Tuesday, January 29, 2013

Melukis Asa Merentang Masa Depan




Banyak orang mencapai sukses hanya bermodalkan keyakinan bahwa mereka bisa mewujudkannya.
John C. Maxwell, Pakar dan Konsultan Kepemimpinan

Muarateweh, awal 1970-an. Sebuah wilayah yang dapat dikatakan belum begitu berkembang. Penduduk Muarateweh dan Kabupaten Barito Utara pada umumnya hanya mengandalkan mata pencaharian petani ladang, penyadap karet, dan pedagang kecil-kecilan. Pertambangan batubara, minyak bumi dan gas belum menunjukkan denyutnya dalam menghidupi kota Muarateweh.
Sarana dan prasarana transportasi ke luar dari kota Muarateweh masih relatif terbatas. Untuk pergi ke Banjarmasih misalkan. Warga Muarateweh masih mengandalkan kapal perintis yang berfungsi ganda: sebagai toko sembako berjalan dan juga buat kapal penumpang umum. Perjalanan dari Muarateweh ke Banjarmasin bisa memakan waktu dua hari dua malam. Memang, kata warga yang sempat melewati masa-masa awal 1970-an itu, terdapat jalan darat setapak peninggalan masa kolonial Belanda yang menghubungkan wilayah Muarateweh dengan Banjarmasin. Namun, jalan itu masih sulit ditembus dan dilintasi oleh kendaraan roda empat.
“Berbeda sekali dengan keadaan sekarang. Jalur darat Muarateweh – Banjarmasin telah banyak dilayani angkutan travel jenis elf yang cukup ditempuh selama sekitar 12 jam,” ujar Surapati, warga Muarateweh.
Muarateweh di akhir 1960-an dan awal 1970-an itu seperti tidak memberi harapan bagi warganya untuk berkembang dan menggapai kehidupan masa depan yang lebih baik. Nuansa ketertinggalan dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di wilayah Kalimantan, apalagi dibandingkan dengan kabupaten di Tanah Jawa, sangat terasa. Orang masih terasa sulit pergi ke mana-mana. Padahal, daerah ini sangat kaya sumber daya alam tambang, perkebunan dan pertanian.

A. Sekolah Lanjutan Berpindah-pindah
Apakah karena ketertinggalan yang nyaris tak memberi harapan itu lantas membuat seorang Achmad Yuliansyah harus meninggalkan Muarateweh setelah lulus dari SD Lanjas pada tahun 1970? Hanya Achmad Yuliansyah yang dapat menjawabnya secara pasti. Sebenarnya, pendidikan di Muarateweh ketika itu termasuk sudah lumayan prospektif. Sejak tahun 1959, Muarateweh telah memiliki sebuah SMA Pemda yang beberapa tahun kemudian dialih-statuskan menjadi SMA Negeri 1. Keadaan ini jauh lebih maju dibandingkan Marabahan, ibukota Kabupaten Barito Kuala (Kalimantan Selatan), yang baru memiliki SMA Negeri pada tahun 1981.
Terlepas dari persoalan seberapa besar tingkat kemajuan pendidikan di Muarateweh, Achmad Yuliansyah memang harus keluar dari kota kelahirannya ini. Dia mesti mengikuti kakaknya yang tinggal di Banjarmasin. Karena, giliran kakaknya yang berada di Banjarmasin inilah yang membiayai sekolah lanjutan yang harus dijalani Achmad Yuliansyah. Di sini, tahun 1971, dia mendaftarkan diri dan diterima di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Teluk Betung. Tidak banyak aral melintang saat melewati bangku SMP. Tahun 1973, dia lulus dari SMP Teluk Betung.
Perantauan Achmad Yuliansyah tidak hanya berhenti di Teluk Betung. Memasuki bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), dia harus ‘menyeberangi laut’ menuju Kota ‘Apel’ Malang, Jawa Timur. Sekali lagi, dia harus pergi jauh dari kampung halamannya untuk sekolah di Malang karena kakaknya yang tinggal di Kota Apel ini yang memperoleh giliran membiayai sekolahnya di tingkat SLTA. Lantas, dia didaftarkan dan diterima di salah satu SMA di Malang.
