Wednesday, January 2, 2013

SEJARAH, JATI DIRI DAN PROBLEMATIKA







Sekali fakta sejarah itu ditemukan, fakta itu tidak akan dapat diubah, meskipun fakta sejarah itu mungkin pedas untuk dirasakan.
Slamet Muljana, Sejarawan Indonesia


Mencermati perjalanan panjang PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (biasa disebut PT Taspen) sejak 1963 hingga tahun 2000, banyak pelajaran berharga yang seyogianya bisa kita petik dari lembaga/institusi penyelenggara program kesejahteraan pegawai lainnya di Tanah Air. Sejarah perjalanan panjang PT Taspen bisa dirunut sejak masa sebelum kolonialisme Belanda. Kala itu, di Nusantara ini telah dikenal adanya administrasi publik tradisional di mana beberapa kerajaan dan kesultanan sudah memberikan “pensiun” (berupa tanah bengkok) kepada abdi dalem yang telah menyelesaikan masa kerjanya. Misalnya, di Jawa Tengah dikenal berbagai tanah perdikan, yang merupakan tanah-tanah hadiah bagi mereka yang sudah memasuki masa “pensiun”. Begitu seterusnya hingga di masa penjajahan Belanda. Pada tahun 1887 Pemerintah Kolonial Belanda menerbitkan peraturan pertama tentang pemberian pensiun bagi semua pegawai gubernemen yang berkebangsaan Indonesia.

Peraturan mengenai pemberian dana pensiun (onderstand) terus diperbaiki seiring dengan kondisi pada masa-masa itu, misalkan dengan adanya Statsblad Nomor 550 Tahun 1926 tentang Indische Burgerlijk Penionenreglement (IBP). Memasuki masa pendudukan Jepang, pegawai negeri yang diberhentikan atau pensiun juga diberi Onyokin atau “Uang Karunia”. Begitu pula semasa pasca kemerdekaan, pemerintah telah memberikan perhatian bagi kesejahteraan (pensiun) pegawai negeri.

Bermula dari Konferensi Kesejahteraan Pegawai Negeri, yang berlangsung di Jakarta, pada 25-26 Juli 1960. Hadir dalam konferensi itu seluruh kepala urusan kepegawaian dari semua Departemen yang ada di Indonesia. Dalam konferensi tersebut, para peserta konferensi menyadari bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai Unsur Aparatur Negara dan Abdi Masyarakat dipandang penting dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, guna tercapainya tujuan pembangunan nasional. Karena itu, ketenangan dalam bekerja merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, peserta konferensi membahas konsep perlunya dibentuk suatu badan yang dapat memberikan jaminan sosial bagi PNS beserta keluarganya. Hasil konferensi tersebut kemudian dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Pertama RI Nomor 380/MP/1960 tanggal 25 Agustus 1960. Isinya, antara lain, menetapkan perlunya pembentukan Jaminan Sosial sebagai bekal bagi pegawai negeri dan keluarganya di saat mengakhiri pengabdiannya kepada negara.

Selanjutnya, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1963 tentang Pembelanjaan Pegawai Negeri, Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1963 tentang Tabungan Asuransi dan Pegawai Negeri serta berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1963 tentang Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri. Tindak lanjut atas peraturan-peraturan tersebut, pada tanggal 17 April 1963 didirikanlah Perusahaan Negara Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (PN Taspen). Dan tanggal 17 April kini dikenal sebagai “Hari Ulang Tahun” PN (sekarang PT) Taspen. Jadi, pembentukan PN Taspen sejatinya memang dilandasi dengan jiwa, makna dan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri, khususnya pada saat mencapai masa purna karya (pensiun).

Yang perlu dicermati dan dimaknai secara lebih arif, adalah, isi Keputusan Menteri Pertama RI Nomor 380/MP/1960 tanggal 25 Agustus 1960. Salah satu di antara isi keputusan itu adalah perlunya dibentuk Jaminan Sosial sebagai bekal bagi pegawai negeri dan keluarganya di saat mengakhiri masa pengabdiannya kepada negara. Artinya, ada upaya sungguh-sungguh dari Pemerintah Orde Lama membangun sebuah pilar penyangga kemandirian perekonomian bangsa melalui pilar jaminan sosial. Kelahiran PN Taspen kala itu bisa dijadikan prime mover atau salah satu pilar dari Jaminan Sosial dengan kumulatif dana peserta dan dana tunjangan hari tua yang jumlah penerimaannya tiap tahun diprediksi akan meningkat seiring bertambahnya jumlah pegawai negeri sipil di Tanah Air.

Melalui PN Taspen, dana yang terhimpun bisa digunakan untuk memperkuat cadangan keuangan nasional, yang pada akhirnya mengukuhkan eksistensi PN Taspen menjadi salah satu pilar Jaminan Sosial, selain pajak dan fiskal. Bisa dimaklumi, kala itu pemerintahan Soekarno sangat anti pinjaman luar negeri. Makna tersiratnya, Presiden Soekarno ingin menerjemahkan konsep ekonomi gotong royong dan prinsip berdiri di atas kaki sendiri dengan membangun pilar Jaminan Sosial sebagai salah satu satu pilar perekonomian negara. Presiden Soekarno paham, sebagaimana di negara-negara maju, jaminan sosial menjadi pilar yang dapat diandalkan buat memperkukuh cadangan keuangan negara. Tak salah jika kita berkesimpulan, hakikat pendirian PN Taspen dalam jangka panjang diharapkan mampu menjelma sebagai Jaminan Sosial Nasional.

Bulan Juli 1964, Menteri Koordinator Keuangan Republik Indonesia Soemarno, SH, didampingi Gubernur Jawa Barat Mashudi dan Direktur PN Taspen M. Slamet, serta Kepala Urusan Umum A. Hamidy, meresmikan beroperasinya kantor PN Taspen di Bandung. Pada saat itu Kantor PN Taspen menumpang di Kantor Pusat Pembayaran Pensiun atau Pensienfonds di Jalan Diponegoro, dengan fasilitas sangat sederhana, yaitu berupa dua ruangan berukuran 4x6 meter di lantai 1 Gedung Dwiwarna.

Penetapan Kantor PN Taspen di Bandung boleh jadi karena di situ ada Pensienfonds yang diharapkan akan mempermudah pekerjaan PN Taspen, terutama pada saat-saat awal beroperasi. Meski Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1963 baru diterbitkan pada bulan April 1963, namun program yang dikelola PN Taspen berlaku surut sejak 1 Juli 1961 atau dua tahun ke belakang. Jadi, pada waktu berdiri, PN Taspen sudah harus menghadapi tunggakan pekerjaan selama dua tahun. Tak berapa lama kemudian PN Taspen memperoleh kantor sendiri di Jalan Merdeka Nomor 64 Bandung (sekarang Jalan Sultan Syahrir). Sementara sejumlah unit kerja, seperti unit Aktuaria dan Unit Verifikasi, masih menumpang di tempat lain.

Karena kelangkaan sumber daya manajemen profesional, PN Taspen hanya dipimpin oleh seorang direktur, yaitur M. Slamet. Penunjukan direktur tunggal ini diatur oleh Surat Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan (UP3) RI Nomor UP1-19-34 tertanggal 23 Mei 1963. M. Slamet dibantu oleh Sapardan Judasubrata dan R. Soedjojo sebagai “ahli” asuransi dan keuangan. Tim ini bekerja dengan didukung oleh 11 orang pegawai pelaksana-termasuk juru ketik dan pesuruh yang kesemuanya berasal dari Departemen Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan RI.

