Monday, January 21, 2013

Perang Tiang Listrik


Tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh perilaku seorang anak muda bersepeda dengan membawa seember lem dan 300-an lembar selebaran promosi sedot WC. Dia berhenti di tiang listrik yang ada di pojok kanan depan rumahku. Spontan, dia mengeluarkan kuas yang telah dicelupkan ke dalam seember lem lalu disapukan ke beberapa selebaran promosi sedot WC yang sudah terlebih dulu tertempel di tiang listrik. Lalu, selebaran promosi sedot WC yang lama itu berganti wajah dengan selebaran promosi sedot WC yang baru.

“Eh, Bang, memangnya yang ente tutup itu dari Bos yang sama?” tanyaku ingin tahu.

“Ooo, tidak Pak. Saya cuma menjalankan perintah Bos aja,” ujar si anak muda.

“Perintah Bos bagaimana?” aku kembali bertanya.

“Ya, saya dibayar Rp60.000 untuk menempelkan sekitar 300-an lembar selebaran promosi ini dan langsung ditempelkan menutupi selebaran sejenis yang telah ada. Kalau nggak ada perintah, mana berani saya, Pak,” ucapnya.

Aku sedikit terkaget. Memang sah-sah saja bila yang ditutupi dengan selebaran baru oleh si anak muda tadi selebaran promosi sedot WC dari perusahaan yang sama. Yang terjadi, berbeda perusahaan (Bos) namun skala wilayah usahanya relatif sama, yakni seputaran Bekasi. Si anak muda itu mengaku kadang dirinya dikejar-kejar oleh orang, yang entah dari mana arah datangnya, sampai terengah-engah. Bersyukur dia tidak sampai bonyok dikeroyok oleh orang yang konon kabarnya sebagai orang suruhan perusahaan sedot WC pesaing.

Dalam nada yang enteng, si anak muda itu bercerita kerapkali kali bosnya sampai bertengkar dengan sesama bos sedot WC. Bahkan, katanya lebih lanjut, banyak pula perusahaan-perusahaan sedot WC yang gulung tikar gara-gara kalah kuat modal untuk menutupi selebaran promosi di tiang listrik.

Ada upaya saling mematikan dalam perang promosi di tiang listrik. Kadang ada yang berani membayar Rp80 ribu untuk menghabiskan seember lem dan 400-an selebaran promosi sedot WC. Tak peduli siapapun sang pesaing. Sirna sudah etika promosi yang mesti dijunjung tinggi dalam dunia bisnis. Yang penting, “Nomor perusahaan sedot WC saya dilihat oleh siapa saja yang menatap tiang listrik.” Di kalangan mereka berlaku prinsip “hari ini menutup selebaran pesaing, besok ditutup pesaing, lusa pesaing saya tutup kembali, ... ayo adu kuat dana buat mengelem tiang listrik.”

Boleh jadi persaingan tidak sehat model perang tiang listrik perusahaan sedot WC ini tidak hanya menjangkiti pelaku-pelaku usaha kelas bawah semacam usaha sedot WC. Di tingkat pelaku usaha kelas atas, permainan yang kerap terjadi adalah bagaimana adu kuat memberikan insentif kepada pemilik proyek dan atau tender, membuat perusahaan fiktif ikut lelang tender, sampai berpromosi di media massa untuk sekadar memenuhi persyaratan formalitas. Sungguh bengis yang bikin miris! *BN  

No comments:

Post a Comment