Banyak orang mencapai sukses hanya bermodalkan
keyakinan bahwa mereka bisa mewujudkannya.
John C.
Maxwell, Pakar dan Konsultan Kepemimpinan
Muarateweh, awal 1970-an. Sebuah
wilayah yang dapat dikatakan belum begitu berkembang. Penduduk Muarateweh dan
Kabupaten Barito Utara pada umumnya hanya mengandalkan mata pencaharian petani
ladang, penyadap karet, dan pedagang kecil-kecilan. Pertambangan batubara,
minyak bumi dan gas belum menunjukkan denyutnya dalam menghidupi kota Muarateweh.
Sarana dan
prasarana transportasi ke luar dari kota Muarateweh masih relatif terbatas.
Untuk pergi ke Banjarmasih misalkan. Warga Muarateweh masih mengandalkan kapal perintis
yang berfungsi ganda: sebagai toko sembako berjalan dan juga buat kapal
penumpang umum. Perjalanan dari Muarateweh ke Banjarmasin bisa memakan waktu
dua hari dua malam. Memang, kata warga yang sempat melewati masa-masa awal
1970-an itu, terdapat jalan darat setapak peninggalan masa kolonial Belanda yang
menghubungkan wilayah Muarateweh dengan Banjarmasin. Namun, jalan itu masih
sulit ditembus dan dilintasi oleh kendaraan roda empat.
“Berbeda
sekali dengan keadaan sekarang. Jalur darat Muarateweh – Banjarmasin telah
banyak dilayani angkutan travel jenis elf yang cukup ditempuh selama sekitar 12
jam,” ujar Surapati, warga Muarateweh.
Muarateweh
di akhir 1960-an dan awal 1970-an itu seperti tidak memberi harapan bagi
warganya untuk berkembang dan menggapai kehidupan masa depan yang lebih baik.
Nuansa ketertinggalan dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di wilayah Kalimantan,
apalagi dibandingkan dengan kabupaten di Tanah Jawa, sangat terasa. Orang masih
terasa sulit pergi ke mana-mana. Padahal, daerah ini sangat kaya sumber daya
alam tambang, perkebunan dan pertanian.
A. Sekolah Lanjutan Berpindah-pindah
Apakah
karena ketertinggalan yang nyaris tak memberi harapan itu lantas membuat
seorang Achmad Yuliansyah harus meninggalkan Muarateweh setelah lulus dari SD
Lanjas pada tahun 1970? Hanya Achmad Yuliansyah yang dapat menjawabnya secara
pasti. Sebenarnya, pendidikan di Muarateweh ketika itu termasuk sudah lumayan
prospektif. Sejak tahun 1959, Muarateweh telah memiliki sebuah SMA Pemda yang
beberapa tahun kemudian dialih-statuskan menjadi SMA Negeri 1. Keadaan ini jauh
lebih maju dibandingkan Marabahan, ibukota Kabupaten Barito Kuala (Kalimantan
Selatan), yang baru memiliki SMA Negeri pada tahun 1981.
Terlepas
dari persoalan seberapa besar tingkat kemajuan pendidikan di Muarateweh, Achmad
Yuliansyah memang harus keluar dari kota kelahirannya ini. Dia mesti mengikuti
kakaknya yang tinggal di Banjarmasin. Karena, giliran kakaknya yang berada di
Banjarmasin inilah yang membiayai sekolah lanjutan yang harus dijalani Achmad
Yuliansyah. Di sini, tahun 1971, dia mendaftarkan diri dan diterima di Sekolah
Menengah Pertama (SMP) Teluk Betung. Tidak banyak aral melintang saat melewati bangku
SMP. Tahun 1973, dia lulus dari SMP Teluk Betung.
