DJSN klaim iuran pensiun 8% harga mati. foto: Ilustrasi/Istimewa
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyatakan, usulan iuran jaminan pensiun sebesar 8% dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai harga mati, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
"Usulan itu diambil dari 1/12 dari gaji pokok karena nantinya akan dinaikan bertahap. Sebaiknya usulan ini dijalankan saja dulu karena dimanapun sudah menjadi kewajiban pemerintah menanggung risiko jika terjadi unfunded, tapi itu baru terjadi tahun 2050," ujar anggota DJSN Bambang Purwoko di Jakarta, Kamis (4/11).
Bambang mengatakan, Indonesia digolongkan negara tertinggal dalam menerapkan jaminan sosial bagi warga negaranya. Program jaminan pensiun bagi seluruh warganegara dijadwalkan mulai diberlakukan pada 1 juli 2015. Namun, program itu untuk sementara baru berlangsung bagi perusahaan besar dan sedang, belum diharuskan perusahaan kecil mengingat masalah pendanaan.
Menurut Bambang, program jaminan pensiun merupakan manfaat pasti dalam bentuk santunan berkala. "Pembayarannya tidak boleh dilakukan sekaligus, tapi mesti berkala untuk hari tua. Prinsipnya gotong royong, yang masih muda menanggung mereka yang memasuki usia pensiun," imbuhnya.
Dia menjelaskan, jika diperbandingkan iuran yang mesti disisihkan untuk program pensiun, iuran program pensiun di Indonesia sangat rendah. Misal, di Malaysia iuran yang mesti dibayarkan 23% terdiri dari 11%iuran pekerja dan pemberi kerja 12%. Singapura iuran pensiun mencapai 33% dan Italia 32,7%.
"Kalau dirata-rata iuran pensiun di negara-negara lain itu, 1/4 atau 1/5 gaji yaitu 25 atau 20%. Untuk Indonesia hanya 1/12 atau 8%. Karena itu, kita berharap jangan ada yang menawar-nawar lagi. Kalau kurang dari itu, lebih baik tidak ada program pensiun karena tidak berarti apa-apa," imbuhnya.
Untuk Indonesia, lanjut Bambang, iurannya diusulkan naik bertahap, dimulai dari 8% (2015), 10% (2010), 12% (2021), 15% (2024) dan 17% (2030). Memang, lanjut dia, terdapat risiko unfunded (gagal bayar), tapi hal itu merupakan kewajiban yang harus dipikul oleh negara.
"Di negara manapun, negara mesti ikut mengiur, dan kewajiban itu dilakukan ketika terjadi unfunded, yang berdasarkan perhitungan aktuaria siklusnya terjadi tahun ke-50," katanya.
Dia mencontohkan situasi yang terjadi pengelolaan pensiun TNI/Polri dan PNS. "Jumlah PNS 4,7 juta tapi yang pensiun sekarang 2,6 juta. Ini tidak sehat, karena rumusnya yang seimbang adalah 2:1, dimana yang berkerja harus dua kali lipat yang pensiun," paparnya.
Untuk mengantisipasi unfunded, kata Bambang, sebaiknya negara menyisihkan jumlah tertentu yang bisa dititipkan pada BPJS Ketenagakerjaan atau pemerintah untuk dikembangkan dari tahun ke tahun.
Sementara itu, Kepala Divisi Teknis BPJS Ketenagakerjaan Indro Sucahyono menyatakan, pihaknya sebagai pelaksana pengelola jaminan pensiun, siap melaksanakan amanat itu. Namun, sampai saat ini, Peraturan Pemerintah (PP) sebagai juklak melaksanakan jaminan pensiun belum ada.
"Kalau PP program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK) sudah di kementrian. Fahmy menilai, seharusnya beban biaya pengadaan BBM bersubsidi bisa lebih murah, tanpa harus melakukan proses oplos untuk menurunkan kadar oktan. Konsekuensi itu membuat beban produksi BBM bersubsidi lebih tinggi dari harga keekonomian BBM non-subsidi.
Di samping itu, ketentuan dalam memonitor biaya produksi BBM masih sulit dianalisa. Hal itu dari banyaknya asumsi yang dipakai Pertamina dalam melakukan impor minyak dan produk BBM.
