"Minim peralatan keselamatan
kerja."
Serikat
pekerja yang tergabung dalam gerakan bersama buruh/pekerja di BUMN (Geber BUMN)
menilai kondisi kerja para pekerja outsourcing sangat memprihatinkan. Menurut
anggota Geber BUMN dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI),
Musriyanto, minimnya fasilitas keselamatan kerja membuat pekerja outsourcing
dirugikan. Banyakpekerja outsourcing yang kesehatannya terganggu dan bahkan
sampai meninggal dunia.
Ia
mencontohkan nasib seorang pekerja outsourcing bernama Bambang Setiyodono yang
bekerja di PT Petrokimia Gresik, tewas karena mendapat gangguan kesehatan
ketika bekerja.Musri menjelaskan, Bambang bekerja sebagai pekerja outsourcing
di PT Mekar Jaya Sakti (MJS). Perusahaan itu adalah salah satu perusahaan
penyedia tenaga kerja yang menyalurkan pekerja outsourcing untuk bekerja di PT
Petrokimia Gresik.
Pada
awal Juli 2013, terjadi ledakan akibat kebocoran gas di sebuah pabrik yang
lokasinya berdekatan dengan tempat kerja Bambang di PT Petrokimia Gresik.
Akibat kecelakaan di pabrik tersebut, Bambang terkena imbasnya, dia mengalami
sesak napas dan dilarikan ke rumah sakit.
Setelah
menjalani masa pemulihan, Musri melanjutkan, Bambang kembali bekerja. Namun,
pada awal Agustus 2013, setibanya di lokasi kerja, kesehatan Bambang terganggu
dan kondisi kesehatannya kritis. “Almarhum (Bambang) meninggal dunia sebelum
mendapat pertolongan dari RS,” katanya dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta,
Selasa (24/9).
Musri
menambahkan, selama bekerja Bambang tidak mendapatkan peralatan keselamatan
kerja yang memadai. Hal itu juga dialami oleh pekerja outsourcing lainnya yang
bekerja di PT Petrokimia Gresik.
Pada
kesempatan yang sama, anggota Geber BUMN dari Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI), Yudi Winarno, mengatakan nasib serupa juga dialami pekerja
outsourcing di PT PLN. Yudi mengisahkan pada Minggu (22/9), Heri Irwansyah,
seorang pekerja outsourcing di PT PLN ditugaskan untuk menangani gangguan
listrik di daerah Jatimulya, Bekasi.
Ketika
menjalankan tugasnya, salah satu tangan Heri menyentuh kabel listrik
bertegangan rendah yang terkelupas. Sialnya, ketika itu heri tidak menggunakan
sarung tangan kulit yang mestinya disediakan oleh perusahaan. Akibat kecelakaan
itu, kondisi kesehatan Heri kritis dan meninggal dunia di hari yang sama.
Menurut
Yudi, serikat pekerja sudah berkali-kali mengingatkan perusahaan agar standar
peralatan keselamatan kerja untuk semua pekerja, termasuk pekerja outsourcing
agar dipenuhi. Namun, Yudi menilai perusahaan bergeming dan tidak
melaksanakannya. Padahal, Yudi mencatat kecelakaan kerja yang dialami Heri,
kerap menimpa pekerja outsourcing lainnya.
Yudi
menjelaskan, Heri bekerja sebagai pekerja outsourcing dan ditempatkan di PT PLN
dari tahun 2008. Sejak pertama kali bekerja, Heri selalu dipindah-pindah ke
berbagai perusahaan outsourcing. Namun, lokasi kerjanya tidak berubah, yaitu
tetap ditempatkan di PT PLN. “Sampai almarhum (Heri) meninggal dunia, ia masih
berstatus sebagai pekerja outsourcing, padahal sudah bekerja kurang lebih 5
tahun,” tuturnya.
Koordinator
Geber BUMN dari Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Ahmad Ismail,
mengatakan kedua pekerja outsourcing yang tewas itu tidak mendapat santunan
apapun dari perusahaan. Sekalipun dapat mencairkan program Jaminan Kematian
dari PT Jamsostek, pria yang disapa Ais itu mengatakan prosesnya pun tidak
mudah.
