* TIGA
Di
era global sekarang ini, keberhasilan dalam berbagai bidang kerja itu bisa
diraih jika kita konsisten untuk bekerja dengan berpijak pada nilai-nilai
sosial-budaya, khazanah-kearifan, kekuatan dan potensi kita sendiri. (Akio Morita, Pendiri Sony Corporation)
PANGKALAN
BUN,
akhir 1977. Setelah tiga tahun berjuang dalam kehidupan yang penuh warna di
Pangkalan Bun, Marukan pun sampai di tapal batas kelulusan SMA Negeri 1 Pangkalan
Bun pada akhir 1977. Dengan torehan prestasi kelulusan yang lumayan mengkilap.
Pokoknya, cukup modal buat melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi atau
universitas yang dicita-citakan.
Pastur pembimbingnya
selama tinggal di asrama anak-anak pedalaman yang berada di bibir Sungai Arut juga
menyarankan agar Marukan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
lagi, bukan sekadar lulus SMA. Bahkan, sang pastur membekalinya sejumlah uang
untuk ongkos naik kapal ke Banjarmasin supaya bisa segera mendaftarkan diri ke
universitas yang ada di Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan itu.
Sayangnya, ketika hendak
berangkat menumpang kapal laut ke Banjarmasin, cuaca di Laut Jawa sedang tidak
bersahabat. Ombak sedang tinggi. Marukan batal naik kapal yang bersiap ke
Banjarmasin. Dia kemudian menumpang pesawat terbang dengan ongkos dari duit
hasil penjualan sapi di kampung halaman Desa Bayat.
Lantaran dinilai kurang
jujur perihal ongkos naik pesawat terbang, tiba di Banjarmasin dia ditolak oleh
pihak Keuskupan yang sedianya menampung dirinya selama berada di kota
bersejarah Bumi Borneo itu. Dia harus pula mencari tumpangan agar tetap bisa
melanjutkan kuliah di Banjarmasin. Bersyukur ada seorang kenalan yang bersedia
memberi tumpangan selama proses mencari dan mendaftarkan diri di Universitas
“Perjuangan” Lambung Mangkurat.
Pilihan Marukan ketika
itu ke Universitas Lambung Mangkurat boleh dikatakan cukup tepat. Sebab, universitas
tertua di Bumi Borneo itu memberi banyak pilihan bidang keilmuan yang
diinginkan para calon mahasiswa.
Sekadar pengetahuan
historis, Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) berdiri atas inisiatif dan jasa
pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia di Kalimantan Selatan, terutama mereka
yang pada tanggal 17 Mei 1949 memproklamasikan Pemerintahan Gubernur Militer
ALRI Divisi IV Kalimantan, di bawah pimpinan Gubernur Militer Hasan Basry,
sebagai upaya menegakkan kemerdekaan.
Ceritanya, pada waktu
reuni Kesatuan Tentara Nasional Indonesia Divisi Lambung Mangkurat di Desa
Niih, Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, pada tanggal 3-10 Maret 1957,
mereka membentuk “Dewan Lambung Mangkurat” dengan beberapa rencana kerja, salah
satu di antaranya mendirikan Perguruan Tinggi di Kalimantan.
Sebagai realisasi
sebagian dari rencana Dewan Lambung Mangkurat tersebut, pada pertengahan tahun
1958 dibentuk Panitia Persiapan Pendirian Universitas Lambung Mangkurat. Kemudian
pada tanggal 21 September 1958 Panitia berhasil meresmikan berdirinya Universitas
Lambung Mangkurat dengan empat fakultas, yaitu Fakultas Hukum, Fakultas
Ekonomi, Fakultas Sosial dan Politik, dan Fakultas Islamologi.
Setelah berjalan kurang
lebih dua tahun, Pemerintah Republik Indonesia --melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 41 tahun 1960 tertanggal 29 Oktober 1960-- meresmikan Unlam sebagai
Universitas Negeri pada tanggal 1 November 1960. Peresmian dilakukan oleh
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
Pada saat peresmian itu,
Universitas Lambung Mangkurat memiliki empat fakultas, masing-masing Fakultas
Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Sosial dan Politik, dan Fakultas Pertanian.
