Monday, January 21, 2013

Berbisnis dan Memimpin dengan Nurani





Tak seorang pun diberikan kehormatan atas apa yang diterimanya. Kehormatan diberikan sebagai imbalan atas apa yang diberikannya.
Calvin Coolidge, Presiden Amerika Serikat 1923-1929

Purwakarta, tahun 2000. Sebuah wilayah kabupaten yang relatif tidak terlalu jauh dari Ibukota Jakarta. Tapi, Purwakarta waktu itu belum seramai sekarang. Purwakarta hanyalah daerah kecil, seluas 971,72 km2 atau sekitar 2,81 persen dari wilayah Provinsi Jawa Barat. Dengan begitu sawah yang ada juga relatif sempit, hanya sekitar 228 km2. Boleh dikatakan wilayah yang ketika itu tengah didorong menjadi daerah industri ini lekat dengan kemiskinan. Denyut kehidupan wilayah yang cukup strategis itu belum banyak diperhitungkan oleh para penanam modal. Masih kalah populer dibandingkan dengan Cikampek (Kabupaten Karawang) dan Cikarang (Kabupaten Bekasi) yang telah lama diramaikan oleh kawasan industri. Purwakarta menjadi akrab di telinga warga masyarakat setelah dibuka akses Jalan Tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang) sekitar tahun 2007. Akses ke Purwakarta menjadi demikian gampang dan cepat. Serta mulai diperhitungkan sebagai salah satu kawasan industri andalan setelah tahun 2003 Pemerintah Kabupaten Purwakarta menetapkan kawasan industri seluas 2000 hektar, zona industri seluas 3000 hektar serta kawasan pariwisata Jatiluhur.
Sebagai sebuah wilayah kabupaten, di tahun 2000, penduduk Purwakarta saat itu sudah relatif padat, 698.353 jiwa atau kepadatan 719 jiwa per kilometer persegi dengan pertumbuhan 2,22 persen. Purwakarta ketika itu mulai meretas jalan menjadi salah kabupaten penyangga Ibukota Jakarta dan hinterland Ibukota Provinsi Jawa Barat (Bandung). Di beberapa titik wilayah mulai muncul kawasan-kawasan industri. Terutama di Kecamatan Jatiluhur, Purwakarta, Babakancikao dan Campaka. Ada upaya mengubah citra Purwakarta sebagai kota pensiun menjadi kota industri dan pariwisata. Menjadi segitiga emas Jakarta-Purwakarta-Bandung dan Bandung-Purwakarta-Cirebon.
Purwakarta tampil bagai gula. Lazimnya pepatah ada gula ada semut, orang pun mulai berdatangan ke wilayah yang dulu merupakan salah satu pusat kerajaan di Tanah Pasundan ini. Sampai kemudian komposisi pendatang (migran) mendominasi piramida penduduk Purwakarta. Jumlah migran permanen adalah 51,83 persen dengan kisaran umur 15-19 tahun. Kemudian migran temporer sebanyak 0,30 persen. Sedangkan komposisi gender antara laki-laki dan perempuan relatif setara, yaitu 51,21 persen dan 48,79 persen. Prosentase penduduk angkatan kerja di Kabupaten Purwakarta saat itu sebesar 282.961 orang (50,74 %), sedangkan bukan angkatan kerja 274.679 (49,26 %). Dari angkatan kerja tersebut jumlah yang sudah bekerja sebanyak 264.991 orang (93,65 %), dan pencari kerja sebanyak 17.970 orang (6,35 %).
Repotnya, sebagaimana daerah industri pada umumnya, Purwakarta menghadapi persoalan kesejahteraan kaum buruh atau pekerja. Penghasilan mereka sebagai buruh pabrik hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Sementara kebutuhan papan dipenuhi dengan upaya mengontrak atau menyewa rumah petak yang tumbuh bagai cendawan di musim hujan di sentra-sentra perindustrian. Mereka sedikit abai terhadap kebutuhan penting seperti kesehatan. Jaminan kesehatan dari perusahaan tempat mereka bekerja pun relatif minim. Ketika mereka jatuh sedikit, hanya mampu mengandalkan obat warung atau pengobatan alternatif yang kadang penuh risiko. Sampai kemudian banyak di antara mereka yang mengalami sakit kronis dan terlambat memperoleh pertolongan. Dan tak sedikit pula yang bahkan jiwanya tak tertolong.
Banyak kaum buruh dan warga masyarakat kurang mampu lainnya di wilayah Purwakarta kala itu dilanda semacam rasa takut berobat ke klinik atau rumah sakit. Mereka merasa takut tidak bisa membayar biaya pelayanan kesehatan. Apalagi banyak rumah sakit yang memberlakukan ‘kewajiban’ membayar uang muka sebelum pasien ditangani.
Tidak hanya kaum buruh atau pekerja yang mengalami keadaan kesehatan yang memprihatinkan. Secara umum kondisi kesehatan warga Kabupaten Purwakarta ketika itu kurang menggembirakan. Pertumbuhan penduduk Purwakarta saat itu relatif tinggi, sekitar 2,22 persen. Hal ini berkait dengan  angka kelahiran bayi dan jumlah penduduk perempuan usia subur. Di masa itu jumlah perempuan usia subur (usia 15-49 tahun) adalah 27,78% dari total jumlah penduduk. Keberadaan perempuan usia subur tersebut menyebar di setiap kecamatan dengan kisaran prosentase: Kecamatan Purwakarta 32,58%, Kecamatan Jatiluhur 9,43%, Kecamatan Campaka 13,61%, Kecamatan Plered 5,06%, Kecamatan Darangdan 7,73%, Kecamatan Tegalwaru 4,37%, Kecamatan Maniis 2,24%, Kecamatan Sukatani 3,51%, Kecamatan Wanayasa 9,53% dan Kecamatan Pasawahan 7,96% serta Kecamatan Bojong 3,98%.
Berkaitan dengan jumlah perempuan usia subur, anak pernah dilahirkan dan yang masih hidup menurut golongan umur ibunya tahun 1990 berjumlah 144.677 jiwa meningkat menjadi 160.364 pada tahun 1999 dan 180.676 jiwa pada tahun 2000, sedangkan jumlah anak lahir hidup berjumlah 333.221 orang menjadi 334.384 orang pada tahun 1999. Tahun 2000 jumlah anak lahir hidup meningkat menjadi 353.199 orang.
