Oleh
Achmad Mochtarom
Staf
Pengajar Sistem Jaminan Sosial di STIA LAN Jakarta
Kekisruhan
Pemerintah
dan DPR dalam pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) semakin pelik
dan rumit. Dalam penjelasannya, Pemerintah justru menginginkan adanya perubahan
UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN. Padahal, tahun 2011 tidak diagendakan adanya
revisi UU SJSN. Lalu, apakah pengesahan RUU BPJS harus ditunda terlebih dulu
menunggu revisi UU SJSN?
Perselisihan BPJS tidak pernah berhenti, sejak UU
SJSN ditetapkan justru pemerintah daerah dan badan pelaksana pemeliharaan
kesehatan masyarakat menguji (judicial
review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alhasil, UU SJSN pasal 5 ayat (2), (3)
dan (4) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Putusan MK ini menyatakan
bahwa Jamsostek,Taspen, Asabri dan Askes bukanlah BPJS yang dimaksud UU SJSN.
Namun, karena pasal 52 –yang memerintahkan keempat
BUMN jaminan sosial itu untuk melakukan penyesuaian masih berlaku—maka BUMN
tersebut hingga kini dikejar-kejar untuk menyesuaikan diri dengan UU SJSN. Putusan
yang kontradiktif ini tentu menimbulkan ketidak-pastian hukum terhadap bentuk
badan hukum, program yang dikelola dan kepesertaan dari Jamsostek, Taspen
Asabri dan Askes dalam penyelenggaraan jaminan dan asuransi sosial bagi pekerja
sektor swasta, PNS, pejabat negara, dan TNI-Polri. Sebelum memformat Jamsostek, Taspen, Asabri dan
Askes, terlebih dulu Pemerintah dan DPR mesti memahami aspek historis
terbentuknya keempat BUMN tersebut.
Jamsostek misalnya, BUMN ini mengembangkan program
jaminan sosial berdasarkan funded social
security. Program jaminan sosial tenaga kerja sektor swasta ini dibiayai
dari iuran peserta dan pemberi kerja atau majikan. Berdirinya Jamsostek berawal
dari amanat UU No.2/1951 tentang Kecelakaan Kerja, Peraturan Menteri Perburuhan
(PMP) No.48/1952 jo PMP No.8/1956 tentang Pengatruan Bantuan untuk Usaha
Penyelenggaraan Kesehatan Buruh, PMP No.15/1957 tentang Pembentukan Yayasan
Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang Pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial
(YDJS).
Jaminan atau asuransi sosial tenaga kerja dirilis
sejak diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja. Tepatnya
pada tahun 1977, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.33/1977
tentang Pelaksanaan Program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek). Sekalipun
hanya PP, peraturan ini mewajibkan semua pemberi kerja atau pengusaha swasta
dan BUMN untuk mengikut-sertakan pekerjanya dalam program Astek.
Dalam rangka penyelenggaraan Astek tersebut,
Pemerintah mengeluarkan PP No.34/1977 untuk membentuk sebuah BUMN berbadan
hukum Perum yaitu Perum Astek.
Penyelenggaraan Astek terus mengalami perbaikan
sehingga terbitnya UU No.3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek). Perubahan asuransi sosial menjadi jaminan sosial didukung dengan
perubahan bentuk badan hukum dari Perum menjadi Persero. Berdasarkan PP
No/36/1995 PT Jamsostek ditunjuk sebagai BPJS tenaga kerja.
Kemudian Taspen. Seluruh kepala urusan kepegawaian dari seluruh departemen yang
ada di Indonesia melakukan konferensi kesejahteraan aparatur negara pada
tanggal 25-26 Juli 1960 di Jakarta. Konferensi memandang perlu adanya program
kesejahteraan sosial bagi aparatur negara, yang kemudian ditetapkan dalam
Keputusan Menteri Pertama RI No.380/MP/1960 tanggal 25 Agustus 1960.
