Thursday, January 24, 2013

Membangun Kebanggaan dan Harga Diri Orang Simalungun




Pembangunan tidak dimulai dengan barang tetapi dimulai dengan orang: pendidikannya, organisasinya dan disiplinnya. Tanpa ketiga komponen ini, semua sumber daya tetap hanya akan terpendam, tak dapat dimanfaatkan dan tetap sekadar merupakan potensi belaka.
E.F. Schumacher 
Penulis Buku Small is Beautiful, 1987

Usai terpilih menjadi Bupati Simalungun periode 2010-2015 melalui demokrasi rakyat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan dilantik pada Oktober 2010, Jopinus Ramli Saragih langsung merentang visi yang jelas, transparan, realistis, dan membumi buat membangun daerah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Visinya di periode 2010-2015 adalah “Terwujudnya Masyarakat dan Daerah Kabupaten Simalungun yang Makmur Perekonomian, Adil, Nyaman, Taqwa, Aman dan Berbudaya (MANTAB)”.
Sebagai orang Simalungun, visi yang dicanangkan JR –demikian Bupati Simalungun ini akrab disapa—tersebut diinspirasi oleh keprihatinannya yang teramat mendalam terhadap kenyataan bahwa masyarakat Simalungun yang kian apatis, tidak memiliki rasa kebangaan, malas dan nyaris kehilangan rasa kebersamaan,
Secara garis besar terdapat empat persoalan yang menghinggapi warga masyarakat Simalungun. Yakni: orang Simalungun sulit berbagi, mengalami gangguan perasaan, minimnya kebersamaan dan gagap memasuki era globalisasi. Bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba bilamana warga masyarakat Simalungun mengidap empat persoalan tersebut. Setidaknya ada akar historis yang jauh ke masa lalu.

A. Akar Historis Keterpurukan Simalungun
Ada satu kesaksian menarik dari seorang pendeta asli Simalungun, Pdt. Juandaha Raya Purba Dasoeha, STh. Dalam suatu perbincangan dengan dirinya, seorang Bapak asli Simalungun, yang sudah lama berkecimpung di dunia politik, mengatakan bahwa Simalungun adalah bangsa yang besar.
Pendeta Juandaha balik menjawab, “Simalungun bukan besar tetapi kecil. Bahkan saking kecilnya, orang di luar Simalungun, tidak kenal apa itu Simalungun.”
Si Bapak langsung marah-marah dengan mengatakan bahwa pendeta asli Simalungun itu sebagai pendeta tidak peduli dengan keadaan Simalungun. Kata si Bapak, Pendeta Juandaha mestinya membesarkan kebanggaan Simalungun, bukan makin mengecilkan Simalungun. “Ai, na sonaha do nasiam pandita namaposo sonari on, lang dong be huidah parduli nasiam bani Simalungun on?” gerutu si Bapak.
Pendeta Juandaha senyum-senyum saja. Dia merasa berat mengatakan kepada si Bapak bahwa realitas Simalungun yang kecil itu tidak dapat dipungkiri lagi. Hal ini, menurut dia, terlihat pada kompleksnya permasalahan yang muncul di Tanoh Simalungun saat ini. Mulai dari jalan-jalan yang rusak sampai pembangunan yang berorientasi pada kepentingan simbolik yang mengabaikan masalah perut sebagian besar warga Simalungun yang hidup di tengah himpitan kemiskinan dan keterpurukan, khususnya di huta-huta sana.
Dan yang tak kalah serunya, demikian kata Pendeta Juandaha, sekarang ini ada inisiatif orang-orang pendatang di Simalungun yang hendak membagi-bagi Kabupaten Simalungun menjadi tiga Kabupaten, dengan menyisakan satu Kabupaten Simalungun di enclave etnis Simalungun mulai dari Kecamatan Raya, Purba, Silimakuta, Dolog Silou dan Raya Kahean, sedang yang dua lagi diberi nama Kabupaten Nusantara dan Dano Toba yang rasanya cukup nasionalis dan lintas etnis. Belum lagi, kabar-kabarnya (gan baritani), pejabat-pejabat dari etnis Simalungun banyak yang digusur dari kursi kebesarannya di Kantor Bupati Simalungun dan serta merta digantikan pejabat-pejabat dari etnis lain. Saking nasionalisnya Simalungun, ada pejabat yang diimpor dari luar Kabupaten Simalungun.
Simalungun sepertinya kehilangan kebanggaan dirinya. Seolah Simalungun tidak eksis di tengah maraknya tuntutan otonomi dan kekhasan kulutal daerah-daerah di era otonomi daerah dan reformasi. Padahal di masa lalu Simalungun memiliki kebanggaan melalui tokoh-tokohnya seperti Brigjen (Purn) Radjamin Purba, Tuan Madja Purba, Haji Ulakma Sinaga, Pdt. J. Wismar Saragih, Guru Jason Saragih, Brigjen (Purn) T.S. Mardjans Saragih, Brigjen (Purn) Lahiradja Munthe, Pdt. Jenus Purbasiboro, dr. Djasamen Soembajak, Pangoeloe Balei Djaoedin Saragih dan tokoh-tokoh Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen (1928) yang tanpa pamrih memperjuangkan Simalungun menjadi tuan di rumahnya sendiri.
Dalam tesis yang dikemukakan Prof. Dr. Bintan Regen Saragih --yang ayahnya Pdt. Williamer Saragih dibunuh PRRI di Sibuntuon tahun 1960-- dijelaskan paling tidak ada enam penyebab kelambanan pergerakan kemajuan sosial-politik, religius dan ekonomis orang Simalungun. Pertama, Perang Dunia II, yang mengakibatkan lambannya perkembangan ilmu pengetahuan/teknologi dan sedikitnya informasi dan bantuan yang masuk ke Simalungun.
Kedua, Revolusi Sosial, 3 Maret 1946, yang meluluh-lantakkan kebesaran Simalungun dengan pembunuhan kaum elitis-intelektual dan birokrat dan aristokrat Simalungun perdana. Terbentuknya NST (Negara Sumatera Timur) dengan raja Tanah Jawa Tuan Kaliamsyah Sinaga dan Tuan Djomat Purba sebagai wali negara dan kepala kepolisian NST yang menegaskan realitas historis sifat provinsialisme orang Simalungun yang konon kurang berkenan di hati orang republik, sehingga Simalungun dicap bukan nasionalis sejati dan terkesan separatis.