Kendati telah jauh merantau ke seberang pulau, Achmad Yuliansyah tetap menjalin persahabatan dengan tiga sahabatnya masa kecil: Rokhyar Usmani, Hamdani Basri dan Muhammad Nur. “Saya melanjutkan sekolah di SMA Muhammadiyah Tebet, Jakarta Selatan, ketika sahabat saya Achmad Yuliansyah sekolah di salah satu SMA di Malang, Jawa Timur. Kami tetap bersahabat, di masa itu kami biasa berkirim kabar lewat surat pos. Dan persahabatan itu terus berjalan sampai sekarang saat sahabat saya menjabat Bupati Barito Utara,” Rokhyar Usmani, sahabat masa kecil Achmad Yuliansyah, bercerita.
Dalam perantauan di Kota Malang, Achmad Yuliansyah mulai mengenal kultur dan budaya Jawa. Nilai-nilai kultural Jawa yang dikenal adiluhung terserap dalam tata perilaku keseharian Achmad Yuliansyah pada masa-masa berikutnya. Kesantunan yang telah melekat sejak masa kanak-kanak semakin memperoleh pengayaan kultur sopan-santun orang Jawa yang kadang mengenal strata dalam bertutur bahasa sehari-hari.
Kota Malang yang tidak terlampau besar itu masih menampakkan wajahnya yang rindang dan ramah. Telah banyak warganya yang memilki rumah bagus-bagus. Kendati demikian, kehidupan masyarakat Kota Malang masih kental dengan suasana guyub yang biasanya akrab dalam kehidupan masyarakat desa, sebagaimana menjadi ciri khas masyarakat Jawa pada umumnya. Kegiatan sehari-hari masyarakat Kota Malang berkaitan dengan suasana guyub antara lain tampak pada pertemuan warga, ronda (Siskamling) dan pengajian. Ada juga pola jimpitan ketika berlangsung ronda. Ada kebersamaan yang begitu melekat pada masyarakat Kota Malang.  
Di kota berhawa sejuk itu, Achmad Yuliansyah tidak sampai menuntaskan SMA-nya. Dia hanya sampai kelas dua SMA. Naik ke kelas tiga, dia kembali ke Bumi Borneo. Bukan ke kampung halamannya Muarateweh, tapi ke Sampit (Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah). Di sini dia ikut kakaknya yang juga bertanggung-jawab membiayai sekolahnya. Dia diterima di SMA Sampit (Jurusan IPA) dan lulus tahun 1976.  
Achmad Yuliansyah berusaha mengambil hikmah dari perjalanan sekolah lanjutan yang berpindah-pindah tempat. Ada banyak pelajaran menarik yang dapat dipetik. Setidaknya, pelajaran yang mampu memperkaya batin dan nurani diri seorang Achmad Yuliansyah muda. Dari Tanah Jawa dia bisa belajar tentang kemajuan masyarakat, keterbukaan, dan interaksi sosial yang lebih luwes.
Memang, masyarakat Suku Dayak sebagai komunitas asli Kalimantan tidak sepenuhnya tertinggal dibandingkan masyarakat Jawa. Di masa-masa 1970-an itu, telah berkembang nilai-nilai dan norma yang menjadi pedoman dalam berinteraksi sehari-hari masyarakat Suku Dayak, agar terjadi harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Aturan-aturan adat setempat telah menjadi sistem pengendalian sosial bagi segala tindakan dan perilaku warga masyarakat, sehingga tidak saling merugikan. Ada beberapa tindakan yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Misalkan tindakan menyakiti orang lain, merupakan suatu tindakan yang ditabukan. Selain itu ada larangan agar tidak melakukan tindakan tercela lainnya, seperti melarikan isteri orang, mencuri, menyebarkan fitnah dan berzina. Pelanggaran terhadap aturan-aturan itu akan dikenakan sanksi berupa denda, hukuman fisik dan sanksi sosial (berupa ejekan, cemoohan, jadi pembicaraan umum, dikucilkan dan diusir dari lingkungannya).
Selepas SMA di Sampit, Achmad Yuliansyah muda belum menentukan hendak melangkah ke mana selanjutnya. Ketika itu telah berdiri pula Akademi Administrasi Niaga Sampit. Tapi, hati kecil dan tekadnya tidak tergerak untuk mendaftarkan diri ke perguruan tinggi di ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur itu. Benaknya masih berputar-putar pada ihwal bagaimana dirinya memberikan sumbangsih yang lebih berarti bagi Kalimantan umumnya dan lebih khusus lagi kota kelahirannya (Muarateweh). Achmad Yuliansyah merasa bekal ilmu administrasi niaga saja belum cukup untuk memberikan andil yang berarti bagi kemajuan Kalimantan. 

