal hilang dibawa gelombang tsunami.
* Cut Nuriati (Kaur Kepegawaian);
* Ikhsan, S.Ag ( Jurusita
Pengganti)
* Drs. Zulfar (Hakim),
rumah dan seluruh perlengkapan tempat tinggal hilang disapu gelombang raksasa.
* Drs. Fakhruddin (Hakim),
perlengkapan tempat tinggal hanyut disapu gelombang .
Badai berlalu denyut
pemerintahan gerak kembali. Memasuki tahun 2005, tepatnya bulan Januari 2005,
setelah mendapat semua informasi bencana tsunami khususnya, Mahkamah Syar’iyah
Calang yang nampak hanya lantai bekas kantor, seluruh bangunan dan isinya
hancur berkeping-keping dibawa arus
gelombang tsunami. Atas kesepakatan pegawai yang masih tersisa dari
musibah tsunami (4 Pegawai dan 4 Hakim) serta petunjuk dari Mahkamash Syar’iyah
Aceh, Mahkamah Syar’iyah Calang kembali
beraktivitas dengan membuka Kantor sementara (Kamar Pelayanan) pada Mahkamah
Syar’iyah Meulaboh, akhir Januari sampai April 2005. Kemudian, atas arahan
ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Drs. H. Soufyan M. Saleh, SH), Mahkamah
Syar’iyah Calang kembali ke Calang untuk membangun kembali kantor sementara
yang sangat darurat berukuran 5×6 meter persegi, merangkap tempat tinggal
dengan biaya Rp5.000.000 berasal dari
DIPA MS Calang tahun anggaran 2005 sebesar Rp2.500.000 dan Rp2.500.000 bantuan
Mahkamah Syar’iyah Aceh. Lokasi kantor berada di atas gunung carak, perkarangan
komplek Masjid Agung Jabal Rahmah Calang.
Pimpinan (ketua) Mahkamah
Syar’iyah Calang dijabat sementara oleh Drs. Bakhtiar (Wakil Ketua), jabatan
panitera/sekretaris atas petunjuk Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, meminta
kerelaan panitera pengganti Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, Drs. T .Burhan Saby,
untuk dipindahkan pada Mahkamah Syar’iyah Calang serta diangkat dalam jabatan
Panitera/Sekretaris Mahkamah Syar’iyah Calang.
Aktivitas perkantoran
menjalankan administrasi, melaksanakan sidang, membaca putusan/penetapan di kantor
darurat merangkap tempat tinggal sambil duduk beralaskan tikar plastik, kalau
mengantuk lansung tidur, bila perut terasa lapar tinggal melangkah dua langkah
lansung ke dapur, hanya bertahan selama lebih kurang empat bulan, kemudian
pindah ke kantor darurat bantuan Pemkab Aceh Jaya bekerja sama dengan NGO
dengan ukuran kantor 5 x 12 meter persegi, tiga kamar berlantai tanah. Selama
tahun 2005 Mahkamah Syar’iyah Calang dapat menyelesaikan 91 perkara, 72 perkara
permohonan dan 19 perkara gugatan.
Memasuki tahun 2006
Mahkamah Agung Republik Indonesia mengirim SK Mutasi Hakim untuk mengisi
formasi jabatan ketua Drs.Ahmad Zaini Dahlan, serta mengalokasikan belanja
modal bangunan gedung kantor dalam DIPA MS Calang TA 2006 sejumlah Rp520.juta.
Namun timbul persoalan baru, yakni masalah pengadaan tanah gedung kantor, bekas
tanah gedung kantor lama belum dapat dimanfaatkan karena ada larangan dari
pihak rekonstruksi pasca bencana untuk membangun kantor di daerah bekas bencana
yang dekat dengan bibir pantai.
