Monday, January 28, 2013

Hidup Mati Kereta Mayat


SEORANG warga Jakarta meninggal. Karena dia masih mempunyai kampung di Jawa Tengah, keluarganya berniat menguburnya di tempat kelahirannya. Maklum orang meninggal di Jakarta tidak bisa tenteram lagi karena sering berhadapan dengan bongkar pasang kuburan. Dengan ambulans jenazah dibawa ke Jawa Tengah. Apa lacur, belum sampai Cirebon, mobil ambulans tubrukan. Jumlah yang meninggal jadi bertambah: sopir dan salah seorang keluarga jenazah. Seluruh rombongan kembali lagi ke Jakarta, termasuk jenazah yang urung dikubur, tambah dua mayat baru dan yang luka-luka. Akhir cerita, tiga jenazah dikubur di Jakarta.

 Tak Ada Kelas Untuk Jakarta, orang mati dikubur menurut rayon dan tempat tinggal. Biarpun begitu, ini bukan berarti jarak antara rumah dan kuburan menjadi dekat. Hanya beberapa mayat saja di ibukota republik ini yang diantar ke kubur dengan jalan kaki karena jaraknya dengan tempat tinggal tak begitu jauh. Untuk mengandalkan kebutuhan pada ambulans-ambulans rumah sakit tampaknya tak mungkin. Sebab selain prosedurnya sering dirasakan pemakainya terlalu berkelok-kelok, juga kerap mendapat jawaban "kendaraan tak ada". Atau macam-macam alasan lain.

Karena itu adanya ambulans adalah hal yang mutlak bagi perkumpulan kematian. Yayasan Bunga Kamboja satu di antara yayasan di Jakarta yang menyediakan ambulans mayat bagi para anggotanya, kini telah memiliki 17 buah kendaraan (ambulans). Rata-rata 15 buah selalu beroperasi setiap hari. "Untuk pelayanan, kami pada prinsipnya tidak membedakan kelas sosial si mati," kata Nyonya Dee Walandauw sekretaris yayasan tersebut.
Yang beda hanya pada peti mati, bagi jenazah yang mempergunakan peti. 

Setiap anggota berhak mendapat pelayanan ambulans. Demikian pula untuk luar kota, hanya ditambah ongkos tentu saja. Sebelum kenaikan harga BBM dikenakan tarip Rp60 tiap kilometer. Ke luar kota, misalnya ke Yogya, ditarik ongkos Rp153.000, ke Surabaya Rp205.000 dan ke Bandung Rp52.000. Ongkos menyeberang ke Sumatera belum ditetapkan, tetapi hal itu toh bisa dirundingkan. Karena kalau mempergunakan pesawat terbang, pasti jauh lebih mahal. Bagi mereka yang ingin dikubur di Amerika Serikat misalnya, Yayasan Kamboja juga bisa melayani pengiriman jenazah. Dengan diberi formalin, peti yang lebih apik dan mencarter pesawat dengan ongkos yang dapat dirundingkan.

Ambulans Yayasan Kamboja ternyata dipakai bukan untuk orang mati saja. Yang sakit atau yang setengah hidup, jika perlu dapat merasakan ambulans yang sebetulnya berfungsi sebagai kereta mayat. "Apalagi kalau ada kecelakaan dan orang datang ke kami minta tolong," kata Nyonya Walandauw lagi. Tambahnya: "Ini salah satu fungsi sosial kami dan itu tidak kami kenakan biaya atau kami tanyakan apakah yang kami angkut ke rumah sakit itu anggota yayasan atau bukan."

Yayasan Bunga Kamboja merupakan salah satu dari perkumpulan kematian yang terbesar di Jakarta. Maklum didukung oleh pemerintah DKI dan 30.000 pegawai DKI otomatis jadi anggota yayasan ini. "Setiap bulan, DKI mengeluarkan anggaran Rp30 juta untuk iuran anggota yayasan," kata M. Diar, Kepala Personalia Yayasan Bunga Kamboja. "Tetapi kami juga harus melayani orang gelandangan," tambah Nyonya Walandauw lagi "paling tidak 80 orang terlantar sebulan harus kami urus." Setiap orang dapat menjadi anggota yayasan ini dengan membayar iuran bulanan antara Rp100 sampai Rp300 setiap jiwa.

Kemudian ada  PT Palang Hitam (dulu disebut NV Verbugt) adalah organisasi kematian paling tua. Berdiri pada 1938, tahun 1953 pindah tangan dari Belanda ke Indonesia. Waktu itu, Palang Hitam adalah perusahaan kematian paling top. Kereta mayatnya bisa juga dijadikan ambulans berjumlah 17 buah. Armadanya kini menciut jadi 7 buah saja. "Karena perusahaan ini banyak fungsi sosialnya," ujar Nyonya Dr. Jenny Panggabean. Belakangan bahkan tiga buah gedung Palang Hitam dijual untuk menutup utang. Meskipun begitu, "kami tidak akan bubar, kecuali kalau Tuhan yang membubarkan usaha kami ini," kata Nyonya Panggabean lagi.

Palang Hitam juga melayani rata-rata 4 orang gelandangan atau orang kapiran setiap hari tanpa dipungut biaya. Palang Hitam memang lebih banyak mengurus orang yang tak mampu. Mungkin karena kereta mayatnya sudah tua (dan tak jarang mogok di tengah jalan dalam prosesi ke kuburan), sedangkan anggota yang setia membayar paling banter hanya berjumlah 25 orang saja.

Ambulans tua Palang Hitam juga melayani orang sakit, "kalau terpaksa sekali, orang sakit juga kami angkut," kata D. Manahera, salah seorang pengurus Palang Hitam. "Biarpun secara psikis, tidak baik dan dilarang, sama sepertl ambulans juga dipakai untuk orang mati," sambung Manahera. Rupanya, kejadian penggunaan insidentil kereta mayat untuk mengangkut orang sakit menunjukkan kurang lancarnya pengurusan ambulans yang ada di rumah sakit. "Tapi perusahaan kami mempunyai kebanggaan tersendiri," kata nyonya Panggabean. Karena telah banyak orang besar yang dilayani lewat Palang Hitam, termasuk antara lain para Pahlawan Revolusi dan peti mati untuk Bung Karno. Selain Yayasan Bunga Kamboja dan Palang Hitam di Jakarta terkenal pula Yayasan Dana Kami dengan kegiatan serupa.

(Majalah Tempo,  09 Juni 1979)

No comments:

Post a Comment