Perantauan
Achmad Yuliansyah tidak hanya berhenti di Teluk Betung. Memasuki bangku Sekolah
Menengah Atas (SMA), dia harus ‘menyeberangi laut’ menuju Kota ‘Apel’ Malang,
Jawa Timur. Sekali lagi, dia harus pergi jauh dari kampung halamannya untuk
sekolah di Malang karena kakaknya yang tinggal di Kota Apel ini yang memperoleh
giliran membiayai sekolahnya di tingkat SLTA. Lantas, dia didaftarkan dan
diterima di salah satu SMA di Malang.
Kendati
telah jauh merantau ke seberang pulau, Achmad Yuliansyah tetap menjalin
persahabatan dengan tiga sahabatnya masa kecil: Rokhyar Usmani, Hamdani Basri
dan Muhammad Nur. “Saya melanjutkan sekolah di SMA Muhammadiyah Tebet, Jakarta
Selatan, ketika sahabat saya Achmad Yuliansyah sekolah di salah satu SMA di
Malang, Jawa Timur. Kami tetap bersahabat, di masa itu kami biasa berkirim
kabar lewat surat pos. Dan persahabatan itu terus berjalan sampai sekarang saat
sahabat saya menjabat Bupati Barito Utara,” Rokhyar Usmani, sahabat masa kecil
Achmad Yuliansyah, bercerita.
Dalam
perantauan di Kota Malang, Achmad Yuliansyah mulai mengenal kultur dan budaya
Jawa. Nilai-nilai kultural Jawa yang dikenal adiluhung terserap dalam tata
perilaku keseharian Achmad Yuliansyah pada masa-masa berikutnya. Kesantunan
yang telah melekat sejak masa kanak-kanak semakin memperoleh pengayaan kultur
sopan-santun orang Jawa yang kadang mengenal strata dalam bertutur bahasa
sehari-hari.
Kota Malang
yang tidak terlampau besar itu masih menampakkan wajahnya yang rindang dan
ramah. Telah banyak warganya yang memilki rumah bagus-bagus. Kendati demikian,
kehidupan masyarakat Kota Malang masih kental dengan suasana guyub yang biasanya akrab dalam
kehidupan masyarakat desa, sebagaimana menjadi ciri khas masyarakat Jawa pada
umumnya. Kegiatan sehari-hari masyarakat Kota Malang berkaitan dengan suasana guyub antara lain tampak pada pertemuan
warga, ronda (Siskamling) dan
pengajian. Ada juga pola jimpitan
ketika berlangsung ronda. Ada kebersamaan
yang begitu melekat pada masyarakat Kota Malang.
Di kota
berhawa sejuk itu, Achmad Yuliansyah tidak sampai menuntaskan SMA-nya. Dia
hanya sampai kelas dua SMA. Naik ke kelas tiga, dia kembali ke Bumi Borneo.
Bukan ke kampung halamannya Muarateweh, tapi ke Sampit (Kabupaten Kotawaringin
Timur, Kalimantan Tengah). Di sini dia ikut kakaknya yang juga bertanggung-jawab
membiayai sekolahnya. Dia diterima di SMA Sampit (Jurusan IPA) dan lulus tahun
1976.
Achmad
Yuliansyah berusaha mengambil hikmah dari perjalanan sekolah lanjutan yang
berpindah-pindah tempat. Ada banyak pelajaran menarik yang dapat dipetik.
Setidaknya, pelajaran yang mampu memperkaya batin dan nurani diri seorang
Achmad Yuliansyah muda. Dari Tanah Jawa dia bisa belajar tentang kemajuan
masyarakat, keterbukaan, dan interaksi sosial yang lebih luwes.
Memang,
masyarakat Suku Dayak sebagai komunitas asli Kalimantan tidak sepenuhnya tertinggal
dibandingkan masyarakat Jawa. Di masa-masa 1970-an itu, telah berkembang
nilai-nilai dan norma yang menjadi pedoman dalam berinteraksi sehari-hari
masyarakat Suku Dayak, agar terjadi harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Aturan-aturan
adat setempat telah menjadi sistem pengendalian sosial bagi segala tindakan dan
perilaku warga masyarakat, sehingga tidak saling merugikan. Ada beberapa
tindakan yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Misalkan tindakan menyakiti
orang lain, merupakan suatu tindakan yang ditabukan. Selain itu ada larangan
agar tidak melakukan tindakan tercela lainnya, seperti melarikan isteri orang,
mencuri, menyebarkan fitnah dan berzina. Pelanggaran terhadap aturan-aturan itu
akan dikenakan sanksi berupa denda, hukuman fisik dan sanksi sosial (berupa
ejekan, cemoohan, jadi pembicaraan umum, dikucilkan dan diusir dari
lingkungannya).
