India tidak hanya terkenal dengan film, tarian, serta musiknya.
Negara yang memiliki populasi terbesar kedua di dunia ini juga dikenal
dengan kemajuan di gerakan disabilitas.
Salah satu yang patut dicontoh adalah adanya Rehabilitation Commision
of India (RCI). Lembaga tingkat nasional ini dibentuk pemerintah pada
tahun 1980-an, beranggotakan tokoh-tokoh penyandang disabilitas dan
tokoh-tokoh masyarakat seperti pendidik, pemerhati masalah sosial, dan
pembela hak asasi manusia. RCI antara lain bertugas memberikan masukan
kepada pemerintah untuk mengembangkan kebijakan yang berkaitan dengan
penyandang disabilitas serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaannya.
Progresivitas gerakan disabilitas di India tak dapat dilepaskan dari
peran para aktivis gerakan disabilitas serta partisipasi elemen-elemen
masyarakat pendukungnya, termasuk sektor usaha.
Ian Cardoza, tokoh RCI yang mengetuai council tersebut pada
pertengahan tahun 2000-an, mengatakan bahwa dalam upaya memberdayakan
penyandang disabilitas ada tiga pertanyaan yang menjadi landasan
pemikirannya. Pertama, apakah kita mengangap keberadaan penyandang
disabilitas sebagai masalah atau prioritas? Kedua, Pemberdayaan
penyandang disabilitas itu kesempatan ataukah pilihan? Ketiga,
pemberdayaan penyandang disabilitas -- termasuk langkah-langkah
afirmatif – tanggung jawab siapa? Masyarakat saja? Atau pemerintah
saja? Ataukah keduanya?
Pemberdayaan penyandang disabilitas harus dilakukan secara
“sistemikâ€. Hal ini harus didukung kebijakan pemerintah yang
bersifat multisektoral. Meliputi bidang kesehatan, pendidikan, fasilitas
dan layanan publik, ketersediaan alat bantu yang dibutuhkan, perbankan,
dan sebagainya. Pada tataran implementasi, semua hal yang disebutkan
itu harus melibatkan pemangku peran yang luas. Dan, India telah
membuktikannya.
Kurang lebih enam tahun lalu, aku berkesempatan belajar di Tamilnadu,
negara bagian di ujung selatan India. Sebagian besar penduduknya etnis
Tamil yang berbahasa Tamil. Selama delapan minggu aku tinggal di kota
kecil Coimbatore. Dua minggu selebihnya melakukan studi lapangan dan
berkunjung ke berbagai tempat di negara bagian tersebut.
Tamilnadu adalah negara bagian yang rata-rata penduduknya hidup
sederhana. Pengemis pun dapat dijumpai di mana-mana. Namun, yang sangat
mengesankan, negara bagian ini dipakai sebagai proyek percontohan saat
pemerintah India mengujicobakan penerapan kebijakan terkait
pemberdayaan penyandang disabilitas. Sistem jaminan sosial, pendidikan
untuk semua, sistem pendidikan inklusif, serta skema kredit khusus untuk
penyandang disabilitas.
Jaminan Sosial Khusus
Di India, jika ada bayi lahir dan dideteksi memiliki kelainan pada
fungsi-fungsi organ tubuhnya, akan dirujuk ke layanan medis terkait
untuk menjalani rehabilitasi medis. Jika kelainan fungsi organ tubuhnya
diperkirakan bersifat permanen, rumah sakit tempat menjalani
pemeriksaan dan tindakan medis akan merekomendasikan untuk mendapatkan
“sertifikat†yang menyatakan si bayi mengalami “disabilitasâ€.
Pemberian sertifikat ini merupakan bagian dari layanan “pengadilanâ€.
Untuk mereka yang tinggal di daerah terpencil, pemerintah menyediakan
mobile court. Pada sertifikat ini tertera juga di tingkat sosial ekonomi
mana keluarga si bayi penyandang disabilitas. Berbekal sertifikat
inilah keluarga kemudian mengakses layanan khusus bagi penyandang
disabilitas dan keluarganya, yang disebut disability pension.
Bagi keluarga tidak mampu, disability pension mencakup layanan
rehabilitasi medis, transportasi gratis untuk menjalani rehabilitasi
medis, dana pendidikan, transportasi gratis untuk pulang pergi ke
sekolah, serta alat bantu yang diperlukan untuk kemandirian hidup
sehari-hari.
Terhadap penyandang disabilitas berat yang sepanjang hidupnya harus
tergantung pada bantuan keluarga atau orang yang mengurusnya (care
giver), tunjangan sosial juga diberikan kepada keluarga atau orang-orang
yang mengurus penyandang disabilitas berat tersebut.
Langkah Afirmatif
Di India, pemberdayaan penyandang disabilitas dilakukan secara
proaktif, baik oleh pemerintah maupun elemen masyarakat terkait.
Langkah-langkah afirmatif pun dilakukan demi akselerasi pencapaian
tujuan.