Terkait dengan indikator-indikator kesehatan di antaranya adalah Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup (AHH). Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Purwakarta menyebutkan bahwa AKB di Kabupaten Purwakarta pada tahun 2000 sebesar 66,68 orang per 1000 kelahiran hidup. Kemudian AHH penduduk Purwakarta pada tahun itu hanya 60,39 tahun. AHH Kabupaten Purwakarta menempati urutan ke-17 di Jawa Barat serta masih di bawah rata-rata AHH Jawa Barat sebesar 62,48 tahun. Pendek kata, potret kondisi kesehatan warga Kabupaten Purwakarta pada masa itu kurang menggembirakan.

A. Nurani yang Mudah Tersentuh
Sekitar tahun 2000 itu, sebagai perwira pertama TNI Angkatan Darat, Jopinus Ramli (JR) Saragih memperoleh amanah tugas menjadi komandan polisi militer di salah satu wilayah Kabupaten Purwakarta. Sampai suatu ketika dia melihat dengan mata kepala sendiri seorang ibu meninggal dunia saat hendak melahirkan. Penyebabnya, si ibu bernasib malang itu tak tertolong gara-gara sudah amat terlambat tiba di rumah sakit.
Sebagai orang yang dibesarkan dalam bingkai keprihatinan, nurani JR Saragih begitu tersentuh, hatinya bagai teriris sembilu. Masa lalu JR Saragih memang boleh dikatakan kurang beruntung. Lahir sebagai bungsu dari lima bersaudara anak pasangan orang tua Rasen Saragih dan Theresia, tahun 1969, ketika baru berumur sekitar satu tahun, sang ayahanda dipanggil pulang Tuhan Yang Maha Kuasa. Kakak-kakak JR Saragih dibawa pamannya ke daerah Aceh. Sementara JR Saragih tinggal bersama kakek-neneknya di Pematang Raya, sampai kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Dia langsung terpisah dari kakak-kakaknya.
Nestapa belum juga pergi dari kehidupan JR Saragih. Saat kelas 4 SD itu, neneknya meninggal dunia. Dia pun pontang-panting menghidupi diri sendiri. Dia lalu meninggalkan Pematang Raya, bekerja serabutan, termasuk sempat menjadi kernet mobil omprengan. Kendati begitu, dia tidak melupakan sekolah.
Tamat SMP di Kecamatan Munthe, tahun 1984, JR Saragih memutuskan merantau ke Ibukota Jakarta. Di sini, dia pertama kali datang ‘menumpang’ di abang tertua H. Anton Saragih. Tak lama memang, cuma sekitar enam bulan. Setelah itu, dia memutuskan tinggal mandiri dengan menyewa satu kamar di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Sembari melanjutkan sekolah SMA, dia sempat bekerja serabutan jadi kuli galian pasir. Meski tertatih-tatih, dia berhasil menamatkan pendidikan di SMA Prasasti dan kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa Tengah.
Dari pendidikan militer di kawasan Lembah Tidar (Kampus AMN), JR Saragih berhasil membawa pulang pangkat Letnan Dua TNI Angkatan Darat. Cakrawala kehidupan yang lebih cerah, lewat karir pengabdian kepada nusa-bangsa. Sampai kemudian bertugas sebagai komandan polisi militer di wilayah Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. “Saya banyak bersyukur dalam hidup ini, sekolah lancar, kuliah di Akademi Militer dibiayai oleh negara. Dan sekarang dipercaya rakyat mengemban amanah menjadi Bupati Simalungun,” ujar JR Saragih.  
Keberanian, kegigihan dan ambisi; tiga kunci sukses JR Saragih mengubah perjalanan hidupnya dari nestapa menjadi sukacita. Kita teringat kisah Soichiro Honda, seorang miliuner dan industriwan yang telah menyumbangkan khazanah kebanggaan bagi bangsa Jepang. Dia bukanlah sosok manusia yang terlahir dari keluarga yang kaya atau bangsawan berdarah biru. Dia bukan pula manusia planet yang otak dan ototnya berbeda dengan makhluk bumi. Yang membedakannya dengan kebanyakan manusia adalah keyakinan dan ambisinya. Soichiro Honda termasuk orang yang sangat mengagumi Napoleon Bonaparte, tokoh yang banyak diceritakan oleh ayahnya semasa dia masih kecil.
Soichiro Honda menulis dalam catatan hariannya, “Saya membayangkan dia (Napoleon Bonaparte) seorang lelaki yang ukuran fisik dan kekuatan tubuhnya sepadan dengan daya kekuatan dan popularitasnya. Ketika kelak saya tahu dari buku-buku sejarah bahwa ia berbadan pendek dan gemuk, saya kecewa. Saya sendiri tidak berbadan tinggi dan tentunya mempunyai keyakinan bahwa orang tidak boleh diukur dari tinggi badannya, tapi dari tindakannya dan jejak yang ditinggalkannya dalam sejarah umat manusia. Saya juga mendengar bahwa Napoleon berasal dari latar tidak terhormat dan keluarganya pun miskin. Saya berkesimpulan bahwa untuk mencapai sukses, seseorang tidak perlu dilahirkan dari keluarga kaya atau terhormat. Banyak sifat lain yang membuat orang sukses: keberanian, kegigihan, dan ... ambisi.”
Kembali ke JR Saragih, dengan latar belakang masa silam yang nyaris kelam, dia kini menjadi sosok yang gampang tersentuh pada hal-hal di sekelilingnya yang memprihatinkan dan menyengsarakan. “Karena miris melihat kondisi masyarakat Purwakarta ketika itu yang tak mampu mengakses pelayanan kesehatan, saya pun bertekad kuat ingin membantu warga masyarakat, yakni dengan membuka klinik kesehatan. Saya ceritakan ke Bupati Purwakarta saat itu Pak Bunyamin Dudih, bagaimana kita bisa menghidupkan dan melayani warga masyarakat yang ada di Purwakarta ini agar mereka menjadi hidup nyaman dan sehat, misalkan mendirikan klinik kesehatan dengan biaya yang terjangkau,” tutur JR Saragih mengenang.
Kendati waktu itu sudah banyak berdiri rumah sakit umum dan rumah sakit bersalin di Purwakarta, Bupati Purwakarta Bunyamin Dudih SH merespon positif niat baik JR Saragih tersebut. Bupati Bunyamin mendukung penuh upaya JR Saragih mendirikan klinik kesehatan dengan niat membantu warga masyarakat yang sulit mengakses pelayanan kesehatan pada sumah sakit yang telah ada. Tapi, dari mana JR Saragih harus memulai. Sebagai prajurit TNI, gajinya relatif tidak terlampau berlebih. Padahal, untuk mendirikan sebuah klinik (meski kecil-kecilan) tetap saja membutuhkan modal yang tidak sedikit, minimal fisik bangunan rumah toko (ruko) atau bangunan sekelas pos pelayanan kesehatan di desa. Bangunan yang sudah barang tentu paling tidak harus memiliki fasilitas air bersih, MCK, dan kamar periksa. Sebuah bangunan yang relatif tidak murah.
