Sekali fakta sejarah itu ditemukan, fakta
itu tidak akan dapat diubah, meskipun fakta sejarah itu mungkin pedas untuk
dirasakan.
Slamet Muljana,
Sejarawan Indonesia
Mencermati perjalanan
panjang PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (biasa disebut PT Taspen)
sejak 1963 hingga tahun 2000, banyak pelajaran berharga yang seyogianya bisa kita
petik dari lembaga/institusi penyelenggara program kesejahteraan pegawai
lainnya di Tanah Air. Sejarah perjalanan panjang PT Taspen bisa dirunut sejak
masa sebelum kolonialisme Belanda. Kala itu, di Nusantara ini telah dikenal
adanya administrasi publik tradisional di mana beberapa kerajaan dan kesultanan
sudah memberikan “pensiun” (berupa tanah bengkok) kepada abdi dalem yang
telah menyelesaikan masa kerjanya. Misalnya, di Jawa Tengah dikenal berbagai tanah
perdikan, yang merupakan tanah-tanah hadiah bagi mereka yang sudah memasuki
masa “pensiun”. Begitu seterusnya hingga di masa penjajahan Belanda. Pada tahun
1887 Pemerintah Kolonial Belanda menerbitkan peraturan pertama tentang
pemberian pensiun bagi semua pegawai gubernemen yang berkebangsaan Indonesia.
Peraturan mengenai
pemberian dana pensiun (onderstand) terus diperbaiki seiring dengan kondisi
pada masa-masa itu, misalkan dengan adanya Statsblad Nomor 550 Tahun 1926
tentang Indische Burgerlijk Penionenreglement (IBP). Memasuki masa
pendudukan Jepang, pegawai negeri yang diberhentikan atau pensiun juga diberi Onyokin
atau “Uang Karunia”. Begitu pula semasa pasca kemerdekaan,
pemerintah telah memberikan perhatian bagi kesejahteraan (pensiun) pegawai
negeri.
Bermula dari Konferensi Kesejahteraan Pegawai Negeri, yang
berlangsung di Jakarta, pada 25-26 Juli 1960. Hadir dalam konferensi itu seluruh
kepala urusan kepegawaian dari semua Departemen yang ada di Indonesia. Dalam konferensi tersebut,
para peserta konferensi menyadari bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai
Unsur Aparatur Negara dan Abdi Masyarakat dipandang penting dalam melaksanakan
tugas-tugas pemerintahan, guna tercapainya tujuan pembangunan nasional. Karena itu, ketenangan dalam bekerja
merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas
tersebut.
Berkaitan
dengan hal tersebut, peserta konferensi membahas konsep perlunya dibentuk suatu
badan yang dapat memberikan jaminan sosial bagi PNS beserta keluarganya. Hasil
konferensi tersebut kemudian dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Pertama RI Nomor 380/MP/1960 tanggal 25 Agustus 1960.
Isinya, antara lain, menetapkan perlunya pembentukan Jaminan Sosial sebagai
bekal bagi pegawai negeri dan keluarganya di saat mengakhiri pengabdiannya
kepada negara.
Selanjutnya,
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor
9 tahun 1963 tentang Pembelanjaan Pegawai Negeri, Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1963 tentang Tabungan Asuransi dan Pegawai Negeri
serta berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1963 tentang Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai
Negeri. Tindak lanjut atas peraturan-peraturan
tersebut, pada tanggal 17 April 1963 didirikanlah
Perusahaan Negara Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PN Taspen). Dan
tanggal 17 April kini dikenal sebagai “Hari Ulang Tahun” PN (sekarang PT) Taspen. Jadi, pembentukan PN Taspen sejatinya
memang dilandasi dengan jiwa, makna dan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
pegawai negeri, khususnya pada saat mencapai masa purna karya (pensiun).
Yang
perlu dicermati dan dimaknai secara lebih arif,
adalah, isi Keputusan Menteri Pertama RI Nomor 380/MP/1960 tanggal 25 Agustus 1960. Salah satu di antara isi keputusan itu adalah perlunya
dibentuk Jaminan Sosial sebagai bekal bagi pegawai negeri dan keluarganya di saat
mengakhiri masa pengabdiannya kepada negara. Artinya, ada upaya sungguh-sungguh
dari Pemerintah Orde Lama membangun sebuah pilar penyangga kemandirian
perekonomian bangsa melalui pilar jaminan sosial. Kelahiran PN Taspen kala itu
bisa dijadikan prime mover atau salah satu pilar dari Jaminan Sosial dengan
kumulatif dana peserta dan dana tunjangan hari tua yang jumlah penerimaannya
tiap tahun diprediksi akan meningkat seiring bertambahnya jumlah pegawai negeri
sipil di Tanah Air.
Melalui PN Taspen,
dana yang terhimpun bisa digunakan untuk memperkuat cadangan keuangan nasional,
yang pada akhirnya mengukuhkan eksistensi PN Taspen menjadi salah satu pilar
Jaminan Sosial, selain pajak dan fiskal. Bisa dimaklumi, kala itu pemerintahan
Soekarno sangat anti pinjaman luar negeri. Makna tersiratnya, Presiden Soekarno
ingin menerjemahkan konsep ekonomi gotong royong dan prinsip berdiri di atas
kaki sendiri dengan membangun pilar Jaminan Sosial sebagai salah satu satu
pilar perekonomian negara. Presiden Soekarno paham, sebagaimana di negara-negara
maju, jaminan sosial menjadi pilar yang dapat diandalkan buat memperkukuh
cadangan keuangan negara. Tak salah jika kita berkesimpulan, hakikat pendirian PN
Taspen dalam jangka panjang diharapkan mampu menjelma sebagai Jaminan Sosial
Nasional.
Bulan Juli 1964,
Menteri Koordinator Keuangan Republik Indonesia Soemarno, SH, didampingi
Gubernur Jawa Barat Mashudi dan Direktur PN Taspen M. Slamet, serta Kepala
Urusan Umum A. Hamidy, meresmikan beroperasinya kantor PN Taspen di Bandung. Pada
saat itu Kantor PN Taspen menumpang di Kantor Pusat Pembayaran Pensiun atau Pensienfonds
di Jalan Diponegoro, dengan fasilitas sangat sederhana, yaitu berupa dua
ruangan berukuran 4x6 meter di lantai 1 Gedung Dwiwarna.
Penetapan Kantor PN
Taspen di Bandung boleh jadi karena di situ ada Pensienfonds yang diharapkan
akan mempermudah pekerjaan PN Taspen, terutama pada saat-saat awal beroperasi. Meski
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1963 baru diterbitkan pada bulan April
1963, namun program yang dikelola PN Taspen berlaku surut sejak 1 Juli 1961
atau dua tahun ke belakang. Jadi, pada waktu berdiri, PN Taspen sudah harus
menghadapi tunggakan pekerjaan selama dua tahun. Tak berapa lama kemudian PN
Taspen memperoleh kantor sendiri di Jalan Merdeka Nomor 64 Bandung (sekarang
Jalan Sultan Syahrir). Sementara sejumlah unit kerja, seperti unit Aktuaria dan
Unit Verifikasi, masih menumpang di tempat lain.
Karena kelangkaan sumber daya manajemen profesional, PN Taspen hanya
dipimpin oleh seorang direktur, yaitur M. Slamet. Penunjukan direktur tunggal
ini diatur oleh Surat Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan
(UP3) RI Nomor UP1-19-34 tertanggal 23 Mei 1963. M. Slamet dibantu oleh
Sapardan Judasubrata dan R. Soedjojo sebagai “ahli” asuransi dan keuangan. Tim
ini bekerja dengan didukung oleh 11 orang pegawai pelaksana-termasuk juru ketik
dan pesuruh yang kesemuanya berasal dari Departemen Urusan Pendapatan,
Pembiayaan dan Pengawasan RI.
Praktis,
pekerjaan utama M. Slamet adalah melakukan pengalihan manajemen asuransi
nasional pegawai negeri dari pengelolaan birokrasi ke pengelolaan korporasi.
Tentu saja, karena keterbatasan kemampuan sumber daya manusia, pengetahuan, dan
komunikasi, proses ini menjadi tidak mudah. Tahun 1963 PN Taspen mengurusi
sekitar 1,5 juta pegawai negeri, yang terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS)
sekitar 1.070.000 orang, pegawai negeri daerah otonom (PNDO) sebanyak 288.300
orang dan pegawai BUMN dan ABRI sejumlah 140.900 orang.
Pengelolaan
menjadi rumit lantaran yang dikelola bukan saja PNS, termasuk pula pegawai
negeri militer. Untuk mempermudah, dibentuklah cabang khusus yang bertugas mengelola asuransi pensiun anggota militer
pada tahun 1964. Gagasan ini sebenarnya berawal dari pihak Angkatan Perang RI
(Angkatan Darat) yang waktu itu belum menyatu antar-angkatan dan persetujuan Menteri Urusan
Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan dan BPU (Badan Pimpinan Umum) PN Taspen. Akhirnya,
pada tanggal 1 Januari 1964 secara resmi
dibentuk Cabang Khusus Urusan Militer dengan singkatan nama Taspenmil, bermarkas di Kantor Staf Keuangan Angkatan Darat di Jl.
Medan Merdeka Selatan No. 7, Jakarta. Taspenmil, yang kemudian menjadi cikal
bakal PT ASABRI, dipimpin oleh R. Sugiarto.