Praktis, pekerjaan utama M. Slamet adalah melakukan pengalihan manajemen asuransi nasional pegawai negeri dari pengelolaan birokrasi ke pengelolaan korporasi. Tentu saja, karena keterbatasan kemampuan sumber daya manusia, pengetahuan, dan komunikasi, proses ini menjadi tidak mudah. Tahun 1963 PN Taspen mengurusi sekitar 1,5 juta pegawai negeri, yang terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS) sekitar 1.070.000 orang, pegawai negeri daerah otonom (PNDO) sebanyak 288.300 orang dan pegawai BUMN dan ABRI sejumlah 140.900 orang.

Pengelolaan menjadi rumit lantaran yang dikelola bukan saja PNS, termasuk pula pegawai negeri militer. Untuk mempermudah, dibentuklah cabang khusus yang bertugas mengelola asuransi pensiun anggota militer pada tahun 1964. Gagasan ini sebenarnya berawal dari pihak Angkatan Perang RI (Angkatan Darat) yang waktu itu belum menyatu antar-angkatan dan persetujuan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan dan BPU (Badan Pimpinan Umum) PN Taspen. Akhirnya,  pada tanggal 1 Januari 1964 secara resmi dibentuk Cabang Khusus Urusan Militer dengan singkatan nama Taspenmil, bermarkas di Kantor Staf Keuangan Angkatan Darat di Jl. Medan Merdeka Selatan No. 7, Jakarta. Taspenmil, yang kemudian menjadi cikal bakal PT ASABRI, dipimpin oleh R. Sugiarto.

Pada 1 Januari 1964, PN Taspen membuka Kantor Perwakilan di Jakarta yang dipimpin oleh Kastomo. Kantor Perwakilan Jakarta ini mengemban dua tugas pokok, yaitu: pertama, sebagai penghubung antara direksi PN Taspen dan BPU Taspen. Kondisinya memang berat, Direksi berkantor di Bandung, sementara BPU berkantor di Jakarta. Kedua, untuk mengecek premi yang masuk ke Kantor Besar BKTN (Bank Koperasi Tani dan Nelayan, sekarang Bank Rakyat Indonesia/BRI) untuk kemudian melaporkannya ke Kantor Pusat di Bandung. Dengan minimnya fasilitas telekomunikasi, khususnya transfer antar-bank, langkah ini dipandang strategis pada waktu itu.

Selama berkantor di Bandung, PN Taspen seakan menjadi “sapi perahan” para oknum KPN yang mengambil keuntungan dari sistem yang berlaku pada saat itu. Ketika itu berlaku sistem bahwa premi akan diterima Taspen sepanjang tembusan surat keputusan pensiun seluruh pegawai negeri sipil telah sampai ke tangan KPN di Bandung. “Tanpa tembusan Surat Keputusan Pensiun, premi tidak bisa dibayarkan,” ujar A. Hamidy dalam satu pertemuan sesepuh dan pegawai Taspen di Yogyakarta pertengahan 2009.

Bisa dibayangkan, betapa lamanya waktu yang dibutuhkan PN Taspen jika harus menunggu lembar demi lembar tembusan surat keputusan (SK) pensiun semua pensiunan yang tersebar dari Sabang hingga Merauke itu terkumpul di KUP Bandung. Belum lagi kalau mengingat saat itu sarana transportasi dan teknologi belum semaju dan secanggih sekarang. Sungguh, suatu perjuangan yang benar-benar membutuhkan kesabaran dan ketekunan yang dilandasi etos kerja keras insan-insan PN Taspen waktu itu.

Tak mengherankan, bila premi baru dapat diterima PN Taspen setelah berbulan-bulan menunggu. Bahkan, selama setahun PN Taspen berkantor di Kota Kembang itu, tak sepeser pun premi yang masuk ke kantong perusahaan. Padahal, premi merupakan sumber pendapatan bagi perusahaan asuransi, terlebih bagi Taspen yang saat itu mengelola program kesejahteraan sekitar 1,5 juta PNS. Ibarat kata, PN Taspen tidak ada artinya karena premi tidak dibayarkan. Suplai premi bak darah yang mengaliri seluruh organisasi PN Taspen untuk bergerak dan beraktivitas itu lambat bahkan tersendat-sendat.

Sekitar tahun 1963-1965 manajemen PN Taspen dikelola dengan susunan sebagai berikut: Badan Pimpinan Umum terdiri dari Ketua Brigjen. Pol. Memet Tanuwidjaja, Wakil Ketua Soewahjo Darmosarkoro, Anggota Drs. Soedarmin, Drs. Salamun AT, R. Hartono, Letkol Slamet Heryanto, A. Zachry dan Puger. Sedangkan di level manajemen; Direktur  dijabat oleh M. Slamet.

Pada tahun 1965 bentuk manajemen PN Taspen disempurnakan dengan penghapusan BPU dan digantikan oleh Dewan Komisaris. Di jajaran direksi, M. Slamet tidak seorang diri lagi, karena kemudian diangkat direktur baru, yaitu M. Zainal Alim. Figur M. Slamet ibarat perintis PN Taspen, karena restrukturisasi korporasi pada bulan Januari tahun 1966 meminggirkannya dari posisi orang nomor satu. Posisi Direktur Utama dijabat oleh Drs. Sutamio Dirdjosuparto. Sedangkan M. Slamet dan M. Zainal Alim tetap sebagai direktur.

Bulan Mei 1966 (4 bulan berselang) kembali terjadi restrukturisasi di level manajemen puncak. Drs. Sutamio Dirdjosuparto tidak lagi menjabat Dirut PN Taspen. Bahkan, jabatan direktur utama ditiadakan. Sehingga, susunan direksinya menjadi tiga orang direktur, yaitu: M. Slamet, M. Zainal Alim dan A. Hamidy, SH. Komposisi ini bertahan empat bulan, karena kemudian terjadi perubahan lagi, dengan komposisi baru lagi yakni Direktur Utama A. Hamidy, SH; Direktur M. Slamet; dan Direktur M. Zainal Alim. Formasi komposisi jabatan itu bertahan hingga akhir masa jabatan pada bulan Maret 1970, dengan susunan direksi: Direktur Utama A. Hamidy, SH; Direktur M. Zainal Alim; dan Direktur Drs. Hanantowirjo W.

Bersama-sama dengan M. Slamet dan Zainal Alim, A. Hamidy, pria kelahiran Padang Sibusuk, Sumatera Barat, 75 tahun silam itu memang terlibat langsung dalam proses pembentukan Taspen, sejak masa persiapan hingga perintisan. Di masa kepemimpinan Hamidy, telah terbangun dasar-dasar tata nilai yang berguna bagi Program Transformasi Taspen di tahun 2003. Dengan kata lain, nilai-nilai yang dibangun dalam program PTT seakan menumbuhkan kembali nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh Hamidy. Tahun 1966-1967, mulai dirintis pembayaran iuran secara sentral.  Dan baru tahun 1979-1980 pembayaran iuran secara sentral dapat diselenggarakan secara menyeluruh.