JR Saragih tidak berkecil hati. Inilah sebuah tantanganyang harus dihadapi dengan keberanian, kegigihan dan ambisi. Dan tantangan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tapi harus dihadapi dan dicarikan solusi. Dengan bermodal gajinya yang tidak seberapa besar, dia menyewa sebuah rumah untuk dijadikan klinik di kawasan Jalan Raya Cibeuning, Bungursari. Dia lalu mengajak koleganya yang berprofesi tenaga medis dan tenaga paramedis untuk ikut menjadi tenaga inti pelayanan kesehatan kliniknya. Tak terlalu sulit baginya buat mengajak mereka, karena sudah sejak lama JR Saragih biasa menjalin pertemanan yang sangat akrab dengan siapa saja. Banyak orang sangat bersimpati guna mewujudkan mimpi JR Saragih melayani warga masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan.
Sampai kemudian klinik kesehatan dibuka dan mulai berjalan. Satu dua pasien mulai berdatangan minta pertolongan medis. Bak kata pepatah sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit, selain dia terus berusaha menanamkan gajinya buat biaya operasional klinik, kedatangan pasien yang semakin banyak dapat sedikit menggelindingkan roda perjalanan klinik. Klinik pun lancar melayani warga masyarakat yang datang berobat.
Dengan usaha gigih tiada henti, JR Saragih pun mampu membeli sebidang tanah seluas 770 meter persegi yang masih berada di sekitar kawasan Jalan Raya Cibeuning, Bungursari. Dia lantas bermimpi lebih besar lagi, tidak sekadar klinik kesehatan sederhana. Tapi, membesarkan sebuah klinik yang berbasis operasi kepada pasien. Perlahan namun pasti, dia bangun klinik sampai memasuki kelas rumah sakit. Benar memang kemudian dia mendirikan rumah sakit yang diberi nama Efarina Etaham.
Berkat kelengkapan basis operasi, pasien yang datang berobat terus bertambah. “Mengingat banyak pasien kurang mampu datang berobat, kalau dihitung-hitung sampai ada semacam subsidi sekitar Rp200 juta. Niat saya menolong setulus hati, bukan mencari untung dari usaha klinik atau rumah sakit. Puji Tuhan, tidak terlalu lama saya harus mensubsidi pasien yang kekuragan, subsidi itu terus mengecil dari hari ke hari. Bahkan, terutama setelah dibuka Jalan Tol Cipularang, saya lebih banyak mendapat untung daripada harus mengeluarkan bantuan buat warga yang kurang mampu,” papar JR Saragih.
JR Saragih terus memperbaiki manajemen RS Efarina Etaham. Dia memilih orang-orang yang memang ahli mengelola manajemen rumah sakit yang kini sangat dikenal oleh para pekerja di kawasan industri Bungursari khususnya dan masyarakat Purwakarta umumnya. Tahun 2011 lalu, RS Efarina Etaham Purwakarta menjadi tonggak penting perjalanannya. Merajut jalinan kerja sama dengan PT Jamsostek (Persero), RS Efarina Etaham meluncurkan produk pelayanan kesehatan berupa paviliun khusus bagi peserta Jamsostek yang diberi nama Trauma Center Jamsostek. Sebuah langkah bisnis yang sangat strategis dan RS Efarina Etaham benar-benar memperoleh kepercayaan besar dari kaum pekerja di wilayah Kabupaten Purwakarta. Sebuah kepercayaan yang harus dibayar dengan kerja keras sepenuh hati.
Pola kerja sama RS Efarina Etaham dengan PT Jamsostek ini akan dijadikan acuan ke depan. Dengan jalinan kerja sama ini, perusahaan atau keluarga pasien tidak perlu mengeluarkan biaya pelayanan kesehatan. “Cukup menunjukkan Kartu Peserta Jamsostek (KPJ) dan surat pengantar dari perusahaan yang terdaftar dalam program ini kepada rumah sakit penyelenggara Trauma Center Jamsostek, pasien bisa langsung mendapatkan pelayanan,” jelas Direktur Perencanaan dan Pengembangan Informasi PT Jamsostek HD Suyono saat meresmikan Trauma Center Jamsostek RS Efarina Etaham, April 2011. Trauma Center Jamsostek merupakan bentuk penghargaan PT Jamsostek kepada perusahaan peserta jaminan sosial yang tertib administrasi dan membayar iuran secara tepat waktu.
Dalam kerja sama ini RS Efarina Etaham menyediakan paviliun khusus dengan 60 tempat tidur dari 216 tempat yang tersedia untuk pekerja peserta Jamsostek. Paviliun yang dinamai Trauma Center Jamsostek ini untuk memberikan pelayanan cepat kepada pekerja peserta Jamsostek yang mengalami kecelakaan kerja. Kalangan kedokteran menyatakan bahwa kematian dan kecacatan pada kecelakaan kerja sangat ditentukan oleh penanganan pertama pada satu jam pertama setelah kecelakaan. Penanganan satu jam pertama yang disebut the golden how itu mampu menyelamatkan sekitar 85 persen korban dari kematian atau kecacatan.
PT Jamsostek telah menentukan 60 jenis kesakitan yang umum terjadi akibat kecelakaan kerja. Ke-60 jenis kesakitan tersebut memudahkan Unit Trauma Center Jamsostek memberikan pelayanan kepada peserta yang menjadi korban.
Demikianlah, berangkat dari nurani yang trenyuh dan tersentuh, JR Saragih berhasil membangun rumah sakit yang kini cukup megah. Rumah sakit yang kini berdiri di atas lahan seluas tiga hektar. Tahun 2008, RS Efarina Etaham sudah memperoleh akreditasi RS tipe A dengan total karyawan berjumlah sekitar 300 orang, 120 orang di antaranya dokter.
“Dengan perjalanan RS Efarina Etaham seperti sekarang ini, banyak orang yang datang kepada saya dan mengucapkan terima kasih serta mendoakan bagi kebaikan dan perbaikan rumah sakit ini ke depan,” tutur JR Saragih dengan penuh kerendahan hati.