Akhirnya kembali meminta
pendapat pimpinan Mahkamah Syar’iyah Aceh, ditanggapi positif pihaknya berupaya
mencari donatur pengadaan tanah dan gedung kantor MS Calang dan akhir tahun
2006 dimulai pembangunan gedung kantor serta rumah dinas Mahkamah Syar’iyah
Calang. Januari 2007 gedung kantor yang beralamat di Jalan Pengadilan Nomor 2 Gampong
Blang, Calang, telah dapat difungsikan.
C.
Titik
Balik Kehidupan
Pasca tragedi tsunami,
Aceh Jaya bagai daerah tidak bertuan. Semua fasilitas sosial dan infrastruktur
luluh lantak. Daerah yang belum terlalu lama mekar dari Kabupaten Aceh Barat
itu nyaris tidak ada kehidupan. Mereka yang tersisa (selamat dari bencana)
harus memulai kehidupan dari mula. Banyak bantuan –baik dari domestik maupun
internasional—masuk ke wilayah kabupaten dengan ibukota Calang ini.
Salah satu bantuan
penting datang di Lembaga Swadaya Masyarakat
MER-C Indonesia. LSM ini membangun kembali aset Puskesmas dan mengisi peralatan
medis senilai Rp2,5 miliar di Aceh Jaya.
“Kami berharap aset ini
dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam upaya memberikan pelayanan
kesehatan maksimal kepada warga masyarakat,” kata Project Manager MER-C for
Aceh Ira Hadiati saat menyerahkan bantuan tersebut pada awal 2014..
Dijelaskannya, aset di Gampong/Desa
Panga, Kecamatan Keude Panga, itu diserahkan oleh Presidium MER-C Indonesia dr
Sarbini Abdul Murad dan diterima Sekda Kabupaten Aceh Jaya Teuku Irvan TB.
Ira mengatakan Puskesmas
dan peralatan medis yang diserahkan kepada Pemkab Aceh Jaya itu memadai untuk
sebuah rumah sakit. Adapun aset yang diberikan itu terdiri dari tanah wakaf
dari warga setempat Syarifuddin Yunus kepada MER-C seluas 1200 meter persegi
dan tanah milik MER-C seluas 200 meter
persegi beserta bangunannya. Kemudian peralatan medis lengkap untuk IGD,
apotek, kamar bersalin, poliklinik umum, rawat inap, dental unit, laboratorium,
ruang operasi dan X Ray.
“Semua peralatan medis
yang kami serahkan ini memenuhi standar untuk sebuah rumah sakit,” tandasnya.
Aset yang diserahkan
tersebut dibangun dan dipergunakan MER-C serta petugas Puskesmas Panga sejak
2006. Ini merupakan salah satu bantuan yang dibangun untuk membantu pelayanan
kesehatan buat korban tsunami Aceh 26
Desember 2004.
Pihaknya berharap berkat
kehadiran Puskesmas dengan peralatan rumah sakit tersebut dapat memberikan
tindakan medis secepatnya kepada warga masyarakat di gampong setempat khususnya
dan Aceh Jaya umumnya.
Ada hikmah di balik
musibah. Begitulah pepatah yang kerap kita yakini di saat musibah melanda.
Musibah gempa dan tsunami 2004 pun menjadi titik balik membangun Pelabuhan
Calang.
Hal ini bisa kita simak
dari perjalanan dinas aparatur Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan
pada tanggal 9 hingga 12 September 2014 menelusuri pelayanan angkutan laut
perintis di lintas barat Provinsi Aceh.
Dalam keterangan pers
Kementerian Perhubungan digambarkan, perjalanan dimulai dari Pelabuhan
Meulaboh, Aceh Barat. Kemudian dilanjutkan ke Pelabuhan Calang, Aceh Jaya, dan
berakhir di Pelabuhan Malahayati, Banda Aceh. Kedua kabupaten dan satu Ibu Kota
Provinsi Aceh itu merupakan daerah yang terkena hantaman gempa dan gelombang
tsunami pada Desember 2004 silam.