B. Inspirasi Hutan di Tangan Orang Dayak
Pada dekade 1970-an, Bumi Borneo mulai mengalami eksploitasi secara besar-besaran terhadap hutan dan seisinya. Orientasinya hanya pada jumlah produksi yang dapat dihasilkan, sangat mengabaikan aspek kelestarian lingkungan. Pada saat itu Pemerintah Republik Indonesia dan pengusaha perkayuan sangat berambisi memproduksi kayu log secara besar-besaran untuk memasok kebutuhan dunia. Di era 1970-an itu, kayu Kalimantan sempat meramaikan pasaran kebutuhan kayu di Jawa dan dunia. Pedagang kayu di Jawa waktu itu banyak mengisi gudang dan tempat jualannya dengan kayu Kalimantan seperti kruing, meranti dan kamper. Tidak banyak yang menjual kayu jati yang asli produksi Tanah Jawa.
Secara perlahan namun pasti hutan tropis Kalimantan mengalami kerusakan. Repotnya, tudingan diarahkan ke masyarakat lokal sebagai biang kehancuran. Padahal, masyarakat lokal Kalimantan memiliki kearifan tersendiri dalam memanfaatkan dan mengelola hutan sebagai ruang hunian mereka. Mereka tidak semena-mena menebang dan membakar hutan.
Orang Dayak Kendayan misalkan, sebagaimana ditulis oleh Galih W. Pangarsa (2006), memang memiliki tradisi membuka lahan dengan cara membakar. Tradisi itu sudah berlangsung secara turun-temurun sejak nenek moyang mereka. Tetapi, mereka menolak bila dikatakan telah merusak hutan. "Itu bukan untuk merusak hutan. Nenek moyang kami mengajarkan bagaimana caranya membuka lahan yang aman," kata Felisianus Kimsong, tetua adat Subsuku Gajekng di Kecamatan Samalantan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, sebagaimana dikutip Pangarsa dalam bukunya yang berjudul Merah-Putih Arsitektur Nusantara (2006).
"Dulu pernah ada perusahaan yang membakar lahan hingga mengakibatkan kebakaran hingga ratusan hektar. Itu karena perusahaan tersebut mengabaikan cara membuka lahan seperti yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Kendayan," kata seorang warga adat. Teknik masyarakat Dayak di Kabupaten Bengkayang, yang dinamakan "nataki", sangat mengutamakan pembatasan terhadap lahan yang dibakar. Itu baru satu kelompok. Sedangkan yang disebut “Dayak” adalah kesatuan dari pilihan kelompok suku.
Siapakah orang Dayak? Suku Dayak diperkirakan termasuk bangsa proto-malayan yang terdesak ke pedalaman lantaran kedatangan kelompok  migran baru di awal abad Masehi. Secara ragawi, ada yang membagi suku ini menjadi dua bagian, yaitu: mereka yang berdiam di sepanjang Sungai Kapuas dan  mereka yang disebut berasal dari suku-suku Dayak Kayan, Kahayan & Katingan. Secara geografis, Suku Dayak terkelompok menjadi beberapa sub-suku sebagai berikut: Murut, Iban (Dayak Laut), Klemantan (Dayak Darat), Punan, Apu Kayan, Ot Danum dan Ngaju.
Dayak Ngaju, yang tersebar di wilayah sebelah barat Sungai Barito hingga Sungai Seruyan, merupakan setengah dari populasi Provinsi Kalimantan Tengah, dengan puluhan anak suku berbeda dialek. Keluasan ruang budaya orang Ngaju kurang lebih sama dengan kelompok besar yang lain, kecuali Dayak Punan. Di samping yang mayoritas seperti Dayak Ngaju, ada pula kelompok-kelompok minoritas yang tersebar di seluruh pedalaman Kalimantan, contohnya anak suku Dayak Pompagng yang hanya berjumlah sekitar sepersembilan dari penduduk Kabupaten Kapuas di Kalimantan Barat. Di situ, tinggal pula orang Dayak Ote, minoritas lain yang terkenal berkat kecakapan menyumpit. Minoritas semacam Dayak Ote masih terbagi lagi ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil lagi seperti Siau, Penyaung dan lain-lain.