Dari Kota Kembang berpindah ke Ibukota Jakarta. Jakarta semakin memiliki arti strategis, terlebih setelah adanya usaha kudeta Gerakan Komunis pada tanggal 30 September 1965 yang gagal. Dan, secara bisnis, PN Taspen menilai terlalu mahal menyelenggarakan korporasi dari dua kota: Bandung dan Jakarta. Sebab itu, pada tahun 1966 diputuskan untuk memindahkan Kantor Pusat PN Taspen dari Bandung ke Jakarta berdasarkan pertimbangan praktis, ekonomis dan efisiensi. Segera setelah disetujui oleh Menteri Urusan Perasuransian melalui suratnya Nomor 11/KH-SK/1966 tertanggal 30 Juni 1966, dilakukan pemindahan kantor. Proses perpindahan memakan waktu cukup lama, yaitu dalam rentang waktu 1966-1969. Unit kerja yang terakhir pindah adalah Biro Aktuaria.

Tak mudah memang perpindahan kantor dari Bandung ke Jakarta. Fakta sejarah percakapan antara Direktur Utama PN Taspen A. Hamidy dan Menteri Keuangan (Menkeu) memperlihatkan hal itu. Ketika Hamidy melontarkan gagasan, tentang rencananya memboyong Kantor Pusat PN Taspen dari Bandung ke Jakarta, kepada Menkeu (waktu itu) Frans Seda ternyata tidak memperoleh respons positif, bahkan cenderung ditolak. Apa Saudara kira memindahkan kantor itu semudah pindah rumah?tanya Menkeu kepada Hamidy kala itu.

Rupanya, tak ada kata menyerah dalam kamus hidup A. Hamidy. Tekadnya sudah bulat, sekalipun jabatan dirut yang disandangnya harus dipertaruhkan demi mendapat persetujuan pindah kantor dari Menteri Keuangan selaku pemegang saham ketika itu. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, Menkeu akhirnya menyetujui gagasan A. Hamidy memboyong Kantor Pusat PN Taspen ke Jakarta. Saat itu, Menkeu Frans Seda mengajukan syarat, “Tidak boleh satu rupiah pun biaya perusahaan dikeluarkan untuk ongkos kepindahan kantor. Dan tidak diperkenankan menempati ruangan di Departemen Keuangan.”

Sebagai insan beragama, Hamidy beserta  karyawannya berdo’a dan berikhtiar mencari jalan keluar bagaimana pindah kantor ke Jakarta. Berbekal niat tulus untuk mensejahterahkan para pegawai negeri dan pensiunannya yang tertanam di hati dan kepala insan jajaran PN Taspen, rupanya ada pertolongan dari Tuhan Yang Maha Esa. Kepindahannya ke Jakarta pun mendapatkan tiga kantor operasional di lokasi terpisah, masing-masing di Jalan Laksa No.12 Jakarta Kota, di Jalan Nusantara (sekarang Jalan Juanda) No.11/Atas dan di Jalan Pintu Besar Selatan No.90 menumpang pada Bank Pembangunan Daerah Jakarta Raya. PN Taspen menggunakan ketiganya hingga tahun 1970, sampai pembangunan kantor pusat di Jalan Letjen Suprapto, Cempaka Putih, selesai dibangun.

Tentang pelayanan, saat itu sistem pelayanan yang dilakukan masih bersifat terpusat (sentralisasi).  Sehingga, seluruh PNS yang akan melaksanakan pensiun harus ke Ibu Kota Jakarta. Hal itu tentu sangat menyulitkan bagi para PNS. Saat itu PN Taspen mengurusi 1,5 juta pegawai negeri, yang terdiri dari 1.070.000 orang PNS, 288.300 Pegawai Daerah Otonom dan pegawai BUMN serta ABRI sejumlah 140.900 orang.

Meski A. Hamidy akhirnya berhasil memboyong 70 karyawannya hijrah ke Jakarta, bukan berarti persoalan yang mendera PN Taspen berhenti sampai di situ. Hamidy kembali dihadapkan pada masalah pelik yang sama, yakni menyangkut pengumpulan premi yang masih tersendat-sendat. Kondisi inilah yang kemudian dilaporkan A. Hamidy kepada Menteri Keuangan Frans Seda dan mengusulkan agar premi dipotong secara sentral melalui Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan.

Tak dinyana, gagasan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini disetujui Menkeu. Namun hanya sebatas pegawai negeri sipil pusat. Sementara untuk pemotongan premi sekitar 625 ribu pegawai daerah otonom, Menkeu menyarankan agar A. Hamidy melobi Menteri Dalam Negeri Letjen TNI Basuki Rachmat. Usaha Hamidy berjalan mulus. Mendagri secara prinsip setuju atas gagasan tersebut. Sayangnya, Mendagri Letjen TNI Basuki Rachmat tidak memiliki otoritas untuk memformilkan persetujuan itu di atas kertas.

Menteri Dalam Negeri lantas menyarankan PN Taspen agar meminta dukungan dari 22 Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia, anggota DPRD Tingkat I yang kebetulan pada waktu itu akan mengadakan rapat di Jakarta. Bagian inilah yang agaknya sulit dijalani Hamidy. Terlebih ketika itu hampir semua kalangan masyarakat, termasuk pegawai negeri sipil, resah gara-gara adanya kebijakan Sanering (pemotongan nilai nominal uang) yang digulirkan Pemerintah pada tahun 1965.

Dampak dari kebijakan sanering, nilai nominal mata uang rupiah dari Rp1.000 dipangkas menjadi tinggal Rp1. Di saat situasi ekonomi sulit seperti itu, Hamidy mau tidak mau harus menjelaskan kepada anggota dewan dan jajaran pegawai negeri sipil ketika sidang berlangsung. Pasalnya, hak tabungan hari tua yang bakal diterima PNS pada saat pensiun nantinya akan menjadi sangat kecil. Katakanlah kalau sebelumnya mereka akan menerima Rp600.000, akibat sanering, yang diterima cuma Rp600.

Berbekal sikap pasrah kepada Sang Pencipta, Hamidy pun ternyata dapat tampil percaya diri dalam sidang tersebut. Para peserta sidang akhirnya menyetujui pemotongan premi secara tersentral untuk pegawai daerah otonom. Kegembiraan Hamidy atas sukses tersebut agaknya tak berlangsung lama. Kebijakan sanering lambat laun mulai membawa dampak buruk terhadap kondisi perekonomian nasional, termasuk dunia usaha. Keadaan tersebut kemudian diperparah dengan situasi perpolitikan yang kian mengkhawatirkan sebagai buntut peristiwa yang dikenal dengan sebutan G-30 S/PKI.

Sampai-sampai keberadaan PN Taspen mulai terancam. Desakan dari instansi-instansi yang menuntut pembubaran PN Taspen mulai gencar disuarakan. Mereka menganggap keberadaan Taspen saat itu tidak banyak memberikan manfaat terhadap kesejahteraan hari tua Pegawai Negeri Sipil. Imbas kebijakan sanering, hak yang akan mereka terima (PNS) sangat kecil. Selain itu, mereka keberatan jika gaji yang sudah kecil itu harus dipotong lagi untuk iuran wajib ke PN Taspen. Bisa dibayangkan, kalau tadinya mendapat Rp100.000 lalu jadi Rp100. Apa lagi yang mau dipotong?