Bahkan Meulaboh dan
Calang merupakan daerah yang paling parah terkena tsunami. Selain menelan
ribuan korban jiwa, gelombang tsunami juga memporak-porandakan infrastruktur
transportasi kedua daerah tersebut, seperti jalan raya dan pelabuhan.
Pasca tsunami, Meulaboh
dan Calang sempat menjadi daerah terisolir karena jalan raya yang
menghubungkannya dari dan ke Banda Aceh terputus. Pelabuhan Meulaboh dan Calang
pun rata dengan tanah sehingga tidak ada kapal yang dapat sandar. Begitu pula
Bandara Cut Nyak Dhien yang berlokasi di Kabupaten Nagan Raya, sebuah kabupaten
yang terletak di antara Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Jaya hancur dan tidak
bisa didarati oleh pesawat.
Setelah hampir 10 tahun
pasca kejadian, infrastruktur transportasi lintas barat Aceh tersebut telah
pulih seratus persen. Infrastruktur jalan raya antara Meulaboh dan Calang sudah
kembali mulus. Bahkan jalan raya yang menghubungkan Calang dengan Banda Aceh
yang berjarak sekitar 135 kilometer kondisinya jauh lebih mulus karena dibangun
oleh negara donor seperti Amerika, Australia dan negara-negara lainnya.
Sebagaimana halnya jalan
raya, infrastruktur pelabuhan di Meulaboh, Calang, dan Malahayati pun sudah
semakin baik. Pelabuhan Calang yang masih merupakan pelabuhan unit pelaksana
teknis terlihat lebih mentereng dan lengkap daripada Pelabuhan Meulaboh, bahkan
dibandingkan dengan Pelabuhan Kelas IV Malahayati sekalipun.
Sejak 2009, Kementerian Perhubungan
membangun kembali Pelabuhan Calang. Selain memiliki dermaga dengan panjang
total 300 meter, pelabuhan ini dilengkapi dengan terminal penumpang,
pergudangan, dan perkantoran. Luas area perkantorannya sendiri mencapai 3.000 meter
persegi. Guna mengaktifkan kembali lalu lintas laut, baik penumpang maupun
barang, Kementerian Perhubungan menempatkan satu kapal perintis yang
berpangkalan (home base) di Calang
yaitu KM Mitra Bahari, dan satu kapal perintis lainnya yaitu KM Sabuk Nusantara
35 yang berpangkalan (home base) di
Pelabuhan Meulaboh.
Berdasarkan data yang
diperoleh dari Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Calang, tampaknya warga
masyarakat Aceh Jaya masih belum memanfaatkan keberadaan Pelabuhan Calang
secara optimal.
Padahal, menurut Plh KUPP
Pelabuhan Calang Capt. Nailan, sebelum
luluh lantak oleh gelombang tsunami pelabuhan ini terkenal dan ramai sebagai
tempat pengangkutan kayu gelondongan (log). Tapi sekarang, sejak Januari hingga
Agustus 2014, jumlah barang yang diangkut melalui Pelabuhan Calang hanya 250
ton, sedangkan penumpangnya hanya 787 orang.
"Kondisi seperti ini
tentunya tidak bisa dibiarkan terus berlarut, infrastruktur pelabuhan yang
telah dengan susah payah dibangun oleh Kementerian Perhubungan tersebut harus
lebih dioptimalkan," kata Nailan, didampingi oleh petugas Kesatuan
Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Azwani Amru.
Dia berharap pemerintah
daerah Aceh Jaya segera berupaya mengoptimalkan Pelabuhan Calang sebagai tempat
keluar-masuk berbagai komoditas dan penumpang dari dan ke Aceh Jaya.
"Kami, Kementerian Perhubungan telah menyediakan berbagai fasilitas
pelabuhan dan juga termasuk kapal pengangkutnya," ujar Nailan.
Pemerintah Kabupaten Aceh
Jaya harus segera bergandengan tangan dengan semua stakeholder --termasuk
dengan para pengusaha kelapa sawit dan tambang batubara-- untuk berupaya
memanfaatkan pelabuhan dan transportasi laut secara maksimal. Salah satu
caranya tentu saja dengan mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, baik
industri, perdagangan, maupun jasa, termasuk pariwisata.