Fakultas Pertanian itu sendiri baru resmi berdiri pada tanggal 3 Oktober 1961
di Banjarbaru. Fakultas Pertanian berdiri berkat kerja sama antara Yayasan
Perguruan Tinggi Lambung Mangkurat dan Pimpinan Fakultas Pertanian Universitas
Indonesia di Bogor (sekarang Institut Pertanian Bogor [IPB]). Sedangkan
Fakultas Islamologi diserahkan kepada Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta pada
tanggal 15 Januari 1961, yang kemudian membuka cabang di Banjarmasin. Pada
perkembangannya Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta berubah menjadi IAIN Antasari.
Kursus-kursus B I dan B II sendiri, melalui pertimbangan oleh Kepala Perwakilan
Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Kalimantan Selatan pada waktu
itu kepada Presiden Unlam (sekarang Rektor Unlam) pada tanggal 4 November 1961
ditingkatkan menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Meski Universitas Lambung
Mangkurat sudah ditingkatkan statusnya menjadi universitas negeri, pembiayaan
untuk penyelenggaraan perkuliahan dan administrasi tetap didanai oleh Yayasan
Perguruan Tinggi Lambung Mangkurat. Dengan bantuan tersebut, banyak didatangkan
dosen-dosen dari Surabaya dan Yogyakarta. Selain itu, Yayasan juga membangun
gedung baru pada tahun 1960 yang berlokasi di Banjarbaru. Rencananya bangunan
tersebut ditempati oleh Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Sosial dan Politik,
dan Fakultas Pertanian. Namun hanya Fakultas Pertanian yang kemudian menempati
gedung baru tersebut, sedangkan Fakultas yang lain tetap menyelenggarakan
perkuliahan di gedung lama di Banjarmasin.
Pada tahun 1964 dibentuk
fakultas baru, yaitu Fakultas Kehutanan dan Fakultas Perikanan yang berlokasi
di Banjarbaru. Baru pada tahun 1965 dibentuk Fakultas Teknik di lokasi yang
sama.
Sampai pada tahun 1965,
Unlam didanai oleh Yayasan. Dan sampai pada tahun itu pula tenaga pengajar yang
diterbangkan. Setelah tahun 1965 Yayasan tidak lagi mendanai Unlam, karena
mengalami masalah keuangan. Kemudian Unlam diambil-alih oleh Pemerintah Daerah
Tingkat I Kalimantan Selatan.
Dalam perkembangan
berikutnya hingga sekarang ini, Universitas Lambung Mangkurat memiliki 10 fakultas
dan satu Program Pascasarjana, yaitu Fakultas Ekonomi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Fakultas Hukum, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas
Teknik, Fakultas Pertanian, Fakultas Kehutanan, Fakultas Perikanan, Fakultas
Kedokteran, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Program
Pascasarjana.
Secara implisit, oleh
para pendirinya, Universitas Lambung Mangkurat dicita-citakan menjadi faktor
penggerak pembangunan (agent of
development) di kawasan Kalimantan, baik dari konsepsi/wawasan pembangunan
maupun penyedia sumber daya manusia. Dengan cita-cita tersebut maka Universitas
Lambung Mangkurat tidak terpisahkan dari hasrat masyarakat Kalimantan untuk
pembangunan Pulau Kalimantan sebagai bagian dari Republik Indonesia, agar segala
potensi yang dimiliki pulau ini dapat menjadi sumber kemakmuran bangsa.
Berdasar hal tersebutlah maka Universitas Lambung Mangkurat memiliki sapaan
sebagai "Universitas Perjuangan".
A. Lebih Memilih Kuliah di Fakultas
Kehutanan
Setelah semalam menginap
di Keuskupan Banjarmasin, Marukan mau tidak mau harus keluar mencari tempat
tumpangan pada siapa saja yang bersedia menampung di Banjarmasin. Sampailah dia
pada kerabat seorang kenalan. Dan sampai pula saat pendaftaran calon mahasiswa
Universitas Lambung Mangkurat Kampus Banjarmasin di Kampus Utama, Jalan H.
Hasan Basry Kelurahan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin.
Banyak pilihan fakultas
terhampar di Universitas Perjuangan itu. Sebagai putera asli Kalimantan,
Marukan memilih Fakultas Kehutanan. Maklum, di masa itu, potensi hutan Bumi
Borneo sedang giat dieksplorasi dan dieskploitasi. Dia ingin mencari bekal
keilmuan untuk sumbangsih pemikiran agar hutan Kalimantan tetap asri dan lestari.