Kemudian riuh-rendah suara-suara menuntut pembubaran PN Taspen diakomodir oleh Pemerintah. Pemerintah menunjuk Menteri Keuangan Frans Seda, selaku pemegang saham, untuk menyusun draft konsep pembubaran PN Taspen. Kabar tentang rencana Pemerintah yang akan membekukan izin usaha PN Taspen akhirnya sampai juga ke telinga Hamidy lewat seorang karibnya di Sekretariat Negara.

Bagai disambar ‘petir’ Hamidy mendengar berita tersebut. Pukul 01.30 dinihari konsep Peraturan Pemerintah (PP) untuk membubarkan PN Taspen sudah selesai dibuat dan saat itu tinggal menunggu tanda tangan Menteri Keuangan Frans Seda. Tanpa membuang waktu, dinihari itu juga Hamidy bergegas menuju ke kediaman Frans Seda, untuk menggagalkan rencana tersebut. Upaya Hamidy membujuk Menkeu untuk membatalkan penandatanganan konsep PP penutupan Taspen menemui jalan buntu.

Tak mau kehilangan kesempatan Hamidy pun langsung menelepon sahabatnya, Sudarmono SH dan Ismail Saleh SH agar bersedia membantu dirinya membujuk Menkeu supaya mengurungkan niatnya menandatangani konsep PP tersebut. Cara itu rupanya membuahkan hasil. Akhirnya penutupan Taspen dapat dibatalkan setelah Menkeu urung menandatangani konsep Peraturan Pemerintah tersebut. “Ibarat pepatah, saat itu Taspen bagai telur di ujung tanduk,” ujar Hamidy ketika hadir di pertemuan sesepuh dan pegawai Taspen di Yogyakarta, pertengahan 2009.  

Tahun 1969, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1969 Tentang Bentuk-Bentuk Perusahaan Negara. Merespon kelahiran UU tersebut, pada tahun 1970 dilakukan perubahan bentuk badan usaha PN Taspen menjadi Perusahaan Umum (Perum) Taspen. Hal ini dikukuhkan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-749/MK/IV/11/1970, tertanggal 18 November 1970 yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan (waktu itu) Ali Wardhana. Saat itu, PN Taspen dinilai memenuhi persyaratan untuk dijadikan sebagai Perusahaan Umum. Pengertian Perusahaan Umum (Perum) adalah suatu perusahaan negara yang bertujuan untuk melayani kepentingan umum, sekaligus mencari keuntungan. Ciri-ciri Perum adalah melayani kepentingan masyarakat umum, dipimpin oleh seorang direktur/direksi, mempunyai kekayaan sendiri dan bergerak layaknya perusahaan swasta.

Selanjutnya, Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 11 Tahun 1969 Tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. UU tersebut menjelaskan bahwa sifat pensiun adalah sebagai jaminan hari tua dan penghargaan atas jasa-jasa Pegawai Negeri selama bertahun-tahun bekerja dalam dinas pemerintahan.

Ada 4 jenis manfaat pensiun, yakni: pertama, Manfaat Pensiun Normal (syarat Usia 50 Tahun dan Masa Kerja 20 Tahun). Kedua, Manfaat Pensiun Dipercepat (syarat Usia 50 Tahun dan Masa Kerja 10 Tahun). Ketiga, Manfaat Pensiun Cacat (karena dinas syaratnya adalah PNS, bukan karena dinas syaratnya memiliki Masa Kerja 4 Tahun). Keempat, Manfaat Pensiun Ditunda (syarat masa kerja 10 tahun dan usia belum mencapai 50 Tahun).

Untuk memperjelas apa saja kewajiban peserta program pensiun PNS, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1977 Tentang Gaji Pegawai Negeri Sipil jo Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981. Bahwa PNS wajib membayar iuran yang dipotong setiap bulan sebesar 4,75 persen dari penghasilan. Ini merupakan salah satu sumber pendanaan program pensiun PNS.

Sehubungan dengan sifat pensiun sebagai jaminan hari tua, maka program pensiun memberikan perlindungan penghasilan setelah seseorang menyelesaikan masa bhakti sebagai PNS, memberikan perlindungan keuangan bagi tanggungan PNS (isteri/suami/anak) karena terjadinya kehilangan atau jaminan penghasilan akibat PNS meninggal dunia atau sebab lain. Tapi, apabila PNS yang bersangkutan diberhentikan tanpa hak pensiun maka akumulasi iuran yang telah disetorkan tiap bulan tidak dikembalikan kepada peserta (PNS). Hal ini berbeda dengan sifat program Tabungan Hari Tua (THT). Untuk peserta program THT, dalam hal peserta berhenti sebelum mencapai batas usia pensiun, akumulasi iuran ditambah dengan bunga diberikan kepada peserta.
                                                                                                   
Mulai tahun 1971, pegawai militer dan PNS yang berada di lingkungan Hankam, asuransi sosialnya dikelola oleh ASABRI. Perpindahan peserta ini sempat menurunkan peserta program Taspen sebesar 5,7%. Perum Taspen pun fokus pada usaha asuransi sosial bagi PNS saja. Selanjutnya, di tahun 1975 Perum Taspen memulai Program Asuransi Tenaga Kerja (Astek). Usaha ini didukung oleh Pemerintah dengan diterbitkannya Peraturan Presiden  Nomor 33 tahun 1977, yang menetapkan tentang Asuransi Tenaga Kerja, di mana pesertanya berhak atas jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan asuransi kematian.

Pada bulan Februari 1972, terjadi perubahan besar dalam manajemen Perum Taspen, yang menghadirkan komposisi baru sebagai berikut: Care-taker Drs. Hanantowirjo W dan Direktur M. Zainal Alim. Lalu bulan Oktober 1972, kembali tersusun komposisi manajemen Perum Taspen yang baru dan bertahan hingga November 1972, yaitu Care-taker Drs. Hanantowirjo W, Direktur Utama Drs. Djokosantoso Sumardi dan Direktur M. Zainal Alim.

Menjelang Desember 1972, tersusun komposisi manajemen Perum Taspen yang baru, yaitu Direktur Utama Drs. Djokosantoso Sumardi, Direktur Drs. Hanantowirjo W dan Direktur M. Zainal Alim. Komposisi manajemen di bawah kepemimpinan Drs. Djokosantoso Sumardi berakhir pada bulan Maret 1973. Lebih jelasnya, komposisi jajaran manajemen Perum Taspen sejak 1973 sampai dengan 1980 adalah sebagai berikut:

Periode                              Jabatan              Nama
Maret 1973-Mar 1976            Direktur Utama   Drs. Djokosantoso Sumardi
                                         Direktur              Drs. Hanantowirjo W
Maret 1976 –Agt 1977           Direktur Utama   Drs. Djokosantoso Sumardi
Agt 1977 – Peb 1979              Direktur Utama   Drs. Djokosantoso Sumardi
                                         Direktur              Drs. Hanantowirjo W
Peb 1979 – Mar 1980             Direktur Utama   Drs. Djokosantoso Sumardi
                                         Direktur              Drs. Hanantowirjo W
                                         Direktur              Drs. Anas Nawawi.