D.
Dari
Tsunami ke Perjanjian Helsinki
Sekali lagi, senantiasa
ada hikmah di bali musibah. Satu hal menarik di balik musibah gempa bumi dan
tsunami Aceh adalah demikian derasnya bantuan yang masuk ke Bumi Serambi Mekkah
ini. Sayangnya, banyak pendonor (terutama pemberi bantuan asing) yang
mengeluhkan faktor keamanan tatkala mereka menyalurkan bantuan. Mereka merasa
terganggu oleh konflik antara Pemerintah RI dan GAM yang masih melanda wilayah
Aceh.
Konflik antara Pemerintah
RI dan GAM terus berlangsung hingga Pemerintah menerapkan status Darurat
Militer di Aceh pada tahun 2003, setelah melalui beberapa proses dialogis yang
gagal mencapai solusi kata sepakat antara Pemerintah RI dan aktivis GAM.
Konflik tersebut sedikit banyak telah menekan aktivitas bersenjata yang
dilakukan oleh GAM, banyak di antara aktivis GAM yang melarikan diri ke luar
daerah Aceh dan luar negeri. Bencana alam gempa bumi dan tsunami pada 26
Desember 2004 telah memaksa pihak-pihak yang bertikai untuk kembali ke meja
perundingan atas inisiasi dan mediasi oleh pihak internasional.
Tercatat pada 27 Februari
2005, pihak GAM dan Pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa,
Finlandia. Mantan Presiden Finlandia Marti Ahtisaari berperan sebagai
fasilitator.
Pada 17 Juli 2005,
setelah perundingan selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai
kesepakatan damai dengan GAM di Vantaa, Helsinki, Finlandia. Penanda-tanganan
nota kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Agustus 2005.
Proses perdamaian
selanjutnya dipantau oleh sebuah tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM)
yang beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara yang tergabung dalam
Uni Eropa. Di antara poin penting perjanjian damai itu adalah bahwa Pemerintah
Indonesia turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan
pemberian amnesti bagi anggota GAM.
Berdasarkan perjanjian
tersebut, Aceh menerima otonomi khusus di bawah Republik Indonesia, tentara
non-organik (misalkan tentara beretnis non-Aceh) ditarik dari Provinsi Aceh
(hanya menyisakan 25.000 tentara), dan dilakukannya pelucutan senjata GAM.
Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Uni Eropa mengirimkan 300 pemantau
yang tergabung dalam Aceh Monitoring Mission (Misi Pemantau Aceh). Misi mereka
berakhir pada tanggal 15 Desember 2006, setelah suksesnya pemilihan umum kepada
daerah (Pilkada) gubernur Aceh yang pertama.
Dan pada tanggal 11
Desember 2006 digelar Pilkada secara langsung di tangan rakyat. Dalam Pilkada ini
mantan anggota GAM dan partai nasional turut berpartisipasi aktif. Pemilihan
itu dimenangkan oleh Irwandi Yusuf, mantan elit GAM, yang basis dukungannya
sebagian besar terdiri dari para mantan anggota GAM.
Aceh pun telah diberikan
otonomi yang lebih luas melalui UU Pemerintah, meliputi hak khusus yang
disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk membentuk partai
politik lokal untuk mewakili kepentingan mereka. Namun, pendukung HAM menyoroti
bahwa pelanggaran HAM sebelumnya di Provinsi Aceh akan perlu ditangani.
Sumber: Dokumen BRR NAD-NIAS
Ya, bencana gempa bumi
dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 telah membawa dampak penuh
hikmah bagi rakyat Aceh umumnya untuk hidup lebih damai, jauh dari konflik
berkepanjangan. Dan, yang tidak kalah penting, Aceh menjadi lebih kondusif
untuk membangun diri dan masyarakatnya. (*)
No comments:
Post a Comment