Tapi, di sisi lain, dia juga ingin belajar teknologi yang biasanya disajikan
oleh Fakultas Teknik. Jadilah dia mendaftarkan diri pada dua fakultas (Fakultas
Kehutanan dan Fakultas Teknik) Universitas Lambung Mangkurat.
Benar kata pastur sang
pembimbing, otak Marukan cukup encer. Tak banyak kesulitan, Marukan berhasil
melewati proses seleksi dan lolos diterima di dua fakultas tersebut. Mulai
tahun ajaran 1978 itu pula dia menapaki perkuliahan di dua fakultas yang
kebetulan berada di satu kompleks Kampus Banjarbaru. Kampus kedua Universitas
Lambung Mangkurat yang terletak di Jalan Ahmad Yani Km 35-36 Simpang Empat Kota
Banjarbaru. Fakultas yang berada di kampus ini adalah Fakultas Teknik, Fakultas
Pertanian, Fakultas Kehutanan, Fakultas Perikanan, Fakultas Kedokteran, dan
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Dalam perjalanannya,
Marukan agak kedodoran membagi waktu di dua fakultas tersebut meski berada
dalam satu kompleks kampus. Kehidupannya di Banjarmasin memang seolah kurang
beruntung, misalkan jarak dari rumah yang ditumpanginya ke kampus relatif jauh.
Belum lagi, keluarganya di Desa Bayat nyaris tidak mengirimkan logistik buat
keseharian di perantauan. Maklum dia tidak bisa masuk asrama gereja Katolik,
sehingga berharap juga keluarganya menyokong logistik sehari-hari.
“Selama di Banjarmasin,
hanya sekali-dua kali ada kiriman dari keluarga di desa. Selebihnya saya betul-betul
menderita. Saya tidak bisa masuk asrama. Sempat tinggal di lingkungan gereja,
tapi di garasi mobil. Sudah begitu tidak mendapat beasiswa. Supaya bisa makan, saya
berusaha bekerja harian ngecat rumah
orang atau memberi kursus. Hasilnya sekali kerja Rp300, tapi tidak tiap hari. Sepekan
itu hanya 2-3 hari. Uang Rp300 itu Rp50 saya pakai buat beli sayuran dan 50
buat beli nasi, kemudian dibagi dua buat siang dan sore. Sisanya buat ditabung
kalau ada keperluan-keperluan lain. Kadang uang habis karena nggak ada lagi pekerjaan. Pernah seperti
di Pangkalan Bun yang sampai 2-3 hari tidak makan. Hal seperti ini berjalan
tiga tahun. Hanya makan nasi kalau ada kegiatan-kegiatan di gereja. Sebab itu,
saya aktif di gereja, ikut menyiapkan persembahyangan atau yang lain. Biasanya
kalau persembahyang itu kan ada makan-makan,” tutur Marukan penuh kenangan nan
pahit.
Yang lebih menyedihkan lagi,
menurut Marukan, jarak antara tempat tinggal dan kampus agak jauh. Dengan mimik
sedikit sedih, dia berkisah, “Kalau kami jalan bertiga lalu ada salah satu yang
singgah, saya jalan terus. Tapi kalau berdua, satu singgah, mau tak mau saya
ikut singgah. Singgah di warung, makan. Ketika singgah itu kawan ngajak makan,
saya jawab nanti makan di sana. Padahal, kawan tahu saya sedang lapar. Saya nggak mau karena tidak ada uang. Ini
yang membuat malu sangat luar biasa. Selama kuliah itu saya hampir nggak punya buku, hanya pinjam saja.”
Perjalanan perkuliahan
yang sungguh tidak mudah. Makan sehari-hari sulit, buku pun tak terbeli. Di
masa itu, banyak mahasiswa Fakultas Kehutanan yang tidak naik tingkat. Hanya
sedikit yang mampu naik tingkat, termasuk Marukan Hendrik. Dari sekitar 100
orang di Angkatan 1978 itu, pada tahun awal, hanya 18 orang yang mampu naik
tingkat. Itulah yang membuat Marukan tetap bersemangat. Padahal keadaan sulit
yang membelit itu sempat membuat Marukan mau pulang kampung, menyerah kalah.