Atas
dasar itu Ais menyebut Geber BUMN mendesak kepada PT PLN dan Petrokimia Gresik
untuk memberikan kompensasikepada masing-masing ahli waris dari kedua pekerja
outsourcing yang meninggalitu sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan. Kemudian, Kemenakertrans dan Kepolisian diharapkan
segera melakukan penyidikan atas terjadinya kecelakaan kerja yang merenggut
nyawa kedua pekerja outsourcing itu. Ais berpendapat perusahaan patut diduga
melakukan kelalaian karena tidak menyediakan peralatan keselamatan kerja yang
memadai. Akibatnya, kedua pekerja itu meninggal.
Selain
itu, Ais mengatakan jika tidak ada niat baik dari perusahaan untuk memenuhi
hak-hak normatif untuk kedua pekerja itu, Geber BUMN akan melaporkan manajemen
PT PLN dan Petrokimia Gresik ke pihak kepolisian. “Ini memprihatinkan karena
kedua pekerja itu tidak mendapat santunan dan pesangon dari perusahaan,”
keluhnya.
Anggota
tim advokasi Geber BUMN, Maruli Tua Rajagukguk, mengatakan jika perusahaan
terbukti tidak menyediakan peralatan dalam rangka memenuhi keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) maka dapat diancam pidana. Mengacu UU No.1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja, Maruli melihat ancaman pidana bagi pengusaha
maksimal 3 bulan kurungan. Namun, jika perusahaan terbukti lalai dalam
menyediakan alat kerja sehingga mengakibatkan pekerja tewas, mengacu pasal 359
KUHP, Maruli melihat ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada pengusaha
yaitu penjara paling lama lima tahun.
Maruli
berpendapat, persoalan outsourcing yang menyelimuti BUMN sampai saat ini masih
diperjuangkan oleh serikat pekerja, khususnya Geber BUMN agar segera
diselesaikan oleh pemerintah dan DPR. Hal itupun menurutnya sudah disampaikan
kepada Komisi IX DPR yang kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk Panja
Outsourcing BUMN.
Lewat
panja, Maruli berharap ke depan DPR harus bertindak lebih nyata dan serius
untuk menuntaskan berbagai masalah outsourcing di BUMN. Misalnya, DPR
memaksimalkan perannya untuk mengawasi kinerja pemerintah dan mempertanyakan
kenapa pengawasan yang dilakukan pemerintah tidak berjalan dengan baik.
Sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja yang merenggut nyawa pekerja.
“DPR harus serius,” tegasnya.
Sebelumnya,
dalam rapat dengar pendapat antara Komisi IX DPR, Kemenakertrans dan berbagai
serikat pekerja di BUMN, Komisi IX sudah mendengarkan aspirasi dari pekerja.
Menurut pimpinan rapat, Ribka Tjiptaning, Komisi IX meminta Dirjen PHI dan
Jamsos Kemenakertrans dan seluruh serikat pekerja outsourcing BUMN untuk
menyerahkan data lengkap kepada DPR. Misalnya, nama pekerja, masa kerja, nama
perusahaan outsourcing, upah dan bidang pekerjaan. Serta data lain yang
menyangkut persoalan pidana di perusahaan BUMN.
Tak
ketinggalan, dari hasil rapat dengar pendapat itu Ribka mengatakan Komisi IX
meminta Dirjen Pembinaan dan Pengawas Ketenagakerjaan serta Dirjen PHI dan
Jamsos Kemenakertrans untuk melakukan pengawasan terhadap perusaaan
outsourcing. Misalnya, perusahaan outsourcing tidak boleh berbentuk koperasi
sebagaimana Permenakertrans No.19 tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
“Komisi
IX DPR mengapresiasi dan menerima masukan-masukan serta pemetaan permasalahan
outsourcing yang diwakili dan disampaikan oleh serikat pekerja outsourcing di
lingkungan BUMN. Masukan tersebut akan menjadi referensi dalam menyusun rekomendasi
Panja Outsourcing Komisi IX DPR RI,” ujar Ribka membacakan hasil rapat dengar
pendapat di ruang sidang Komisi IX DPR, Senin (23/9). (www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment