Pasien BPJS Kesehatan antre menunggu panggilan di RSUD Tarakan, Jakarta, Kamis, (30/10). (CNN Indonesia/ Safir Makki)
Lembaga swadaya masyarakat pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, BPJS Watch, melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk merekomendasikan pemecatan jajaran direksi BPJS Kesehatan.
Hal itu dilakukan melihat kecacatan Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 4 Tahun 2014 tentang Kepesertaan dan Tata Cara Pendaftaran. Dalam peraturan tersebut dijelaskan ketentuan aktivasi kartu BPJS mesti menunggu hingga sepekan. Aturan ini, menurut Koordinator BPJS Watch Indra Munaswar, menuai banyak kritik dan telah menelan korban.
BPJS Kesehatan kemudian mengatur petunjuk teknis mengenai peraturan tersebut dengan menerbitkan Peraturan Direksi Nomor 211 Tahun 2014 di mana BPJS memberikan kelonggaran masa aktivasi sepekan yang khusus diwajibkan hanya untuk peserta kelas I dan II. Sementara peserta BPJS Kesehatan golongan Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari kalangan tidak mampu dan kelas III bisa langsung mendapatkan manfaat begitu kartu diaktivasi.
Meski demikian, Indra menilai aturan direksi tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam Pasal 43 A ayat 2 JKN dijelaskan pembuatan peraturan oleh direksi harus berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait.
"Seharusnya dikonsultasikan dulu ke kementerian terkait, tapi ini serta-merta muncul," kata dia.
BPJS Watch mengaku telah berkomunikasi dengan direksi BPJS Kesehatan, namun tidak mendapat tanggapan.
Oleh karena itu Indra mengirimkan surat berisi desakan kepada Presiden Jokowi untuk bersikap tegas pada jajaran direksi BPJS Kesehatan. "Presiden harus bertanggungjawab sesuai aturan dan memberhentikan direksi," kata dia.
Dihubungi secara terpisah, peneliti kesehatan Pusat Studi Nusantara (Pustara) Zulkarnaen mengatakan kedudukan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan berada di bawah Peraturan BPJS Kesehatan sehingga revisi menggunakan peraturan direksi adalah tidak benar.
Lebih jauh lagi, Zulkarnaen menilai pemberlakuan pengecualian masa aktivasi tujuh hari hanya kepada peserta kelas III adalah bentuk diskriminasi di masyarakat.
"Karena menimbulkan banyak masalah di masyarakat maka sudah selayaknya Peraturan BPJS Kesehatan dan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan tersebut dicabut," kata dia.
Peneliti Pustara lainnya, Hariyanto, juga mengkritik kualitas direksi BPJS Kesehatan yang ia nilai rendah. Pasalnya, produk peraturan yang dibuat BPJS Kesehatan justru menyulitkan masyarakat.
"Direksi BPJS Kesehatan pola pikirnya mestinya bukan bagaimana memperbanyak jumlah iuran, tapi bagaimana masyarakat yang membutuhkan bisa tertolong dengan segera," kata Hariyanto.
Oleh karena itu Pustara juga mendesak Presiden Jokowi untuk segera mengevaluasi kinerja Direksi yang dinilai gagal menunaikan mandat kesehatan untuk rakyat. "Jokowi harus buktikan bahwa program pelayanan kesehatan itu memang untuk rakyat," ujar Hariyanto.
Makan korban
Selain dikritik pengamat dan aktivis kesehatan, aturan BPJS Kesehatan juga mendapat kritikan pihak pengelola, yakni rumah sakit. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, Wasista Budi Waluyo, mengatakan aturan aktivasi dan pendaftaran yang ruwet menyebabkan jatuhnya korban.
"Ada pasien trauma kepala, tidak usah saya sebutkan identitasnya," kata Wasista memulai ceritanya. Pasien tersebut mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan di hari dia sakit, yakni tanggal 1.
Berdasarkan ketentuan, dana baru bisa dicairkan pada tanggal 8 atau seminggu sesudahnya. "Dia akhirnya meninggal tanggal 6 karena tidak ada biaya. Peraturan tidak bisa begini," ujar Wasista menyesalkan.
Seorang dokter di RS Bersalin Budi Kemuliaan Jakarta yang tak mau disebutkan namanya juga mengeluhkan aturan BPJS Kesehatan. Aturan direksi tersebut ia anggap belum disosialisasikan dengan baik kepada pasien ataupun instansi terkait.
"Bagi pasien yang melahirkan dan ingin mendapatkan jaminan pembiayaan untuk bayinya, peraturan itu bisa sangat menyulitkan," kata dia.
Dokter tersebut kemudian mencontohkan salah satu pasien perempuan yang baru melahirkan di RS Budi Kemuliaan, pembiayaannya ditolak karena belum mengurus surat keterangan tak mampu ke Dinas Sosial.
Ketika suami perempuan tersebut mengurus surat keterangan tersebut dan kembali ke rumah sakit, ternyata jaminan pembiayaan tetap ditolak dengan dalih sudah melebihi 3 x 24 jam. Alhasil, keluarga tak mampu itu mesti berutang sana-sini untuk menutup biaya bersalin yang mencapai puluhan juta rupiah.
Ketika dikonfimasi oleh CNN Indonesia, Jumat (19/12), Kepala Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Ihsan, mengatakan menerima keluhan dan kritik yang datang dari masyarakat. Pihaknya juga akan terus mengevaluasi kekurangan dari peraturan yang selama ini sudah ditetapkan BPJS Kesehatan.
"BPJS Kesehatan akan mengevaluasi semuanya," kata dia.
(http://www.cnnindonesia.com/)
No comments:
Post a Comment