Pada
1 Januari 1964, PN Taspen membuka Kantor Perwakilan di Jakarta yang dipimpin
oleh Kastomo. Kantor Perwakilan Jakarta ini mengemban dua tugas pokok, yaitu: pertama, sebagai
penghubung antara direksi PN Taspen dan BPU Taspen. Kondisinya memang berat,
Direksi berkantor di Bandung, sementara BPU berkantor di Jakarta. Kedua,
untuk mengecek premi yang masuk ke Kantor Besar BKTN (Bank Koperasi Tani dan
Nelayan, sekarang Bank Rakyat Indonesia/BRI) untuk kemudian melaporkannya ke Kantor
Pusat di Bandung. Dengan minimnya fasilitas telekomunikasi, khususnya transfer
antar-bank, langkah ini dipandang strategis pada waktu itu.
Selama
berkantor di Bandung, PN Taspen seakan menjadi “sapi perahan” para oknum KPN
yang mengambil keuntungan dari sistem yang berlaku pada saat itu. Ketika itu
berlaku sistem bahwa premi akan diterima Taspen sepanjang tembusan surat
keputusan pensiun seluruh pegawai negeri sipil telah sampai ke tangan KPN di
Bandung. “Tanpa tembusan Surat Keputusan Pensiun, premi tidak bisa dibayarkan,” ujar A. Hamidy
dalam satu pertemuan sesepuh dan pegawai Taspen di Yogyakarta pertengahan 2009.
Bisa
dibayangkan, betapa lamanya waktu yang dibutuhkan PN Taspen jika harus menunggu
lembar demi lembar tembusan surat keputusan (SK) pensiun semua pensiunan yang tersebar dari Sabang hingga Merauke itu terkumpul
di KUP Bandung. Belum lagi kalau mengingat saat itu sarana transportasi dan
teknologi belum semaju dan secanggih sekarang. Sungguh, suatu perjuangan yang
benar-benar membutuhkan kesabaran dan ketekunan yang dilandasi etos kerja keras
insan-insan PN Taspen waktu itu.
Tak
mengherankan, bila premi baru dapat diterima PN Taspen setelah berbulan-bulan menunggu.
Bahkan, selama setahun PN Taspen berkantor di Kota Kembang itu, tak sepeser pun premi yang
masuk ke kantong perusahaan. Padahal, premi merupakan sumber pendapatan bagi
perusahaan asuransi, terlebih bagi Taspen yang saat itu mengelola program kesejahteraan sekitar 1,5 juta
PNS. Ibarat kata, PN Taspen tidak ada artinya karena premi tidak dibayarkan. Suplai
premi bak darah yang mengaliri seluruh organisasi PN Taspen untuk bergerak dan
beraktivitas itu lambat bahkan tersendat-sendat.
Sekitar
tahun 1963-1965 manajemen PN Taspen dikelola dengan susunan sebagai berikut: Badan
Pimpinan Umum terdiri dari Ketua Brigjen. Pol. Memet Tanuwidjaja, Wakil Ketua
Soewahjo Darmosarkoro, Anggota Drs. Soedarmin, Drs. Salamun AT, R. Hartono,
Letkol Slamet Heryanto, A. Zachry dan Puger. Sedangkan di level manajemen;
Direktur dijabat oleh M. Slamet.
Pada
tahun 1965 bentuk manajemen PN Taspen disempurnakan dengan penghapusan BPU dan
digantikan oleh Dewan Komisaris. Di jajaran direksi,
M. Slamet tidak seorang diri lagi, karena kemudian diangkat direktur
baru, yaitu M. Zainal Alim. Figur M. Slamet ibarat perintis PN Taspen, karena
restrukturisasi korporasi pada bulan Januari tahun 1966 meminggirkannya dari
posisi orang nomor satu. Posisi Direktur Utama dijabat oleh Drs. Sutamio
Dirdjosuparto. Sedangkan M. Slamet dan M. Zainal Alim tetap sebagai direktur.
Bulan Mei 1966 (4 bulan berselang) kembali terjadi restrukturisasi di level manajemen puncak.
Drs. Sutamio Dirdjosuparto tidak lagi menjabat Dirut PN Taspen.
Bahkan, jabatan direktur utama ditiadakan. Sehingga, susunan direksinya menjadi tiga orang direktur, yaitu: M. Slamet, M. Zainal
Alim dan A. Hamidy, SH. Komposisi ini bertahan empat bulan, karena kemudian terjadi
perubahan lagi, dengan komposisi baru lagi yakni Direktur Utama A. Hamidy, SH; Direktur M. Slamet; dan Direktur M. Zainal Alim. Formasi
komposisi jabatan itu bertahan hingga akhir masa jabatan pada bulan Maret 1970,
dengan susunan direksi: Direktur Utama A. Hamidy, SH; Direktur M. Zainal Alim; dan Direktur Drs. Hanantowirjo W.
Bersama-sama dengan M. Slamet dan Zainal Alim,
A. Hamidy, pria kelahiran Padang Sibusuk, Sumatera Barat, 75
tahun silam itu memang terlibat langsung dalam proses pembentukan Taspen, sejak masa persiapan hingga perintisan. Di
masa kepemimpinan Hamidy, telah terbangun dasar-dasar tata nilai yang berguna
bagi Program Transformasi Taspen di tahun 2003. Dengan kata lain, nilai-nilai
yang dibangun dalam program PTT seakan menumbuhkan kembali nilai-nilai yang
telah ditanamkan oleh Hamidy. Tahun 1966-1967,
mulai dirintis pembayaran iuran secara sentral.
Dan baru tahun 1979-1980 pembayaran iuran secara sentral dapat
diselenggarakan secara menyeluruh.
Dari Kota Kembang berpindah ke Ibukota Jakarta. Jakarta semakin
memiliki arti strategis, terlebih setelah adanya usaha kudeta Gerakan Komunis pada tanggal 30
September 1965 yang gagal. Dan, secara bisnis, PN
Taspen menilai terlalu mahal menyelenggarakan korporasi dari dua kota: Bandung
dan Jakarta. Sebab itu, pada tahun 1966 diputuskan untuk
memindahkan Kantor Pusat PN Taspen dari Bandung ke Jakarta berdasarkan
pertimbangan praktis, ekonomis dan efisiensi. Segera
setelah disetujui oleh Menteri Urusan Perasuransian melalui suratnya Nomor 11/KH-SK/1966 tertanggal 30 Juni 1966, dilakukan pemindahan kantor. Proses perpindahan memakan
waktu cukup lama, yaitu dalam rentang waktu 1966-1969. Unit kerja yang terakhir
pindah adalah Biro Aktuaria.
Tak mudah memang
perpindahan kantor dari Bandung ke Jakarta. Fakta sejarah percakapan antara Direktur
Utama PN Taspen A. Hamidy dan Menteri Keuangan (Menkeu) memperlihatkan hal itu.
Ketika Hamidy melontarkan gagasan, tentang rencananya memboyong Kantor Pusat PN
Taspen dari Bandung ke Jakarta, kepada Menkeu (waktu itu) Frans Seda ternyata
tidak memperoleh respons positif, bahkan cenderung ditolak. “Apa Saudara kira memindahkan kantor itu
semudah pindah rumah?” tanya Menkeu kepada Hamidy kala itu.
Rupanya,
tak ada kata menyerah dalam kamus hidup A. Hamidy. Tekadnya sudah bulat,
sekalipun jabatan dirut yang disandangnya harus dipertaruhkan demi mendapat persetujuan
pindah kantor dari Menteri Keuangan selaku pemegang saham ketika itu. Setelah
melalui perdebatan yang cukup alot, Menkeu akhirnya menyetujui gagasan A. Hamidy
memboyong Kantor Pusat PN Taspen ke Jakarta. Saat itu, Menkeu Frans Seda mengajukan syarat, “Tidak boleh satu rupiah pun biaya perusahaan
dikeluarkan untuk ongkos kepindahan
kantor. Dan tidak diperkenankan menempati ruangan di Departemen Keuangan.”
Sebagai
insan beragama,
Hamidy beserta karyawannya berdo’a dan
berikhtiar mencari jalan keluar bagaimana pindah kantor ke Jakarta. Berbekal niat
tulus untuk mensejahterahkan para pegawai negeri dan pensiunannya yang tertanam
di hati dan
kepala insan jajaran PN Taspen, rupanya ada pertolongan dari Tuhan Yang Maha
Esa. Kepindahannya ke Jakarta pun mendapatkan tiga kantor operasional di lokasi
terpisah, masing-masing di Jalan Laksa No.12 Jakarta Kota, di Jalan Nusantara (sekarang
Jalan Juanda) No.11/Atas dan di Jalan Pintu Besar Selatan No.90 menumpang pada
Bank Pembangunan Daerah Jakarta Raya. PN Taspen menggunakan ketiganya hingga
tahun 1970, sampai pembangunan kantor pusat di Jalan Letjen Suprapto, Cempaka
Putih, selesai
dibangun.
Tentang
pelayanan, saat itu sistem pelayanan yang dilakukan masih bersifat terpusat (sentralisasi). Sehingga, seluruh PNS yang akan melaksanakan
pensiun harus ke Ibu Kota Jakarta. Hal itu tentu sangat menyulitkan bagi para
PNS. Saat itu PN Taspen mengurusi 1,5 juta pegawai negeri, yang terdiri dari
1.070.000 orang PNS, 288.300 Pegawai Daerah Otonom dan pegawai BUMN serta ABRI
sejumlah 140.900 orang.