Ketiga, peristiwa PRRI 1959-1961 yang memandekkan pembangunan golongan menengah di Simalungun. Keempat, peristiwa G 30-S/PKI 1965 yang melumpuhkan kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya (termasuk keagamaan) di seluruh Indonesia, termasuk Simalungun. Kelima, lambannya orang Simalungun menyikapi aliran Kharismatik dan aliran-aliran fundamentalisme Kristen yang berkembang subur saat ini yang lebih mengedepankan pertumbuhan iman dan mengabaikan kepedulian pada masalah-masalah krusial di tengah-tengah masyarakat. Semboyan Kristen, yes, partai Kristen, no, makin menjauhkan orang Kristen dari ruang-ruang politik di negeri ini, sehingga dikhwatirkan ke-Kristen-an akan menjadi penonton di tengah percaturan politik di Indonesia.
Dan, keenam, kelambanan orang Simalungun menghadapi derasnya arus golobalisasi dan teknologi informasi. Lihat saja di tanoh hasusuranta Simalungun sekarang ini, semakin banyak anak-anak dan pemuda Simalungun yang melalaikan kewajibannya menuntut ilmu dan menyerap teknologi sebagai bagian amal-ibadahnya. Banyak penyebabnya, mulai dari sikap tidak peduli, ekonomi yang seret, sampai orang tua yang lebih menganggap niombah sebagai aset tenaga kerja yang murah ketimbang diarahkan pada hal-hal yang bersifat membangun integritas dan masa depannya yang lebih baik, bukan saja pada keluarganya tetapi pada seluruh Simalungun.
Nah, inilah beberapa fenomena dan realitas yang terjadi di tengah-tengah Simalungun dewasa ini. Tentu kita tidak ingin Simalungun habis ditelan zaman. Simalungun harus kita bangun dan kembali menjadi kebanggaan bagi orang Simalungun, terutama dari marga Sinaga, Damank, Purba, Saragih dan Sipayung. JR Saragih sebagai orang asli Simalungun yang kini menjadi Bupati Simalungun periode 2010-2015 jelas tidak akan tinggal diam atas keterpurukan Simalungun di mata sesama warga NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Selain enam faktor tadi, penyebab kelambanan masyarakat Simalungun merespon perkembangan zaman juga tidak terlepas dari tatanan (sistem) pada berbagai level. Sebagaimana kita ketahui, aktivitas warga masyarakat sebagai makhluk sosial dipengaruhi oleh berbagai lingkungan tatanan (sistem) pada berbagai tataran (structural levels). Yang paling mendasar adalah meta-environmental system, yaitu tatanan nilai dan norma dasar sosial budaya berupa pandangan dunia dan pandangan hidup. Pandangan dunia dan pandangan hidup mempengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat berupa sikap umum dan perilaku serta tata cara pergaulan masyarakat. Pandangan dunia dan pandangan hidup ini merupakan landasan pembentukan pranata sosial budaya yang melahirkan berbagai lembaga formal dan informal di tengah-tengah masyarakat.
Pandangan hidup dan pandangan dunia masyarakat Simalungun boleh dikatakan tengah bermasalah. Hal ditandai antara lain: pertama, adanya peningkatan jumlah keluarga yang tidak mampu dalam membangun keutuhan berkeluarga yang baik, sehingga berdampak buruk bagi anggota keluarga pada masalah-masalah sosial psikologi, ekonomi dan pengasuhan anak. Kedua, kurang meratanya pelayanan sosial terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Ketiga, profesionalisme pelayanan sosial baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial relatif rendah. Keempat, relatif rendahnya peran aktif sosial masyarakat dalam memberikan pelayanan sosial atas dasar swadaya dan kesetiakawanan yang diwujudkan dalam bentuk usaha-usaha kesejahteraan sosial yang melembaga dan berkesinambungan. Dan kelima, ketahanan sosial masyarakat terhadap masalah kesejahteraan sosial yang juga relatif rendah.

B. Menelisik “Mutiara” yang Tersembunyi
Sudah selayaknya warga masyarakat Simalungun tidak merasa kerdil dan kecil hati dalam menatap masa depan, meski sekarang dalam kondisi nyaris kehilangan kebanggaan diri. Simalungun memiliki sejumlah potensi yang dapat dikatakan mampu mendongkrak kebanggaan. Mari kita lihat beberapa potensi yang diharapkan mampu memantik rasa kebanggaan dan mengangkat harkat-derajat orang Simalungun. Pertama, Kawasan Strategis Nasional Danau Toba.
Danau Toba memang sudah menjadi landmark Sumatera Utara sejak tahun 1970-an, di mana danau ini sudah dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia. Dengan luas 1.265 km2 dan panjang 90 km, serta kedalaman rata-rata 450 m dari ketinggian 950 m di atas permukaan laut, Danau Toba menjadi salah satu danau terluas dan terdalam di dunia. Potensi luas daerah tangkapan air 3.698 km2 dengan 142 sungai dari Pulau Sumatera dan 63 sungai dari Pulau Samosir yang bermuara ke Danau Toba. Belum lagi potensi hutan di kawasan Danau Toba yang memiliki ekosistem daratan yang luas dengan dikelilingi oleh pegunungan Bukit Barisan.
Sekaitan dengan ditetapkannya Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Nasional, Pemerintah Kabupaten Simalungun sebagai wilayah kabupaten yang berada di sekitar Danau Toba tetap mendukung pengembangan wilayah Danau Toba, khususnya yang berada diwilayah Kabupaten Simalungun. Bentuk dukungan tersebut dengan melanjutkan kerjasama pemerintah daerah melalui Badan Koordinasi Pengelola Ekosistem Kawasan Danau Toba (BKPEKDT) yang diprakarsai oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari pemerintah daerah yang berada di wilayah Kawasan Danau Toba, seperti Kabupaten Simalungun, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Tanah Karo, Tobasa, Samosir, Pakpak Bharat dan Kotamadya Pematang Siantar.
Selain kerjasama tersebut, Pemerintah Kabupaten Simalungun juga ikut dalam forum kerjasama pemerintah daerah melalui Forum Lake Toba Regional Management (LTRM) yang tetap terdiri dari pemerintah daerah yang berada di Kawasan Danau Toba.