B. Banyak Memberi Banyak Menerima
Kini RS Efarina Etaham tidak hanya dapat dijumpai di Purwakarta, Jawa Barat. Kita pun bisa menemui RS Efarina Etaham di Kabupaten Kerinci (Jambi) dan Brastagi (Sumatera Utara). Dan sebentar lagi di Kabupaten Simalungun. Bahkan, JR Saragih juga telah melengkapi usaha kelompok RS Efarina Etaham dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kesehatan. Saat ini ada sekitar 800 siswa belajar di SMK Kesehatan Efarina Etaham.
“Setiap ada waktu, saya datang ke SMK untuk memberikan motivasi kepada para siswa. Saya memberi motivasi setelah lulus nanti mereka bisa bekerja di RS Efarina Etaham atau bisa pula di rumah sakit lain. Saya tahu siswa-siswi SMK ini tidak semuanya dari kalangan orang yang mampu secara ekonomi, banyak pula yang tidak mampu. Untuk itu, saya berusaha membantu sekuat mungkin, misalkan memberikan makan dan beasiswa. Saya tidak memperoleh bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau sumber dana lainnya. Sebab itu, saya menerapkan subsidi silang untuk mengelola SMK Kesehatan itu,” papar JR Saragih.
Tidak cuma sebatas di saat sekarang ketika mengelola SMK Kesehatan, JR Saragih berusaha berbagi dan memberi. Jauh hari, saat merintis usaha klinik pelayanan kesehatan yang merupakan embrio RS Efarina Etaham, dia sudah menerapkan filosofi berbagi dan memberi. Dia percaya betul bahwa dengan banyak memberi maka kita akan semakin banyak pula menerima. Dia percaya benar bahwa langkah pertama yang bisa kita tempuh untuk mendapatkan kesuksesan sejati adalah dengan terlebih dulu memberi. Bahwa memberi akan membuka kran rejeki. Tentu dengan pemberian yang efektif dan tepat sasaran.
Kran rejeki kita akan terbuka karena pemberian yang efektif mengaktifkan "hukum imbalan sepuluh kali lipat" atau "the law of ten-fold return". Dengan uang sedikit yang kita berikan, akan kembali ke kita berlipat ganda dan bahkan menjadi sumber rejeki baru.
JR Saragih merasa bahwa kalau kita ingin segera menuai sukses dan kebahagiaan dalam hidup ini, maka kita harus memberi, kapan pun dan dalam keadaan bagaimana saja. Dia memulai dengan memberikan gajinya sebagai prajurit untuk membuka klinik pelayanan kesehatan dengan niat ikhlas membantu warga masyarakat yang kekurangan atau fakir. Dia merasa nyaman melepaskan apa yang dimilikinya saat itu. Dia memberikan tangan (gaji) dan hati (niat ikhlas) yang dimilikinya.
Dengan memberi, Tuhan akan melimpahi anugerah atau hadiah pada kita umat manusia. Hidup penuh anugerah adalah dambaan setiap umat manusia. Sayangnya tidak setiap kita mengerti bahwa anugerah itu membutuhkan ruang. Acapkali kita meminta anugerah-Nya tanpa menyadari bahwa seluruh ruang yang ada dalam diri kita telah penuh terisi kelimpahan.
Tuhan akan memberikan hadiah, bila kedua belah tangan kita telah siap menerimanya. Arti kata, tidak ada sesuatu apapun yang sedang kita genggam. Tangan kita tidak sedang menggenggam dan mempertahankan sesuatu. Itulah esensi dari menerima perlu memberi. Menerima perlu mengorbankan. Anugerah perlu pelepasan.
Pemahaman sederhananya, uang yang akan masuk ke dompet kita juga butuh ruang, maka berikan ruang yang cukup. Barang-barang yang telah usang dan tak lagi kita perlukan, hendaknya kita keluarkan dari lemari. Anugerah baru butuh ruang yang cukup. Untuk hadirnya anugerah baru, bukan hanya dibutuhkan kesediaan untuk melepas, tetapi juga kesiapan untuk menerima. Kesediaan untuk melepaskan itu butuh jiwa besar. Pelepasan bukan hanya perlu, namun juga penting.
Pelepasan tidak jarang terasa “sakit”, persis prosesi perempuan yang sedang berjuang hendak melahirkan jabang bayi. Ia kesakitan dan bahkan berdarah-darah. Tetapi sesaat kemudian, jabang bayi baru yang luar biasa hadir sebagai anugerah terindah dalam hidupnya.
JR Saragih menyadari semua perjalanan harus dimulai dari satu langkah kecil melepaskan sesuatu. Semua anak belajar bicara dengan ‘melepaskan’ satu kata sederhana lebih dulu. Jadi ketika mengawali penerapan filosofi memberi ini, dia memulai dari hal kecil yang menyentuh nurani dan dirinya merasa nyaman tanpa tekanan. Dengan perasaan nyaman, langkah pun terasa enteng penuh rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Keikhlasan dan rasa syukur akan penjagaan dan karunia Tuhan lah yang menjadi motivasi JR Saragih dalam langkah memberi yang efektif.
Dengan terbiasa memberi, JR Saragih ingin merasakan kesuksesan yang lebih besar lagi. Sedikit demi sedikit dia mulai menambah jumlah pemberian, karena langkah memberi ini pada gilirannya diyakini akan mampu meningkatkan kondisi perekonomian yang dia bangun. Dan inilah salah satu nilai kearifan lokal yang sampai sekarang masih lekat dengan orang Batak.
Sebagai manusia Batak, JR Saragih memahami betul kearifan lokal Suku Batak yang telah berlaku turun-temurun sejak ratusan tahun lampau. Di kalangan Suku Batak kita kenal ungkapan mangkok lawes mangkok reh. Maknanya, mereka yang memberi maka mereka pula yang akan menerima balasannya.
Bagi Suku Batak, setiap perbuatan akan mendatangkan akibat yang setimpal, seperti terselip pesan dalam pepatah, adi ngalo la rido, nggalar la rutang, yang artinya jika menerima sesuatu yang tidak sah atau tidak wajar, maka akan mendatangkan bencana. Sebab itu, dalam pepatah lainnya disebutkan, pangan labo ate keleng tapi angkar beltek. Artinya, boleh melakukan apa saja tapi harus memikirkan dampak yang akan ditimbulkannya (Prinst, 2004: 66).
Apa yang diterapkan JR Saragih ketika memulai usaha rumah sakit dengan filosofi banyak memberi banyak menerima, mengingatkan kita pada kisah nyata perjalanan hidup Sir Alexander Fleming (penemu Penicilin) dan Sir Winston Churchill (PM Inggris tahun 1940-1945 dan 1951-1955).