Meski
A. Hamidy akhirnya berhasil memboyong 70 karyawannya hijrah ke Jakarta, bukan
berarti persoalan yang mendera PN Taspen berhenti sampai di situ. Hamidy kembali dihadapkan pada
masalah pelik yang sama, yakni menyangkut pengumpulan premi yang masih
tersendat-sendat. Kondisi inilah yang kemudian dilaporkan A. Hamidy kepada
Menteri Keuangan Frans Seda dan mengusulkan agar premi dipotong secara sentral
melalui Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan.
Tak
dinyana, gagasan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini disetujui Menkeu. Namun hanya sebatas pegawai negeri sipil
pusat. Sementara untuk pemotongan premi sekitar 625 ribu pegawai daerah otonom,
Menkeu menyarankan
agar A. Hamidy melobi Menteri Dalam Negeri Letjen TNI Basuki Rachmat. Usaha Hamidy berjalan mulus. Mendagri secara prinsip
setuju atas gagasan tersebut. Sayangnya, Mendagri Letjen TNI Basuki Rachmat tidak
memiliki otoritas untuk memformilkan persetujuan itu di atas kertas.
Menteri Dalam Negeri lantas menyarankan PN Taspen agar meminta
dukungan dari 22 Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia, anggota
DPRD Tingkat I yang kebetulan pada waktu itu akan mengadakan rapat di Jakarta. Bagian
inilah yang agaknya sulit dijalani Hamidy. Terlebih ketika itu hampir semua
kalangan masyarakat, termasuk pegawai negeri sipil, resah gara-gara adanya kebijakan Sanering
(pemotongan nilai nominal uang) yang digulirkan Pemerintah pada tahun
1965.
Dampak dari kebijakan sanering, nilai nominal mata uang rupiah dari Rp1.000
dipangkas menjadi tinggal Rp1. Di saat situasi ekonomi sulit seperti
itu, Hamidy mau tidak mau harus menjelaskan kepada anggota dewan dan jajaran
pegawai negeri sipil ketika sidang berlangsung. Pasalnya, hak tabungan hari tua
yang bakal diterima PNS pada saat pensiun nantinya akan menjadi sangat kecil.
Katakanlah kalau sebelumnya mereka akan menerima Rp600.000, akibat sanering,
yang diterima cuma Rp600.
Berbekal sikap pasrah kepada Sang Pencipta, Hamidy pun ternyata dapat
tampil percaya diri dalam sidang tersebut. Para peserta sidang akhirnya
menyetujui pemotongan premi secara tersentral untuk pegawai daerah otonom. Kegembiraan
Hamidy atas sukses tersebut agaknya tak berlangsung lama. Kebijakan sanering lambat
laun mulai membawa dampak buruk terhadap kondisi perekonomian nasional, termasuk dunia
usaha. Keadaan tersebut kemudian diperparah dengan situasi perpolitikan yang kian
mengkhawatirkan sebagai buntut peristiwa yang dikenal dengan sebutan G-30
S/PKI.
Sampai-sampai keberadaan PN Taspen mulai terancam. Desakan dari
instansi-instansi yang menuntut pembubaran PN Taspen mulai gencar
disuarakan. Mereka menganggap keberadaan Taspen saat itu tidak banyak memberikan manfaat
terhadap kesejahteraan hari tua Pegawai Negeri Sipil. Imbas
kebijakan sanering, hak yang akan mereka terima (PNS) sangat kecil. Selain itu,
mereka keberatan jika gaji yang sudah kecil itu harus dipotong lagi untuk iuran
wajib ke PN Taspen. Bisa dibayangkan, kalau tadinya mendapat Rp100.000 lalu
jadi Rp100. Apa lagi yang mau dipotong?
Kemudian riuh-rendah suara-suara menuntut pembubaran PN Taspen diakomodir oleh Pemerintah. Pemerintah menunjuk Menteri Keuangan
Frans Seda, selaku pemegang saham,
untuk menyusun draft konsep pembubaran PN Taspen. Kabar tentang rencana Pemerintah yang akan membekukan izin usaha PN
Taspen
akhirnya sampai juga ke telinga Hamidy lewat seorang karibnya di Sekretariat Negara.
Bagai
disambar ‘petir’ Hamidy mendengar berita tersebut. Pukul 01.30 dinihari konsep Peraturan Pemerintah
(PP) untuk membubarkan PN Taspen sudah selesai dibuat dan saat itu tinggal menunggu tanda tangan Menteri Keuangan Frans Seda. Tanpa membuang
waktu, dinihari itu juga Hamidy bergegas menuju ke kediaman Frans Seda, untuk menggagalkan
rencana tersebut. Upaya Hamidy membujuk Menkeu untuk membatalkan
penandatanganan konsep PP penutupan Taspen menemui jalan buntu.
Tak
mau kehilangan
kesempatan Hamidy pun langsung menelepon sahabatnya, Sudarmono
SH dan Ismail Saleh SH agar bersedia membantu dirinya membujuk Menkeu supaya mengurungkan niatnya menandatangani
konsep PP tersebut. Cara itu rupanya membuahkan hasil. Akhirnya penutupan Taspen dapat dibatalkan setelah Menkeu urung
menandatangani konsep Peraturan Pemerintah tersebut. “Ibarat pepatah, saat itu Taspen bagai telur di ujung
tanduk,” ujar Hamidy ketika hadir di pertemuan sesepuh dan pegawai Taspen
di Yogyakarta, pertengahan 2009.
Tahun 1969,
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor
9 Tahun 1969 Tentang Bentuk-Bentuk Perusahaan Negara. Merespon
kelahiran UU tersebut, pada tahun 1970 dilakukan perubahan bentuk
badan usaha PN Taspen menjadi Perusahaan Umum (Perum) Taspen. Hal ini
dikukuhkan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-749/MK/IV/11/1970, tertanggal 18 November
1970 yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan (waktu itu) Ali Wardhana. Saat itu, PN Taspen dinilai
memenuhi persyaratan untuk dijadikan sebagai Perusahaan Umum. Pengertian Perusahaan
Umum (Perum)
adalah suatu perusahaan negara yang bertujuan untuk melayani kepentingan umum, sekaligus
mencari keuntungan. Ciri-ciri Perum adalah melayani kepentingan masyarakat umum, dipimpin oleh seorang direktur/direksi, mempunyai kekayaan sendiri dan bergerak layaknya perusahaan swasta.
Selanjutnya,
Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 11 Tahun 1969 Tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda
Pegawai. UU
tersebut menjelaskan bahwa sifat pensiun adalah sebagai jaminan hari tua dan
penghargaan atas jasa-jasa Pegawai Negeri selama bertahun-tahun bekerja dalam
dinas pemerintahan.
Ada
4 jenis manfaat pensiun, yakni: pertama, Manfaat Pensiun Normal (syarat
Usia 50 Tahun dan Masa Kerja 20 Tahun). Kedua, Manfaat Pensiun
Dipercepat (syarat Usia 50 Tahun dan Masa Kerja 10 Tahun). Ketiga, Manfaat
Pensiun Cacat (karena dinas syaratnya adalah PNS, bukan karena dinas syaratnya
memiliki Masa Kerja 4 Tahun). Keempat, Manfaat Pensiun Ditunda (syarat masa kerja 10 tahun dan usia belum mencapai 50 Tahun).
Untuk
memperjelas apa saja kewajiban peserta program pensiun PNS, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden
Nomor 8 Tahun 1977 Tentang Gaji Pegawai Negeri Sipil jo Peraturan Pemerintah Nomor
25 Tahun 1981. Bahwa PNS wajib membayar iuran yang dipotong setiap bulan sebesar 4,75 persen
dari penghasilan. Ini merupakan salah satu sumber pendanaan program pensiun
PNS.
Sehubungan
dengan sifat pensiun sebagai jaminan hari tua, maka program pensiun memberikan perlindungan
penghasilan setelah seseorang menyelesaikan masa bhakti sebagai PNS, memberikan
perlindungan keuangan bagi tanggungan PNS (isteri/suami/anak) karena terjadinya
kehilangan atau jaminan penghasilan akibat PNS meninggal dunia atau sebab lain.
Tapi, apabila PNS yang bersangkutan
diberhentikan tanpa hak pensiun maka akumulasi iuran yang telah disetorkan tiap
bulan tidak dikembalikan kepada peserta (PNS). Hal ini berbeda dengan sifat
program Tabungan Hari Tua (THT). Untuk peserta program THT, dalam hal peserta
berhenti sebelum mencapai batas usia pensiun, akumulasi iuran ditambah dengan
bunga diberikan kepada peserta.
Mulai tahun 1971, pegawai militer dan PNS yang berada di
lingkungan Hankam, asuransi sosialnya dikelola oleh ASABRI. Perpindahan peserta ini sempat
menurunkan peserta program Taspen sebesar 5,7%. Perum Taspen pun fokus pada
usaha asuransi sosial bagi PNS saja. Selanjutnya, di tahun 1975 Perum Taspen
memulai Program Asuransi Tenaga Kerja (Astek). Usaha ini didukung oleh Pemerintah dengan diterbitkannya Peraturan
Presiden Nomor 33 tahun 1977, yang menetapkan tentang
Asuransi Tenaga Kerja, di mana pesertanya berhak atas jaminan kecelakaan kerja,
jaminan hari tua dan asuransi kematian.