Kedua, Kawasan Agropolitan. Dinamika pembangunan di sektor pertanian, dari waktu ke waktu terus berkembang secara cepat dan kompleks. Program pembangunan di sektor pertanian dititik-beratkan pada agribisnis dan ketahanan pangan. Pengembangan agibisnis tidak mengenal batas-batas administrasi wilayah, sehingga sudah waktunya strategi pengembangan sistem dan usaha agribisnis ditingkatkan menjadi strategi yang mensinergikan pengembangan agribisnis dengan pendekatan wilayah. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan pembentukan dan pengembangan kawasan agropolitan.
Untuk Kawasan Agropolitan di Provinsi Sumatera Utara telah dibentuk berdasarkan Nota Kesepahaman Bersama antara Pemerintah Kabupaten Tanah Karo, Dairi, Simalungun, Toba Samosir dan Tapanuli Utara yang ditanda-tangani di Berastagi pada tanggal 28 Desember 2002 dengan menetapkan Pusat Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan. Pada tahun 2005, Kabupaten Samosir, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat dan Kotamadya Pematang Siantar ikut serta dan sepakat juga dalam program pengembangan kawasan agropolitan dataran tinggi Bukit Barisan Sumatera Utara.
Berkaitan dengan pelaksanaan program ini, Kabupaten Simalungun ditunjuk sebagai pusat pengembangan Kawasan Agropolitan dengan dibangunnya Stasiun Terminal Agribisnis (STA) Saribulok.  Guna mendukung program pengembangan Kawasan Agropolitan ini, Pemerintah Kabupaten Simalungun telah melakukan perencanaan dan memprogramkan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan oleh setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait.
Untuk tahun 2011-2015, arah kebijakan Pemerintah Kabupaten Simalungun tetap mendukung program-program agropolitan dengan kebijakan sebagai berikut: 1. Merencanakan pengembangan kawasan agropolitan melalui program-program yang akan dilaksanakan oleh SKPD yang terkait; 2. Mengefektifkan Stasiun Terminal Agribisnis (STA) Saribudolok sebagai media pemasaran produksi-produksi yang berasal dari Kawasan Agropolitan.
Selain Stasiun Terminal Agribisnis (STA) Saribudolok, para petani Kabupaten Simalungun kini telah pula memiliki Pasar Tani di Kecamatan Raya yang diresmikan oleh Bupati Simalungun JR Saragih pada awal Desember 2011. Ketika meresmikan Pasar Tani tersebut, Bupati JR Saragih juga menyerahkan bantuan farm gate market kepada Asosiasi Pasar Tani Harapan Raya.
Bupati JR berharap para petani yang memperoleh bantuan farm gate market tetap menjaga kebersihan dan keasrian di lokasi berjualan, sehingga tidak menimbulkan kesan kumuh dan jorok bagi pengunjung.
Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Hortikulturan Pemerintah Kabupaten Simalungun Amran Sinaga, bantuan farm gate market sangat berguna untuk mendukung pemasaran hasil pertanipara petani. Bantuan farm gate market diberikan sebagai salah satu upaya pemerintah dalam membantu petani meningkatkan komoditas pertanian dan mendekatkan petani menuju agribisnis. Bantuan yang diberikan kepada petani berupa 20 unit tenda gajebo, 40 unit meja, 80 unit kursi lipat, 80 unit keranjang kontainer, 20 unit rak, 20 unit timbangan duduk, 20 buah taplak meja, 20 unit beka, dan 20 unit tempat sampah.
Pasar Tani dan STA Saribudolok boleh dikatakan semakin melengkapi media untuk mendekatkan komoditi petani Simalungun dengan konsumen. Selama ini, hasil petani Simalungun –terutama petani kopi Arabica Simalungun—telah melanglang buana, termasuk meramaikan gerai-gerai franchise kopi kelas dunia Starbuck. “Kopi Simalungun dibeli oleh PT Indo Cafco (anak usaha ECom Agrindustrial Corporation) dan diekspor keluar negeri, lalu dibeli oleh trader luar seperti Amerika Serikat, Jepang, Swiss, Belanda dan negara Eropa lainnya. Salah sattu trader ini adalah pemasok kopi untuk Starbuck. Kemudian kopi Simalungin balik lagi ke Indonesia melalui Starbuck Indonesia,” kata Consultant Agribusiness untuk IFC (International Finance Corporation) Zaenudin Toyib ketika menerima kunjungan IFC di Simalungun akhir tahun 2011.
Dalam rangka memperkuat produksi dan kualitas ekspor kopi Simalungun, IFC atau lembaga pembiayaan yang merupakan grup Bank Dunia itu bekerjasama dengan PT Indo Cafco membangun sebuah pusat pelatihan untuk petani kopi Simalungun atau Farmer Trade Center (FTC).
Tahun 2011 ekspor kopi dari Sumatera Utara dan Aceh mencapai 60 ribu ton dan dari ECom sendiri adalah 6.000 ton untuk jenis Arabica dengan nilai US$5 per kilogram. Dan untuk tahun 2012 diharapkan ada peningkatan volume dan nilai biji yang lebih berkualitas dan bersertifikat.
Saat ini keadaan kopi dari petani kopi Simalungun masih banyak yang defect atau cacat seperti biji pecah 2-3 bagian dan biji berlubang. Standar Nasional Indonesia (SNI) menetapkan bahwa dalam 300 gram kopi maksimal defect-nya 11 dapat dikatagorikan layak ekspor.
Adanya pusat pelatihan FTC diharapkan dapat berlangsung transfer ilmu dari para konsultan kepada para petani kopi Simalungun. Dengan begitu, petani akan terus berusaha meningkatkan kualitas kopi yang mereka hasilkan sehingga mampu memenuhi permintaan konsumen dan secara otomatis meningkatkan taraf hidup para petani.
Pihak IFC bertugas sebagai manajemen dalam pusat pelatihan. Sedangkan PT Indo Cafco berkontribusi menyediakan peralatan dan aset. Proyek pelatihan ini termasuk proyek nirlaba. Terdapat tiga hal yang ingin difokuskan dari pelatihan ini, yakni pembangunan produktivitas dan mutu kopi, menghubungkan pasar yang bersertifikat, dan mencapai rantai distribusi yang relatif pendek. Pembangunan FTC ini diharapkan mampu meningkatkan mutu kopi Simalungun dan meningkatkan ekspor kopi Indo Cafco.