Kisahnya kurang lebih begini: pada suatu hari, seorang petani Skotlandia bernama Fleming yang hidup miskin mendengar tangisan seorang anak kecil yang terperosok ke dalam kubangan lumpur. Sang anak masuk ke dalam kubangan yang amat berbahaya. Fleming secara cepat membantu si anak kecil keluar dari kubangan lumpur tersebut. Anak itu pun selamat dan dapat kembali ke rumahnya.
Keesokan harinya, ayah si anak yang diselamatkan oleh Fleming datang ke rumahnya. Sang Ayah ini mengucapkan terima kasih kepada Fleming. Kebetulan dia salah satu orang kaya di kawasan tersebut. Dia menawarkan apa saja yang diinginkan oleh FLeming sebagai ucapan terima kasih atas jasa Fleming menyelamatkan anaknya. Namun Fleming dengan rendah hati menolaknya, karena dia melakukan hal tersebut dengan sukarela.
Namun sang ayah dari anak yang diselamatkan ini mengajukan satu permintaan saat melihat ternyata Fleming juga memiliki seorang anak. Dia melihat kondisi rumah Fleming yang kecil dan kehidupannya yang miskin, pastilah Fleming tidak mampu membiayai sekolah anaknya hingga level universitas. Maka orang kaya ini menawarkan diri akan membiayai sekolah anak Fleming hingga level universitas. Sebuah pemberian penuh totalitas.
Tahun demi tahun berlalu, anak Fleming kemudian dimasukkan ke universitas terbaik saat itu, yaitu St. Marys Hospital Medical School di London. Bersyukur, anak Fleming juga tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan orang kaya tersebut. Anak Fleming belajar tekun dan menjadi sangat terkenal. Dia menemukan sebuah obat yang bernama Penicilin, yaitu sejenis antibiotik yang dihasilkan oleh jamur Penicillium notatum. Zat temuannya ini dapat digunakan untuk mematikan banyak jenis bakteri yang berbahaya bagi tubuh manusia. Anak Fleming ini bernama Sir Alexander Fleming (1881-1955).
Bertahun-tahun kemudian, anak si orang kaya yang membiayai kuliah Fleming terserang pneumonia. Saat itu, satu-satunya obat yang mampu menyelamatkan sang anak adalah Penicilin. Ya Penicilin yang ditemukan oleh Alexander Fleming. Nama anak orang kaya tersebut adalah Sir Winston Churchill (1874-1965). Kisah nyata ini meneguhkan keajaiban memberi. Setiap perbuatan baik akan mengembalikan perbuatan baik yang lebih besar kepada kita.
Beri, beri dan beri! Hidup ini seperti gema, apa yang kita keluarkan akan kembali lagi kepada kita. Ketika kita menabur hal-hal negatif maka kita akan menuai hal yang negatif pula. Apa yang kita keluarkan akan kembali lagi kepada kita. Apa yang kita berikan akan kita dapatkan kembali, bahkan berkali-kali lipat dari apa yang kita berikan. Jika kita memberi, maka kita akan menerima. Persis seperti hukum aksi-reaksi dalam ilmu fisika. Hukum ini juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Alam semesta cenderung mengembalikan apa yang sudah kita berikan dan kita juga harus memberikan apa yang telah kita terima.

C. Bekerja Tanpa Pamrih
Satu hal lagi yang juga menarik dalam diri JR Saragih adalah etos kerjanya yang tanpa pamrih saat memulai usaha atau bisnis klinik kesehatan. Tidak mudah, sungguh, orang mencapai tingkatan bekerja tanpa pamrih. Hanya orang-orang yang berhati bersih, dekat dengan jalan Tuhan dan menyikapi kehidupan penuh kelapangan yang mampu bekerja tanpa pamrih.
Coba kita simak cerita yang cukup populer di kalangan orang-orang yang menerapkan kehidupan dekat dengan jalan Tuhan berikut ini. Syahdan, dalam perjalanan sebuah inspeksi ke beberapa daerah, seorang raja sebuah negeri melihat seorang petani tua sedang menyirami tanaman anggur di kebunnya. Sang raja kemudian menghampiri si petani tua lalu menegur, ”Tahukah bapak, bahwa jenis anggur yang bapak tanam ini adalah jenis anggur yang khas dan langka serta tidak akan berbuah sebelum usia di atas enam tahun.”
Si petani tua menjawab, ”Benar paduka. Jenis anggur ini memang lama berbuahnya, bahkan bisa sampai tujuh tahun baru berbuah.”
”Dan, bapak tetap menanam?” tanya sang raja keheranan.
”Ya paduka, karena jenis ini adalah jenis anggur terbaik,” jawab si petani tua.
Sang raja kemudian turun dari kuda menghampiri petani sambil menepuk pundaknya dan mengatakan, ”Temanku, Maha Kuasa Tuhan. Semoga Tuhan menganugerahimu usia panjang. Karena bagaimanapun, bisa jadi lusa kita tak pernah lagi bertemu. Jadi, apa sebenarnya yang membuat bapak tetap menanam anggur yang belum tentu bapak nikmati?”
“Paduka, memang benar adanya. Mungkin saya tak akan menikmati hasil tanaman ini. Bisa jadi saat tanaman ini berbuah saya sudah meninggal. Namun kematian saya tidak berarti berakhirnya kehidupan dunia ini. Anak cucu saya, tetangga dan teman-teman saya, di antara mereka pasti ada yang masih hidup. Kelak merekalah yang akan menikmati hasilnya.” Demikian penjelasan si petani tua kepada sang raja.
Sang raja terharu. ”Maha Kasih Tuhan. Kau berhati mulia. Kau melakukan sesuatu tidak untuk dirimu sendiri. Kau bekerja tanpa pamrih. Bapak, kelak jika tanaman ini berbuah dan kita masih hidup, bawakan saya sekeranjang hasil tanamanmu, sebagai saksi persahabatan kita ini.” Begitu sang raja menutup perjumpaannya dengan si petani tua itu lantas pergi melanjutkan perjalanan.
