Thursday, January 10, 2013

Jamkes dengan Premi di Korea Selatan


Masyarakat Korea memiliki kesadaran tinggi terhadap asuransi. Bahkan, mereka merasa rugi bila tidak memilikinya. Inilah kunci sukses Korea Selatan mengembangkan jaminan sosial kesehatan.
Lisa, seorang warganegara Kanada, merasa nyaman ketika jatuh sakit di perantauannya di Negeri Ginseng Korea Selatan. Lisa, yang di tahun 2009 pernah sakit dan mendapat perawatan di Korea, menggambarkan bahwa pelayanan kesehatan yang ia terima jauh lebih baik daripada yang bisa diperoleh warga masyarakat di negaranya sendiri. Ia mendapat pelayanan kesehatan dan medical check up tanpa harus susah payah mengurus berbagai persyaratan.
Senada dengan Lisa, beberapa orang yang ditemui oleh Dr. Luqman Hakim, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA Unbraw),  saat mengikuti co-teaching di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS) di tahun 2010. Beberapa orang yang dijumpainya di Seoul dan Daejon menyatakan bahwa pelayanan kesehatan publik di negaranya jauh lebih baik ketimbang negara maju seperti Amerika Serikat. "Karena itu, banyak warga Korea mencibir Paman Sam ketika ide reformasi pelayanan kesehatan yang diintrodusir Presiden Obama mengundang pro-kontra yang berkepanjangan," kata Luqman Hakim.
Kunci sukses Korea dalam pelayanan publik ini, menurut Luqman, adalah keberhasilan negara tersebut mewujudkan jaminan sosial kesehatan yang dapat diperoleh warga dengan cara membayar premi terlebih dulu. "Masyarakat sempat berpikir mengenai asuransi ketika proses pembangunan ekonomi yang semakin cepat dikhawatirkan membawa efek negatif berupa pengangguran," ujar Luqman.
Ketika hal tersebut dikhawatirkan mendorong orang malas bekerja, warga masyarakat Korea segera memilih membuat jaminan sosial kesehatan tenaga kerja. "Bisa dikatakan sistem jaminan sosial kesehatan ini berhasil karena etos kerja yang tinggi Bangsa Korea Selatan," kata dia.
Proses-proses terbentuknya jaminan sosial kesehatan di Korea Selatan relatif sangat cepat, hanya sekitar dua dekade, sekitar pertengahan 1970-an hingga akhir 1980-an. Sebagaimana yang dilakukan Jepang, Jerman, dan banyak negara lain di dunia, Korea Selatan memulai jaminan sosialnya dengan mengembangkan asuransi kesehatan wajib di tahun 1976 setelah selama 13 tahun gagal mengembangkan asuransi kesehatan sukarela. Asuransi kesehatan wajib dimulai dari pemberi kerja yang memiliki banyak pekerja. Ketentuan jumlah pekerja itu terus diturunkan dan sekarang pemberi kerja yang hanya memiliki dua pekerja pun diwajibkan ikut asuransi kesehatan.
Pada tahun 1989 seluruh penduduk telah memiliki asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh lebih dari 300 lembaga nirlaba. Kini seluruh badan penyelenggara dijadikan satu badan penyelenggara yaitu National Health Insurance Corporation (NHIC), yakni suatu lembaga semi-pemerintah yang independen dengan cakupan praktis seluruh penduduk (Park, 2002).
Selain jaminan sosial kesehatan, Korea Selatan juga berhasil mengembangkan jaminan pensiun atau hari tua yang baru dilaksanakan 1988 dengan wewajibkan pemberi kerja dengan 10 karyawan atau lebih mengiur dana jaminan pensiun. Dan pada tahun 2003, seluruh pemberi kerja dengan satu atau lebih pegawai diwajibkan ikut program pensiun yang dikelola oleh National Pension Corporation (NPC).