Langkah ini diawali sejak tahap “identifikasiâ€, yaitu mencari dan
menemukan warga negara yang menyandang disabilitas dari berbagai
kelompok dan tingkatan. Identifikasi ini kemudian diikuti dengan langkah
sertifikasi seperti diuraikan di atas. Untuk melakukan identifikasi,
pemerintah distrik – tingkat pemerintahan di bawah pemerintah negara
bagian -- adalah ujung tombaknya. Pada umumnya mereka mengerahkan
pekerja sosial, special teacher atau guru pendamping khusus siswa
penyandang disabilitas, serta tenaga relawan.
Sebagai anggota PBB yang turut menandatangani pencanangan Pendidikan
untuk Semua di Thailand tahun 1989, pemerintah India telah secara
kreatif menempuh langkah-langkah afirmatif untuk mengakselerasi
pencapaiannya.
Sadar bahwa pendidikan untuk semua harus mencakup anak-anak dengan
disabilitas. Disadari pula India adalah negeri yang sangat luas, dan
sebagian keluarga pemilik anak dengan disabilitas tinggal di daerah
terpencil, dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Dalam kondisi seperti
ini, pendidikan untuk anak disabilitas belumlah menjadi prioritas
keluarga.
Untuk memotivasi keluarga dengan tingkat ekonomi rendah yang tinggal
di daerah terpencil agar mau membawa anak dengan disabilitas ke sekolah,
pemerintah India memberikan “insentif khusus†kepada keluarga
tersebut. Pada praktiknya, banyak orang tua dari keluarga tidak mampu
menyekolahkan anak dengan disabilitas mereka hanya karena ingin
mendapatkan “insentif khusus†tersebut. Ini tak jadi soal. Lebih
penting adalah “hasil akhir†yang dicapai. Secara perlahan, India
berasil meningkatkan jumlah anak penyandang disabilitas yang memenuhi
wajib belajar pendidikan dasar.
Guna menampung anak-anak penyandang disabilitas di sekolah, tak
cukup hanya di sekolah khusus atau sekolah luar biasa, yang sudah tentu
biaya penyelenggaraannya mahal. Untuk mengatasinya, sistem pendidikan
inklusif yang memberikan hak kepada anak dengan disabilitas menempuh
pendidikan di sekolah umum pun dikembangkan. Mulai dari sistem layanan
utama di sekolah, sistem layanan pendukung oleh lembaga yang disebut
“pusat sumberâ€, hingga sistem “layanan tambahan“ yang biasanya
diberikan oleh lembaga rehabilitasi sosial dan lembaga medis.
Konsekuensi dari ini semua, kebutuhan akan guru khusus atau special
teacher pendamping anak-anak dengan disabilitas di sekolah umum pun
meningkat. Ini menjadi lapangan kerja baru bagi generasi muda India,
yang pada praktiknya lebih diminati kaum perempuan. Lembaga pendidikan
yang menghasilkan guru khusus pun mendapatkan dukungan sepenuhnya dari
pemerintah, baik anggaran maupun fasilitas.
Dengan langkah afirmatif semacam ini, keberadaan anak disabilitas di
sekolah umum menjadi pemandangan biasa di India. Tidak hanya di kota,
tapi juga di desa-desa. Meski dengan fasilitas yang masih terbatas,
guru-guru sekolah umum tetap bersemangat mengajar anak-anak dengan
disabilitas dalam satu kelas bersama anak-anak lainnya. Pada kunjunganku
di beberapa desa di sekitar kota Madurai, yang masih sangat kekurangan
guru, bahkan ada seorang guru yang harus mengajar beberapa kelas
sekaligus, dan di antara murid-murid di kelasnya ada anak dengan
disabilitas, tunanetra, dan tunarungu.
Skema Kredit Khusus
Langkah afirmatif juga dilakukan untuk mengentaskan penyandang
disabilitas dari kemiskinan. Dan kewirausahaan adalah solusinya. Untuk
mendorong tumbuhnya wirausahawan dari kalangan penyandang disabilitas,
pemerintah India menciptakan “skema kredit khusus†untuk mereka.
Sebuah bank pemerintah ditunjuk untuk menyediakan kredit khusus ini,
dengan bunga yang sangat rendah. Lembaga swadaya masyarakat yang
akuntabel dipercaya membina penyandang disabilitas untuk merintis usaha.
Umumnya mereka berkelompok, beranggotakan beberapa kategori
disabilitas; tunanetra, tunarungu dan tunadaksa. Bidang usaha yang
ditekuni adalah sesuatu yang dekat dengan keseharian mereka. Misalnya
keperluan beribadah. Setelah mendapatkan pembinaan dari lembaga
pemberdaya penyandang disabilitas, kelompok usaha ini dapat memulai
usaha, dengan memanfaatkan skema kredit khusus tersebut, di bawah
pengawasan lembaga yang membina mereka. Bunga yang dibayarkan dari
angsuran kredit ini oleh bank sebagian didedikasikan kepada lembaga
pembina penyandang disabilitas untuk biaya operasional mereka.
Upaya pemerintah India mungkin belum sepenuhnya sempurna. Namun, Indonesia patut belajar dari "kesungguhan" mereka.
*Aria Indrawati
No comments:
Post a Comment