Keragaman keadaan geografis ruang hunian mereka, dari pedalaman hutan rimba sampai ke dekat pantai, membentuk keragaman karakter sosial budaya pula. Kelompok yang tinggal di dekat pantai umumnya jauh lebih terbuka, sebagaimana Dayak Tunjung di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur.
Logika modern tampaknya cukup mustahil untuk memahami kebijakan orang Dayak terhadap alam lingkungannya. Bagi masyarakat Dayak, seluruh simbolisme kesemestaan berkaitan dengan hutan ada pada figurasi ornamen arsitekturnya. Leluhur mereka mewariskan kepekaan yang sangat tinggi terhadap hutan alam hunian nan luas. Dengan luasnya wilayah sepanjang ratusan kilometer tepi sungai di seantero Kalimantan dan keragaman budaya masing-masing sub-kultur, secara umum terdapat tiga pola perkembangan budaya: Sebelah hilir yang banyak  menerima pengaruh luar, bagian tengah yang sebagian telah menerima pengaruh luar, dan bagian hulu-pedalaman yang lebih konservatif karena sulit dijangkau lantaran alam berhutan lebat yang makin sukar dilalui manakala sungai dan riam kering pada musim kemarau.
Begitulah filosofinya. Wilayah pedalaman mendapat perlindungan alam, sedangkan wilayah yang mendekati pantai mendapat kesempatan lebih besar berhubungan dengan dunia luar. Apapun bentuk hubungan sosial itu, mereka mempunyai kebijakan pelestarian hutan dengan kearfian lokal sendiri. Pada masyarakat Dayak Ribun di Kecamatan Kapuas, Kalimantan Barat, sekadar contoh, hutan dibagi-bagi ke dalam kelompok pengelolaan sebagai berikut: hutan rimba, rimba perawan yang belum pernah ditebang; jamih muntuk, belum pernah dijadikan ladang; jamih mongit, hutan yang sudah pernah dijadikan ladang; dan padang ilalang yang merupakan daerah yang tak boleh ditanami lagi.
Setiap tahun mereka meninggalkan desanya dan hidup sebagai satu kesatuan kelompok di daerah perladangan untuk jangka waktu sekitar 4-6 bulan sampai panen selesai. Demikianlah cara pemanfaatan hutan dengan berladang berpindah-pindah: membuka sebagian sangat kecil hutan di lingkungan huniannya dan membakar hasil tebangan untuk mendapatkan abu buat pupuk. Jika kesuburan tanah telah menurun, mereka berganti lahan untuk membiarkan yang lama mengalami proses pemulihan secara alami. Bila tidak berladang di hutan seperti itu, orang Ribun bertanam padi di tanah paya (tanah becek, berlumpur). Hampir setiap keluarga Ribun memiliki ladang dan tanah paya di tepi hutan.
Tradisi Dayak Ribun itu hanya salah satu contoh dari kebijakan pengelolaan hutan dengan kearifan lokal masyarakat Dayak, yang mempunyai kepekaan tinggi terhadap ruang huniannya. Jika tidak, tentu sejak lama sebelum hutan digunduli industri kayu yang dimulai pada tahun 1970-an, rimba Kalimantan telah habis. Konsep “ekonomi tebang pilih” atau bahkan konsep local wisdom (kearifan lokal) sudah menyadari bahwa “hak berilmu” bukanlah monopoli tradisi skolastik manusia kampus dan birokrat. Tradisi skolastik manusia kampus dan birokrat belum tentu mampu menjelaskan, dengan cara bagaimana ketajaman intuisi pewaris rimba itu ”membaca” dan kemudian mengambil keputusan dalam mengelola ruang hunian mereka. Sayangnya, ketidak-pahaman itu bisa berubah menjadi tudingan kontroversi, bahwa penyebab kerusakan hutan Kalimantan adalah tradisi dan cara mengelola hutan orang Dayak.
Ada kearifan lokal orang Dayak yang diabaikan di tahun-tahun 1970-an dalam mengelola dan memanfaatkan hutan rimba Kalimantan. Baru pada 1980-an, kata pengamat masalah lingkungan Kalimantan, Niel Makinuddin, pemerintah dan pengusaha perkayuan mulai menyadari arti penting menjaga lingkungan dalam eksploitasi hutan. Sayangnya, ketika itu persoalan ekologi juga masih lemah. “Sedangkan pada 1990-an, aturan pengelolaan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sudah menjadi bagian dari eksploitasi hutan, hanya penerapannya di lapangan tidak berjalan optimal,” ujar Niel.