Hasil konferensi ditindak-lanjuti Pemerintah
selaku pemberi kerja dengan menerbitkan PP No.9/1963 tentang Tabungan Asuransi
Pegawai Negeri dan PP No.13/1963 pada tanggal 17 April 1963 sebagai dasar
pembentukan badan penyelenggara dengan nama Perusahaan Negara Dana Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri atau PN Taspen.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI
No.749/MK/IV/11/1970, pada tanggal 18 November 1970, PN Taspen berubah bentuk
hukumnya menjadi Perum. Menyeimbangkan kemampuan kinerjanya maka pada tanggal
30 Juli 1981 Perum Taspen diangkat bentuk badan hukumnya menjadi perseroan PT
Taspen berdasarkan PP No.26/1981.
Lalu Taspen ditunjuk menyelenggarakan Asuransi
Sosial bagi Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP No.25/1981. Program asuransi
sosial PNS yang diselenggarakan PT Taspen hanya meliputi Tabungan Hari Tua
(THT) dan Dana Pensiun.
Selain itu, PNS dan pejabat negara juga memperoleh
program asuransi kesehatan PNS dari PT Askes. Program pemeliharaan kesehatan
mulai diberlakukan kepada Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun (PNS dan ABRI)
beserta anggota keluarganya sejak diterbutkan Keputusan Presiden (Keppres)
No.22/1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan bagi PNS, Penerima Pensiun (PNS, ABRI
dan Pejabat Negara) beserta anggota keluargnya.
Namun sejak diterbitkan PP No.69/1991, kepsertaan
pemeliharaan kesehatan diperluas pada veteran dan perintis kemerdekaan beserta
keluarganya. Selain program wajib tersebut, program pemeliharaan kesehatan ini
juga dapat diikuti secara sukarela bagi pegawai-pegawai badan usaha dan badan
lainnya.
Program pemeliharaan kesehatan ini semula
diselenggarakan oleh Menteri Kesehatan melalui Badan Penyelenggara Dana
Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang merupakan unit di lingkungan Departemen
Kesehatan. Penyelenggaraan kesehatan tersebut dipisahkan dari Departemen
Kesehatan ke Perusahaan Umum Husada Bhakti yang dibentuk berdasarkan PP
No.23/1984. Untuk mendorong kemandirian penyelenggaraan maka Pemerintah
mengeluarkan PP No.6/1992 yang mengubah status Perum menjadi Persero.
Sebagai wujud kepedulian Pemerintah terhadap
kesejahteraan prajurit ABRI maka Pemerintah menerbitkan PP No.44/1971 tentang
Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata. Untuk menyelenggarakan Asuransi Sosial
Angkatan Bersenjata tersebut, berdasarkan PP No.43/1971, pada Agustus 1971
Pemerintah membentuk sebuah BUMN dengan bentuk badan hukum Perum, yaitu Perum
Asabri.
Seiring dengan kinerja perusahaan, Pemerintah
menerbitkan PP No.68/1991 yang mengubah status Perum menjadi Persero. Saat ini
PT Asabri menyelenggarakan program pensiun dan THT bagi jajaran TNI, Polri dan
PNS di lingkungan Departemen Pertahanan dan Keamanan.
Menyimak historis masing-masing BUMN penyelenggara
jaminan sosial tersebut, menurut hemat penulis, ada sedikit kekeliruan dalam
praktik. Hasil usaha (laba) selain digunakan untuk mencukupi pendanaan,
sebagian disetor dalam bentuk deviden ke negara dan sebagian lagi dipergunakan
untuk meningkatkan modal perseroan. Untuk mengatasi kekeliruan ini, Pemerintah
dapat mengubah status perseroan menjadi Perum atau menjadi provider Pemerintah.
Hal tersebut sangat mungkin, karena secara bisnis BUMN perseroan hanya akan menerima management fee atas penyelenggaraan administrasi dan pelayanan serta pengelolaan dana (fund management). Bila permasalahan BPJS sudah teridentifikasi dan teratasi, maka saat ini Pemerintah dan DPR harus memikirkan agenda yang tidak kalah urgen, yakni membentuk BPJS bagi warganegara yang hingga kini belum tersentuh jaminan sosial. Bukan berupaya merger Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes dalam sebuah BPJS yang justru akan menghimpun masalah besar yang tidak pernah akan terselesaika. Untuk urusan rakyat, jangan pernah mencoba-coba. ***
No comments:
Post a Comment