Merunut perjalanan PT Taspen sejak 1963, kami mencoba menjabarkan klaim, premi dan hasil investasi serta total investasi sejak tahun 1963 hingga tahun 1977 sebagai berikut:

Klaim, Premi, Hasil Investasi dan Total Investasi, 1963-1977
(Dalam Ribuan Rupiah)
Tahun
Klaim
Premi
Hasil Investasi
Total Investasi
1963
58.633
1.068.761
36.320
820.000
1964
28.081
261.972
208.097
1.693.745
1965
61.938
1.896.818
423.824
2.547.995
1966
134.447
5.310.838
3.394.613
3.953.500
1967
796.264
47.721.316
17.706.332
21.360.742
1968
15.106.547
405.538.956
102.385.875
370.050.843
1969
79.726.061
748.668.971
471.910.852
1.539.539.049
1970
366.191.956
876.262.468
642.201.309
2.537.207.616
1971
751.142.119
958.359.897
687.307.266
3.033.920.434
1972
655.510.821
1.117.588.903
662.366.681
3.472.007.934
1973
607.269.052
1.611.269.162
510.063.035
4.559.483.750
1974
697.990.901
2.423.455.753
718.633.548
6.317.046.599
1975
1.751.807.537
11.106.353.800
2.040.860.942
16.203.392.316
1976
2.291.371.739
12.406.933.941
4.605.465.153
29.250.346.530
1977
3.432.726.62
17.326.953.663
7.384.719.868
48.477.090.074
   Sumber: 40 Tahun Taspen 1963-2003

Perum Taspen terus berjalan. Bulan Maret 1980, posisi Direktur Utama Perum Taspen dipercayakan kepada R.S. Rahardjo, dibantu 2 Direktur yakni Drs. Hanantowirjo W dan Drs. Ida Bagus Putu Sarga. Komposisi ini berjalan sampai Januari 1987. Jumlah peserta asuransi hari tua  saat itu mencapai 1,9 juta orang, dengan kekayaan Perum Taspen mencapai sekitar Rp100 miliar. Hingga akhir kepemimpinan R.S. Rahardjo (1987), peserta asuransi hari tua sudah mencapai 3,42 juta orang.

Jumlah penerimaan premi sejak 1963 hingga 1986 mengalami peningkatan signifikan. Tahun 1963 jumlah penerimaan premi baru mencapai Rp1.068.761, tahun 1986 mencapai Rp111.977.046.980. Rata-rata pertumbuhan penerimaan premi  sebesar 4.555,34% per tahun. Kekayaan Perum Taspen pun menggelembung menjadi sekitar Rp600 miliar.

Perum Taspen berkembang dari sekadar mengelola ”uang kecil” menjadi perusahaan investasi. Investasi mulai Rp820.000 dan jumlah klaim kurang dari Rp60 ribu (1963), Taspen berkembang menjadi usaha dengan perputaran investasi mencapai lebih dari Rp48 miliar (1977), lalu meningkat Rp714,92 miliar (1986), berkat ditopang manajemen yang baik. Pembayaran klaim pun menggunakan kurang dari setengah hasil investasi.

Pertumbuhan Perum Taspen semakin melejit, termasuk dalam kejelian untuk berinvestasi, sehingga hasil investasi lebih dari “aman” untuk menutup klaim. Jumlah premi yang masuk pun semakin meningkat. Keadaan ini membuat Perum Taspen tumbuh menjadi industri yang selalu memperoleh pemasukan jauh lebih besar daripada pengeluaran. Sebagai Dirut Perum Taspen, R.S. Rahardjo tampaknya mengelola uang Taspen dengan cara cukup konservatif, dengan menanamkan sebagian besar kekayaan Perum Taspen ke dalam deposito di sejumlah bank pemerintah.

Merangkai kinerja PT Taspen sejak 1978 hingga 1986, kami mencoba menjabarkan klaim, premi dan hasil investasi serta total investasi dengan tabel sebagai berikut:

Kinerja PT Taspen, 1978-1986
(Program Taspen dan Astek dipisahkan)
(dalam ribuan rupiah)

Klaim Taspen
Klaim
Astek
Premi Taspen
Premi Astek
Hasil Investasi
Total Investasi
1978
3.378.037,53
0
21.974.351,59
297.331,85
10.409.509,76
75.129.678,62
1979
3.028.266,87
44.408,02
23.532.857,92
642.193,95
11.208.389,91
104.667.798,19
1980
4.718.793,58
79.349,53
32.436.196,36
1.372.505,41
14.360.877,58
144.030.807,34
1981
7.796.034,18
90.939,14
46.331.796,38
1.491.853,47
19.943.546,24
195.764.475,19
1982
12.472.190,39
143.914,44
54.425.875,03
2.521.567,91
27.385.486,79
264.539.624,90
1983
20.665.267,66
242.550,02
57.624.778,93
2.777.222,21
38.525.437,13
336.604.668,79
1984
23.684.326,65
364.939,85
65.599.596,16
3.040.819,57
58.895.256,35
424.625.645,11
1985
31.919.759,84
385.995,60
111.450.836,47
4.174.572,04
90.594.874,64
571.861.499,53
1986
43.333.170,94
501.559,54
107.847.437,63
4.129.609,35
103.845.888,64
714.916.312,91
Sumber: 40 Tahun Taspen 1963-2003

Seiring dengan perkembangan perekonomian negara serta peran dan fungsi yang diemban Taspen lalu dilengkapi kajian yang mendalam, maka Pemerintah mengubah bentuk usaha Taspen dari Perum menjadi Perseroan Terbatas (PT). Keputusan ini dituangkan dalam Keputusan Presiden (bukan Keputusan Menteri) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1981 tertanggal 30 Juli 1981, sebagai pelaksanaan dari PP Nomor 25 tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri, di mana PT Taspen merupakan BUMN yang ditugaskan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan Program Asuransi Sosial Pegawai Negeri, yang terdiri dari Program THT dan Pensiun bagi PNS. Perubahan itu juga tertuang dalam Anggaran Dasar PT Taspen (Persero) Nomor 3 tahun 1982 tanggal 4 Januari 1982 yang telah mengalami beberapa kali perubahan.

Sebagai pengetahuan, perusahaan persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas (PT) yang modal/sahamnya paling sedikit 51% dimiliki oleh Pemerintah. Berujuan untuk mengejar keuntungan. Ciri-ciri persero, antara lain, statusnya berupa perseroan terbatas yang diatur berdasarkan undang-undang; modalnya berbentuk saham, sebagian atau seluruh modalnya merupakan milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan; organ persero adalah rapat umum pemegang saham (RUPS), direksi dan komisaris; dan Menteri yang ditunjuk memiliki kuasa sebagai pemegang saham milik Pemerintah.

Apabila seluruh saham perseroan dimiliki pemerintah, maka Menteri berlaku sebagai RUPS. Sedangkan jika pemerintah hanya menguasai sebagian saham perseroan, maka RUPS bertindak sebagai kekuasaan tertinggi perusahaan. PT dipimpin oleh direksi. Laporan tahunan diserahkan ke RUPS untuk disahkan dan tidak mendapat fasilitas negara. Tujuan utama PT adalah memperoleh keuntungan. Hubungan-hubungan usaha diatur dalam hukum perdata dan pegawainya berstatus pegawai negeri.

Perkembangan PT Taspen berikutnya juga didukung oleh masuknya Peserta yang berasal dari karyawan BUMN ex IBW/ICW (perusahaan yang dinasionalisasi), pada tahun 1984 jumlahnya mencapai 4,1% dibandingkan dengan tahun 1963. Rata-rata pertumbuhan peserta dari BUMN adalah 0,2% per tahun.

Sejak tahun 1978 PT Taspen mengelola investasi senilai lebih dari Rp75 miliar. Kemudian meningkat 952% pada tahun 1986, yakni mendekati angka Rp715 miliar. Sekadar perbandingan, di tahun 1986 BUMN yang lebih besar dan lebih tua seperti PT PUSRI, masih mempunyai revenue sekitar Rp17 miliar. Klaim yang dibayarkan PT Taspen pun meningkat dari Rp3 miliar di tahun 1978 menjadi lebih dari Rp43 miliar pada tahun 1986 (meningkat 1.433%).

Meski low profile, sulit dipungkiri bahwa PT Taspen bergerak menjadi raksasa finansial yang menjaga keamanan hari tua seluruh PNS, sekaligus menjadi sumber potensi pendanaan ekonomi nasional yang kuat. PT Taspen juga menyadari, peserta yang dikelolanya berjumlah besar dan akan terus bertambah. Kendati pada saat itu populasi konsumennya baru tersebar di Jawa dan Sumatera, ke depan, diperkirakan populasinya akan meluas dari Sabang hingga Merauke.

Oleh sebab itu, di tahun 1984 PT Taspen memutuskan untuk mengembangkan piranti lunak dan keras komputer untuk meningkatkan kemampuan pengolahan data. Dikembangkanlah Batch System dan On Line System untuk mendukung efisiensi dan efektivitas pelayanan. Dan di tahun 1986, terjadi peningkatan citra positif dalam kualitas sumber daya manusia, dengan komposisi 81,8% pegawai berpendidikan menengah serta 9,8% berpendidikan tinggi.

Pada masa itu PT Taspen memasuki era kegemilangannya sebagai sebuah perusahaan milik negara yang mengelola asuransi sosial PNS. Kemajuan perusahaan yang dipimpin oleh Djokosantoso dan dilanjutkan oleh R.S. Rahardjo ini menyediakan basis yang sangat menguntungkan bagi manajemen selanjutnya.

Memasuki tahun 1985, berdasarkan surat Menteri Keuangan Nomor S-244/MK.011/1985 tanggal 21 Februari 1985 dan surat Direktur Jenderal Moneter Dalam Negeri, Depkeu, Nomor S-199/MK.11/1985 tanggal 10 April 1985 perihal penempatan dana pensiun PNS telah dilakukan pengalihan administratif atas dana hasil akumulasi iuran pensiun kepada PT Taspen sebesar Rp594,08 miliar yang sebagian besar dalam bentuk deposito di beberapa Bank Pemerintah.

Bergerak ke tahun 1986, merujuk Keputusan Menteri Keuangan No.822/KMK.03/1986 tanggal 22 September 1986, PT Taspen ditunjuk sebagai penyelenggara pembayaran pensiun sebagai respon positif atas kepercayaan Pemerintah. Artinya, Pemerintah secara bertahap mengalihkan tugas penyelenggaraan pembayaran pensiun kepada PT Taspen. Secara historis, penyelenggaraan Program Pensiun sebelumnya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan.

Taspen di bawah pimpinan R.S. Rahardjo dan seluruh jajarannya dari pusat hingga daerah bekerja ekstra keras untuk membuka kantor-kantor cabang baru yang dilakukan secara bertahap dalam waktu 4 tahun. Tahap pertama, tahun 1987, PT Taspen membuka kantor cabang di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk penyelenggaraan pembayaran pensiun. Dirancanglah pilot project di tiga wilayah tersebut. Provinsi Bali mewakili wilayah Pulau Jawa, NTB mewakili wilayah Sumatera dan NTT mewakili wilayah Indonesia Timur.

Guna mempersiapkan pilot project pembayaran pensiun, pada tahun 1985 Taspen menugaskan, antara lain, Heru Sulistiono, Santoso Sp, Usmanli Dulhay (alm), Nasir Deiny dan Erwin Muchtar untuk wilayah Bali. Selanjutnya, Darnel Siri, Alwizi Sulaeman, Baidawi HS, Atep Hidayat dan Bakri Ratius untuk wilayah NTB. Sedangkan Sunarto, Ekroni M. Nuh, Chairunas Yunus (alm) dan Nasrul Mairim untuk wilayah NTT. Sebelum kelompok kerja tersebut diterjunkan langsung ke wilayah masing-masing, mereka terlebih dulu magang selama beberapa bulan di KPKN Denpasar.

Petugas pilot project diharapkan dapat melakukan berbagai persiapan, terutama yang berkaitan dengan daftar pembayaran pensiun, data pegawai dan keluarga, daftar gaji serta data mutasi dan lainnya yang diperlukan buat pembayaran pensiun. Selama satu tahun mereka melaksanakan tugas dengan fasilitas yang amat terbatas. Meskipun demikian, hasil kerja yang dilakukan sangat berarti bagi pelaksanaan pembayaran pensiun yang kemudian dialihkan ke Taspen.

Tahap kedua, tahun 1989, dibuka sejumlah kantor cabang untuk wilayah Sumatera. Lalu tahap ketiga difokuskan untuk membuka kantor-kantor cabang di seluruh wilayah Pulau Jawa dan Madura. Sedangkan tahap keempat, di tahun 1990, pembangunan-pembangunan kantor-kantor cabang PT Taspen sudah menjangkau wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya dan Timor Timur.

Memasuki  Januari 1987, Dirut PT Taspen R.S Rahadjo digantikan oleh Drs. Ida Bagus Putu Sarga, didampingi 4 (empat) orang direktur, masing-masing Drs. Victor Ferdinand Siahaan, Drs. Firdaus Oemar, Drs. Justaf Maulana Saba dan Drs. Asril Nadar. Mereka dipercaya memimpin PT Taspen sejak Januari 1987 hingga November 1990. Manajemen baru ini segera menggenjot performa PT Taspen. Masa kepemimpinan Drs. Ida Bagus Putu Sarga, tahun 1987 sampai dengan tahun 1990, ditandai oleh perkembangan pesat PT Taspen sebagai sebuah organisasi bisnis. Hal ini merupakan tindak lanjut dari PP Nomor 25 tahun 1981 tentang penyerahan pengelolaan dana pensiun dari Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan, kepada PT Taspen.

Pilot project pembayaran pensiun yang dibarengi kerja keras seluruh insan PT Taspen akhirnya berhasil diwujudkan. Keberhasilan penyelenggaraan pembayaran pensiun di wilayah pilot project tahun 1987 disusul kesuksesan di wilayah Sumatera pada tahun 1988 dan di Jawa tahun 1989 telah membuat pemerintah merasa yakin melanjutkan pembayaran pensiun kepada TASPEN di wilayah Indonesia Timur pada tahun 1990 sebagai tahap akhir pengalihan pembayaran pensiun. Mulai tahun 1991 TASPEN melakukan pembayaran pensiun secara nasional (Media Taspen Nomor 81/1007).

Di masa kepemimpinan Ida Bagus Putu Sarga, PT Taspen menyadari benar bahwa pemekaran organisasi tidak ada artinya tanpa dibarengi peningkatan kualitas layanan. Maka, diperkenalkanlah motto layanan baru, yaitu 4T: Tepat Orang, Tepat Waktu, Tepat Jumlah dan Tepat Tempat (di kemudian hari motto pelayanan 4T disempurnakan  menjadi 5T, karena Direktur Utama PT Taspen Achmad Subianto [2000-2008] menambahkan Tepat Administrasi). Motto pelayanan 5T menjadi panduan kerja wajib bagi setiap insan PT Taspen, dan harus dilaksanakan dengan sikap Sopan, Sabar, Manusiawi, Mudah dan Sederhana.

Di era kepemimpinan Ida Bagus Putu Sarga pula terjadi perubahan akta, PT Taspen dengan Akta Notaris Imas Fatimah, S.H. Nomor 53 tanggal 17 Maret 1988 diperbaiki dengan Akta Nomor 10 tahun 1998 tanggal 2 Juli 1998 di hadapan Zulkifli Harahap, S.H., pengganti notaris Imas Fatimah, S.H. Perubahan akta dimaksud dalam rangka penyesuaian terhadap Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menetapkan tambahan modal dasar yang disetor, semula sebesar Rp10 miliar ditingkatkan menjadi sebesar Rp12,50 miliar untuk memenuhi modal disetor 25% dari modal dasar sebesar Rp50 miliar.

Perubahan terakhir ini memperoleh persetujuan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor C.2-14096-HT.01.04 TH 98 tanggal 17 September 1998 dan telah dimuat dalam Berita Negara RI Nomor 31 tahun 1999, Tambahan Berita Negara RI Nomor 2207 tahun 1999, Tambahan Berita Negara RI Nomor 2207 tahun 1999 (Taspen di masa kepemimpinan Muljohardjoko).

Sebagai catatan, tahun 1987 jumlah peserta PT Taspen mencapai lebih dari 3,57 juta orang, atau meningkat 138,1% dibanding tahun 1963. Dalam periode tersebut pertumbuhan peserta rata-rata 3,8% per tahun. Kenaikan ini terjadi karena semakin meningkatnya jumlah PNS yang menjadi peserta PT Taspen, yaitu mencapai 3,424 juta peserta atau meningkat 150,5% dibanding tahun 1963. Keadaan ini didukung oleh  pertumbuhan jumlah PNS rata-rata 3,9% per tahun. Pada tahun 1987 jumlah klaim Program PT Taspen mencapai 54.705 kejadian atau meningkat 141% dari tahun 1963.

Peningkatan klaim ini membuktikan bahwa PT Taspen dihadapkan kepada tantangan yang semakin tinggi untuk melayani peserta. Karena dalam perkembangannya, bukan hanya kuantitas klaim yang meningkat, namun juga kualitas pelayanan klaim yang semakin baik. Kesemuanya menuntut ditingkatkannya kualitas SDM.

Kembali ke perjalanan PT Taspen. Jumlah peserta PT Taspen meningkat dari 3,5 juta pada tahun 1987 menjadi 4,3 juta tahun 1993. Jumlah ini berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan dari premi dan secara langsung mempengaruhi besaran investasi yang dilakukan PT Taspen. Jika tahun 1987 total investasi mencapai Rp2,5 triliun, maka tahun 1993 tercatat Rp7,5 triliun. Premi yang dibayarkan meningkat dari Rp125 miliar menjadi Rp328 miliar. Sementara investasi meningkat dari Rp300 miliar menjadi Rp876 miliar.

PT Taspen di era kepemimpinan Ida Bagus Putu Sarga juga banyak mengukir prestasi. Misalnya, mulai April 1989, cakupan wilayah pembayaran pensiun ditambah dengan semua provinsi yang ada di Sumatera. Setelah itu, mulai 1 Januari 1990 cakupan tadi diperluas lagi ke wilayah Pulau Jawa dan Madura. Sejak bulan April 1990, Taspen mulai menyelenggarakan pembayaran pensiun PNS di seluruh Indonesia. Peserta Program Pensiun ini, selain PNS Pusat dan daerah otonom, juga meliputi Pejabat Negara dan Penerima Pensiun TNI-POLRI (yang pensiun sebelum 1 April 1989). PT Taspen juga ditugaskan untuk melakukan pembayaran tunjangan kepada Veteran RI dan Perintis Kemerdekaan RI/Komite Nasional Indonesia Pusat (PKRI/KNIP).

Semenjak itulah Taspen mempercepat langkahnya, di antaranya dengan mendirikan beberapa kantor cabang di sejumlah daerah. Dengan begitu, pelayanan pengurusan pensiun yang semula dilakukan secara terpusat di Jakarta, sejak pengalihan tugas pembayaran pensiun dipegang Taspen, pengurusan hak pensiun dapat dilakukan di semua kantor cabang Taspen di daerah.

Selain mengaktifkan kantor cabang, Taspen sendiri terus pula mengembangkan kerjasama sinergis dengan lembaga perbankan serta Kantor Pos dan Giro (PT Pos Indonesia) guna melayani pembayaran pensiun, yang kini jumlahnya mencapai 4.000-an titik pelayanan. Sebelum adanya kantor cabang, penyelesaian klaim memakan waktu sampai 2 (dua) pekan. Namun, seiring dengan pembentukan cabang-cabang Taspen di berbagai daerah, pengurusan klaim dapat diselesaikan dalam waktu 1 (satu) hari dan yang melalui surat selesai sekitar 1 (satu) pekan.

Bulan Desember 1990, Ida Bagus Putu Sarga kembali dipercaya Pemerintah untuk menjadi Direktur Utama PT Taspen hingga Juni 1993. Kepemimpinan Ida Bagus Putu Sarga didampingi oleh 3 direktur, yakni Drs. Gunarto Umaran Mansjur, S.H.; Drs. Ruchjat Kosasih; dan Drs. Didi Achdijat, M.Sc.

Memasuki tahun 1992, lahirlah UU Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Peraturan Dana Pensiun. Sebuah undang-undang yang semakin memperkuat landasan yuridis keberadaan PT Tasoen. Sebab itu, memasuki tahun 1993, PT Taspen semakin agresif melakukan investasi di berbagai usaha, keluar dari investasi konservatif yang sebelumnya sangat dipegang teguh seperti deposito dan surat-surat berharga --khususnya Surat Berharga Bank Indonesia. Di bawah kepemimpinan Ida Bagus Putu Sarga, PT Taspen mengikuti gelombang go-public perusahaan-perusahaan swasta domestik. PT Taspen menginjeksi dana kepada sejumlah perusahaan pada waktu pra-go-public, antara lain Pasaraya, Bank Kesejahteraan, Barito Pacific Timber, Marga Mandala Sakti, Polysindo, Telkom dan Indosat.

Bulan Juli 1993, Dirut PT Taspen Ida Bagus Putu Sarga digantikan Purwanto Abdulcadir, yang menjabat hingga Februari 1996. Purwanto Abdulcadir didampingi oleh 4 direktur, yakni: Drs. Gunarto; Umaran Mansjur, S.H.; Drs. Ruchjat Kosasih; dan Drs. Didi Achdijat, M.Sc. Dalam kurun waktu 3 tahun PT Taspen mampu meningkatkan investasi sebesar Rp1,7 triliun, dari Rp7,5 triliun menjadi Rp9,2 triliun. Sementara itu rasio kinerja korporasi pun mampu menunjukkan prestasi yang membanggakan dengan tingkat rentabilitas, likuiditas dan solvabilitas yang terjaga yang membuat PT Taspen selalu memperoleh peringkat “Sangat Sehat” dalam evaluasi kinerja BUMN.