Pada bulan Februari 1972, terjadi perubahan
besar dalam manajemen Perum
Taspen, yang menghadirkan komposisi baru sebagai berikut: Care-taker
Drs. Hanantowirjo W dan Direktur M. Zainal Alim. Lalu bulan Oktober 1972, kembali
tersusun komposisi manajemen Perum Taspen yang baru dan bertahan hingga November
1972, yaitu Care-taker Drs. Hanantowirjo W, Direktur Utama Drs.
Djokosantoso Sumardi dan Direktur M. Zainal Alim.
Menjelang
Desember 1972, tersusun komposisi manajemen Perum Taspen yang baru, yaitu Direktur Utama Drs. Djokosantoso Sumardi,
Direktur Drs. Hanantowirjo W dan Direktur M. Zainal Alim. Komposisi manajemen
di bawah kepemimpinan Drs. Djokosantoso Sumardi berakhir pada bulan Maret 1973.
Lebih jelasnya, komposisi jajaran manajemen Perum Taspen sejak 1973 sampai
dengan 1980 adalah sebagai berikut:
Periode Jabatan Nama
Maret 1973-Mar 1976 Direktur Utama Drs. Djokosantoso Sumardi
Direktur Drs.
Hanantowirjo W
Maret 1976 –Agt 1977 Direktur Utama Drs. Djokosantoso Sumardi
Agt 1977 – Peb 1979 Direktur Utama Drs. Djokosantoso Sumardi
Direktur Drs.
Hanantowirjo W
Peb 1979 – Mar 1980 Direktur Utama Drs. Djokosantoso Sumardi
Direktur Drs. Hanantowirjo W
Direktur Drs.
Anas Nawawi.
Merunut
perjalanan PT Taspen sejak 1963, kami mencoba menjabarkan klaim, premi dan hasil investasi serta total
investasi sejak tahun 1963 hingga tahun 1977 sebagai berikut:
Klaim, Premi, Hasil Investasi dan Total
Investasi, 1963-1977
(Dalam
Ribuan Rupiah)
Tahun
|
Klaim
|
Premi
|
Hasil Investasi
|
Total Investasi
|
1963
|
58.633
|
1.068.761
|
36.320
|
820.000
|
1964
|
28.081
|
261.972
|
208.097
|
1.693.745
|
1965
|
61.938
|
1.896.818
|
423.824
|
2.547.995
|
1966
|
134.447
|
5.310.838
|
3.394.613
|
3.953.500
|
1967
|
796.264
|
47.721.316
|
17.706.332
|
21.360.742
|
1968
|
15.106.547
|
405.538.956
|
102.385.875
|
370.050.843
|
1969
|
79.726.061
|
748.668.971
|
471.910.852
|
1.539.539.049
|
1970
|
366.191.956
|
876.262.468
|
642.201.309
|
2.537.207.616
|
1971
|
751.142.119
|
958.359.897
|
687.307.266
|
3.033.920.434
|
1972
|
655.510.821
|
1.117.588.903
|
662.366.681
|
3.472.007.934
|
1973
|
607.269.052
|
1.611.269.162
|
510.063.035
|
4.559.483.750
|
1974
|
697.990.901
|
2.423.455.753
|
718.633.548
|
6.317.046.599
|
1975
|
1.751.807.537
|
11.106.353.800
|
2.040.860.942
|
16.203.392.316
|
1976
|
2.291.371.739
|
12.406.933.941
|
4.605.465.153
|
29.250.346.530
|
1977
|
3.432.726.62
|
17.326.953.663
|
7.384.719.868
|
48.477.090.074
|
Sumber:
40 Tahun Taspen 1963-2003
Perum Taspen terus
berjalan. Bulan Maret 1980, posisi Direktur Utama
Perum Taspen dipercayakan kepada R.S. Rahardjo, dibantu 2 Direktur yakni Drs. Hanantowirjo W dan
Drs. Ida Bagus Putu Sarga. Komposisi ini
berjalan sampai Januari 1987. Jumlah peserta asuransi hari tua saat itu mencapai 1,9 juta orang, dengan kekayaan
Perum Taspen mencapai sekitar Rp100 miliar. Hingga akhir kepemimpinan R.S.
Rahardjo (1987), peserta asuransi hari tua sudah mencapai 3,42 juta orang.
Jumlah penerimaan premi sejak 1963 hingga 1986 mengalami
peningkatan signifikan. Tahun 1963 jumlah
penerimaan premi baru mencapai Rp1.068.761, tahun 1986 mencapai
Rp111.977.046.980. Rata-rata pertumbuhan penerimaan
premi sebesar 4.555,34% per tahun. Kekayaan
Perum Taspen pun menggelembung menjadi sekitar Rp600 miliar.
Perum
Taspen berkembang dari sekadar mengelola ”uang kecil” menjadi perusahaan
investasi. Investasi mulai Rp820.000 dan jumlah klaim kurang dari Rp60 ribu (1963), Taspen
berkembang menjadi usaha dengan perputaran investasi mencapai lebih dari Rp48
miliar (1977), lalu meningkat Rp714,92 miliar (1986), berkat ditopang manajemen
yang baik. Pembayaran klaim pun menggunakan kurang dari setengah hasil investasi.
Pertumbuhan
Perum Taspen semakin melejit, termasuk dalam kejelian untuk berinvestasi, sehingga hasil investasi lebih dari
“aman” untuk menutup klaim. Jumlah premi yang masuk pun semakin meningkat. Keadaan ini membuat Perum Taspen tumbuh
menjadi industri yang selalu memperoleh pemasukan jauh lebih besar daripada
pengeluaran. Sebagai Dirut Perum Taspen, R.S. Rahardjo tampaknya mengelola uang
Taspen dengan cara cukup konservatif, dengan menanamkan sebagian besar kekayaan
Perum Taspen ke dalam deposito di sejumlah bank pemerintah.
Merangkai
kinerja PT Taspen sejak 1978 hingga 1986, kami mencoba menjabarkan klaim, premi dan hasil investasi serta total
investasi dengan tabel sebagai berikut:
Kinerja
PT Taspen, 1978-1986
(Program
Taspen
dan Astek dipisahkan)
(dalam
ribuan rupiah)
Klaim Taspen
|
Klaim
Astek
|
Premi Taspen
|
Premi Astek
|
Hasil Investasi
|
Total Investasi
|
|
1978
|
3.378.037,53
|
0
|
21.974.351,59
|
297.331,85
|
10.409.509,76
|
75.129.678,62
|
1979
|
3.028.266,87
|
44.408,02
|
23.532.857,92
|
642.193,95
|
11.208.389,91
|
104.667.798,19
|
1980
|
4.718.793,58
|
79.349,53
|
32.436.196,36
|
1.372.505,41
|
14.360.877,58
|
144.030.807,34
|
1981
|
7.796.034,18
|
90.939,14
|
46.331.796,38
|
1.491.853,47
|
19.943.546,24
|
195.764.475,19
|
1982
|
12.472.190,39
|
143.914,44
|
54.425.875,03
|
2.521.567,91
|
27.385.486,79
|
264.539.624,90
|
1983
|
20.665.267,66
|
242.550,02
|
57.624.778,93
|
2.777.222,21
|
38.525.437,13
|
336.604.668,79
|
1984
|
23.684.326,65
|
364.939,85
|
65.599.596,16
|
3.040.819,57
|
58.895.256,35
|
424.625.645,11
|
1985
|
31.919.759,84
|
385.995,60
|
111.450.836,47
|
4.174.572,04
|
90.594.874,64
|
571.861.499,53
|
1986
|
43.333.170,94
|
501.559,54
|
107.847.437,63
|
4.129.609,35
|
103.845.888,64
|
714.916.312,91
|
Sumber: 40 Tahun Taspen 1963-2003
Seiring
dengan perkembangan perekonomian negara serta peran dan fungsi yang diemban Taspen
lalu dilengkapi kajian
yang mendalam, maka Pemerintah mengubah bentuk usaha Taspen dari Perum menjadi Perseroan Terbatas (PT). Keputusan ini dituangkan dalam Keputusan
Presiden (bukan Keputusan Menteri) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1981 tertanggal 30 Juli 1981, sebagai
pelaksanaan dari PP Nomor 25 tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri, di mana PT Taspen merupakan BUMN yang
ditugaskan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan Program Asuransi Sosial
Pegawai Negeri, yang terdiri dari Program THT dan Pensiun bagi PNS. Perubahan itu juga tertuang
dalam Anggaran Dasar PT Taspen (Persero) Nomor 3 tahun 1982 tanggal 4 Januari
1982 yang telah mengalami beberapa kali perubahan.
Sebagai
pengetahuan, perusahaan persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas
(PT) yang modal/sahamnya paling sedikit 51% dimiliki oleh Pemerintah. Berujuan untuk
mengejar keuntungan. Ciri-ciri persero, antara lain, statusnya
berupa perseroan terbatas yang diatur berdasarkan undang-undang; modalnya berbentuk saham, sebagian atau
seluruh modalnya merupakan milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan; organ persero adalah rapat umum pemegang saham (RUPS), direksi dan komisaris; dan Menteri yang ditunjuk memiliki kuasa sebagai pemegang saham
milik Pemerintah.
Apabila
seluruh saham perseroan dimiliki pemerintah, maka Menteri berlaku sebagai RUPS. Sedangkan jika pemerintah hanya menguasai
sebagian saham perseroan, maka RUPS bertindak sebagai kekuasaan
tertinggi perusahaan. PT dipimpin oleh direksi. Laporan tahunan diserahkan ke
RUPS untuk disahkan dan tidak mendapat fasilitas negara. Tujuan utama PT adalah memperoleh keuntungan. Hubungan-hubungan
usaha diatur dalam hukum perdata dan pegawainya berstatus pegawai negeri.