Alkisah, beberapa tahun berselang, tanaman anggur petani tua itu berbuah. Si petani tua itu kemudian menyiapkan sekeranjang anggur untuk sang raja, sebagaimana permintaan sang raja dulu. Diceritakan oleh para ahli hikmah, sang raja sangat menghargai ketulusan jiwa si petani tua itu. Sang raja sangat mengagumi kedermawanan dan perbuatannya yang tanpa pamrih. Setelah memindahkan anggur ke wadah yang terbuat dari emas, sang raja memerintahkan kepada menterinya untuk mengisi keranjang itu dengan emas permata dan memberikannya kepada si petani tua, sebagai imbalan atas kebaikannya yang memberi inspirasi bagi sebuah keteladanan yang patut ditiru.
Cerita ini lantas menyebar ke seantero negeri dengan berbagai ragam versi. Bahkan, sampai beredar cerita bahwa sang raja sangat menyukai jenis anggur yang dihadiahkan kepadanya, hingga berani membayar mahal.
Lalu, seorang petani lain, yang kebetulan mendengar cerita versi terakhir tersebut, langsung menyiapkan sekeranjang anggur jenis yang sama untuk dihadiahkan kepada sang raja. Dan sudah barang tentu, dengan harapan dia akan memperoleh seperti apa yang telah didapat si petani tua itu. Sayang, dia harus menelan rasa kecewa, karena dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Sang raja memahami kekecewaan si petani dan berkata, ”Petani tua itu bekerja tanpa pamrih. Kedatangannya kemari juga tanpa harapan apapun. Dia menghadiahkan anggur itu kepada saya. Kamu lain. Kamu ke sini dengan membawa harapan. Kamu berdagang dengan saya. Itulah letak perbedaannya. Namun demikian, saya tetap hargai lebih dari apa yang kamu bawa. Janganlah mengharap imbalan yang sama dengan petani tua itu. Kamu belum memiliki jiwa dan semangat bekerja tanpa pamrih.”
Sungguh bukan langkah mudah mencapai derajat bekerja tanpa pamrih. Karena, hal ini menyangkut ketetapan hati, tidak semata-mata dengar-dengar lalu ikut-ikutan arus kabar burung. JR Saragih tidak ingin hanya mengikuti ke arah mana burung terbang membawa cerita. Dia punya ketetapan hati yang kuat kendati harus jungkir-balik agar klinik kesehatan yang telah direstui Bupati Purwakarta terus berjalan. Tak peduli bagaimana reaksi rekan, teman dan sejawat yang seolah nyinyir melihat seorang tentara dengan perjalanan karir relatif bagus mau-maunya melepaskan gajinya untuk biaya operasional klinik yang ketika itu belum jelas prospeknya. Mau-maunya seorang komandan polisi militer turun sendiri mengepel lantai klinik agar tetap bersih dan higienis.
“Ketika bekerja, saya tidak pernah memperhitungkan, berapa sih saya dapat gaji atau penghasilan. Dari sinilah saya memperoleh berkat atau anugerah dari Tuhan. Saya selalu bekerja keras, bekerja keras tanpa memikirkan berapa penghasilan yang bakal saya peroleh. Itulah kebahagiaan bagi saya. Dan ini pula yang saya coba tularkan kepada segenap aparatur Pemerintah Kabupaten Simalungun, mereka mesti bekerja keras tanpa pamrih. Soal hasil urusan nanti. Kalau kita sudah bekerja keras sepenuh hati, masa sih tidak ada kepercayaan dan apresiasi dari warga masyarakat. Kepercayaan dan apresiasi itu secara otomatis akan mengikuti,” papar JR Saragih.
Dan sikap tanpa pamrih atau menghitung-hitung perolehan atas keringat kerjanya ini pula yang melekat pada diri JR Saragih tatkala memutuskan maju ke arena pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Simalungun pada tahun 2010.
Banyak orang maju ke Pilkada dengan pertimbangan-pertimbangan bagai dagang sapi: apa yang bisa saya peroleh dengan jabatan ini sehingga banyak orang menghalalkan segala cara untuk merengkuh kursi kepala daerah. Tidak demikian halnya JR Saragih. Apalah artinya perolehan tumpukan pundi-pundi, toh dari usaha layanan rumah sakit, dia sudah dalam hidup lebih dari cukup. Apalah arti kursi bupati, toh dari karir militernya, dia tinggal menunggu waktu untuk sampai pada kursi jabatan yang cukup prestise di jajaran polisi militer TNI Angkatan Darat. Sekali lagi, tak ada pamrih harta dan tahta saat JR Saragih maju ke Pilkada Kabupaten Simalungun. Dia hanya ingin mendharma-baktikan dirinya buat kemajuan masyarakat Simalungun.
Bekerja tanpa pamrih akan bermuara pada sikap ikhlas. Ikhlas tidak menjadikan JR Saragih loyo. Dengan bekerja tanpa pamrih, JR Saragih berusaha mengeluarkan energinya secara maksimal tanpa berpikir terlebih dulu apa yang akan dia dapatkan dari hasil kerjanya. Mental untuk bekerja keras tanpa disuruh terlebih dulu inilah yang terus dikobarkan oleh JR Saragih dalam memimpin Kabupaten Simalungun sehingga segenap aparatur pun memiliki energi dan kekuatan yang kuat dan maksimal.
JR Saragih menyadari bahwa mentalitas mau bekerja hanya kalau ada upah ataupun mau bekerja kalau disuruh mulai menggejala di berbagai organisasi, baik pemerintah maupun swasta. Dalam beberapa kesempatan berbincang dengan JR Saragih, salah satu yang dia diskusikan adalah bagaimana membuat para aparatur di Pemerintah Kabupaten Simalungun mampu mengambil inisiatif untuk melaksanakan suatu kegiatan tanpa menunggu perintah terlebih dulu. Berbagai cara telah dia lakukan, tapi nampaknya bukan perkara mudah membuat para aparatur menjadi kreatif. Ditambah lagi, banyak aparatur, di level pelaksana misalkan, yang kadang sebelum bekerja mengedepankan pertanyaan: ”Ini saya dapat apa kalau kerja?” Sehingga, tak jarang banyak kegiatan pampat tersendat.
Mentalitas tanpa pamrih adalah saat seseorang secara sungguh-sungguh bekerja, memikirkan kontribusi apa yang bisa ia berikan untuk organisasi, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan, tanpa terlebih dahulu memikirkan apa yang ia dapatkan. JR Saragih meyakini bahwa dengan kesungguhan dan kerja keras yang dia berikan, dia akan memperoleh ganjaran dan apresiasi dari Tuhan yang jauh lebih besar.