“Saya sempat pulang ke Pangkalan
Bun. Karena naik tingkat, saya kembali lagi ke Banjarmasin. Waktu di jenjang sarjana
muda, saya lulus semua mata kuliah, tidak ada mata kuliah yang tertinggal.
Begitu pula saat mau selesai jenjang sarjana, lulus semua mata kuliah. Itulah
yang membanggakan saya,” kata Marukan.
Lumayan sukses di
Fakultas Kehutanan, tidak demikian halnya di Fakultas Teknik. Terseok-seok. Ada
satu-dua mata kuliah di Fakultas Teknik sampai tidak memenuhi standar
kelulusan, bahkan sangat jauh dari batas standar. Di simpang jalan, dia mesti
memilih. Akhirnya keakrabannya dengan dunia pertanian dan hutan Kalimantan di
masa kecil membawanya pada pilihan meneruskan di Fakultas Kehutanan.
Tentang pilihannya tetap masuk
Fakultas Kehutanan itu, Marukan bertutur:
“Waktu itu banyak
pilihan di Universitas Lambung Mangkurat. Saya sempat kuliah di dua faktultas,
yakni Fakultas Teknik dan Fakultas Kehutanan, pada tahun 1978 itu. Sempat
kuliah di dua fakultas sekaligus selama satu tahun. Kemudian, saya mendapat
informasi bahwa kuliah di Fakultas Teknik itu sulit sekali dan dosen-dosennya
sangat pelit dalam memberikan nilai. Saya pernah mendapat nilai -5 untuk mata kuliah
Kimia Tanah. Satu nilai yang tidak pernah saya bayangkan. Kalau nol barangkali
masih bisa dibayangkan. Saya kecewa berat.
Kemudian saya
konsultasi dengan dosen pembimbing yang juga orang asli Kalimantan Tengah.
Beliau bilang ‘kalau kamu punya uang banyak silakan tetap di teknik, kalau
tidak ya di kehutanan saja’. Akhirnya saya memilih meneruskan di Fakultas Kehutanan.
Dan saat itu kondisi di Fakultas Kehutanan juga tidak mudah. Ada mahasiswa yang
sampai 8-9 tahun tidak lulus-lulus. Bersyukur, di angkatan saya itu, saya lulus
tepat lima tahun enam bulan. Memang ada perubahan, sehingga bisa lulus tepat
lima tahun enam bulan. Saya lulus bulan Agustus tahun 1984.”
Penuh rasa syukur, mulai
Agustus 1984 Marukan berhak menyandang gelar Sarjana atau Insinyur Kehutanan
lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. Sebuah prestasi anak pedalaman Kalimantan Tengah, tepatnya
dari Desa Bayat, Kecamatan Belantikan Raya, Kabupaten Lamandau, yang cukup
membanggakan. Maklum, sampai sekarang Desa Bayat belum terlalu lengkap
infrastruktur jalan dan kelistrikan.
B. Membangun Biduk Rumah Tangga
Selama kuliah di
Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Marukan mengaku tidak tengok
kanan-kiri “mencari” wanita idaman buat dipacari dan selanjutnya dibawa masuk
ke jenjang pernikahan. Dia benar-benar fokus dan konsentrasi penuh menuntaskan
kuliahnya di tengah kondisinya di Ibukota Kalimantan Selatan yang tidak mudah. Sehari-hari,
selain kuliah, dia terus pula berpikir bagaimana bertahan hidup di perantauan. Hampir-hampir
tidak ada waktu buat memikirkan cari calon pendamping hidup.
Keterbatasan kehidupannya
di Banjarmasin betul-betul membuat Marukan nyaris tak bisa sekadar mengajak
jalan-jalan seorang kawan atau sahabat. Sampai-sampai dia tidak percaya diri
untuk sebatas bergaul dengan kawan-kawan mahasiswi.
Tapi, Marukan meyakini
benar bahwa jodoh, rezeqi dan maut itu adalah hak prerogatif tangan Tuhan.
Jodoh, rezeqi, dan maut tidak semata-mata sebagai upaya dan usaha si anak
manusia.