Perkembangan PT Taspen
berikutnya juga didukung oleh masuknya Peserta yang berasal dari karyawan BUMN
ex IBW/ICW (perusahaan yang dinasionalisasi), pada tahun 1984 jumlahnya
mencapai 4,1% dibandingkan dengan tahun 1963. Rata-rata pertumbuhan peserta
dari BUMN adalah 0,2% per tahun.
Sejak tahun 1978 PT Taspen
mengelola investasi senilai lebih dari Rp75 miliar. Kemudian meningkat 952%
pada tahun 1986, yakni mendekati angka Rp715 miliar. Sekadar perbandingan, di
tahun 1986 BUMN yang lebih besar dan lebih tua seperti PT PUSRI, masih
mempunyai revenue sekitar Rp17 miliar. Klaim yang dibayarkan PT Taspen pun
meningkat dari Rp3 miliar di tahun 1978 menjadi lebih dari Rp43 miliar pada
tahun 1986 (meningkat 1.433%).
Meski low profile,
sulit dipungkiri bahwa PT Taspen bergerak menjadi raksasa finansial yang
menjaga keamanan hari tua seluruh PNS, sekaligus menjadi sumber potensi
pendanaan ekonomi nasional yang kuat. PT Taspen juga menyadari, peserta yang
dikelolanya berjumlah besar dan akan terus bertambah. Kendati pada saat itu
populasi konsumennya baru tersebar di Jawa dan Sumatera, ke depan, diperkirakan
populasinya akan meluas dari Sabang hingga Merauke.
Oleh sebab itu, di
tahun 1984 PT Taspen memutuskan untuk mengembangkan piranti lunak dan keras
komputer untuk meningkatkan kemampuan pengolahan data. Dikembangkanlah
Batch System dan On Line
System untuk mendukung efisiensi dan efektivitas pelayanan. Dan di tahun
1986, terjadi peningkatan citra positif dalam kualitas sumber daya manusia, dengan komposisi
81,8% pegawai berpendidikan menengah serta 9,8% berpendidikan tinggi.
Pada
masa itu PT Taspen memasuki era kegemilangannya sebagai sebuah perusahaan milik negara yang
mengelola asuransi sosial PNS. Kemajuan perusahaan yang dipimpin oleh Djokosantoso dan dilanjutkan oleh R.S.
Rahardjo ini menyediakan basis yang sangat menguntungkan bagi manajemen
selanjutnya.
Memasuki
tahun 1985, berdasarkan surat Menteri Keuangan Nomor S-244/MK.011/1985 tanggal 21 Februari 1985
dan surat Direktur Jenderal Moneter Dalam Negeri, Depkeu, Nomor S-199/MK.11/1985 tanggal 10 April 1985 perihal penempatan dana
pensiun PNS telah dilakukan pengalihan administratif atas dana hasil akumulasi
iuran pensiun kepada PT Taspen sebesar Rp594,08 miliar yang sebagian besar
dalam bentuk deposito di beberapa Bank Pemerintah.
Bergerak ke tahun 1986, merujuk Keputusan Menteri Keuangan No.822/KMK.03/1986
tanggal 22 September 1986, PT Taspen ditunjuk sebagai penyelenggara pembayaran pensiun sebagai
respon positif atas kepercayaan Pemerintah. Artinya, Pemerintah secara bertahap mengalihkan tugas penyelenggaraan
pembayaran pensiun kepada PT Taspen. Secara historis, penyelenggaraan Program
Pensiun sebelumnya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan.
Taspen
di bawah pimpinan R.S. Rahardjo dan seluruh jajarannya dari pusat hingga daerah
bekerja ekstra keras untuk membuka kantor-kantor cabang baru yang dilakukan
secara bertahap dalam waktu 4 tahun. Tahap pertama, tahun 1987, PT Taspen
membuka kantor cabang di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk penyelenggaraan pembayaran pensiun. Dirancanglah
pilot project di tiga wilayah tersebut. Provinsi Bali mewakili wilayah
Pulau Jawa, NTB mewakili wilayah Sumatera dan NTT mewakili wilayah Indonesia
Timur.
Guna mempersiapkan pilot
project pembayaran pensiun, pada tahun 1985 Taspen menugaskan, antara lain,
Heru Sulistiono, Santoso Sp, Usmanli Dulhay (alm), Nasir Deiny dan Erwin
Muchtar untuk wilayah Bali. Selanjutnya, Darnel Siri, Alwizi Sulaeman, Baidawi
HS, Atep Hidayat dan Bakri Ratius untuk wilayah NTB. Sedangkan Sunarto, Ekroni
M. Nuh, Chairunas Yunus (alm) dan Nasrul Mairim untuk wilayah NTT. Sebelum
kelompok kerja tersebut diterjunkan langsung ke wilayah masing-masing, mereka
terlebih dulu magang selama beberapa bulan di KPKN Denpasar.
Petugas pilot project
diharapkan dapat melakukan berbagai persiapan, terutama yang berkaitan dengan
daftar pembayaran pensiun, data pegawai dan keluarga, daftar gaji serta data
mutasi dan lainnya yang diperlukan buat pembayaran pensiun. Selama satu tahun
mereka melaksanakan tugas dengan fasilitas yang amat terbatas. Meskipun
demikian, hasil kerja yang dilakukan sangat berarti bagi pelaksanaan pembayaran
pensiun yang kemudian dialihkan ke Taspen.
Tahap kedua, tahun
1989, dibuka sejumlah kantor cabang untuk wilayah Sumatera. Lalu tahap ketiga
difokuskan untuk membuka kantor-kantor cabang di seluruh wilayah Pulau Jawa dan
Madura. Sedangkan tahap keempat, di tahun 1990, pembangunan-pembangunan
kantor-kantor cabang PT Taspen sudah menjangkau wilayah Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Irian Jaya dan Timor Timur.
Memasuki Januari 1987, Dirut PT Taspen R.S Rahadjo
digantikan oleh Drs. Ida Bagus Putu Sarga, didampingi 4 (empat) orang direktur,
masing-masing Drs. Victor Ferdinand Siahaan, Drs. Firdaus Oemar, Drs. Justaf
Maulana Saba dan Drs. Asril Nadar. Mereka
dipercaya memimpin PT Taspen sejak Januari 1987 hingga November 1990. Manajemen baru ini segera
menggenjot performa PT Taspen. Masa kepemimpinan Drs. Ida Bagus Putu Sarga,
tahun 1987 sampai dengan tahun 1990, ditandai oleh perkembangan pesat PT Taspen sebagai
sebuah organisasi bisnis. Hal ini merupakan tindak lanjut dari PP Nomor 25 tahun 1981 tentang penyerahan
pengelolaan dana pensiun dari Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan, kepada PT Taspen.
Pilot
project pembayaran pensiun yang dibarengi kerja
keras seluruh insan PT Taspen akhirnya berhasil diwujudkan. Keberhasilan
penyelenggaraan pembayaran pensiun di wilayah pilot project tahun 1987
disusul kesuksesan di wilayah Sumatera pada tahun 1988 dan di Jawa tahun 1989
telah membuat pemerintah merasa yakin melanjutkan pembayaran pensiun kepada TASPEN
di wilayah Indonesia Timur pada tahun 1990 sebagai tahap akhir pengalihan
pembayaran pensiun. Mulai tahun 1991 TASPEN melakukan pembayaran pensiun secara
nasional (Media Taspen Nomor 81/1007).
Di masa kepemimpinan Ida Bagus Putu Sarga, PT Taspen menyadari
benar bahwa pemekaran organisasi tidak ada artinya tanpa dibarengi peningkatan
kualitas layanan. Maka, diperkenalkanlah motto layanan baru, yaitu 4T: Tepat
Orang, Tepat Waktu, Tepat Jumlah dan
Tepat Tempat (di kemudian hari motto pelayanan 4T disempurnakan menjadi 5T, karena Direktur Utama PT Taspen
Achmad Subianto [2000-2008]
menambahkan Tepat Administrasi). Motto pelayanan 5T
menjadi panduan kerja wajib bagi setiap insan PT Taspen, dan harus dilaksanakan
dengan sikap Sopan, Sabar, Manusiawi, Mudah dan Sederhana.
Di
era
kepemimpinan Ida Bagus Putu Sarga pula
terjadi perubahan akta, PT Taspen dengan Akta Notaris Imas Fatimah, S.H. Nomor 53
tanggal 17 Maret 1988 diperbaiki dengan Akta Nomor 10 tahun 1998 tanggal 2 Juli
1998 di hadapan Zulkifli Harahap, S.H., pengganti notaris Imas Fatimah, S.H. Perubahan
akta dimaksud
dalam rangka penyesuaian terhadap Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas yang menetapkan tambahan modal dasar yang disetor, semula
sebesar Rp10 miliar ditingkatkan menjadi sebesar Rp12,50 miliar untuk memenuhi
modal disetor 25% dari modal dasar sebesar Rp50 miliar.
Perubahan
terakhir ini memperoleh persetujuan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia
dengan Surat Keputusan Nomor C.2-14096-HT.01.04 TH 98 tanggal 17 September 1998
dan telah dimuat dalam Berita Negara RI Nomor 31 tahun 1999, Tambahan Berita
Negara RI Nomor 2207 tahun 1999, Tambahan Berita Negara RI Nomor 2207 tahun
1999 (Taspen di masa kepemimpinan Muljohardjoko).
