Tiba-tiba saja aku
dikejutkan oleh perilaku seorang anak muda bersepeda dengan membawa seember lem
dan 300-an lembar selebaran promosi sedot WC. Dia berhenti di tiang listrik
yang ada di pojok kanan depan rumahku. Spontan, dia mengeluarkan kuas yang
telah dicelupkan ke dalam seember lem lalu disapukan ke beberapa selebaran
promosi sedot WC yang sudah terlebih dulu tertempel di tiang listrik. Lalu,
selebaran promosi sedot WC yang lama itu berganti wajah dengan selebaran
promosi sedot WC yang baru.
“Eh, Bang, memangnya
yang ente tutup itu dari Bos yang
sama?” tanyaku ingin tahu.
“Ooo, tidak Pak. Saya
cuma menjalankan perintah Bos aja,”
ujar si anak muda.
“Perintah Bos
bagaimana?” aku kembali bertanya.
“Ya, saya dibayar
Rp60.000 untuk menempelkan sekitar 300-an lembar selebaran promosi ini dan
langsung ditempelkan menutupi selebaran sejenis yang telah ada. Kalau nggak ada perintah, mana berani saya,
Pak,” ucapnya.
Aku sedikit terkaget.
Memang sah-sah saja bila yang ditutupi dengan selebaran baru oleh si anak muda
tadi selebaran promosi sedot WC dari perusahaan yang sama. Yang terjadi,
berbeda perusahaan (Bos) namun skala wilayah usahanya relatif sama, yakni seputaran
Bekasi. Si anak muda itu mengaku kadang dirinya dikejar-kejar oleh orang, yang
entah dari mana arah datangnya, sampai terengah-engah. Bersyukur dia tidak
sampai bonyok dikeroyok oleh orang yang konon kabarnya sebagai orang suruhan
perusahaan sedot WC pesaing.
Dalam nada yang
enteng, si anak muda itu bercerita kerapkali kali bosnya sampai bertengkar
dengan sesama bos sedot WC. Bahkan, katanya lebih lanjut, banyak pula
perusahaan-perusahaan sedot WC yang gulung tikar gara-gara kalah kuat modal untuk
menutupi selebaran promosi di tiang listrik.
Ada upaya saling
mematikan dalam perang promosi di tiang listrik. Kadang ada yang berani
membayar Rp80 ribu untuk menghabiskan seember lem dan 400-an selebaran promosi
sedot WC. Tak peduli siapapun sang pesaing. Sirna sudah etika promosi yang
mesti dijunjung tinggi dalam dunia bisnis. Yang penting, “Nomor perusahaan
sedot WC saya dilihat oleh siapa saja yang menatap tiang listrik.” Di kalangan
mereka berlaku prinsip “hari ini menutup selebaran pesaing, besok ditutup
pesaing, lusa pesaing saya tutup kembali, ... ayo adu kuat dana buat mengelem
tiang listrik.”
Boleh jadi persaingan
tidak sehat model perang tiang listrik perusahaan sedot WC ini tidak hanya
menjangkiti pelaku-pelaku usaha kelas bawah semacam usaha sedot WC. Di tingkat
pelaku usaha kelas atas, permainan yang kerap terjadi adalah bagaimana adu kuat
memberikan insentif kepada pemilik proyek dan atau tender, membuat perusahaan
fiktif ikut lelang tender, sampai berpromosi di media massa untuk sekadar
memenuhi persyaratan formalitas. Sungguh bengis yang bikin miris! *BN
No comments:
Post a Comment