Selepas SMA
di Sampit, Achmad Yuliansyah muda belum menentukan hendak melangkah ke mana
selanjutnya. Ketika itu telah berdiri pula Akademi Administrasi Niaga Sampit.
Tapi, hati kecil dan tekadnya tidak tergerak untuk mendaftarkan diri ke
perguruan tinggi di ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur itu. Benaknya masih
berputar-putar pada ihwal bagaimana dirinya memberikan sumbangsih yang lebih
berarti bagi Kalimantan umumnya dan lebih khusus lagi kota kelahirannya (Muarateweh).
Achmad Yuliansyah merasa bekal ilmu administrasi niaga saja belum cukup untuk
memberikan andil yang berarti bagi kemajuan Kalimantan.
B.
Inspirasi
Hutan di Tangan Orang Dayak
Pada dekade
1970-an, Bumi Borneo mulai mengalami eksploitasi secara besar-besaran terhadap
hutan dan seisinya. Orientasinya hanya pada jumlah produksi yang dapat
dihasilkan, sangat mengabaikan aspek kelestarian lingkungan. Pada saat itu
Pemerintah Republik Indonesia dan pengusaha perkayuan sangat berambisi
memproduksi kayu log secara besar-besaran untuk memasok kebutuhan dunia. Di era
1970-an itu, kayu Kalimantan sempat meramaikan pasaran kebutuhan kayu di Jawa
dan dunia. Pedagang kayu di Jawa waktu itu banyak mengisi gudang dan tempat jualannya
dengan kayu Kalimantan seperti kruing, meranti dan kamper. Tidak banyak yang
menjual kayu jati yang asli produksi Tanah Jawa.
Secara
perlahan namun pasti hutan tropis Kalimantan mengalami kerusakan. Repotnya,
tudingan diarahkan ke masyarakat lokal sebagai biang kehancuran. Padahal,
masyarakat lokal Kalimantan memiliki kearifan tersendiri dalam memanfaatkan dan
mengelola hutan sebagai ruang hunian mereka. Mereka tidak semena-mena menebang
dan membakar hutan.
Orang Dayak
Kendayan misalkan, sebagaimana ditulis oleh Galih W. Pangarsa (2006), memang
memiliki tradisi membuka lahan dengan cara membakar. Tradisi itu sudah berlangsung
secara turun-temurun sejak nenek moyang mereka. Tetapi, mereka menolak bila dikatakan
telah merusak hutan. "Itu bukan untuk merusak hutan. Nenek moyang kami
mengajarkan bagaimana caranya membuka lahan yang aman," kata Felisianus
Kimsong, tetua adat Subsuku Gajekng di Kecamatan Samalantan, Kabupaten
Bengkayang, Kalimantan Barat, sebagaimana dikutip Pangarsa dalam bukunya yang
berjudul Merah-Putih Arsitektur Nusantara
(2006).
"Dulu
pernah ada perusahaan yang membakar lahan hingga mengakibatkan kebakaran hingga
ratusan hektar. Itu karena perusahaan tersebut mengabaikan cara membuka lahan
seperti yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Kendayan," kata seorang warga
adat. Teknik masyarakat Dayak di Kabupaten Bengkayang, yang dinamakan
"nataki", sangat mengutamakan pembatasan terhadap lahan yang dibakar.
Itu baru satu kelompok. Sedangkan yang disebut “Dayak” adalah kesatuan dari pilihan
kelompok suku.
Siapakah
orang Dayak? Suku Dayak diperkirakan termasuk bangsa proto-malayan yang
terdesak ke pedalaman lantaran kedatangan kelompok migran baru di awal abad Masehi. Secara
ragawi, ada yang membagi suku ini menjadi dua bagian, yaitu: mereka yang berdiam
di sepanjang Sungai Kapuas dan mereka
yang disebut berasal dari suku-suku Dayak Kayan, Kahayan & Katingan. Secara
geografis, Suku Dayak terkelompok menjadi beberapa sub-suku sebagai berikut:
Murut, Iban (Dayak Laut), Klemantan (Dayak Darat), Punan, Apu Kayan, Ot Danum
dan Ngaju.
Dayak Ngaju,
yang tersebar di wilayah sebelah barat Sungai Barito hingga Sungai Seruyan,
merupakan setengah dari populasi Provinsi Kalimantan Tengah, dengan puluhan
anak suku berbeda dialek. Keluasan ruang budaya orang Ngaju kurang lebih sama
dengan kelompok besar yang lain, kecuali Dayak Punan. Di samping yang mayoritas
seperti Dayak Ngaju, ada pula kelompok-kelompok minoritas yang tersebar di
seluruh pedalaman Kalimantan, contohnya anak suku Dayak Pompagng yang hanya
berjumlah sekitar sepersembilan dari penduduk Kabupaten Kapuas di Kalimantan
Barat. Di situ, tinggal pula orang Dayak Ote, minoritas lain yang terkenal berkat
kecakapan menyumpit. Minoritas semacam Dayak Ote masih terbagi lagi ke dalam
kelompok-kelompok yang lebih kecil lagi seperti Siau, Penyaung dan lain-lain.
Keragaman
keadaan geografis ruang hunian mereka, dari pedalaman hutan rimba sampai ke
dekat pantai, membentuk keragaman karakter sosial budaya pula. Kelompok yang
tinggal di dekat pantai umumnya jauh lebih terbuka, sebagaimana Dayak Tunjung
di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur.
Logika
modern tampaknya cukup mustahil untuk memahami kebijakan orang Dayak terhadap
alam lingkungannya. Bagi masyarakat Dayak, seluruh simbolisme kesemestaan
berkaitan dengan hutan ada pada figurasi ornamen arsitekturnya. Leluhur mereka
mewariskan kepekaan yang sangat tinggi terhadap hutan alam hunian nan luas.
Dengan luasnya wilayah sepanjang ratusan kilometer tepi sungai di seantero
Kalimantan dan keragaman budaya masing-masing sub-kultur, secara umum terdapat
tiga pola perkembangan budaya: Sebelah hilir yang banyak menerima pengaruh luar, bagian tengah yang
sebagian telah menerima pengaruh luar, dan bagian hulu-pedalaman yang lebih
konservatif karena sulit dijangkau lantaran alam berhutan lebat yang makin
sukar dilalui manakala sungai dan riam kering pada musim kemarau.
Begitulah filosofinya.
Wilayah pedalaman mendapat perlindungan alam, sedangkan wilayah yang mendekati
pantai mendapat kesempatan lebih besar berhubungan dengan dunia luar. Apapun
bentuk hubungan sosial itu, mereka mempunyai kebijakan pelestarian hutan dengan
kearfian lokal sendiri. Pada masyarakat Dayak Ribun di Kecamatan Kapuas,
Kalimantan Barat, sekadar contoh, hutan dibagi-bagi ke dalam kelompok
pengelolaan sebagai berikut: hutan rimba,
rimba perawan yang belum pernah ditebang; jamih
muntuk, belum pernah dijadikan ladang; jamih
mongit, hutan yang sudah pernah dijadikan ladang; dan padang ilalang yang merupakan daerah yang tak boleh ditanami lagi.
Setiap
tahun mereka meninggalkan desanya dan hidup sebagai satu kesatuan kelompok di
daerah perladangan untuk jangka waktu sekitar 4-6 bulan sampai panen selesai. Demikianlah
cara pemanfaatan hutan dengan berladang berpindah-pindah: membuka sebagian
sangat kecil hutan di lingkungan huniannya dan membakar hasil tebangan untuk
mendapatkan abu buat pupuk. Jika kesuburan tanah telah menurun, mereka berganti
lahan untuk membiarkan yang lama mengalami proses pemulihan secara alami. Bila
tidak berladang di hutan seperti itu, orang Ribun bertanam padi di tanah paya
(tanah becek, berlumpur). Hampir setiap keluarga Ribun memiliki ladang dan
tanah paya di tepi hutan.
Tradisi
Dayak Ribun itu hanya salah satu contoh dari kebijakan pengelolaan hutan dengan
kearifan lokal masyarakat Dayak, yang mempunyai kepekaan tinggi terhadap ruang
huniannya. Jika tidak, tentu sejak lama sebelum hutan digunduli industri kayu
yang dimulai pada tahun 1970-an, rimba Kalimantan telah habis. Konsep “ekonomi
tebang pilih” atau bahkan konsep local
wisdom (kearifan lokal) sudah menyadari bahwa “hak berilmu” bukanlah
monopoli tradisi skolastik manusia kampus dan birokrat. Tradisi skolastik manusia
kampus dan birokrat belum tentu mampu menjelaskan, dengan cara bagaimana
ketajaman intuisi pewaris rimba itu ”membaca” dan kemudian mengambil keputusan
dalam mengelola ruang hunian mereka. Sayangnya, ketidak-pahaman itu bisa
berubah menjadi tudingan kontroversi, bahwa penyebab kerusakan hutan Kalimantan
adalah tradisi dan cara mengelola hutan orang Dayak.
Ada kearifan
lokal orang Dayak yang diabaikan di tahun-tahun 1970-an dalam mengelola dan
memanfaatkan hutan rimba Kalimantan. Baru pada 1980-an, kata pengamat masalah
lingkungan Kalimantan, Niel Makinuddin, pemerintah dan pengusaha perkayuan mulai
menyadari arti penting menjaga lingkungan dalam eksploitasi hutan. Sayangnya, ketika
itu persoalan ekologi juga masih lemah. “Sedangkan pada 1990-an, aturan pengelolaan
lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sudah menjadi bagian dari
eksploitasi hutan, hanya penerapannya di lapangan tidak berjalan optimal,” ujar
Niel.
Kerusakan
hutan semakin parah bersamaan dengan bergulirnya otonomi daerah. Ternyata
pengelolaan hutan semakin hancur akibat adanya paradigma membagi-bagi hutan
sesuai dengan batas-batas administrasi wilayah. Karena itu, kata Niel seperti dikutip
Kantor Berita Antara beberapa waktu
lalu, ke depan, seluruh pemerintah daerah kota/kabupaten, difasilitasi pemerintah
provinsi, harus duduk satu meja untuk menyamakan persepsi dalam pengelolaan
lingkungan dan eksploitasi hutan," katanya menandaskan.
Achmad
Yuliansyah muda yang memang berasal dari kawasan Barito Utara yang berada nun jauh
di pedalaman Kalimantan Tengah, mendekati hulu Sungai Barito, telah menyadari
bakal terjadi kerusakan hutan Kalimantan. Dia tidak ingin hutan Kalimantan
semakin hancur, Bumi Borneo jadi padang ilalang yang gersang. Dia ingin belajar
dari dunia kampus bagaimana mengelola dan menjaga kelestarian hutan yang ramah
dan lestari. Selain, sudah barang tentu, dia tetap menaruh perhatian tinggi
pada kearifan lokal orang Dayak dalam mengelola hutan sebagai ruang hunian
mereka.
Sebab itu,
ketika tahun 1976 lulus dari SMA di Sampit, Achmad Yuliansyah mengayunkan
langkah menuju Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan. Di sana ada
Universitas Lambung Mangkurat yang berdiri pada 21 September 1958 dengan empat
fakultas: Hukum, Ekonomi, Pertanian dan Ilmu Sosial Politik. Tak lama kemudian,
tepatnya tanggal 24 Agustus 1964, Universitas Lambung Mangkurat membuka Fakultas
Kehutanan. Dan, Fakultas Kehutanan melaksanakan pendidikan Sarjana Muda sampai
tahun 1976. Untuk menyelesaikan program Sarjana, Fakultas Kehutanan mengirimkan
mahasiswa (afiliasi) ke Fakultas Kehutanan UGM atau IPB.
Sejak tahun
1977 Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat menyelenggarakan
pendidikan sampai Sarjana (Insinyur) dengan sistem tingkat. Penyelenggaraan
pendidikan Program Strata (S1) baru dimulai tahun 1980, dengan membuka dua
Jurusan: Jurusan Manajemen Hutan dan Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Kemudian, berdasarkan
SK Dirjen Dikti Nomor 228/Dikti/Kep/1996 Fakultas Kehutanan Universitas Lambung
Mangkurat mempunyai tiga Program Studi, masing-masing Program Studi Manajemen
Hutan (Akreditasi B); Program Studi Budidaya Hutan (Akreditasi B); dan Program
Studi Teknologi Hasil Hutan (Akreditasi B). Guna menunjang proses belajar-mengajar
(perkuliahan), Fakultas Kehutanan memiliki beberapa Laboratorium serta Hutan
Pendidikan.
Dengan
tekad dan cita-cita ingin menjadi orang biasa yang mampu memberikan sumbangsih
dalam menata lingkungan dan menjaga kelestarian hutan di Kalimantan, Achmad
Yuliansyah melangkah mantap mendaftarkan diri ke Fakultas Kehutanan Universitas
Lambung Mangkurat. Dan dia diterima sebagai mahasiswa baru di fakultas yang
menyiapkan calon-calon tenaga ahli di bidang kehutanan tersebut.
Sejak akhir
1970-an itu pula, Achmad Yuliansyah menghabiskan hari-harinya buat berkuliah di
Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat.
C. Mengenal Organisasi Kemahasiswaan
Di kampus
Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, Achmad Yuliansyah tidak
semata-mata hanya menekuni dan menggeluti buku-buku teks perkuliahan yang
tebal-tebal. Dia juga berusaha aktif berkiprah di dunia organisasi
kemahasiswaan. Bukan organisasi kemahasiswaan yang bersinggungan langsung dengan
garis politik yang dimasuki oleh Achmad Yuliansyah. Dia memilih organisasi yang
aktif dalam gerakan pelestarian lingkungan dan termasuk organisasi internal
kampus.
Masa-masa
akhir 1970-an sampai awal 1980-an itu, tepatnya lewat Surat Keputusan (SK)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0156/U/1978, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (waktu itu) Daoed Joesoef menelorkan kebijakan Normalisasi Kehidupan
Kemahasiswaan (NKK). Konsep ini berusaha mengarahkan mahasiswa hanya berada
pada jalur kegiatan internal kampus. Dewan mahasiswa yang memegang peran cukup
penting dalam hubungan kampus dan pemerintah pada pertengahan 1960-an sampai
awal 1970-an dibekukan oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo.
Kebijakan
NKK ini kemudian diperkuat dengan turunnya Surat Keputusan Menteri P & K
Nomor 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Melalui SK ini,
Menteri P & K hanya mengizinkan Senat Mahasiswa Fakultas dan Badan
Perwakilan Fakultas yang menjadi organisasi kemahasiswaan di dalam kampus. Selain
itu, SK tersebut memberi pula kewenangan kepada rektor untuk menentukan
kegiatan mahasiswa yang boleh diadakan di kampus.
Pasca
peristiwa 15 Januari 1974 (Malari) di mana mahasiswa memprotes kedatangan
Perdana Menteri Jepang Kakuiei Tanaka, meminta pembubaran Aspri Presiden dan
mendesak turunkan harga, lewat kedua SK tersebut, secara praktis mahasiswa
diarahkan untuk berorganisasi di dalam kampus. Gerakan mahasiswa di tataran
organisasi di luar kampus sangat dibatasi. Pengawasan dengan model dan gaya intelijen
di masa itu sangat ketat. Diskusi-diskusi mahasiswa –terutama yang menyangkut
persoalan sosial-ekonomi dan sosial-politik-- ditelisik, diawasi dan disensor nyaris
tanpa celah.