(http://ekbis.sindonews.com/)
"Usulan itu diambil dari 1/12 dari gaji pokok karena nantinya akan dinaikan bertahap. Sebaiknya usulan ini dijalankan saja dulu karena dimanapun sudah menjadi kewajiban pemerintah menanggung risiko jika terjadi unfunded, tapi itu baru terjadi tahun 2050," ujar anggota DJSN Bambang Purwoko di Jakarta, Kamis (4/11).
Bambang mengatakan, Indonesia digolongkan negara tertinggal dalam menerapkan jaminan sosial bagi warga negaranya. Program jaminan pensiun bagi seluruh warganegara dijadwalkan mulai diberlakukan pada 1 juli 2015. Namun, program itu untuk sementara baru berlangsung bagi perusahaan besar dan sedang, belum diharuskan perusahaan kecil mengingat masalah pendanaan.
Menurut Bambang, program jaminan pensiun merupakan manfaat pasti dalam bentuk santunan berkala. "Pembayarannya tidak boleh dilakukan sekaligus, tapi mesti berkala untuk hari tua. Prinsipnya gotong royong, yang masih muda menanggung mereka yang memasuki usia pensiun," imbuhnya.
Dia menjelaskan, jika diperbandingkan iuran yang mesti disisihkan untuk program pensiun, iuran program pensiun di Indonesia sangat rendah. Misal, di Malaysia iuran yang mesti dibayarkan 23% terdiri dari 11%iuran pekerja dan pemberi kerja 12%. Singapura iuran pensiun mencapai 33% dan Italia 32,7%.
"Kalau dirata-rata iuran pensiun di negara-negara lain itu, 1/4 atau 1/5 gaji yaitu 25 atau 20%. Untuk Indonesia hanya 1/12 atau 8%. Karena itu, kita berharap jangan ada yang menawar-nawar lagi. Kalau kurang dari itu, lebih baik tidak ada program pensiun karena tidak berarti apa-apa," imbuhnya.
Untuk Indonesia, lanjut Bambang, iurannya diusulkan naik bertahap, dimulai dari 8% (2015), 10% (2010), 12% (2021), 15% (2024) dan 17% (2030). Memang, lanjut dia, terdapat risiko unfunded (gagal bayar), tapi hal itu merupakan kewajiban yang harus dipikul oleh negara.
"Di negara manapun, negara mesti ikut mengiur, dan kewajiban itu dilakukan ketika terjadi unfunded, yang berdasarkan perhitungan aktuaria siklusnya terjadi tahun ke-50," katanya.
Dia mencontohkan situasi yang terjadi pengelolaan pensiun TNI/Polri dan PNS. "Jumlah PNS 4,7 juta tapi yang pensiun sekarang 2,6 juta. Ini tidak sehat, karena rumusnya yang seimbang adalah 2:1, dimana yang berkerja harus dua kali lipat yang pensiun," paparnya.
Untuk mengantisipasi unfunded, kata Bambang, sebaiknya negara menyisihkan jumlah tertentu yang bisa dititipkan pada BPJS Ketenagakerjaan atau pemerintah untuk dikembangkan dari tahun ke tahun.
Sementara itu, Kepala Divisi Teknis BPJS Ketenagakerjaan Indro Sucahyono menyatakan, pihaknya sebagai pelaksana pengelola jaminan pensiun, siap melaksanakan amanat itu. Namun, sampai saat ini, Peraturan Pemerintah (PP) sebagai juklak melaksanakan jaminan pensiun belum ada.
"Kalau PP program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK) sudah di kementrian. Fahmy menilai, seharusnya beban biaya pengadaan BBM bersubsidi bisa lebih murah, tanpa harus melakukan proses oplos untuk menurunkan kadar oktan. Konsekuensi itu membuat beban produksi BBM bersubsidi lebih tinggi dari harga keekonomian BBM non-subsidi.
Di samping itu, ketentuan dalam memonitor biaya produksi BBM masih sulit dianalisa. Hal itu dari banyaknya asumsi yang dipakai Pertamina dalam melakukan impor minyak dan produk BBM.
(http://ekbis.sindonews.com/)
No comments:
Post a Comment