Dengan keterbatasan
materi namun sedikit punya kemampuan intelektual, mengantarkan Marukan memiliki
daya tarik tersendiri di mata lawan jenis. Di masa-masa menjelang usai jenjang
perkuliahan, ada beberapa gadis mengejar-ngejar dirinya. Tapi, dia tidak
terlalu serius menanggapinya.
Tentang kurang percaya
dirinya dalam bergaul dengan lawan jenis itu, Marukan bercerita:
“Dapat dikatakan
saya nggak pernah pacaran seperti
berkirim surat atau apalah. Karena saya memang nggak punya uang untuk nonton atau sekadar traktir makan. Sepeda
pun nggak punya. Waktu SMA, saya
pernah punya teman dekat, cinta monyet, tapi tidak pernah sampai pacaran.
Sampai saya mahasiswa, yang mengejar banyak. Tapi, saya tahu diri, nggak berani menanggapi serius.
Kebetulan saya aktif
di kegiatan gereja. Ketika itu kuliah di tingkat lima, sekitar tahun 1983, saya
ketemu Maria Neva. Terasa kurang akrab karena penampilan saya tidak karuan.
Saya diajak jalan-jalan ke mana, kemudian saya antar pulang pakai taksi. Nggak biasanya tuh. Sekali-dua kali
terjadi seperti itu.
Waktu itu Maria
Neva kelas tiga SMA. Ketika mau lulus kan ada tugas membuat paper. Dia minta
dibikinkan. Saya iyakan tapi tidak saya bikin. Ini banyak teman lain kok minta dibikinkan ke saya. Mau lulus,
dia nanya lagi mana paper. Akhirnya saya buatkan dan selesai dalam tiga hari,
paper tentang koperasi. Karena merasa tertolong, dia langsung bilang ‘maukah
kamu jadi pacar saya’. Saya diam saja waktu itu. Saya juga sering ditelepon supaya
ke rumahnya. Sampai suatu malam, saya pulang dari rumahnya dia bilang ‘kamu
pulang kok diam saja, coba cium saya’. Mulainya dari dia, kalau saya memang
takut.”
Padahal, ketika kuliah di
Universitas Lambung Mangkurat, Marukan sempat terpilih sebagai mahasiswa
teladan dan aktif dalam berbagai seminar. Tapi, dia tetap saja kurang percaya
diri. Rupanya, Maria Neva Merliana cukup jeli melihat sisi lebih pada diri
Marukan. Ia pun main tembak langsung minta dipacari oleh Marukan. “Mungkin ia
melihat ada semacam kecerdasan pada diri saya dan itu yang membuatnya tertarik,”
ujar Marukan.
Gayung bersambut. Marukan
tidak menyia-nyiakan “pinangan” perempuan cantik yang masih belasan tahun
ketika itu. “Tidak ada pacaran, langsung jadian. Bulan Agustus 1984 kami menikah.
Lalu anak pertama saya lahir tahun 1985,” terang Marukan sedikit tersipu malu.
Kini di usia pernikahannya
yang lebih dari 30 tahun, Marukan dan Maria Neva Merliana telah dikaruniai dua
orang anak perempuan (Margareta dan Pamela) serta mengadopsi seorang anak
laki-laki. Bahkan, pasangan ini telah dikaruniai lima orang cucu.
Sekarang di tengah
kesibukannya sebagai Bupati Lamandau (2013-2018), Marukan dan Maria Neva
senantiasa saling mendukung dan memberikan spirit untuk bersama-sama
mengabdikan diri bagi kemajuan masyarakat Kabupaten Lamandau. Keduanya berusaha
memanfaatkan waktu senggang di sela-sela melayani warga masyarakat Lamandau
buat tetap merajut kebersamaan dan kerekatan jalinan kasih.
Ihwal upayanya tetap
menjaga jalinan kasih, Marukan mengatakan, “Kebetulan waktu saya jadi bupati,
anak-anak saya sudah besar. Ada yang kuliah di Semarang dan ada juga yang di Yogya.
Jadi sudah terbiasa terpisah dengan anak-anak. Waktu libur, mereka pulang, baru
kami bersama-sama. Saya tidak terlalu berpikir bagaimana soal membagi waktu. Seperti
air mengalir saja. Dengan isteri, tidak mesti bersama ke mana-mana. Kami saling
percaya saja. Pas di rumah kami manfaatka kebersamaan dalam makan dan berdoa. Di
Katolik tuh berdoa pagi, siang, sore
dan malam hari. Seperti berteman saja, tidak ada perasaan was-was begitu. Meski
isteri tak punya jabatan, dia aktif di kegiatan PKK sehingga merasa betapa
pentingnya waktu kebersamaan dan melayani masyarakat.”