Yang muncul
kemudian adalah kelompok-kelompok studi yang dianggap barangkali tidak
tersentuh oleh kekuasaan represif pemerintah. Dalam perkembangannya,
kelompok-kelompok ini digeser oleh kehadiran lembaga swadaya masyarakat (LSM)
sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Muncul di antaranya LSM yang bergerak di
bidang pelestarian lingkungan hidup, advokasi hukum, dan pemberdayaan
sosial-masyarakat. Selain itu mulai pula mengambil peran aktif menggembleng
mahasiswa, adalah organisasi ekstra kampus seperti Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional (GMNI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).
Kelompok-kelompok ekstra kampus inilah yang selanjutnya dikenal dengan Gerakan
Cipayung.
Achmad
Yuliansyah memilih aktif ke dalam organisasi pencinta alam dan pelestarian
lingkungan. Dia pun memasuki Kelompok Mahasiswa Pencinta Alam dan Seni (Kompas)
Borneo Universitas Lambung Mangkurat. Sebuah organisasi internal di lingkungan
Universitas Lambung Mangkurat yang aktif menyuarakan pentingnya pelestarian
hutan dan melakukan advokasi persoalan pertambangan yang ramah lingkungan di
Kalimantan –khususnya di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Tahun
1976-1985, Achmad Yuliansyah aktif sebagai Pengurus Kompas Borneo Universitas
Lambung Mangkurat. Di masa aktif Achmad Yuliansyah, bahkan sampai sekarang,
Kompas Borneo cukup aktif melakukan berbagai ekspedisi dan penelitian ke
hutan-hutan Kalimantan. Pun aktif menyuarakan berbagai kearifan lokal orang
Dayak dalam mengelola dan melestarikan hutan yang menjadi ruang hunian mereka.
Berkat
keaktifannya di Kompas Borneo Universitas Lambung Mangkurat, tahun 1982, Achmad
Yuliansyah sempat diberi amanah sebagai Ketua Pelaksana Riset Mahasiswa Masalah
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Di sini dia banyak belajar betapa melimpah sumber
daya alam Kalimantan. Namun, bila tidak dikelola secara baik, terarah dan
berkelanjutan maka lambat tapi pasti akan menemui kehancuran.
Selain
aktif di Kompas Borneo Universitas Lambung Mangkurat, tahun 1982, Achmad
Yuliansyah dipercaya pula sebagai Wakil Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM)
Universitas Lambung Mangkurat. Di sini dia menempa diri menjadi organisatoris
dan membawakan aspirasi mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat ke berbagai
pentas kemahasiswaan, baik tingkat lokal maupun nasional.
Kakanda
(ipar) Mukri Inas menilai bahwa Achmad Yuliansyah memang memiliki bakat
kepemimpinan sejak kecil. Bakat itu terus ditempa, tidak terkecuali saat kuliah
di Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, sampai kini menjadi Bupati
Barito Utara. “Kepemimpinan Achmad Yuliansyah saat ini memang ditempa langsung
oleh suasana kehidupan yang dilaluinya, juga ditempa lagi oleh berbagai
pengalaman kuliah dan penugasan ketika dia menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS),”
ujar Mukri Inas.
D. Merancang Masa Depan yang Penuh Asa
Kendati
aktif di sejumlah organisasi mahasiswa, Achmad Yuliansyah tidak melupakan masa perkuliahannya.