Sebagai
catatan, tahun 1987 jumlah peserta PT Taspen mencapai lebih dari 3,57 juta
orang, atau meningkat 138,1% dibanding tahun 1963. Dalam periode tersebut
pertumbuhan peserta rata-rata 3,8% per tahun. Kenaikan ini terjadi karena semakin meningkatnya jumlah PNS yang menjadi peserta PT Taspen,
yaitu mencapai 3,424 juta peserta atau meningkat 150,5% dibanding tahun 1963. Keadaan
ini didukung oleh pertumbuhan jumlah PNS
rata-rata 3,9% per tahun. Pada tahun 1987 jumlah klaim Program PT Taspen mencapai 54.705
kejadian atau meningkat 141% dari tahun 1963.
Peningkatan
klaim ini
membuktikan bahwa PT Taspen dihadapkan kepada tantangan yang semakin tinggi
untuk melayani peserta. Karena dalam perkembangannya, bukan hanya kuantitas klaim yang meningkat, namun juga kualitas
pelayanan klaim yang semakin baik. Kesemuanya menuntut ditingkatkannya kualitas SDM.
Kembali
ke perjalanan PT Taspen. Jumlah peserta PT Taspen meningkat dari 3,5 juta pada
tahun 1987 menjadi 4,3 juta tahun 1993. Jumlah ini berkorelasi positif dengan
peningkatan pendapatan dari premi dan secara langsung mempengaruhi besaran
investasi yang dilakukan PT Taspen. Jika tahun 1987 total investasi mencapai
Rp2,5 triliun, maka tahun 1993 tercatat Rp7,5 triliun. Premi yang dibayarkan
meningkat dari Rp125 miliar menjadi Rp328 miliar. Sementara investasi meningkat
dari Rp300 miliar menjadi Rp876 miliar.
PT
Taspen di era kepemimpinan Ida Bagus Putu Sarga juga banyak mengukir prestasi. Misalnya, mulai April 1989,
cakupan wilayah pembayaran pensiun ditambah dengan semua provinsi yang ada di
Sumatera. Setelah itu, mulai 1 Januari 1990 cakupan tadi diperluas lagi ke
wilayah Pulau Jawa dan Madura. Sejak bulan April 1990, Taspen mulai
menyelenggarakan pembayaran pensiun PNS di seluruh Indonesia. Peserta Program
Pensiun ini, selain PNS Pusat dan daerah otonom, juga meliputi Pejabat Negara
dan Penerima Pensiun TNI-POLRI (yang pensiun sebelum 1 April 1989). PT Taspen
juga ditugaskan untuk melakukan pembayaran tunjangan kepada Veteran RI dan
Perintis Kemerdekaan RI/Komite Nasional Indonesia Pusat (PKRI/KNIP).
Semenjak
itulah Taspen mempercepat langkahnya, di antaranya dengan mendirikan beberapa kantor cabang di sejumlah daerah. Dengan begitu,
pelayanan pengurusan pensiun yang semula dilakukan secara terpusat di Jakarta, sejak pengalihan tugas
pembayaran pensiun dipegang Taspen, pengurusan hak pensiun dapat dilakukan di
semua kantor cabang Taspen di daerah.
Selain
mengaktifkan kantor
cabang, Taspen
sendiri terus pula mengembangkan kerjasama sinergis dengan lembaga perbankan
serta Kantor Pos dan Giro (PT Pos Indonesia) guna melayani pembayaran pensiun,
yang kini jumlahnya mencapai 4.000-an titik pelayanan. Sebelum adanya kantor cabang, penyelesaian klaim memakan waktu sampai 2 (dua) pekan. Namun, seiring dengan pembentukan
cabang-cabang Taspen di berbagai daerah, pengurusan klaim dapat diselesaikan dalam waktu 1
(satu) hari dan yang melalui surat selesai sekitar 1 (satu) pekan.
Bulan Desember 1990, Ida Bagus Putu Sarga kembali dipercaya Pemerintah untuk menjadi Direktur Utama PT Taspen
hingga Juni 1993. Kepemimpinan Ida Bagus Putu Sarga didampingi oleh 3 direktur,
yakni Drs. Gunarto Umaran Mansjur, S.H.; Drs. Ruchjat Kosasih; dan Drs. Didi Achdijat, M.Sc.
Memasuki
tahun 1992, lahirlah UU Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Peraturan Dana Pensiun. Sebuah undang-undang yang semakin memperkuat landasan
yuridis keberadaan PT Tasoen. Sebab itu, memasuki tahun 1993, PT Taspen semakin
agresif melakukan investasi di berbagai usaha, keluar dari investasi
konservatif yang sebelumnya sangat dipegang teguh seperti deposito dan
surat-surat berharga --khususnya Surat Berharga Bank Indonesia. Di bawah kepemimpinan Ida Bagus Putu Sarga, PT Taspen mengikuti gelombang go-public
perusahaan-perusahaan swasta domestik. PT Taspen menginjeksi dana kepada sejumlah perusahaan pada waktu pra-go-public,
antara lain
Pasaraya, Bank Kesejahteraan, Barito Pacific Timber, Marga Mandala Sakti,
Polysindo, Telkom dan Indosat.
Bulan Juli 1993, Dirut PT Taspen Ida Bagus Putu Sarga digantikan
Purwanto Abdulcadir, yang menjabat hingga Februari 1996. Purwanto Abdulcadir
didampingi oleh 4 direktur, yakni: Drs. Gunarto; Umaran Mansjur, S.H.; Drs. Ruchjat Kosasih; dan Drs. Didi Achdijat, M.Sc. Dalam
kurun waktu 3 tahun PT Taspen mampu meningkatkan investasi sebesar Rp1,7
triliun, dari Rp7,5 triliun menjadi Rp9,2 triliun. Sementara itu rasio kinerja
korporasi pun mampu menunjukkan prestasi yang membanggakan dengan tingkat
rentabilitas, likuiditas dan solvabilitas yang terjaga yang membuat PT Taspen
selalu memperoleh peringkat “Sangat Sehat” dalam evaluasi kinerja BUMN.
Sepanjang
1983 hingga 1995 perekonomian Indonesia mengalami peak, yang mampu mendorong meningkatnya kinerja PT Taspen.
Perlu dicatat pula bahwa dalam periode kepemimpinan Purwanto Abdulcadir, PT Taspen
melepaskan pengelolaan program ASTEK (sejalan dengan Peraturan Pemerintah No.36 tahun 1995 tentang
pengalihan program ASTEK) kepada PT JAMSOSTEK yang khusus dibentuk untuk mengelola
asuransi tenaga kerja Indonesia.
Sebagai
gambaran kinerja PT Taspen 1993-1995 sebagai berikut:
Klaim, Premi, Investasi dan Hasil Investasi,
1993-1995
(Dalam
Jutaan)
Tahun
|
Klaim
|
Premi
|
Investasi
|
Hasil Investasi
|
1993
|
295,8
|
328,3
|
37.539,7
|
876,2
|
1994
|
334,3
|
342,3
|
38.508,10
|
8951
|
1995
|
394,7
|
353,7
|
9.210,70
|
1.108,40
|
Sumber: 40 Tahun Taspen 1963-2003
Dari
gambaran tersebut tampak bahwa kinerja korporasi PT Taspen meningkat pesat
seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang bergerak sekitar 7-8% per
tahun pada periode tersebut. Dari sisi
Rentabilitas PT Taspen mencapai 3,3 (1992), 1,6 (1993), 2,1 (1994), 1,9 (1995)
dan 2,5 (1996). Lalu, Solvabilitas mencapai 1,57 (1992), 115,4 (1993), 112,8
(1994), 113,9 (1995) dan 116,2 (1996). Terakhir Likuiditas 217,3 (1992), 226,2
(1993), 1.998,0(1994), 280,6 (1995) dan 269,3 (1996).
Kalender menunjuk bulan Februari 1996. Pemerintah memberi amanah kepada
Muljohardjoko sebagai Direktur Utama PT Taspen. Dia didampingi Direktur
Operasi Drs. Didi Achdijat, M.Sc, Direktur Keuangan M. Hasyim Thojib dan
Direktur SDM Mohammad Thaher. Muljohardjoko mengawali kariernya di Departemen
Keuangan di bidang pinjaman luar negeri. Alumnus Fakultas Ekonomi UI ini pernah
juga berdinas di PT Telkom, terakhir ia menjabat sebagai direktur keuangan. Sempat
pula menjadi Dirut Bank Mandiri selama 35 hari ketika awal-awal menjadi Dirut Taspen.
Kepemimpinan Muljohardjoko berjalan sejak Februari 1996 sampai tahun 1999.
Ketika PT Taspen dinakhodai Muljohardjoko, sejak 1997 pelayanan Taspen
mengalami perkembangan yang lebih baik lagi, yakni hanya memakan waktu paling
lama 1 (satu) jam (one hour service). Untuk mencapai target one hour
service itu, Taspen memang berupaya terus memperbaiki kualitas dan
kuantitas SDM-nya sejalan dengan pertumbuhan kantor cabang dan titik pelayanan
serta jumlah peserta dan penerima pensiun.
Selain itu, derap langkah Taspen dalam
memberikan pelayanan juga tak lepas dari dukungan sistem dan prosedur yang
terus diperbaiki sebagai hal yang sangat menentukan bagi kesehatan pengendalian
internal dan tata kerja operasional, serta dukungan infrastruktur kerja yang
berbasis teknologi modern. Walhasil, dalam waktu relatif singkat, setidaknya
sepanjang dekade 1990-an, Taspen sudah banyak mencatat kemajuan berarti dalam
kinerja dan performa. Khususnya dalam hal pelayanan, Taspen pun
berhasil memperoleh sejumlah pengakuan dan penghargaan.