C. Menempa Diri Mengasah Intelektual di
Jalur Akademis
Lulus dari Fakultas
Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat pada Agustus 1984 agaknya memberikan
keberuntungan tersendiri bagi seorang Marukan Hendrik. Dewi fortuna menaungi
dirinya.
Bersamaan dengan
kelulusan Marukan, Universitas Palangkaraya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah,
membutuhkan dosen untuk mengisi formasi di Fakultas Pertanian. Dia tidak
menyia-nyiakan kesempatan yang boleh jadi hanya datang sekali dalam kehidupan
anak manusia. Dia pun ikut seleksi calon dosen Fakultas Pertanian Universitas
Palangkaraya.
Sekadar catatan, Fakultas
Pertanian termasuk salah satu dari tiga fakultas yang menjadi cikal bakal
Universitas yang sedikit lebih muda dibandingkan Universitas Lambung Mangkurat
itu. Dalam sejarahnya, awal pembentukan Universitas Palangkaraya dilakukan pada
tahun 1962 oleh Panitia Persiapan Pembentukan Universitas di Kalimantan Tengah
yang mendapat dukungan formal dari Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah dengan
nama Universitas Palangkaraya yang diresmikan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan
Ilmu Pendidikan (PTIP) –waktu itu-- Prof. Dr. Ir. Tojib Hadiwijaya berdasarkan
Surat Keputusan Menteri PTIP Nomor 141 Tanggal 10 November 1963 dengan 3 (tiga)
fakultas, yaitu Fakultas Ekonomi, Fakultas Pertanian dan Fakultas Kehutanan.
Pada saat bersamaan berdiri pula IKIP Bandung Cabang Palangkaraya dengan 2
(dua) fakultas, yaitu Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) dan Fakultas Keguruan Ilmu
Sosial (FKIS). Pada tanggal 24 Juli 1969, IKIP Bandung Cabang Palangkaraya
tersebut diintergrasikan ke dalam Universitas Palangkaraya.
Dalam perjalanan
selanjutnya, Fakultas Pertanian dan Fakultas Kehutanan, yang waktu itu
ditempatkan di Kuala Kapuas, hanya dapat berjalan sekitar setahun. Kemudian menyadari
kebutuhan akan tenaga-tenaga terampil di bidang pertanian dan kehutanan di
Kalimantan Tengah yang mendesak, maka pada tahun 1981 Universitas Palangkaraya
membuka fakultas baru yaitu Fakultas Non-Gelar Teknologi yang menyelenggarakan
program pendidikan pada jenjang Diploma 3 (D-3). Pada tahun 1982, berdasarkan
Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 67/1982 tanggal 7 September
1982, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Fakultas Keguruan digabung menjadi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) hingga sekarang. Sementara itu pada tahun
1991, Fakultas Pertanian secara resmi berdiri menggantikan Fakultas Non-Gelar
Teknologi sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor: 0312/0/1991 tanggal 6 Juni 1991.
Kembali ke perjalanan
seorang Marukan. Dia tidak mengalami kesulitan mengikuti seleksi calon dosen
Fakultas Pertanian –yang ketika itu masih bernama Fakultas Non-Gelar Teknologi.
“Saya lulus dari Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat bersamaan dengan
adanya formasi dosen pertanian di Universitas Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Waktu itu buka Fakultas Pertanian, saya ikut di dalamnya. Dulu namanya Fakultas
Non-Gelar Jurusan Pertanian. Ada juga Jurusan Kehutanan. Saya ikut dan lulus tes
Calon PNS kemudian diangkat menjadi dosen tetap di sana,” papar Marukan ihwal
karirnya di dunia akademis.
Mulailah di tahun 1984
itu Marukan menapaki hari-hari sebagai tenaga pengajar di Universitas
Palangkaraya. Sebagai sosok yang rajin dan senantiasa fokus pada pekerjaannya,
tapak karirnya lumayan bagus. Setahun berselang, tahun 1985, dia sudah
dipercaya menjadi Ketua Program Studi Kehutanan di Fakultas Pertanian. Sekitar
dua tahun, 1985-1986, dia mengemban secara baik amanah tersebut.
