Kompas
Data statistik Jaminan Kesehatan Nasional
Tahun pertama penerapan Jaminan Kesehatan Nasional, dana yang terkumpul masih dinikmati kelompok mampu. Pembiayaan kesehatan itu juga lebih banyak dimanfaatkan masyarakat di kota besar dan Pulau Jawa yang memiliki fasilitas dan tenaga kesehatan lebih baik.
Jika iuran JKN dari kelompok pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan
non-PBPU yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
dipisah, kelompok PBPU lebih banyak menikmati dana JKN. Kelompok itu
antara lain terdiri dari pekerja nonformal dan orang mampu, termasuk
kelompok hampir miskin yang bukan penerima bantuan iuran (PBI).
Di sisi lain, pemanfaatan JKN dari kelompok non-PBPU yang terdiri dari PBI serta bekas peserta Asuransi Kesehatan dan peserta Jaminan Sosial Tenaga Kerja—yang mayoritas dananya bersumber APBN—justru kurang memanfaatkan JKN. Padahal, jumlah mereka jauh lebih besar.
Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM yang juga pendiri Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) UGM Laksono Trisnantoto dihubungi dari Jakarta, Sabtu (24/1), menilai kondisi itu terjadi karena pencampuran iuran peserta JKN dalam satu wadah. ”Seharusnya, iuran kedua kelompok itu dipisah sehingga diperoleh keadilan pemanfaatan JKN,” katanya.
Pencampuran semua iuran itu, kata Laksono, membuat kelompok miskin (penerima PBI sebagai kelompok peserta terbesar) menyubsidi kelompok yang lebih mampu, sedangkan yang tinggal di daerah tertinggal dengan fasilitas kesehatan kurang menyubsidi peserta di kota besar dan Pulau Jawa.
Pemisahan sumber pendanaan itu bisa membuat sisa pendanaan kelompok non-PBPU dimanfaatkan untuk mempercepat pembangunan fasilitas kesehatan di daerah tertinggal serta mengirimkan tenaga-tenaga kesehatan khususnya dokter spesialis ke daerah-daerah kekurangan.
”Kelompok PBI di luar Jawa tak bisa memanfaatkan JKN karena fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tidak ada,” katanya. Contohnya, operasi jantung terbuka yang ditanggung JKN tak bisa dimanfaatkan warga NTT karena tak ada dokter jantung atau bedah di provinsi itu.
Penyediaan fasilitas dan tenaga kesehatan di daerah memang tanggung jawab pemerintah. Namun, jika mengandalkan mereka, upaya pemerataan fasilitas dan tenaga kesehatan itu diyakini sulit dilakukan karena kemampuan keuangan setiap daerah beda.
Melalui pemisahan sumber dana, kelompok PBPU bisa membayar iuran lebih tinggi. Besaran iuran Rp 59.500 untuk kelas I, Rp 42.500 kelas II, dan Rp 25.500 kelas III dinilai sangat murah dibanding premi asuransi kesehatan swasta. Belum lagi, semua jenis penyakit dicakup JKN.
Prinsip gotong royong
Namun, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI yang juga Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan UI Hasbullah Thabrany tidak setuju dengan pemisahan iuran peserta JKN berdasarkan kelompok kepesertaannya. ”Itu menunjukkan pola pikir yang masih sama seperti asuransi komersial, yaitu setiap individu menanggung diri sendiri. Padahal, JKN adalah asuransi sosial,” katanya.
Filosofi asuransi sosial, yang sehat menanggung yang sakit, yang muda menjamin yang tua, dan yang kaya membantu yang miskin, menuntut penyebaran beban dan pendapatan sesuai prinsip gotong royong.
Pelaksanaan JKN juga akan membalik sistem kesehatan di masa lalu, saat hanya yang mampu yang bisa mengakses layanan kesehatan. Namun, untuk mewujudkan itu semua perlu waktu transisi setidaknya hingga 2019 saat seluruh warga Indonesia wajib menjadi peserta JKN.