Jika kita bekerja dengan ikhlas, JR Saragih merasa yakin maka energi kreatif yang bisa kita berikan tidak akan pernah habis. Inovasi dan kreativitas itu seakan terus mengalir karena memang tidak dibatasi oleh pamrih apapun. “Kita berpikir, bekerja, dan berusaha sebagai sebuah perwujudan pengabdian sebagai pelayan Tuhan dan karenanya mesti mengeluarkan semua upaya dengan sebaik-baiknya,” ujar JR Saragih.
JR Saragih berharap dasar bekerja tanpa pamrih ini menjadi dasar kerja para aparaturnya. Tidak lagi sekadar mengharapkan ”imbalan” duniawi, tetapi sudah melampaui itu semua, sehingga semua energi duniawi ini bisa dicurahkan sepenuh hati. Hasilnya, menurut JR Saragih, akan jauh lebih berhasil dibandingkan dengan orang-orang yang bekerja setengah hati, karena menimbang-nimbang berapa upah yang akan dia terima. Bekerja tanpa pamrih akan memfokuskan energi kita dalam bekerja sehingga bisa mengeluarkan hasil kerja yang maksimal.
Bekerja tanpa pamrih merupakan bentuk kepasrahan total, tidak berharap, dan membersihkan hati. Dengan tanpa pamrih menjadikan kita ikhlas menerima apapun pemberian Tuhan, betapapun kita anggap buruk dan tidak sesuai harapan. Kita mengikhlaskan segala bentuk peristiwa agar jiwa dan pikiran kita tetap jernih.
Tanpa pamrih juga mengajarkan kita agar rendah hati dan tidak sombong. Karena, di dunia ini tidak ada yang perlu disombongkan dari diri kita masing-masing. Semua yang ada di dunia ini adalah sementara, sehingga masing-masing kita perlu mempersiapkan diri untuk bekal di hari nanti.
JR Saragih tak ingin upayanya bekerja tanpa pamrih diganggu oleh nilai-nilai negatif seperti bekerja untuk dilihat dan dipuji orang. Orang mengerjakan sesuatu bukan bagaimana kerja itu bisa mengembangkan diri dan bermanfaat buat lingkungannya, tetapi bagaimana agar bisa dipuji orang. Popularitas menjadi tujuan utama, walaupun kadang tidak berjalan lurus dengan kualitas yang dimilikinya.
Orang yang bekerja dengan pamrih, biasanya pekerjaannya hanya cenderung dilakukan sebagai ”asal dikerjakan” ataupun ”asal memenuhi kewajiban”. Tidak ada ”ruh” yang menggerakkan kerja itu sehingga hasilnya pun asal-asalan. Sebaliknya, bekerja tanpa pamrih akan membuat orang bekerja keras, baik di tempat sepi ataupun di tempat ramai, baik orang melihat apa yang dikerjakan ataupun tidak.
Selain itu JR Saragih juga tak ingin berbangga diri secara berlebihan atau bekerja tanpa pamrih yang diterapkannya. Berbangga diri secara berlebihan akan mengganggu keikhlasan seseorang karena tujuan bekerja hanya untuk membanggakan diri di hadapan orang lain.
Bekerja tanpa pamrih ini amat penting agar saat kita bekerja tidak mengharapkan apa-apa selain apresiasi dari Tuhan Yang Maha Kasih. Dengan begitu, kita tidak terjebak bekerja Asal Bapak Senang (ABS), bekerja hanya bilamana dilihat orang, ataupun bekerja sekadar untuk mencari popularitas. Tapi, bagaimana kita bekerja sekuat tenaga, mengembangkan semua potensi kita sebagai manusia dengan segenap kompetensi diri, sebagai perwujudan kehambaan dan tanggung jawab kita sebagai pemimpin di muka bumi. Demikianlah hasil dari prinsip bekerja tanpa pamrih yang ingin digapai oleh JR Saragih dalam mengembangkan bisnis dan memimpin rakyat.

D. Terus Mengasah Kompetensi
Ketika memulai usaha pelayanan kesehatan, JR Saragih nyaris tidak memiliki pengalaman, baik pengalaman praktis maupun pengalaman teoritis. Dia menyadari, otaknya masih ‘kosong’ lantaran baru terisi satu bidang ilmu, yakni kemiliteran. Padahal, di dunia luar sana masih banyak ilmu-ilmu lain yang mampu memberi warna kehidupan kita. Dan, sebagai sosok yang haus ilmu, dia terus berpikir dan mengisi otaknya dengan berbagai informasi serta pengalaman dan terus belajar. Dia menyadari bahwa otak manusia mempunyai potensi yang sangat tak terbatas, sebuah khazanah yang masih membutuhkan tangan-tangan terampil untuk mengolah dan memanfaatkannya.
Paul Thomson, dalam bukunya yang berjudul Advanced Psycho Cybernetics and Psychofeedback, menulis, “Otak manusia itu sangat padat. Beratnya hanya sekitar 1.400 gram pada rata-rata pria dewasa dan sekitar 1.275 gram pada rata-rata wanita.otak itu hanya membutuhkan sekitar1/10 volt listrik untuk dapat bekerja dengan efisien. Namun, otak itu sesungguhnya terdiri dari puluhan miliar sel saraf. Otak membuat komputer yang paling canggih sekalipun ketinggalan dalam hal kemampuannya yang betul-betul menakjubkan. Jaringan interkoneksi (yang disebut sinaps-sinaps) antara miliaran sel-sel saraf (neuron) di otak secara potensial sanggup memproses kepingan informasi dengan cara-cara yang jumlahnya setara dengan 2 sampai 10 pangkat 13. Ini merupakan angka yang jauh lebih besar daripada jumlah seluruh atom di alam semesta.”
Ya, JR Saragih berusaha mengisi ruang kosong di otaknya dengan kompetensi ilmu lain di luar pengetahuan kemiliteran yang selama ini telah ditekuninya. Banyak orang memang sedikit nyinyir, kok tentara berbisnis pelayanan kesehatan, mengapa tidak membuka usaha pada bidang-bidang yang terkait dengan dunia militer. Apalagi, JR Saragih bukanlah seorang tentara berlatar-belakang disiplin ilmu kedokteran atau ilmu manajemen rumah sakit.
Ada kisah sukses dari Philadelphia, Amerika Serikat, tentang bagaimana seseorang membuka usaha pada bidang yang relatif jenuh dengan penuh kreativitas dan kompetensi. Tersebutlah Benjamin Franklin yang memulai usaha percetakan pada tahun 1726. Saat itu, masyarakat meragukan keberhasilannya lantaran percetakannya merupakan yang ketiga di kota kecil itu. Namun, dia sukses dan memperoleh reputasi sebagai orang yang paling terampil dan giat di kota tersebut.