Kepercayaan lebih besar
disorongkan ke pundaknya pada tahun 1988 seiring dengan pengangkatan dirinya
sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Pertanian. Kurang lebih empat tahun,
1988-1992 dia berada di kursi Pembantu Dekan III. Kemudian di ujung 1992, dia
sedikit bergeser posisi menjadi Pembantu Dekan I Fakultas Pertanian.
Sebagai dosen, Marukan
tidak ingin semata-mata tinggal di menara gading. Dia berusaha menyumbangkan
pemikirannya ke dunia praktis, terutama pada dunia pertanian dan kehutanan di
Bumi Borneo. Terkadang di sela-sela aktivitas kampus, dia juga aktif terlibat
pada penelitian atau survai kehutanan. Bahkan, dia pernah sampai diminta
menjadi tenaga ahli perusahaan HPH.
“Karena memang dasarnya
rajin ya, selain mengajar sebagai dosen, saya juga meng-handle banyak pekerjaan yang lain yang relevan. Di antaranya ikut
survai dan penelitian. Pernah pula bekerja di perusahaan HPH,” kata Marukan
suatu kali.
Pikiran kreatifnya tidak
hanya berkaitan dunia pertanian dan kehutanan.
Sebagai sosok yang telah ditempa oleh berbagai penderitaan, ide-ide
kewirausahaannya acap muncul. Dia sempat mendirikan usaha pemborongan barang
dan jasa. Melalui bendera usaha di luar dunia akademis itu, Marukan semakin
makmur dan sejahtera. “Berkat berbagai aktivitas itu kehidupan saya sangat
berubah. Saya bisa beli rumah dan mobil di Palangkaraya,” ujar Marukan.
Semua aktivitas tersebut
tampaknya tidak menganggu konsentrasinya mengajar dan mengemban amanah jabatan
di lingkungan Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya. Buktinya, tahun
1993-1994 dia dipercaya menjadi Dekan Fakultas Pertanian.
Kepercayaan itu rupanya tidak
hanya datang dari Universitas Palangkaraya. Universitas PGRI Palangkaraya juga
mengapresiasi kompetensi dan kemampuannya di bidang kehutanan. Tercatat dia
pernah dipercaya oleh Universitas PGRI sebagai Dekan Fakultas Pertanian,
Pembantu Dekan I dan Pembantu Dekan III.
Kepiawaian Marukan di
bidang pendidikan tinggi, kehutanan dan pertanian memang tak perlu diragukan
lagi. Dia sudah cukup banyak mengasah intelektualnya melalui berbagai
kesempatan lokakarya, seminar, kongres dan sejenisnya. Tahun 1985 di
Palangkaraya, dia mengikuti Penataran Dasar-dasar Analisis Dampak Lingkungan.
Kemudian tahun 1986 di Jakarta, dia aktif di Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional.
Lalu, tahun 1990 di
Jakarta, dia ikut Lokakarya Peranan Pengembangan Pendidikan Tinggi. Masih di
Jakarta tahun 1990, dia mengikuti Kongres Kehutanan Indonesia.
Lantas di Palangkaraya
tahun 1991, Marukan ikut Lokakarya Akademik Fakultas Kehutanan. Dan tahun 1993
di Jakarta, dia menambah keilmuan bidang hukum dengan mengikuti Penyuluhan
Hukum dan Peraturan Perundang-undangan.
Begitu banyak aktivitas
dan usaha dilakukan oleh seorang Marukan Hendrik. Berkat kerja keras,
konsentrasi penuh dan fokus, dia mampu meraih sukses. Namun, ketika krisis multidimensi menimpa
Republik Indonesia tahun 1998, berbagai usaha Marukan terkena imbasnya. “Bersyukur,
saya tidak punya utang. Saya tidak perlu menjual barang, bayar utang. Namun saat
itu saya tidak punya uang,” tutur Marukan mengenang masa pahit di Palangkaraya.
Tak berapa lama berselang, isterinya, Maria Neva Merliana, mendorong dan
mengajaknya pulang ke Lamandau. Pikirnya, boleh jadi ada perubahan nasib di
kampung halaman. (*)
No comments:
Post a Comment