Kerusakan hutan semakin parah bersamaan dengan bergulirnya otonomi daerah. Ternyata pengelolaan hutan semakin hancur akibat adanya paradigma membagi-bagi hutan sesuai dengan batas-batas administrasi wilayah. Karena itu, kata Niel seperti dikutip Kantor Berita Antara beberapa waktu lalu, ke depan, seluruh pemerintah daerah kota/kabupaten, difasilitasi pemerintah provinsi, harus duduk satu meja untuk menyamakan persepsi dalam pengelolaan lingkungan dan eksploitasi hutan," katanya menandaskan.   
Achmad Yuliansyah muda yang memang berasal dari kawasan Barito Utara yang berada nun jauh di pedalaman Kalimantan Tengah, mendekati hulu Sungai Barito, telah menyadari bakal terjadi kerusakan hutan Kalimantan. Dia tidak ingin hutan Kalimantan semakin hancur, Bumi Borneo jadi padang ilalang yang gersang. Dia ingin belajar dari dunia kampus bagaimana mengelola dan menjaga kelestarian hutan yang ramah dan lestari. Selain, sudah barang tentu, dia tetap menaruh perhatian tinggi pada kearifan lokal orang Dayak dalam mengelola hutan sebagai ruang hunian mereka.
Sebab itu, ketika tahun 1976 lulus dari SMA di Sampit, Achmad Yuliansyah mengayunkan langkah menuju Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan. Di sana ada Universitas Lambung Mangkurat yang berdiri pada 21 September 1958 dengan empat fakultas: Hukum, Ekonomi, Pertanian dan Ilmu Sosial Politik. Tak lama kemudian, tepatnya tanggal 24 Agustus 1964, Universitas Lambung Mangkurat membuka Fakultas Kehutanan. Dan, Fakultas Kehutanan melaksanakan pendidikan Sarjana Muda sampai tahun 1976. Untuk menyelesaikan program Sarjana, Fakultas Kehutanan mengirimkan mahasiswa (afiliasi) ke Fakultas Kehutanan UGM atau IPB.
Sejak tahun 1977 Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat menyelenggarakan pendidikan sampai Sarjana (Insinyur) dengan sistem tingkat. Penyelenggaraan pendidikan Program Strata (S1) baru dimulai tahun 1980, dengan membuka dua Jurusan: Jurusan Manajemen Hutan dan Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Kemudian, berdasarkan SK Dirjen Dikti Nomor 228/Dikti/Kep/1996 Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat mempunyai tiga Program Studi, masing-masing Program Studi Manajemen Hutan (Akreditasi B); Program Studi Budidaya Hutan (Akreditasi B); dan Program Studi Teknologi Hasil Hutan (Akreditasi B). Guna menunjang proses belajar-mengajar (perkuliahan), Fakultas Kehutanan memiliki beberapa Laboratorium serta Hutan Pendidikan.
Dengan tekad dan cita-cita ingin menjadi orang biasa yang mampu memberikan sumbangsih dalam menata lingkungan dan menjaga kelestarian hutan di Kalimantan, Achmad Yuliansyah melangkah mantap mendaftarkan diri ke Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat. Dan dia diterima sebagai mahasiswa baru di fakultas yang menyiapkan calon-calon tenaga ahli di bidang kehutanan tersebut.
Sejak akhir 1970-an itu pula, Achmad Yuliansyah menghabiskan hari-harinya buat berkuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat.

C. Mengenal Organisasi Kemahasiswaan
Di kampus Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, Achmad Yuliansyah tidak semata-mata hanya menekuni dan menggeluti buku-buku teks perkuliahan yang tebal-tebal. Dia juga berusaha aktif berkiprah di dunia organisasi kemahasiswaan. Bukan organisasi kemahasiswaan yang bersinggungan langsung dengan garis politik yang dimasuki oleh Achmad Yuliansyah. Dia memilih organisasi yang aktif dalam gerakan pelestarian lingkungan dan termasuk organisasi internal kampus.