Pesatnya
peningkatan kinerja tersebut diiringi pula dengan peningkatan kualitas layanan sebagai salah satu pilar
utama keberadaan PT Taspen. Sejak tahun 1996 Kantor Cabang PT Taspen di Bogor mulai
mengadopsi sistem manajemen mutu ISO 9002 dan berhasil mendapatkan akreditasi
dari SGS International pada tahun 1998. Kantor-kantor cabang yang lain di
seluruh Indonesia segera mengikuti langkah ini, dengan mengadopsi sistem yang
sama, sehingga semua kantor cabang PT Taspen dapat memberikan standar pelayanan
mutu yang seragam kepada semua pesertanya. Misalnya, pada
tanggal 5 Mei 1998, Kantor PT Taspen Cabang Bogor sukses meraih standar mutu
ISO 9002 (kemudian dikonversi menjadi ISO 9001:2000), yang sejak saat itu
dijadikan sebagai acuan pelayanan bagi semua Kantor Cabang Taspen di seluruh
Indonesia. Pendek kata, dalam membuka milenium baru
tahun 2000, segenap awak PT Taspen boleh tersenyum bangga. Pasalnya, BUMN
pengelola THT dan Pensiun itu sudah mampu menorehkan prestasi yang relatif
bagus.
Dalam
hal aset perusahaan misalnya, jika sewaktu berdiri tahun 1963 didukung dengan aset
sebesar Rp2,3 juta, maka menginjak tahun 2000 sudah mencapai Rp6,1 trilyun. Jumlah
peserta sekitar 4 juta orang. Taspun pun membukukan pendapatan Rp1,3 triliun
(tahun 2000) dan mampu mencetak laba bersih sekitar Rp93 miliar.
Memasuki
pertengahan tahun 1997, Indonesia krisis. Krisis mata uang yang dimulai dari
Thailand tahun 1997 ternyata menular dengan cepat ke Indonesia. Tahun 1998
Indonesia menjadi salah satu negara termiskin di dunia dengan penurunan
pendapatan per kapita dari US$ 1000 menjadi US$ 350. Muljohardjoko kebetulan
menjadi Captain Pilot PT Taspen
pada saat Indonesia memasuki era krisis, yang dimulai dari krisis nilai
tukar, krisis moneter, krisis ekonomi,krisis sosial, krisis politik dan
akhirnya krisis total.
Bagi
PT Taspen, krisis total ibarat musibah membawa berkah. Demikian gambaran yang
paling mudah untuk menjelaskan keadaan PT Taspen pada masa-masa awal Indonesia
memasuki krisis. Suku bunga yang melambung tinggi memang sempat melumpuhkan
kegiatan bisnis di sektor riil, namun tidak demikian dengan yang terjadi pada
PT Taspen. Mengingat sebagian besar investasi PT Taspen dalam bentuk deposito
berjangka dan Surat Berharga Bank Indonesia, PT Taspen ikut “menikmati” rejeki
ini.
Tampak
nyata bahwa pada masa-masa awal krisis, antara tahun 1997-1999, laba bersih PT Taspen
mengalami lonjakan luar biasa, dari Rp50,19 miliar pada tahun 1997 menjadi
Rp102,69 miliar pada tahun 1998, dan meningkat lagi menjadi Rp250,32 miliar
pada tahun 1999. Suka tidak suka, krisis multidimensi di Indonesia turut
membesarkan PT Taspen.
Meskipun
Moeljohardjoko menjabat sebagai Direktur Utama dalam waktu yang relatif singkat
(1996-1999), tercatat sebuah prestasi gemilang berkat naluri bisnisnya yang
tajam. Tepat sebelum gelombang kedua likuidasi bank-bank swasta (gelombang pertama terjadi sesaat sebelum
krisis ekonomi), di mana pemerintah melikuidasi beberapa bank swasta,
Moeljohardjoko dengan sigap menarik semua dana PT Taspen yang tersebar di
sejumlah bank swasta. Langkah penyelamatan ini seperti berpacu dengan waktu.
Berhasil. Namun masih ada dana yang “nyangkut” di Bank Andromeda. Akhirnya,
dengan proses negosiasi yang cukup panjang, dana di Bank Andromeda tersebut
berhasil dimasukkan kembali ke PT Taspen.
Prestasi
lain Moeljohardjoko yang dirasakan langsung oleh segenap karyawan PT Taspen adalah soal peningkatan kesejahteraan karyawan. Dia
memperbaiki sistem remunerasi dalam rangka meningkatkan gairah kerja karyawan.
Dengan metode stick and carrot, Moeljohardjoko memacu kinerja karyawan
menuju kinerja terbaik korporasi.
Di
bawah kepemimpinan Moeljohardjoko, PT Taspen rupanya mempunyai tim manajemen
yang solid. Bahkan, pada akhir Desember 1999 Moeljohardjoko mengungkapkan sejumlah rencana PT Taspen untuk ikut masuk dalam kancah pemulihan
ekonomi nasional, antara lain berencana masuk ke Bank Mega, ikut mengambil-alih BCA dan Astra. Dalam perkembangannya,
gagasan ini tidak berhasil direalisasikan, karena kasus BCA dan Astra teramat
“politis” untuk dapat diselesaikan dengan cara bisnis murni.
Pada
tahun 1999 PT Taspen mengelola dana sebanyak Rp15,03 triliun. Direncanakan, PT Taspen
akan meningkatkan investasinya di pasar modal dari 1% menjadi 12% atau sekitar
Rp1,8 triliun, sampai akhir tahun 2000. Sementara, pada tahun 1999 penempatan di saham mencapai Rp8,91 miliar dari
program THT dan Rp131,79 miliar dari Dana Program Pensiun.
Melengkapi dokumen perjalanan PT Taspen, ada baiknya kita baca petikan wawancara
Muljohardjoko,16 Maret 1999, dengan Tempo Online mengenai PT Taspen berjudul "Untuk Bayar Pak Ogah
pun Kurang". Muljohardjoko ketika itu mengaku ingin mengurangi baik saham maupun
jumlah perusahaan tempat PT Taspen berinvestasi. Tapi,
kondisi ekonomi tidak memungkinkan, sehingga dibiarkan saja walau tidak
menghasilkan deviden.
Memasuki
bulan Mei tahun 2000, Direktur Utama PT Taspen Muljohardjoko mengundurkan diri.
Menteri Keuangan (waktu itu) Bambang Subianto pun lantas menunjuk Achmad
Subianto yang saat itu sebagai komisaris PT Taspen memangku jabatan sebagai
Dirut Taspen hingga tahun 2002. Achmad Subianto didampingi Drs. Didi Achdijat, M.Sc. sebagai Direktur Operasi; M. Hasyim Thojib sebagai Direktur
Keuangan; dan Mohammad
Thaher sebagai Direktur SDM.
Sebagai
direktur utama, Achmad Subianto langsung menyingsingkan lengan baju memetakan
segala macam persoalan yang melilit PT Taspen. Tersadar akan permasalahan PT Taspen
yang diibaratkan sudah menggunung. Bukankah selama rentang waktu 1963-2000 Taspen
berjalan dengan kinerja dan performa yang sudah relatif baik dan mampu meraup
untung sepanjang tahun?
Sekadar
catatan, hingga tahun 2000 PT Taspen dalam kondisi “sehat”. PT Taspen juga
mampu membukukan pendapatan Rp1,3 triliun dengan laba bersih sekitar Rp93
miliar. Memang benar bahwa waktu itu kondisi PT Taspen sudah relatif baik. Dan
justru karena itu pulalah Achmad Subianto ingin memberikan apresiasi yang
tinggi kepada pimpinan dan orang-orang Taspen terdahulu.
Intinya, di mata Subianto, kinerja dan performa PT Taspen yang
sudah berjalan bagus itu harus didorong supaya menjadi lebih bagus lagi. Peran
dan fungsi Taspen bagi peningkatan kesejahteraan (THT dan pensiun) pegawai
negeri (peserta) harus diupayakan menjadi lebih optimal lagi. Sebagai BUMN yang
berurusan dengan nasib jutaan pegawai negeri sipil, eksistensi Taspen harus terus
diperbaiki. Terlebih lagi, pegawai negeri adalah pilar penting dalam perputaran
roda birokrasi negara.
Yang
pasti, ketika itu Achmad Subianto beserta jajaran karyawan madya, manager serta
direksi dan komisaris melakukan reposisi korporat, termasuk memperjelas visi
dan misi Taspen menjadi lebih fokus pada kompetensinya. Pencanangan reposisi Taspen
itu, terutama menyangkut 5 hal penting, yaitu 1. Kembali kepada jati diri Taspen;
2. Menyelamatkan Taspen; 3. Menata kembali Taspen; 4. Mendorong langkah Taspen
menjadi berkelas dunia; dan 5. Mendorong Taspen agar bisa memberikan kontribusi
bagi Indonesia untuk keluar dari krisis dan menempatkan Taspen sebagai “oase”
bagi Indonesia yang adil, jujur, bersih, sehat dan benar serta sejahtera.