Kedua lembaga penyelenggara jaminan sosial (NHIC dan NPC) berada di bawah pengawasan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan, bukan badan usaha yang di Indonesia kita kenal sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Berbeda dengan NHIC yang mengelola hampir seluruh penduduk, kecuali militer aktif dan penduduk miskin yang hanya berjumlah 3% dari seluruh penduduk, NPC hanya mengelola jaminan pensiun bagi pegawai swasta dan sektor informal. Pensiun bagi pegawai pemerintah, tentara, guru sekolah, pekerja tambang, dan petani dikelola terpisah dari NPC (Ha-Young dan Hun-Sang, 2003).
Manfaat yang diberikan oleh NHIC adalah jaminan kesehatan komprehensif yang mencakup pelayanan kesehatan, medical check up, penggantian uang tunai pada kondisi tertentu seperti dalam keadaan darurat, santunan penguburan, dan penggantian biaya protese. Setiap peserta wajib membayar co-payment yang besarnya bervariasi antara jenis pelayanan, fasilitas kesehatan, dan kelompok peserta. Rata-rata besarnya co-payment bisa mencapai 40-50% dari biaya berobat, kecuali penduduk tertentu (tua, tidak mampu, atau di daerah terpencil). Pelayanan kesehatan diberikan melalui fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta (lebih dari 90%) dengan sistem klaim. Klaim harus terlebih dulu diperiksa oleh suatu lembaga independen lain (HIRA, Health Insurance Review Agency) sebelum NHIC membayar fasilitas kesehatan. Manfaat program pensiun bervariasi sesuai dengan lamanya mengiur yang diatur dengan formula tertentu (defined benefits) dengan maksimum pensiun sebesar 60% dari upah terakhir untuk yang sudah mengiur selama 40 tahun. Selain pensiun karena mancapai usia pensiun, NPC juga membayarkan pensiun karena cacat, pensiun ahli waris, dan pembayaran lumpsum bagi peserta yang belum memilki masa kualifikasi pensiun (10 tahun).
Iuran untuk program kesehatan bagi tenaga kerja di sektor formal ditetapkan sebesar 3,63% yang ditanggung bersama antara pekerja dan pemberi kerja. Sedangkan untuk sektor informal, UU mengatur tingkat-tingkat penghasilan pada masing-masing kelompok dan besarnya iuran ditetapkan tersendiri untuk tiap-tiap kelompok penghasilan. Sementara itu iuran buat program pensiun kini sebesar 9% dari upah yang dibayar bersama-sama antara pemberi kerja dan pekerja masing- masing sebesar 4,5%. Pada tahap awal, iuran besarnya hanya 3%, kemudian secara bertahap ditingkatkan hingga mencapai 9%. Selain pekerja, NPC melayani pula penduduk yang secara sukarela, secara perorangan atau pekerja sektor informal, mendaftarkan diri dengan iuran saat ini sebesar 7%, yang juga akan ditingkatkan hingga sebesar 9%.
Dosen FIA Unbraw Dr. Luqman Hakim menilai masyarakat Korea memiliki kesadaran tinggi terhadap asuransi. Mereka bahkan merasa rugi jika tidak memilikinya. "Membangun kesadaran ini tidak sekali jadi. Dengan inisiatif dari pemerintah, program ini sempat jatuh bangun dan pernah gagal," jelasnya.
"Keberhasilan Korea Selatan dalam mengelola jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakatnya merupakan pelajaran berharga bagi Indonesia," kata Luqman. Menurutnya, ada suasana berbeda antara Indonesia dan beberapa negara yang jaminan kesehatannya berjalan seperti Korea Selatan dan Eropa. "Di negara-negara tersebut tuntutan jaminan kesehatan dibarengi dengan kesediaan membayar premi asuransi, sedangkan di Indonesia tanpa dibarengi kesediaan membayar," tandas Luqman. Kita memang harus banyak belajar dari Korea Selatan yang baru merdeka di tahun 1948 ini. ***

No comments:

Post a Comment