Manajer PT Indo Cafco Nick Watson mengemukakan perusahaannya sudah 10 tahun berada di Indonesia. Dimulai pada tahun 2001 di Lampung kemudian tahun 2004 masuk Medan, dengan ekspor kopi sekitar 1.000 ton per tahun. Kini Indo Cafco mampu mengekspor sekitar 6.000 ton per tahun.
Indo Cafco tidak memiliki lahan sama sekali. Menurut Nick Watson, hal itu murni hubungan langsung dengan petani kopi sebagai mitra penyerap kopi petani. Kendati tidak mau membangun industri olahan, dalam jangka panjang pihaknya akan membangun FTC di berbagai tempat di Sumatera Utara dan sekitar Danau Toba. “Memang harga kopi sempat naik di semester dua tahun 2011, pembeli memang kaget tapi tetap memilih Arabica Simalungun karena rasanya yang unik dan tidak dapat tergantikan oleh kopi Kolombia,” jelas Nick Watson.       
Di samping menelisik potensi Simalungun melalui agribisnis dan pusat pelatihan petani, yang ketiga, Pemerintah Kabupaten Simalungun juga membangun Kawasan Industri Sei Mangkei. Kawasan Industri Sei Mangkei merupakan salah satu koridor percepatan pembangunan yang menjadi prioritas pembangunan pemerintah pusat. Sehubungan dengan pembangunan kawasan tersebut, kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Simalungun adalah: 1. Mengakomodir rencana pembangunan Kawasan Industri Sei Semangkei dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Simalungun; 2. Mempersiapkan tenaga kerja yang memiliki kualifiaksi sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja di kawasan industri tersebut;  3. Meningkatkan infrastruktur yang menjadi akses menuju kawasan tersebut.

C. Meretas Jalan Membuka Pikiran
Bila si Bapak asli Simalungun yang telah lama berkecimpung di dunia politik tadi merasa Simalungun bukanlah entitas yang kecil tentu cukup beralasan. Terutama jika dirunut dari sisi kesejarahan masyarakat Simalungun. Terkhusus lagi kalau kita melihat marga-marga asli sebagai pembentuk masyarakat Simalungun.  
Secara historis, terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba. Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara empat raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh). Satu hal menarik, marga-marga tadi menggambarkan kebesaran, semangat dan optimisme masyarakat Simalungun menatap masa depan yang cerah dan penuh asa.
Mari kita renungkan satu per satu dan keempat marga tersebut. Marga Damanik. Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik). Dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). Dengan makna tersebut, mereka yang bermarga Damanik diharapkan sebagai orang-orang yang berkharisma, bersemangat tinggi dan cerdas dalam menyiasati liku perjalanan hidup.
Lalu marga Saragih. Dalam bahasa Simalungun, Saragih mengandung arti Simada Ragih. Ragih berarti atur, susun, atau tata. Dengan demikian, simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang. Begitu agung dan luhur makna Saragih. Makna itu menempatkan Saragih pada kasta yang relatif tinggi di tengah-tengah masyarakat.
Kemudian marga Purba. Purba berasal dari kata Purwa dalam bahasa Sanskerta. Arti katanya timur, gelagat masa datang, pengatur, pemegang undang-undang, tenungan pengetahuan, atau cendekiawan/sarjana. Sebuah predikat yang juga menunjukkan kasta cukup tinggi di tengah-tengah masyarakat. Selain itu ada nada optimisme dalam menatap masa depan yang lebih berpengharapan.
Dan marga Sinaga. Sinaga berarti Simada Naga. Dalam mitologi Yunani,  Naga dikenal sebagai penyebab Gempa dan Tanah Longsor. Dalam makna positif, nama marga Sinaga mengandung kekuatan dan kedahsyatan menghadapi kehidupan. Mereka yang bermarga Sinaga memegang nilai-nilai kedigdayaan dan kedahsyatan dalam menjalani roda-roda kehidupan. Lebih jauh lagi, Sinaga membawa sikap optimisme luar biasa di tengah-tengah kehidupan anak manusia.
Selain keempat marga tadi, masih terdapat marga-marga perbauran di Simalungun. Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya di Pulau Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak telah melahirkan marga-marga baru. Ada pula marga-marga lain yang bukan marga asli Simalungun tapi terkadang merasakan dirinya sebagai bagian dari suku Simalungun, seperti Lingga, Manurung, Butar-butar dan Sirait.
Jadi memang terdapat kebanggaan yang mengakar jauh ke masa silam. Tentunya kita tidak boleh berpuas diri dengan romantika di masa lampau. Sangat berbahaya. Kata pendiri IBM, Thomas J. Watson, orang yang dikalahkan oleh pesaingnya pasti dapat bangkit lagi. Namun, orang yang dikalahkan oleh rasa puas diri akan jatuh selamanya.
Dengan berpuas diri maka perasaan terhadap datangnya krisis (sense of crisis) juga menjadi tumpul. Padahal, krisis di tengah masyarakat kita kini terus berkepanjang, sulit diperkirakan kapan berakhir. Harus ada keberanian berubah lepas dari mimpi-mimpi romantika masa lalu.
Bupati Simalungun JR Saragih berusaha menyelami kondisi sosiologis masyarakat yang kini dipimpinnya itu. Dia berusaha membangkitkan kebanggaan yang sebetulnya telah melekat pada diri orang-orang Simalungun. Misalkan dari akar bahwa orang Simalungun dikenal sebagai pemilik tata aturan, pengatur dan pemegang undang-undang. Pemerintah kabupaten sempat membuat peraturan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat Simalungun, contoh peraturan bahwa setiap warga masyarakat wajib membersihkan halaman rumahnya masing-masing. Peraturan ini rupanya tidak bisa berjalan lantaran warga Simalungun merasa tidak memiliki peraturan tersebut.
JR Saragih pun merasa kesulitan manakala harus melibatkan masyarakat dalam pemeliharaan hasil-hasil pembangunan. Sebab itu, JR berusaha membalik pola pikir. Warga masyarakat dilibatkan sepenuhnya dalam proses pembangunan daerah, termasuk bagaimana pemeliharaan hasil-hasil pembangunan. Dengan begitu, mereka ada rasa memiliki atas apa yang telah mereka hasilkan sendiri. Artinya, warga masyarakat tidak berhenti pada nostalgia kebesaran orang Simalungun di masa silam.