Dia tetap bertekad harus menyelesaikan perkuliahan dan berhak menyandang gelar
Sarjana Kehutanan. Dengan predikat itu, dia menaruh harapan yang besar untuk
memberikan sumbangsih yang berarti bagi kampung halamannya yang berada nun jauh
di hulu Sungai Barito. Kampung halaman yang di masa-masa itu masih sulit
dikembangkan lantaran kekurangan sumber daya manusia yang mumpuni dan menguasai
bidang kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Putera daerah yang memiliki
kompetensi di tiga bidang keahlian itu masih relatif langka.
Dengan
melihat kampung halaman yang berkelimpahan sumber daya alam, baik di atas
permukaan maupun di dalam perut bumi, Achmad Yuliansyah sangat terlecut untuk
segera menuntaskan perkuliahannya di Fakultas Kehutanan Universitas Lambung
Mangkurat. Tanpa banyak menyia-nyiakan waktu lagi, tahun 1985, Achmad
Yuliansyah berhasil menuntaskan perkuliahan dan berhak menyandang gelar Sarjana
Kehutanan.
Berbekal
ijazah kesarjanaannya ditambah kematangannya di organisasi pencinta alam Kompas
Borneo, Achmad Yuliansyah mencoba merancang masa depannya di Bumi Kalimantan. Dalam
benaknya, kalau di LSM saja rasanya tidak cukup memberi arti bagi kelanggengan
sektor kehutanan di wilayah yang kala itu tengah mengalami eksploitasi kayu-hutan
secara besar-besaran. Dia ingin berada pada satu institusi yang cukup
menentukan hitam-putihnya pengelolaan sektor kehutanan. Yakni, di jalur birokrasi
pemerintahan yang banyak memiliki kewenangan dalam pemberian izin dan
pengelolaan hutan secara ramah dan lestari.
Namun,
bukanlah langkah mudah untuk memasuki institusi birokrasi yang kemudian dikenal
sebagai Dinas Kehutanan yang berada di lingkup kabupaten atau kota. Banyak anak
muda yang baru lulus sarjana kehutanan ketika itu ramai-ramai ingin masuk ke institusi
birokrasi dengan harapan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang amat
menjanjikan hari tua yang terjamin. PNS yang sudah barang tentu memperoleh
pensiun dan dana jaminan hari tua yang membahagiakan.
Sebagai
aktivis semasa mahasiswa, Achmad Yuliansyah memiliki banyak kenalan dan kolega
yang lebih senior yang telah berada di jalur-jalur birokrasi yang tersebar di wilayah
Kalimantan. Salah satunya adalah seorang teman yang ketika itu sudah menjadi
PNS di Dinas Kehutanan Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Achmad
Yuliansyah teringat kata-kata bijak bahwa bila kita ingin dipermudah urusan
rezeqi dan diperpanjang umur maka hubungilah (silaturrahim) teman, saudara dan
kerabat. Sekali waktu, tak lama setelah ijazah kesarjanaannya selesai secara
administratif, dia bersilaturrahim ke kawan yang telah berdinas di Dinas
Kehutanan Kota Palangkaraya. “Sudah, kamu buat lamaran ke sini, nanti aku
bantu,” ujar Achmad Yuliansyah menirukan kata-kata teman lamanya tersebut.
Dia lantas
membuat surat lamaran ke Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah. Demi
fortuna berpihak kepada Achmad Yuliansyah. Di tengah persaingan ketat
memperebutkan kursi calon PNS yang amat terbatas, dengan tekad membaja dan
keyakinan yang kuat, dia pun diterima sebagai calon pegawai negeri sipil di jajaran
dinas yang berperan cukup penting bagi hitam-putihnya kelestarian hutan di
Kalimantan Tengah tersebut. Masa depan penuh asa pun membentang luas. Tinggal
bagaimana dia mampu menapaki secara linear agar tekad dan cita-citanya ingin
memberikan sumbangsih berarti bagi kelestarian hutan Bumi Borneo betul-betul
mewujud.
Mulai di
tahun 1985, Achmad Yuliansyah menapaki karir sebagai PNS dari dinas kehutanan
satu kabupaten/kota ke dinas kehutanan kabupaten/kota lainnya di wilayah
Kalimantan. ***
No comments:
Post a Comment