Terkait dengan beberapa pemikiran tersebut, visi dan misi Taspen pun
dievaluasi kembali. Visi lama Taspen menyebutkan: “Menjadi Perusahaan
Asuransi dengan layanan dan produk yang prima”. Kemudian dipertajam dengan
bahasa yang lebih implementatif, yaitu: “Menjadikan Taspen sebagai pengelola
Dana Pensiun dan THT yang bersih, sehat dan benar, dengan pelayanan yang tepat
orang, tepat waktu, tepat jumlah, tepat tempat dan tepat administrasi”.
Misi Taspen diperbaharui pula dengan bahasa yang lebih simpel serta fokus
pada sasaran, yaitu: “Mewujudkan hari-hari yang indah bagi Peserta melalui
pengelolaan Dana Pensiun dan THT secara profesional dan akuntabel dengan
berlandaskan etika serta integritas yang tinggi”. Meskipun visi dan misi
berubah, namun Subianto dan segenap orang Taspen tetap mempertahankan logo PT Taspen
yang dianggap memiliki jiwa dan sejarah yang tinggi. Selain itu, logo PT Taspen
yang berwarna biru muda dalam lintasan lingkaran juga menunjukkan sebuah
kematangan, langkah yang dinamis dan performa yang lebih profesional. Tema dan
makna logo itu jelas semakin sinergis dengan pencanangan visi dan misi baru Taspen
tadi.
Memasuki tahun 2002, Achmad Subianto dipercaya kembali sebagai Direktur
Utama PT Taspen hingga Januari 2008. Achmad Subianto didampingi oleh Mochammad
Bar’i sebagai Direktur Operasi, Heru Maliksjah sebagai Direktur Keuangan dan
Djoko Daljono sebagai Direktur SDM. ***
Boks:
Hanya
Dipahami sebagai Perusahaan Asuransi,
Bukan
sebagai Pilar Sistem Jaminan Sosial Nasional
Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto Tentrem Kerto Raharjo.
Itulah potret negeri subur Indonesia. Kaya akan sumberdaya alam, namun hingga sampai kini banyak rakyatnya yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sejak kemerdekaan, pelaksanaan pembangunan
dibiayai oleh sumber pajak, fiskal dan pinjaman luar negeri yang angkanya hingga kini
cukup fantastis. Yang jelas, sumber pembiayaan dari dalam negeri sendiri yang
mengandalkan penerimaan pajak dan fiskal, nampaknya, tak mampu lagi menopang pembangunan
berkelanjutan untuk mensejahterakan rakyat, baik dari sisi pangan, sandang,
papan maupun pendidikan. Ironis memang. Tapi itulah potret pembangunan
Indonesia yang hanya ditopang dua pilar, yakni pajak dan fiskal.
Indonesia
sebagai negara berkembang yang diprediksi banyak kalangan akan menjelma menjadi
“macan Asia” dari sisi ekonomi, nampaknya harus melihat dulu kaki-kaki penopang
sumber dana pembangunannya. Sejak krisis moneter 1997 yang melanda Asia hingga berimbas kepada Indonesia, terlihat Indonesia belum juga pulih
perekonomiannya. Krisis moneter yang akhirnya meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian hingga sekarang belum menunjukkan
tanda-tanda pemulihan ekonomi di sektor riil. Pengangguran dan kemiskinan masih
menjadi catatan dan pekerjaan rumah pemerintah untuk segera ditangani secara baik.
Mengambil
hikmah dari krisis moneter di tahun 1997, ekonomi Indonesia secara makro masih
belum memperlihatkan
progres yang menggembirakan. Penerimaan sektor pajak akhir-akhir ini semakin digenjot
dengan berbagai kebijakan pajak, misalnya Sunset
Policy. Demikian juga fiskal terus diupayakan penerimaannya sebagai sumber
dana pembangunan. Sementara cadangan keuangan nasional kita sangat rapuh.
Cadangan keuangan kita memang masih melimpah di sumber daya alam. Namun, untuk
mengeksplorasinya membutuhkan pembiayaan yang cukup besar.
Sebagai
negara berkembang yang terus membangun berbagai infrastruktur dan prasarana di berbagai
wilayah nusantara, mengandalkan sumber pembiayaan dari pajak dan fiskal adalah sesuatu
hal yang akan menuai berbagai ragam kekecewaan. Banyak infrastruktur dan
prasarana vital bagi rakyat yang lamban terwujud karena alasan keterbatasan
keuangan negara. Negara tidak mempunyai cadangan keuangan yang cukup kuat untuk
mewujudkan cita-cita luhur pendiri Republik ini, mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Bercermin
dari negeri jiran Malaysia yang cepat pulih dari krisis moneter tanpa bantuan
Dana Moneter Internasional (IMF) dan lembaga keuangan, rupanya selama ini Malaysia memiliki dan
menyimpan Cadangan Keuangan Dalam Negeri yang sangat besar. Dana itu berasal
dari net ekspor plus dan APBN-nya yang positif, juga dari Dana Sosial Security
System, Dana Program Pensiun, Dana Tabungan Haji dan Lembaga Zakat yang
dikelola dengan baik.
Jika
kita telah mengetahui kelemahan bangsa ini, maka seyogianya prinsip
penyelamatan ekonomi yang harus diterapkan adalah gotong-royong, kebersamaan atau dalam bahasa agamanya
menggunakan konsep jamaah. Konsep ini ternyata tidak dipakai oleh para pemegang kebijakan nasional.
Akibatnya, ekonomi kita lemah dan sangat bergantung kepada Bantuan dan Pinjaman
Luar Negeri.
Dengan prinsip gotong-royong atau prinsip jamaah yang dimiliki
Indonesia sebagai jati diri bangsa, sudah selayaknya semua kebijakan harus
didasarkan kepada landasan prinsip-prinsip jamaah. Sangat disayangkan, prinsip
itu tidak tampak dalam kebijakan pemerintah. Kebijakan dan deregulasi yang
bergulir selama ini cenderung memecah-mecah potensi kekuatan ekonomi nasional
dan menghilangkan pemupukan cadangan keuangan nasional. Padahal, jika berbagai
kebijakan yang bergulir semakin memperkuat cadangan keuangan nasional, maka
akan terbentuk satu pilar penopang sumber pembiayaan pembangunan, yakni Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN).
Di
berbagai negara, sumber pembiayaan pembangunan ditopang oleh 3 pilar, yakni
pajak, fiskal dan Jaminan Sosial. Negara-negara yang mengalami kemajuan pesat
di berbagai bidang karena ditunjang oleh Dana Cadangan Keuangan Nasional yang
kuat yang berasal dari sistem jaminan sosial yang telah tertata dengan baik. Bagaimana dengan negara
Indonesia? Yang pasti, hingga saat ini 2 (dua) pilar pajak dan fiskal masih
menjadi primadona sumber penerimaan negara. Sedangkan pilar ketiga, yakni
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), belum menjadi pilar sumber penerimaan negara.
Sejatinya, untuk
memperkuat Cadangan Keuangan Nasional sebagai sumber dana SJSN, salah satunya,
kita bisa mengandalkan dari Program Dana Pensiun yang jumlahnya cukup
signifikan. PT Taspen yang berdiri tahun 1963 hingga
saat ini eksistensinya baru dipahami dan dihayati sebagai Badan Usaha Milik
Negara di bidang asuransi.
PT Taspen hanya sebagai pengelola Dana
Program Pensiun dan Tunjangan Hari Tua PNS dan pensiunannya. Jadi bisa kita
katakan, salah satu faktor utama dan mendasar terpuruknya jati diri Taspen pada
masa lalu (antara lain) lantaran eksistensinya baru dipahami dan dihayati hanya sebagai BUMN
asuransi.
PT
Taspen pun hingga kini belum menampakkan sebagai “rumah kesejahteraan” Pegawai Negeri Sipil. Perolehan Dana
Pensiun dan Tunjangan Hari Tua nampaknya masih berkejar-kejaran dengan pasar.
Harga-harga pasar seakan melaju terus naik. Sementara perolehan dana pensiun dan Tunjangan Hari Tua
angka nominalnya tetap. Kalaupun naik, kecepatan laju kenaikan harga-harga
pasar jauh lebih cepat. Praktis, para pensiunan PNS harus berjibaku mencari
sumber pendapatan lain untuk menutupi kebutuhan hidupnya di hari-hari tua.
Singkat kata, Taspen belum ditata menjadi “rumah kesejahteraan”. Keberadaan
PT Taspen juga belum menjadi pilar penyangga perekonomian bangsa-negara. Keberadaan PT Taspen sebagai
penghimpun dan pengelola Dana Pensiun dan THT juga belum dianggap sebagai salah
satu bagian integral dari SJSN. PT Taspen seakan dibiarkan hidup apa
adanya tanpa ada kepedulian dari berbagai pihak untuk memperjuangkan jati diri
dan eksistensinya. Bisa dibayangkan, para PNS dan pensiunan sebagai peserta PT Taspen
yang ingin memetik manfaat dan kemaslahatan jauh dari harapan yang
diidam-idamkan. Jauh pula dari harapan masyarakat, bangsa dan negara.
SJSN
yang sumber dananya berasal dari cadangan keuangan nasional bisa diperkuat dengan sumber
tabungan dan dana pensiun yang dikelola PT Taspen. Artinya, PT Taspen sejatinya dapat menjadi salah satu pilar penopang SJSN. Ketika
PT Taspen menjadi salah satu pilar SJSN, maka manfaat dan kemashalatannya bagi
peserta, masyarakat maupun bagi bangsa dan negara dapat terimplementasi secara baik.
No comments:
Post a Comment