“Saya mengajak, merangkul semua komponen masyarakat Simalungun dengan menggalakkan kerja bakti dan gotong royong. Dengan cara ini, sikap apatis mereka perlahan-lahan terkikis dan mereka kembali merasa memiliki kebanggaan atas kebesaran Simalungun,” jelas JR Saragih suatu kali.
Di sela-sela turun langsung ke bawah, JR mengajak berpikir semua komponen masyarakat untuk membawa Kabupaten Simalungun kepada kejayaan menatap masa depan. Dia berusaha menjadi pemimpin yang turun sampai di titik paling bawah lalu menyelami dan menyerap aspirasi sampai akhirnya membuat satu pendekatan dan kebijakan yang tepat buat masyarakat Kabupaten Simalungun.
Setelah tahu persoalan yang dihadapi masyarakat dengan mata kepala sendiri, Bupati JR Saragih lalu mengajak tokoh-tokoh agama dan masyarakat untuk menyentuh dan bersama mencari atas permalasahan yang ada. Di sini, ada aspek pembinaan mental yang ingin dikedepankan oleh Bupati JR. “Kita harus kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 untuk menguatkan mental warga masyarakat Simalungun. Bagaimana masyarakat akan adil dan makmur kalau mental rusak, tidak sepaham dalam bermasyarakat. Seberapa pun hasil pembangunan akan sia-sia belaka kalau mental masyarakat tidak mendukung,” ujar JR Saragih suatu kali.
Selain mengajak tokoh-tokoh agama dan masyarakat, JR Saragih tidak lupa pula mendorong aparatur Pemerintah Kabupaten Simalungun memberikan pelayanan birokrasi yang bersih dan melayani. Dengan cara seperti ini, akan membuka pikiran warga masyarakat dan mereka kembali menaruh kepercayaan para birokrat. “Berilah pelayanan yang terbaik kepada masyarakat agar mereka mengakui keberadaan pemerintah kabupaten. Yang terjadi sekarang, warga masyarakat hampir-hampir tidak mengakui keberadaan aparatur pemerintah kabupaten. Ini yang harus kita perbaiki supaya ke depan warga masyarakat tidak perlu lagi menyogok dan menyuap saat berurusan dengan birokrasi pemerintah kabupaten. Saya berharap para kepala dinas, kepala biro, para camat dan pimpinan SKPD menyentuh dan membuka pikiran warga masyarakat Simalungun,” tutur Bupati JR Saragih.
Kita harus mengadari bahwa tuntutan untuk mewujudkan good governance sudah menjadi salah satu isu penting di Indonesia, didahului oleh krisis financial yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang meluas menjadi krisis multidimensi. Krisis tersebut telah mendorong arus balik yang menuntut perbaikan atau reformasi dalam penyelenggaraan negara termasuk birokrasi pemerintahannya. Salah satu penyebab terjadinya krisis multidimensi yang dialami tersebut adalah karena buruknya atau salah kelola dalam penyelengaraan tata kepemerintahan (poor governance), diindikasikan oleh beberapa hal, antara lain: (1) dominasi kekuasaan oleh satu pihak terhadap pihak-pihak lainnya, sehingga pengawasan menjadi sulit dilakukan; (2) terjadinya tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); dan (3) rendahnya kinerja aparatur termasuk dalam pelayanan kepada publik atau masyarakat di berbagai bidang.
Pihak-pihak yang dituntut untuk melakukan reformasi tidak hanya negara saja (legislatif, yudikatif, dan eksekutif) tapi juga dunia usaha/swasta (corporates) dan masyarakat luas (civil society). Secara umum, tuntutan reformasi berupa penciptaan good corporate governance di sektor dunia usaha atau swasta, penciptaan good public governance dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, dan pembentukan good civil society atau masyarakat luas yang mampu mendukung terwujudnya good governance.
Sungguh tidak mudah mengajak aparatur birokrasi pemerintah kabupaten untuk tampil bersih dan melayani di tengah masih kentalnya birokrasi yang lekat dengan berbagai penyakit mentalitas menerabas jalan pintas. Tidak mudah memang di tengah kelimpahan 120 aparatur eselon II sementara hanya ada 40 SKPD yang bisa mereka isi.  Untuk itu, Bupati JR Saragih berusaha menempatkan aparatur yang benar-benar menjalankan amanah dan mengemban misi melayani.
Guna lebih menguatkan mental aparatur pemerintah kabupaten agar mampu menjadi suri teladan bagi warga masyarakat, Bupati JR Saragih terus berusaha melakukan pelatihan-pelatihan, merapikan pembinaan PNS dengan sistem karir dan prestasi kerja, dan memberikan kesempatan aparatur untuk mengikuti pembinaan pengelolaan keuangan daerah.
Bupati JR Saragih berusaha membangun Kabupaten Simalungun dari pembangunan manusia. Hal ini tampak lebih jelas pada prioritas-prioritas program kerja yang dilakukannya. Pertama, pembinaan aparatur pemerintah dari tingkat kabupaten sampai nagori. Kedua, pembekalan kepada seluruh PNSmulai dari kabupaten sampai nagori yang meliputi mental dan etos kerja agar dapat melayani masyarakat secara baik.
Ketiga, mengumpulkan seluruh tokoh lintas etnis dan lintas agama untuk diajak bekerja sama dalam Pembangunan Berbasis Desa Mantap supaya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat per rumah tangga. Keempat, mengajak seluruh anggota dewan bermusyawarah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan PNS dan tenaga honorer.
Kelima, mengusulkan peningkatan kesejahteraan/jaminan hidup dan kesehatan untuk para kepala desa dan lurah serta meningkatkan penghasilan per bulan. Keenam, membentuk Posyandu di seluruh nagori dan bekerja sama dengan seluruh warga masyarakat di Simalungun.
Ketujuh, mengundang seluruh tokoh masyarakat lintas agama untuk melaksanakan evaluasi bersama dengan seluruh anggota dewan dan muspida ke lapangan. Dan kedelapan, membuka pendidikan anak usia dini di setiap kecamatan.
Pendidikan menjadi fokus penting dalam prioritas kerja Bupati JR Saragih. Karena, melalui pendidikan yang baik, kualitas diri anak manusia akan terus meningkat. Selain membuka pendidikan anak usia dini di setiap kecamatan, Pemerintah Kabupaten Simalungun juga berusaha meningkatkan kualitas guru dan memperbaiki sarana/prasarana sekolah. Dengan demikian warga masyarakat Simalungun menaruh rasa percaya kepada tenaga pendidikan dan sekolah-sekolah yang ada di wilayahnya.