Masa-masa akhir 1970-an sampai awal 1980-an itu, tepatnya lewat Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0156/U/1978, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (waktu itu) Daoed Joesoef menelorkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kemahasiswaan (NKK). Konsep ini berusaha mengarahkan mahasiswa hanya berada pada jalur kegiatan internal kampus. Dewan mahasiswa yang memegang peran cukup penting dalam hubungan kampus dan pemerintah pada pertengahan 1960-an sampai awal 1970-an dibekukan oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo.
Kebijakan NKK ini kemudian diperkuat dengan turunnya Surat Keputusan Menteri P & K Nomor 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Melalui SK ini, Menteri P & K hanya mengizinkan Senat Mahasiswa Fakultas dan Badan Perwakilan Fakultas yang menjadi organisasi kemahasiswaan di dalam kampus. Selain itu, SK tersebut memberi pula kewenangan kepada rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa yang boleh diadakan di kampus.
Pasca peristiwa 15 Januari 1974 (Malari) di mana mahasiswa memprotes kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuiei Tanaka, meminta pembubaran Aspri Presiden dan mendesak turunkan harga, lewat kedua SK tersebut, secara praktis mahasiswa diarahkan untuk berorganisasi di dalam kampus. Gerakan mahasiswa di tataran organisasi di luar kampus sangat dibatasi. Pengawasan dengan model dan gaya intelijen di masa itu sangat ketat. Diskusi-diskusi mahasiswa –terutama yang menyangkut persoalan sosial-ekonomi dan sosial-politik-- ditelisik, diawasi dan disensor nyaris tanpa celah.
Yang muncul kemudian adalah kelompok-kelompok studi yang dianggap barangkali tidak tersentuh oleh kekuasaan represif pemerintah. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok ini digeser oleh kehadiran lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Muncul di antaranya LSM yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan hidup, advokasi hukum, dan pemberdayaan sosial-masyarakat. Selain itu mulai pula mengambil peran aktif menggembleng mahasiswa, adalah organisasi ekstra kampus seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional (GMNI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Kelompok-kelompok ekstra kampus inilah yang selanjutnya dikenal dengan Gerakan Cipayung.    
Achmad Yuliansyah memilih aktif ke dalam organisasi pencinta alam dan pelestarian lingkungan. Dia pun memasuki Kelompok Mahasiswa Pencinta Alam dan Seni (Kompas) Borneo Universitas Lambung Mangkurat. Sebuah organisasi internal di lingkungan Universitas Lambung Mangkurat yang aktif menyuarakan pentingnya pelestarian hutan dan melakukan advokasi persoalan pertambangan yang ramah lingkungan di Kalimantan –khususnya di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Tahun 1976-1985, Achmad Yuliansyah aktif sebagai Pengurus Kompas Borneo Universitas Lambung Mangkurat. Di masa aktif Achmad Yuliansyah, bahkan sampai sekarang, Kompas Borneo cukup aktif melakukan berbagai ekspedisi dan penelitian ke hutan-hutan Kalimantan. Pun aktif menyuarakan berbagai kearifan lokal orang Dayak dalam mengelola dan melestarikan hutan yang menjadi ruang hunian mereka.
Berkat keaktifannya di Kompas Borneo Universitas Lambung Mangkurat, tahun 1982, Achmad Yuliansyah sempat diberi amanah sebagai Ketua Pelaksana Riset Mahasiswa Masalah Pengelolaan Sumber Daya Alam. Di sini dia banyak belajar betapa melimpah sumber daya alam Kalimantan. Namun, bila tidak dikelola secara baik, terarah dan berkelanjutan maka lambat tapi pasti akan menemui kehancuran. 
Selain aktif di Kompas Borneo Universitas Lambung Mangkurat, tahun 1982, Achmad Yuliansyah dipercaya pula sebagai Wakil Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Universitas Lambung Mangkurat. Di sini dia menempa diri menjadi organisatoris dan membawakan aspirasi mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat ke berbagai pentas kemahasiswaan, baik tingkat lokal maupun nasional.
Kakanda (ipar) Mukri Inas menilai bahwa Achmad Yuliansyah memang memiliki bakat kepemimpinan sejak kecil. Bakat itu terus ditempa, tidak terkecuali saat kuliah di Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, sampai kini menjadi Bupati Barito Utara. “Kepemimpinan Achmad Yuliansyah saat ini memang ditempa langsung oleh suasana kehidupan yang dilaluinya, juga ditempa lagi oleh berbagai pengalaman kuliah dan penugasan ketika dia menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS),” ujar Mukri Inas.   

