Friday, January 25, 2013

Janganlah Engkau Hardik Peminta-minta


Dinginnya embun dinihari masih terasa mengigit kulit. Jam di dinding ruang tamu rumahku baru menunjuk angka 03.30. Aku baru saja usai memohon ampunan atas segala dosa yang selama ini kulakukan. “Ya Allah Yang Maha Pengampun, ampunilah orang yang senjatanya hanya tangisan dan bekalnya tinggal sepenggal doa … Ya Allah, sungguh ampunan-Mu lebih aku harapkan daripada amalku …” Dengan menitikkan air mata kuakhiri doa usai shalat malam itu dengan permohonan agar diri ini dijauhkan dari jilatan api neraka.

Fajar di ufuk timur rasanya belum memperlihatkan tanda-tandanya segera muncul. Artinya, waktu shalat Subuh masih jauh. Dinihari itu anak sulungku minta diantarkan ke sekolahnya di pinggiran Jalan Raya Kalimalang, Jakarta Timur, dan harus tiba sebelum jam 04.00. Akupun bergegas memacu kendaraan sesuai dengan permintaan si sulung. Lalu-lintas saat itu cukup lengang, hanya tiga-empat kendaraan bermotor berpacu kencang. Mendekati detik-detik jam empat pagi, tibalah aku di depan gerbang sekolah anakku. Kutunggu sebentar, sampai ada beberapa kawannya yang juga harus tiba di sekolahnya sebelum jam empat pagi untuk mengikuti study tour ke luar kota. Hanya dalam hitungan menit, beberapa kawan anakku datang dan bergabung dalam rombongan kecil di halaman sekolah.

Aku lalu kembali menyusuri Jalan Raya Kalimalang. Menjelang Subuh itu, arus lalu-lintas tampak mulai menggeliat. Mendekati Masjid Jami Al-Haqiqoh, Cempaka, Jatibening, Bekasi, adzan Subuh berkumandang. Jarak ke rumahku masih beberapa kilometer lagi. Rasa-rasanya mustahil aku memacu kendaraan kencang-kencang untuk dapat ikut shalat Subuh berjamaah di masjid dekat rumah.

Lantas, kubelokkan tungganganku ke halaman Masjid Jami Al-Haqiqoh. Langsung aku berwudhu dan masuk ke masjid. Terlihat beberapa orang telah duduk di dalam masjid berukuran sekitar 20x20 meter persegi itu. Terasa sangat lengang. Setelah sekitar 15 menit menunggu, iqamah langsung dikumandangkan. Shaf terdepan tak sampai penuh saat sang imam mengucap takbir dimulainya shalat Subuh berjamaah. Tak lebih dari 20 orang ikut berjamaah di masjid yang juga memiliki beberapa lembaga pendidikan itu.

Terasa syahdu. Apalagi sang imam adalah salah satu guru di situ. Begitu tartil dengan intonasi dan irama yang enak di telinga. Terasa menyentuh qalbu. Usai membaca Al-Faatihah di rakaat kedua, imam melafadkan Surat Ad-Dhuhaa yang terdiri dari 11 ayat. Saat sampai di ayat delapan, hatiku terasa tersayat. “... Wa wajadaka’aa-ilan fa aghna, fa ammal yatiima fa laa taqhar, wa ammas saa-ila fa laa tanhar, wa ammaa bi ni’mati rabbika fa haddits.”

 Padahal, boleh dikatakan, aku tak memahami sepenuhnya makna yang terkandung dalam ayat-ayat tadi. Lalu kubuka Al-Qur’an terjemahan yang ada di masjid itu. Kudapati arti ayat-ayat itu, “... Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). “

 Ya, kita lahir memang tidak membawa apa-apa dan Allah SWT-lah yang kemudian mencukupkan rejeki kita. Kita kerap tidak merasa bersyukur atas rejeki yang telah dikaruniakan Allah SWT dan membawa harta benda ke dalam hati kita. Sehingga, ketika ada anak yatim kita abaikan dan manakala kedatangan peminta-minta kita usir. Padahal, dengan berbagi pada anak yatim dan peminta-minta adalah sebuah bentuk rasa syukur atas limpahan rejeki dari Allah. “Ya Allah, ampunilah hamba yang tak bersyukur ini,” tak terasa terucap dari mulutku.  (BN)

No comments:

Post a Comment