Tumbuhnya rasa percaya warga masyarakat akan mendorong dan memacu Pemerintah Kabupaten Simalungun untuk menghadirkan sekolah-sekolah bermutu. Dengan harapan, anak-anak Simalungun tidak semata-mata bersekolah sampai jenjang SMA. Ada keinginan kuat melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi lagi. Pada gilirannya kelak akan tersedia tenaga-tenaga berkualitas untuk membangun Kabupaten Simalungun yang berpengharapan.

D. Menghidupkan Spirit Orang SImalungun      
Bila kita bercermin pada kisah-kisah sukses tokoh-tokoh Simalungun di masa lalu, rasanya orang Simalungun kini tak sepantasnya bermalas-malasan, apatis, kehilangan rasa kebanggaan. Ada banyak hal yang dapat dibanggakan dari masyarakat Simalungun. Hasil pertanian yang khas, obyek wisata yang penuh pesona, ikatan perkerabatan yang kuat dan tradisi yang bernilai luhur.     
Hasil pertanian yang khas dan telah melanglang buana serta obyek wisata penuh pesona jelas tidak terbantahkan. Bagaimana sisi positif ikatan perkerabatan orang Simalungun yang kuat? Satu hal menarik, orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal silsilah karena penentu partuturan (perkerabatan) di Simalungun adalah hasusuran (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara-acara adat). Hal ini bisa dilihat saat orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” (apa marga anda) tetapi “hunja do hasusuran ni ham (dari mana asal-usul anda)?"
Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei” (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh kasih).
Sebagian referensi menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena seluruh marga raja-raja Simalungun di masa lalu itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolon-nya dari Partuanan Silappuyang, Raja Panei dari Putri Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging.
Adapun Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai partuturan. Partuturan ini menentukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi ke dalam beberapa kategori sebagai berikut: Tutur Manorus (Langsung), Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri, dan Tutur Holmouan (Kelompok). Melalui Tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun Tutur Natipak (Kehormatan). Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat.
Sisi positf perkerabatan masyarakat Simalungun yang tidak mengagungkan kebesaran silsilah adalah memandang bahwa semua orang relatif sama, nyaris tidak ada kasta. Dengan demikian akan lebih mudah menggerakkan warga masyarakat tanpa ada rasa sungkan terhadap kasta-kasta tinggi dalam kehidupan sosial masyarakat. Berkat perkerabatan yang kuat, masyarakat Simalungun di masa lalu banyak melahirkan tokoh-tokoh yang egaliter dalam mewarnai kehidupan sosial masyarakat.
Perpaduan perkerabatan yang kuat dan kisah tokoh-tokoh Simalungun masa silam yang punya etos kerja tinggi boleh dikatakan akan memudahkan Bupati JR Saragih mengikis habis sikap-sikap mental malas, tidak peduli sesama cenderung apatis, lebih suka lari dari kenyataan hidup dan tidak memiliki sikap mental needs for achievement. Sikap-sikap mental semacam ini memang akan menjadi kendala mental dalam pembangunan dan upaya Pemerintah Kabupaten Simalungun lepas dari kemiskinan serta ketertinggalan.
Untuk itu, bermodal pada perkerabatan yang kuat dan nilai-nilai luhur yang pernah diwariskan para tokoh Simalungun, perlu dilakukan upaya pelembagaan dengan fokus penciptaan pada orientasi nilai yang berpandangan bahwa hidup ini memiliki peluang yang sangat besar buat diperbaiki. Namun, perlu diingat, bahwa upaya ini membutuhkan prose relatif lama lantaran berkaitan erat dengan perubahan sikap mental dan perilaku warga masyarakat. Perubahan sikap mental dan perilaku itu dapat dilakukan melalui perubahan pandangan mereka tentang hidup.
Perubahan pandangan ini diperkirakan dapat diwujudkan melalui penyuluhyan-penyuluhan secara masif dan intensif. Peran ini dapat dilakukan oleh tokoh masyarakat dan aparatur pemerintah kabupaten dengan mengoptimalkan kelembagaan formal dan non-formal yang ada di wilayah Kabupaten Simalungun. Misalkan bagaimana Bupati JR Saragih bersama segenap aparaturnya mengagendakan pertemuan-pertemuan berkala dan rutin dengan warga masyarakat mengusung tema perubahan orientasi kultural. Sebagai saluran (chanel) dari upaya ini dapat memanfaatkan optimalisasi fungsi organisasi sosial kemasyarakatan yang ada di wilayah Kabupaten Simalungun.
Orientasi nilai-nilai kultural yang cocok dengan semangat pembangunan adalah pandangan yang menyatakan bahwa karya itu untuk meningkatkan atau menghasilkan karya yang lebih baik. Masih banyak warga masyarakat yang memandang karya sekadar untuk bertahan hidup. Sebagian besar orang masih berpandangan bahwa bekerja keras dan mencapai keberhasilan hanya untuk memperoleh penghargaan dari masyarakat. Mereka belum memahami sepenuhnya bekerja keras dan tekun sebagai batu loncatan guna menggapai sebuah keberhasilan. Dalam bahasa antropolog Prof. Koentjaraningrat (1979), masih banyak orang yang bermental menerabas. Meraih segala sesuai secara instan. Jelas, hal dapat menjadi virus atas proses pembangunan yang berjalan. Sebagai Bupati Simalungun, JR Saragih berusaha meminimalisir mentalitas menerabas ini di masyarakatnya dan berusaha menumbuhkan sikap mental yang meyakini bahwa keberhasilan mesti dicapai melalui upaya kerja keras penuh ketekunan.
