Dinginnya embun
dinihari masih terasa mengigit kulit. Jam di dinding ruang tamu rumahku baru menunjuk
angka 03.30. Aku baru saja usai memohon ampunan atas segala dosa yang selama
ini kulakukan. “Ya Allah Yang Maha Pengampun, ampunilah orang yang senjatanya
hanya tangisan dan bekalnya tinggal sepenggal doa … Ya Allah, sungguh
ampunan-Mu lebih aku harapkan daripada amalku …” Dengan menitikkan air mata
kuakhiri doa usai shalat malam itu dengan permohonan agar diri ini dijauhkan
dari jilatan api neraka.
Fajar di ufuk timur
rasanya belum memperlihatkan tanda-tandanya segera muncul. Artinya, waktu
shalat Subuh masih jauh. Dinihari itu anak sulungku minta diantarkan ke
sekolahnya di pinggiran Jalan Raya Kalimalang, Jakarta Timur, dan harus tiba
sebelum jam 04.00. Akupun bergegas memacu kendaraan sesuai dengan permintaan si
sulung. Lalu-lintas saat itu cukup lengang, hanya tiga-empat kendaraan bermotor
berpacu kencang. Mendekati detik-detik jam empat pagi, tibalah aku di depan
gerbang sekolah anakku. Kutunggu sebentar, sampai ada beberapa kawannya yang
juga harus tiba di sekolahnya sebelum jam empat pagi untuk mengikuti study tour
ke luar kota. Hanya dalam hitungan menit, beberapa kawan anakku datang dan
bergabung dalam rombongan kecil di halaman sekolah.
Aku lalu kembali
menyusuri Jalan Raya Kalimalang. Menjelang Subuh itu, arus lalu-lintas tampak
mulai menggeliat. Mendekati Masjid Jami Al-Haqiqoh, Cempaka, Jatibening,
Bekasi, adzan Subuh berkumandang. Jarak ke rumahku masih beberapa kilometer
lagi. Rasa-rasanya mustahil aku memacu kendaraan kencang-kencang untuk dapat
ikut shalat Subuh berjamaah di masjid dekat rumah.
Lantas, kubelokkan
tungganganku ke halaman Masjid Jami Al-Haqiqoh. Langsung aku berwudhu dan masuk
ke masjid. Terlihat beberapa orang telah duduk di dalam masjid berukuran
sekitar 20x20 meter persegi itu. Terasa sangat lengang. Setelah sekitar 15
menit menunggu, iqamah langsung dikumandangkan. Shaf terdepan tak sampai penuh
saat sang imam mengucap takbir dimulainya shalat Subuh berjamaah. Tak lebih
dari 20 orang ikut berjamaah di masjid yang juga memiliki beberapa lembaga
pendidikan itu.
Terasa syahdu.
Apalagi sang imam adalah salah satu guru di situ. Begitu tartil dengan intonasi
dan irama yang enak di telinga. Terasa menyentuh qalbu. Usai membaca
Al-Faatihah di rakaat kedua, imam melafadkan Surat Ad-Dhuhaa yang terdiri dari
11 ayat. Saat sampai di ayat delapan, hatiku terasa tersayat. “... Wa wajadaka’aa-ilan fa aghna, fa ammal
yatiima fa laa taqhar, wa ammas saa-ila fa laa tanhar, wa ammaa bi ni’mati
rabbika fa haddits.”
Padahal, boleh dikatakan, aku tak memahami
sepenuhnya makna yang terkandung dalam ayat-ayat tadi. Lalu kubuka Al-Qur’an
terjemahan yang ada di masjid itu. Kudapati arti ayat-ayat itu, “... Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan
terhadap orang yang meminta-minta maka janganlah kamu menghardiknya. Dan
terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan
bersyukur). “
Ya, kita lahir memang tidak membawa apa-apa
dan Allah SWT-lah yang kemudian mencukupkan rejeki kita. Kita kerap tidak
merasa bersyukur atas rejeki yang telah dikaruniakan Allah SWT dan membawa
harta benda ke dalam hati kita. Sehingga, ketika ada anak yatim kita abaikan
dan manakala kedatangan peminta-minta kita usir. Padahal, dengan berbagi pada
anak yatim dan peminta-minta adalah sebuah bentuk rasa syukur atas limpahan
rejeki dari Allah. “Ya Allah, ampunilah hamba yang tak bersyukur ini,” tak
terasa terucap dari mulutku. (BN)
No comments:
Post a Comment