D. Merancang Masa Depan yang Penuh Asa
Kendati aktif di sejumlah organisasi mahasiswa, Achmad Yuliansyah tidak melupakan masa perkuliahannya. Dia tetap bertekad harus menyelesaikan perkuliahan dan berhak menyandang gelar Sarjana Kehutanan. Dengan predikat itu, dia menaruh harapan yang besar untuk memberikan sumbangsih yang berarti bagi kampung halamannya yang berada nun jauh di hulu Sungai Barito. Kampung halaman yang di masa-masa itu masih sulit dikembangkan lantaran kekurangan sumber daya manusia yang mumpuni dan menguasai bidang kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Putera daerah yang memiliki kompetensi di tiga bidang keahlian itu masih relatif langka.
Dengan melihat kampung halaman yang berkelimpahan sumber daya alam, baik di atas permukaan maupun di dalam perut bumi, Achmad Yuliansyah sangat terlecut untuk segera menuntaskan perkuliahannya di Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat. Tanpa banyak menyia-nyiakan waktu lagi, tahun 1985, Achmad Yuliansyah berhasil menuntaskan perkuliahan dan berhak menyandang gelar Sarjana Kehutanan.
Berbekal ijazah kesarjanaannya ditambah kematangannya di organisasi pencinta alam Kompas Borneo, Achmad Yuliansyah mencoba merancang masa depannya di Bumi Kalimantan. Dalam benaknya, kalau di LSM saja rasanya tidak cukup memberi arti bagi kelanggengan sektor kehutanan di wilayah yang kala itu tengah mengalami eksploitasi kayu-hutan secara besar-besaran. Dia ingin berada pada satu institusi yang cukup menentukan hitam-putihnya pengelolaan sektor kehutanan. Yakni, di jalur birokrasi pemerintahan yang banyak memiliki kewenangan dalam pemberian izin dan pengelolaan hutan secara ramah dan lestari.
Namun, bukanlah langkah mudah untuk memasuki institusi birokrasi yang kemudian dikenal sebagai Dinas Kehutanan yang berada di lingkup kabupaten atau kota. Banyak anak muda yang baru lulus sarjana kehutanan ketika itu ramai-ramai ingin masuk ke institusi birokrasi dengan harapan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang amat menjanjikan hari tua yang terjamin. PNS yang sudah barang tentu memperoleh pensiun dan dana jaminan hari tua yang membahagiakan.
Sebagai aktivis semasa mahasiswa, Achmad Yuliansyah memiliki banyak kenalan dan kolega yang lebih senior yang telah berada di jalur-jalur birokrasi yang tersebar di wilayah Kalimantan. Salah satunya adalah seorang teman yang ketika itu sudah menjadi PNS di Dinas Kehutanan Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Achmad Yuliansyah teringat kata-kata bijak bahwa bila kita ingin dipermudah urusan rezeqi dan diperpanjang umur maka hubungilah (silaturrahim) teman, saudara dan kerabat. Sekali waktu, tak lama setelah ijazah kesarjanaannya selesai secara administratif, dia bersilaturrahim ke kawan yang telah berdinas di Dinas Kehutanan Kota Palangkaraya. “Sudah, kamu buat lamaran ke sini, nanti aku bantu,” ujar Achmad Yuliansyah menirukan kata-kata teman lamanya tersebut.
Dia lantas membuat surat lamaran ke Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah. Demi fortuna berpihak kepada Achmad Yuliansyah. Di tengah persaingan ketat memperebutkan kursi calon PNS yang amat terbatas, dengan tekad membaja dan keyakinan yang kuat, dia pun diterima sebagai calon pegawai negeri sipil di jajaran dinas yang berperan cukup penting bagi hitam-putihnya kelestarian hutan di Kalimantan Tengah tersebut. Masa depan penuh asa pun membentang luas. Tinggal bagaimana dia mampu menapaki secara linear agar tekad dan cita-citanya ingin memberikan sumbangsih berarti bagi kelestarian hutan Bumi Borneo betul-betul mewujud.
Mulai di tahun 1985, Achmad Yuliansyah menapaki karir sebagai PNS dari dinas kehutanan satu kabupaten/kota ke dinas kehutanan kabupaten/kota lainnya di wilayah Kalimantan. ***     
     

No comments:

Post a Comment