Ada lagi beberapa sikap mental yang melekat pada warga masyarakat yang dapat dikatakan fatalistik guna meraih masa depan yang lebih berpengharapan. Di antaranya sikap kepasrahan tanpa didahului upaya maksimal, pandangan bahwa kegagalan dalam berusaha sudah merupakan suratan tangan yang harus diterima apa adanya. Sikap dan pandangan ini mengakibatkan warga masyarakat enggan berkarya dan cenderung miskin kreativitas dalam menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari. Padahal, dalam konsep keagamaan, Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum bilamana kaum itu tidak memiliki keinginan untuk mengubah nasibnya. Dalam bahasa transformatif, berubahlah sebelum perubahan itu menggilas dirimu, berubahlah kalau tidak maka akan membatu. Konsep moral ini memberikan indikasi betapa pentingnya karya dalam kehidupan manusia dalam rangka memperbaiki kualitas kehidupan itu sendiri. Berkaitan dengan upaya percepatan pembangunan dan mengejar ketertinggalan, sikap mental seperti ini merupakan virus yang mesti dihilangkan.
JR Saragih terus menelisik sikap mental macam apa yang sekiranya masih menjadi kendala bagi jalannya proses pembangunan dan kemajuan Kabupaten Simalungun. Di mata JR Saragih masih banyak warga masyarakatnya yang kurang menghargai waktu, kurang memahami konsep menabung (orientasi masa depan) dan terlalu mengagungkan kejayaan masa lampau. Orientasi nilai-nilai kultural semacam ini cenderung melahirkan pola pikir dan pola tindak yang tidak sejalan dengan tujuan hakiki pembangunan. Sekadar contoh, pola pikir yang setuju dengan kegiatan menabung (saving) sebagai antisipasi untuk menghadapi masa depan. Kelompok masyarakat ini cenderung melakukan aktivitas produktif dalam dimensi waktu masa kini. Kecenderungan pola pikir dan pola tindak yang demikian adalah mereka yang cepat puas, berusaha apa adanya, dan tanpa ada upaya melakukan saving dan investasi. Jika dikaitkan dengan konsep pembangunan, sikap mental ini menimbulkan dampak negatif terhadap upaya percepatan aktivitas pembangunan.
Dampak yang relatif sama bisa terjadi bila warga masyarakat kurang menghargai waktu dan terlampau mengagungkan kejayaan pemimpin masa lampau. Dalam paradigma pembangunan ekonomi, variabel waktu penting dan bersifat strategis. Masyarakat yang tidak menghargai waktu cenderung teringgal dibandingkan masyarakat yang sangat menghargai waktu. Fakta membuktikan, ketertinggalan masyarakat di negara-negara berkembang dibandingkan negara maju, antara lain disebabkan oleh sikap mental masyarakat negara-negara berkembang yang kurang menghargai dan tidak disiplin terhadap waktu. Sedangkan sikap mental yang terlalu mengagungkan kejayaan pemimpin di masa lalu, perilaku masyarakatnya cenderung kurang memperhatikan dirinya sendiri dan sangat asyik dengan kisah sukses dan kegemilangan masa silam. Lazimnya, mereka kurang memiliki perhatian dan upaya untuk mempelajari sikap mental yang mesti dimiliki dan apa yang harus dilakukan guna mencapai keberhasilan tersebut. Jika fenomena kultural semacam ini tidak diantisipasi dan tidak diikuti oleh upaya pencarian preskripsi yang jelas dan tepat, maka dalam perspektif jangka panjang tidak akan tercipta self generating dalam proses pembangunan.     
Warga masyarakat Kabupaten Simalungun masih memperlihatkan pola pikir dan pola tindak yang menunjukkan tingginya rasa ketergantungan kepada pihak lain. Sikap mental demikian tidak memiliki keberanian dan inisiatif apalagi terobosan-terobosan baru dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan. Berkaitan dengan upaya percepatan pembangunan dan pengentasan kemiskinan, orientasi nilai kultural semacam ini perlu diubah atau diperbaiki menjadi orientasi nilai kultural yang penuh percaya diri (confidence) dan yakin terhadap kemampuan diri dalam menjalani dan mengantisipasi kehidupan masa mendatang. Individu yang memiliki kepercayaan diri tinggi cenderung diikuti pula oleh perilaku yang mengarah kepada upaya untuk selalu meningkatkan kemampuan dirinya. Sikap mental inilah yang sangat sesuai dengan tuntutan zaman pembangunan.
Dalam hubungan dengan alam, orang Simalungun dapat dikatakan berorientasi pada nilai budaya dan tunduk kepada alam. Misalkan dalam bercocok tanam sangat tergantung kepada musim dan menangkap ikan pada bulan-bulan tertentu. Artinya, pola pikir dna pola tindaknya cenderung kurang kreatif dan kurang inovatif dalam upaya mengolah dan menguasai lingkungan alam sekitarnya. Mereka relatif pasrah kepada alam, nyaris tanpa ada usaha dan pemikiran untuk mengubah alam sesuai dengan tuntutan pembangunan.
Sebagai pemimpin daerah, Bupati JR Saragih berusaha menghidupkan spirit orang Simalungun yang tengah berada dalam kondisi kurang kondusif bagi jalannya proses pembangunan. Terdapat tiga pemikiran penting dan strategis untuk menumbuhkan spirit tersebut, yaitu:
·         Kultur yang mengagungkan konsep produktivitas dan kualitas. Kultur ini merupakan counter productive terhadap budaya konsumtif. Perilaku yang berorientasi pada produktivitas cenderung melahirkan perilaku yang senantiasa berpikir secara optimal untuk melakukan reinvestasi ke usaha produktif dari surplus usaha yang mereka hasilkan. Pada sisi lain, kultur ini pun berimplikasi langsung terhadap etos kerja yang cenderung relatif tinggi.
·         Kultur yang berorientasi kepada need for achievement, bukan status oriented.
·         Kultur yang mampu menumbuhkan entrepreneurial spirit. Kultur ini diindikasikan oleh karakteristik personalitas yang kreatif, inovatif dan berani menghadapi dan mengambil risiko.