Franklin tidak lantas berpuas diri dengan pencapaian prestasi yang telah direngkuhnya. Dia meluaskan usahanya ke penerbitan, melakukan banyak eksperimen dengan kelistrikan seperti penangkal petir dan menemukan berbagai barang seperti tungku masak, kateter, dan lensa bifocal. Talenta Franklin memberikan banyak manfaat bagi banyak orang. Dia membantu mendirikan perpustakaan Philadelphia yang pertama, mengorganisasikan barisan pemadam kebakaran yang pertama di Amerika, dan memegang banyak posisi penting di pemerintahan. Benjamin Franklin menjadi seorang tokoh terkenal yang telah meninggalkan banyak karya di dalam hidupnya dan dikenal berkat kompetensinya.
Ya, kita banyak mengagumi orang-orang yang memperlihatkan kompetensi yang besar seperti Benjamin Franklin, pegolf fenomenal Tiger Wood, CEO legendaris Jack Welch, dan pebisnis kreatif Bill Gates. Mereka adalah orang-orang yang konsisten mengembangkan kompetensi. Seperti mereka, JR Saragih pun terus meningkatkan dan mengembangkan kompetensi diri agar tidak tergilas oleh roda-roda perubahan zaman.
Untuk menguatkan usahanya di sektor pelayanan kesehatan, JR Saragih melengkapi diri dengan kompetensi manajemen. Guna memperkaya kompetensi manajemen, dia pun kuliah ilmu manajamen di jenjang magister (S-2) dan doktoral (S-3).
Berkat kemampuan ilmu manajemen yang mumpuni, JR Saragih berhasil mengembangkan sebuah klinik kesehatan yang terus bertumbuh-kembang menjadi Rumah Sakit (RS) Efarina Etaham yang saat ini cukup dikenal di daerah Purwakarta. Ketika awal mula membuka klinik dengan niat ikhlas membantu warga kurang mampu, pikiran kreatifnya terpantik, bahwa di balik warga kurang mampu, terdapat banyak warga masyarakat yang mampu dan, bahkan, sangat mampu. Sebab itu, dia lalu membuka layanan kesehatan khusus warga mampu dan warga sangat mampu.
Pikirannya sederhana saja. Sebuah usaha, secara manajemen, harus aliran arus masuk-keluar kas keuangannya. Kalau hanya fokus menerima pasien dari kalangan warga miskin maka pemasukan dan pengeluaran akan timpang. Karena itu, untuk menutupi ketimpangan yang terjadi, JR Saragih membuka layanan kesehatan bagi warga sangat mampu ke dalam kelas VIP RS Efarina Etaham. “Kami buka kelas VIP itu bukan untuk mencari keuntungan. Tapi, dari tarif yang dibayar oleh pasien kelas VIP itu kami sisihkan untuk memberikan subsidi perawatan kepada pasien miskin,” jelas JR Saragih suatu kali.
Dengan kompetensi manajemen yang tepat, JR Saragih berusaha mengatur dan mengelola usaha Group RS Efarina Etaham dengan pola subsidi silang yang benar-benar memberikan subsidi kepada yang berhak.
Dalam perjalanannya, JR Saragih berusaha terus menyempurnakan pelayanan kelas VIP agar semakin banyak kalangan berduit. Dia pun terus mengasah kompetensi untuk membesarkan usahanya. Agar kompetensinya terus terasah, JR Saragih senantiasa berupaya mewarnai nilai hidup kesehariannya dengan: pertama, rasa pengendalian (sense of control). Dia berkeyakinan bahwa hanya diri sendirilah yang mengendalikan hidup atau peristiwa-peristiwa yang kita alami, bukan ditentukan oleh nasib, takdir atau orang lain yang berkuasa. Rasa pengendalian diri ini merupakan kognisi dasar untuk mengalami optimisme dan harapan yang akan menyebabkan kita akan mampu terus mengembangkan kompetensi diri.
Kedua, kebutuhan untuk berprestasi dan penguasaan keterampilan. JR Saragih menyadari adanya kebutuhan untuk mencapai tujuan dan menguasai keterampilan tertinggi ini merupakan dasar yang penting guna mengembangkan pengetahuan dan keterampilan. Ini memungkinkan kita meraih sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan dan menggapai apa yang diharapkan dalam hidup.
Dan ketiga, harga diri (self esteem). Yang dimaksud dengan harga diri adalah penilaian seseorang terhadap diri sendiri, baik positif maupun negatif. Dengan memiliki harga diri yang positif, JR Saragih merasa lebih bersemangat, menetapkan tujuan atau tantangan yang lebih sulit untuk diri sendiri, dan mengembangkan aspirasi untuk melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh orang lain.
Dengan mengusung tiga prinsip tersebut, JR Saragih terus belajar sepanjang hayatnya, tidak sebatas di bangku sekolah atau kuliah. Dia meyakini bahwa proses belajar akan terus berjalan sejak dari buaian sampai maut menjemput. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang tumbuh dan berkembang. Manusia selalu ingin mencapai suatu kehidupan yang optimal. Selama manusia berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, baik dalam meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, kepribadian, maupun keterampilannya, secara sadar atau tidak sadar, maka selama itu pula pendidikan masih berjalan terus.
Pendidikan sepanjang hayat merupakan asas pendidikan yang cocok bagi orang-orang seperti JR Saragih yang hidup dalam masyarakat yang tengah bertransformasi. Sebagaimana kita ketahui, JR Saragih ingin membawa masyarakat Simalungun bertransformasi untuk mengejar ketertinggalan dari kabupaten/kota lain di wilayah Republik Indonesia. Dengan tekad semacam itu, dia mengajak warga masyarakat Simalungun untuk senantiasa menyesuaikan dirinya secara terus menerus dengan situasi baru. Dia, meminjam pendapat Napoleon Hill (dalam buku Positive Mental Attitude [1994]), senantiasa berusaha mensugesti dirinya sendiri dan orang-orang di sekelilingnya melalui kata-kata  “Aku bisa!” dan “Kami bisa!”
Sekali lagi, JR Saragih selalu menjaga komitmen dalam berusaha dan memimpin yang  bertumpu pada berbagi sesama, kedekatan pada jalan Tuhan dan kekayaan ilmu. Berbisnis (berusaha) dan memimpin dengan nurani. Dia menyadari kehormatan diberikan sebagai imbalan atas apa yang pernah diberikannya –baik materi maupun non-materi. ***   

No comments:

Post a Comment