Kondisi saat ini bukan salah BPJS Kesehatan, melainkan pola pembangunan kesehatan pemerintah pusat dan daerah yang membuat pembangunan fasilitas dan tenaga kesehatan tak merata. (http://www.tribunnews.com)
Di sisi lain, pemanfaatan JKN dari kelompok non-PBPU yang terdiri dari PBI serta bekas peserta Asuransi Kesehatan dan peserta Jaminan Sosial Tenaga Kerja—yang mayoritas dananya bersumber APBN—justru kurang memanfaatkan JKN. Padahal, jumlah mereka jauh lebih besar.
Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM yang juga pendiri Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) UGM Laksono Trisnantoto dihubungi dari Jakarta, Sabtu (24/1), menilai kondisi itu terjadi karena pencampuran iuran peserta JKN dalam satu wadah. ”Seharusnya, iuran kedua kelompok itu dipisah sehingga diperoleh keadilan pemanfaatan JKN,” katanya.
Pencampuran semua iuran itu, kata Laksono, membuat kelompok miskin (penerima PBI sebagai kelompok peserta terbesar) menyubsidi kelompok yang lebih mampu, sedangkan yang tinggal di daerah tertinggal dengan fasilitas kesehatan kurang menyubsidi peserta di kota besar dan Pulau Jawa.
Pemisahan sumber pendanaan itu bisa membuat sisa pendanaan kelompok non-PBPU dimanfaatkan untuk mempercepat pembangunan fasilitas kesehatan di daerah tertinggal serta mengirimkan tenaga-tenaga kesehatan khususnya dokter spesialis ke daerah-daerah kekurangan.
”Kelompok PBI di luar Jawa tak bisa memanfaatkan JKN karena fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tidak ada,” katanya. Contohnya, operasi jantung terbuka yang ditanggung JKN tak bisa dimanfaatkan warga NTT karena tak ada dokter jantung atau bedah di provinsi itu.
Penyediaan fasilitas dan tenaga kesehatan di daerah memang tanggung jawab pemerintah. Namun, jika mengandalkan mereka, upaya pemerataan fasilitas dan tenaga kesehatan itu diyakini sulit dilakukan karena kemampuan keuangan setiap daerah beda.
Melalui pemisahan sumber dana, kelompok PBPU bisa membayar iuran lebih tinggi. Besaran iuran Rp 59.500 untuk kelas I, Rp 42.500 kelas II, dan Rp 25.500 kelas III dinilai sangat murah dibanding premi asuransi kesehatan swasta. Belum lagi, semua jenis penyakit dicakup JKN.
Prinsip gotong royong
Namun, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI yang juga Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan UI Hasbullah Thabrany tidak setuju dengan pemisahan iuran peserta JKN berdasarkan kelompok kepesertaannya. ”Itu menunjukkan pola pikir yang masih sama seperti asuransi komersial, yaitu setiap individu menanggung diri sendiri. Padahal, JKN adalah asuransi sosial,” katanya.
Filosofi asuransi sosial, yang sehat menanggung yang sakit, yang muda menjamin yang tua, dan yang kaya membantu yang miskin, menuntut penyebaran beban dan pendapatan sesuai prinsip gotong royong.
Pelaksanaan JKN juga akan membalik sistem kesehatan di masa lalu, saat hanya yang mampu yang bisa mengakses layanan kesehatan. Namun, untuk mewujudkan itu semua perlu waktu transisi setidaknya hingga 2019 saat seluruh warga Indonesia wajib menjadi peserta JKN.
Kondisi saat ini bukan salah BPJS Kesehatan, melainkan pola pembangunan kesehatan pemerintah pusat dan daerah yang membuat pembangunan fasilitas dan tenaga kesehatan tak merata. (http://www.tribunnews.com)
No comments:
Post a Comment