Usaha untuk menumbuhkan ketiga kultur tadi tidaklah dapat dilakukan sesaat bagai membalikkan telapak tangan. Membutuhkan waktu yang relatif panjang lantaran semua terkait dengan aspek perilaku manusia. Hal ini, menurut JR Saragih, harus ditempuh karena sudah menjadi tuntutan roda-roda pembangunan. Sebab itu, mesti ditempuh langkah-langkah operasional yang berwawasan kultural, antara lain:
·         Mengingat budaya masyarakat kita yang paternalistik, maka perubahan perilaku masyarakat ke arah yang positif diperkirakan dapat dilakukan melalui konsep keteladanan. Konsep ini menuntut bahwa perubahan perilaku masyarakat harud didahului oleh perubahan perilaku para pemimpin yang menjadi panutan mereka. Dalam konteks ini, kedudukan aparatur pemerintah daerah (Pemda) dan para tokoh masyarakat yang berperan sebagai pengayom dan pelayan masyarakat memiliki kedudukan dangat penting dan bersifat strategis. Tanpa adanya komitmen moral dari para pemimpin kita untuk menciptakan keteladanan di tengah-tengah masyarakat, apapun bentuk perubahan budaya yang diinginkan, diperkirakan tidak dapat diwujudkan. Faktor utama yang menonjol yang membedakan perubahan budaya yang berhasil dibandingkan dengan perubahan yang gagal adalah kepemimpinan yang kompeten. Kepemimpinan yang mampu mengubah dan memperbarui masyarakat serta dapat membangkitkan semangat serta memberikan inspirasi bagi mereka. Para pemimpin daerah ini harus bisa memberi contoh terlebih dulu bahwa mereka adalah pribadi yang menerapkan budaya unggul dalam beraktivitas sehari-hari, bukan sekadar pandai berbicara. Jadi, figur pemimpin lah yang harus memberi teladan terlebih dulu bahwa mereka merupakan pribadi-pribadi yang unggul. Unggul dari sisi intelektualitas, emosional, rasional, spiritualitas dan miralitas.
·         Melalui pendidikan –baik formal, informal maupun nonformal. Upaya ini diperkirakan dapat dijadikan sebagai langkah berikutnya yang harus dilakukan. Upaya ini menimbulkan implikasi langsung terhadap perubahan orientasi pendidikan. Selama ini terkesan bahwa program pendidikan hanya memompakan berbagai macam bentuk ilmu pengetahuan dan keterampilan, tanpa diikuti oleh pengenalan nilai dan orientasi nilai budaya yang positif. Selain itu, peserta didik sudah terposisi dalam alam pikirnya sejak awal bahwa setelah mereka menamatkan jenjang pendidikan tertentu, mengharapkan bekerja di sektor pemerintahan. Keadaan ini diperparah lagi oleh pandangan masyarakat yang menganggap bahwa peserta didik dikatakan gagal bilamana mereka tidak dapat bekerja di sektor pemerintahan dan mendudukan jabatan struktural tertentu. Untuk menghadapi tantangan ke depan, pola pikir dan pola tindak yang demikian perlu diubah melalui pola pembangunan berwawasan kultural. Dalam konteks ini, pendidikan ke arah penciptaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki spirit kewirausahaan. Eksistensi dan peranan semangat ini telah terbukti di negara-negara maju, seperti Jepang, Jerman, Amerika Serikat dan negara maju lainnya.
·         Memperbaiki lingkungan masyarakat. Paradigma para pemimpin daerah mesti berubah. Kondisi saat ini telah berubah, karena eranya sudah berbeda sama sekali. Sebagian besar pemimpin daerah masih berpikir masa lalu. Cara berpikir dalam lingkungan yang stabil, tidak ada gejolak dan semua dapat diprediksi. Dalam lingkungan yang stabil, desain organisasi adalah hirarkis dan birokratis. Sementara dalam lingkungan yang labil, tidak bisa lagi memakai hirarki, mesti team work yang kuat. Tidak dapat lagi memakai aturan-aturan birokratis. Dalam konteks ini, pemimpin daerah harus visioner untuk mendobrak mental pecundang dan mengembangkan kultur unggul. Untuk itu kita harus menciptakan lingkungan dan suasana masyarakat yang kondusif, sehingga memungkinkan semua warga masyarakat yang ada mengekspresikan keunggulannya, dan setiap orang dipacu cepat memiliki etos kerja tinggi serta bisa menjadi yang terbaik.
Memang harus disadari bahwa mengubah nilai-nilai lama yang dominan bukanlah langkah mudah dan sudah pasti memakan waktu relatif panjang karena nilai-nilai tersebut telanjur melekat kuat dalam benak dan perilaku warga masyarakat. Bahkan, nilai tersebut barangkali telah menjadi suatu dasar perilaku. Sebab itu, Bupati JR Saragih berusaha intens menumbuhkan dan menghidupkan spirit orang Simalungun. Hal ini tidak terlepas dari beberapa potensi pertanian dan perikanan yang dimiliki wilayah ini cukup prospektif dan dapat dijadikan produk unggulan daerah. Kabupaten Simalungun cukup dikenal sebagai daerah penghasil jeruk Seribu Dolok dan Kopi Simalungun. Kedua komoditi tersebut memang cenderung dikenal sebagai produk dengan nama daerah di luar Simalungun, yakni Jeruk Tanah Karo dan Kopi Sidikalang. Bupati JR Saragih terus berusaha mengajak para petani mengintensifkan menanamkan kedua jenis komoditi pertanian sehingga benar-benar dikenal sebagai produk unggulan Simalungun.
JR Saragih berusaha mendorong pembangunan agroindustri kedua komoditi tersebut. Dia meinta komitmen dari berbagai pihak (stakeholders) agroindustri, terutama yang ada di wilayah Simalungun. Beberapa komponen yang bersinggungan langsung dengan agroindustri antara lain pemerintah, perbankan, pedagang dan investor. Pemerintah, sejak diberlakukannya otonomi daerah sudah memperlihatkan kecenderungan yang semakin baik dalam mendorong perkembangan agroindustri. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan, bantuan permodalan, bimbingan, bantuan teknologi (bibit, obat-obatan dan prasarana pertanian) dan pengembangan prasarana pasar. Namun yang banyak dikeluhkan kalangan UKM di sini adalah tidak adanya koordinasi lintas sektor dan dinas dalam pembinaan yang dilakukan di daerah ini, sehingga pembinaan tidak efektif. JR Saragih berusaha mengatasi semua persoalan ini sehingga diharapkan ke depan Kabupaten Simalungun mampu tampil sebagai salah satu sentra jeruk dan kopi yang cukup menarik bagi investor.
Jelas bahwa Bupati JR Saragih membangun Simalungun mulai dari manusianya: mentalitas, spiritualitas, rasionalitas dan kualitas. Dengan peningkatan keempat sisi manusia itu, dia berharap, manusia Simalungun mampu meretas kehidupan yang lebih baik, mengasah potensi sehingga memiliki daya tarik investasi dan kuat menghadapi kehidupan yang tidak stabil. ***  

No comments:

Post a Comment