Sepanjang 1983 hingga 1995 perekonomian Indonesia mengalami peak, yang mampu mendorong meningkatnya kinerja PT Taspen. Perlu dicatat pula bahwa dalam periode kepemimpinan Purwanto Abdulcadir, PT Taspen melepaskan pengelolaan program ASTEK (sejalan dengan Peraturan Pemerintah No.36 tahun 1995 tentang pengalihan program ASTEK) kepada PT JAMSOSTEK yang khusus dibentuk untuk mengelola asuransi tenaga kerja Indonesia.

Sebagai gambaran kinerja PT Taspen 1993-1995 sebagai berikut:

Klaim, Premi, Investasi dan Hasil Investasi, 1993-1995
(Dalam Jutaan)
Tahun
Klaim
Premi
Investasi
Hasil Investasi
1993
295,8
328,3
37.539,7
876,2
1994
334,3
342,3
38.508,10
8951
1995
394,7
353,7
9.210,70
1.108,40
   Sumber: 40 Tahun Taspen 1963-2003

Dari gambaran tersebut tampak bahwa kinerja korporasi PT Taspen meningkat pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang bergerak sekitar 7-8% per tahun pada periode tersebut. Dari sisi Rentabilitas PT Taspen mencapai 3,3 (1992), 1,6 (1993), 2,1 (1994), 1,9 (1995) dan 2,5 (1996). Lalu, Solvabilitas mencapai 1,57 (1992), 115,4 (1993), 112,8 (1994), 113,9 (1995) dan 116,2 (1996). Terakhir Likuiditas 217,3 (1992), 226,2 (1993), 1.998,0(1994), 280,6 (1995) dan 269,3 (1996).
     
Kalender menunjuk bulan Februari 1996. Pemerintah memberi amanah kepada Muljohardjoko sebagai Direktur Utama PT Taspen. Dia didampingi Direktur Operasi Drs. Didi Achdijat, M.Sc, Direktur Keuangan M. Hasyim Thojib dan Direktur SDM Mohammad Thaher. Muljohardjoko mengawali kariernya di Departemen Keuangan di bidang pinjaman luar negeri. Alumnus Fakultas Ekonomi UI ini pernah juga berdinas di PT Telkom, terakhir ia menjabat sebagai direktur keuangan. Sempat pula menjadi Dirut Bank Mandiri selama 35 hari ketika awal-awal menjadi Dirut Taspen. Kepemimpinan Muljohardjoko berjalan sejak Februari 1996 sampai tahun 1999.

Ketika PT Taspen dinakhodai Muljohardjoko, sejak 1997 pelayanan Taspen mengalami perkembangan yang lebih baik lagi, yakni hanya memakan waktu paling lama 1 (satu) jam (one hour service). Untuk mencapai target one hour service itu, Taspen memang berupaya terus memperbaiki kualitas dan kuantitas SDM-nya sejalan dengan pertumbuhan kantor cabang dan titik pelayanan serta jumlah peserta dan penerima pensiun.

Selain itu, derap langkah Taspen dalam memberikan pelayanan juga tak lepas dari dukungan sistem dan prosedur yang terus diperbaiki sebagai hal yang sangat menentukan bagi kesehatan pengendalian internal dan tata kerja operasional, serta dukungan infrastruktur kerja yang berbasis teknologi modern. Walhasil, dalam waktu relatif singkat, setidaknya sepanjang dekade 1990-an, Taspen sudah banyak mencatat kemajuan berarti dalam kinerja dan performa. Khususnya dalam hal pelayanan, Taspen pun berhasil memperoleh sejumlah pengakuan dan penghargaan.

Pesatnya peningkatan kinerja tersebut diiringi pula dengan peningkatan kualitas layanan sebagai salah satu pilar utama keberadaan PT Taspen. Sejak tahun 1996 Kantor Cabang PT Taspen di Bogor mulai mengadopsi sistem manajemen mutu ISO 9002 dan berhasil mendapatkan akreditasi dari SGS International pada tahun 1998. Kantor-kantor cabang yang lain di seluruh Indonesia segera mengikuti langkah ini, dengan mengadopsi sistem yang sama, sehingga semua kantor cabang PT Taspen dapat memberikan standar pelayanan mutu yang seragam kepada semua pesertanya. Misalnya, pada tanggal 5 Mei 1998, Kantor PT Taspen Cabang Bogor sukses meraih standar mutu ISO 9002 (kemudian dikonversi menjadi ISO 9001:2000), yang sejak saat itu dijadikan sebagai acuan pelayanan bagi semua Kantor Cabang Taspen di seluruh Indonesia. Pendek kata, dalam membuka milenium baru tahun 2000, segenap awak PT Taspen boleh tersenyum bangga. Pasalnya, BUMN pengelola THT dan Pensiun itu sudah mampu menorehkan prestasi yang relatif bagus.

Dalam hal aset perusahaan misalnya, jika sewaktu berdiri tahun 1963 didukung dengan aset sebesar Rp2,3 juta, maka menginjak tahun 2000 sudah mencapai Rp6,1 trilyun. Jumlah peserta sekitar 4 juta orang. Taspun pun membukukan pendapatan Rp1,3 triliun (tahun 2000) dan mampu mencetak laba bersih sekitar Rp93 miliar.

Memasuki pertengahan tahun 1997, Indonesia krisis. Krisis mata uang yang dimulai dari Thailand tahun 1997 ternyata menular dengan cepat ke Indonesia. Tahun 1998 Indonesia menjadi salah satu negara termiskin di dunia dengan penurunan pendapatan per kapita dari US$ 1000 menjadi US$ 350. Muljohardjoko kebetulan menjadi Captain Pilot PT Taspen  pada saat Indonesia memasuki era krisis, yang dimulai dari krisis nilai tukar, krisis moneter, krisis ekonomi,krisis sosial, krisis politik dan akhirnya krisis total.

Bagi PT Taspen, krisis total ibarat musibah membawa berkah. Demikian gambaran yang paling mudah untuk menjelaskan keadaan PT Taspen pada masa-masa awal Indonesia memasuki krisis. Suku bunga yang melambung tinggi memang sempat melumpuhkan kegiatan bisnis di sektor riil, namun tidak demikian dengan yang terjadi pada PT Taspen. Mengingat sebagian besar investasi PT Taspen dalam bentuk deposito berjangka dan Surat Berharga Bank Indonesia, PT Taspen ikut “menikmati” rejeki ini.

Tampak nyata bahwa pada masa-masa awal krisis, antara tahun 1997-1999, laba bersih PT Taspen mengalami lonjakan luar biasa, dari Rp50,19 miliar pada tahun 1997 menjadi Rp102,69 miliar pada tahun 1998, dan meningkat lagi menjadi Rp250,32 miliar pada tahun 1999. Suka tidak suka, krisis multidimensi di Indonesia turut membesarkan PT Taspen.

Meskipun Moeljohardjoko menjabat sebagai Direktur Utama dalam waktu yang relatif singkat (1996-1999), tercatat sebuah prestasi gemilang berkat naluri bisnisnya yang tajam. Tepat sebelum gelombang kedua likuidasi bank-bank swasta (gelombang pertama terjadi sesaat sebelum krisis ekonomi), di mana pemerintah melikuidasi beberapa bank swasta, Moeljohardjoko dengan sigap menarik semua dana PT Taspen yang tersebar di sejumlah bank swasta. Langkah penyelamatan ini seperti berpacu dengan waktu. Berhasil. Namun masih ada dana yang “nyangkut” di Bank Andromeda. Akhirnya, dengan proses negosiasi yang cukup panjang, dana di Bank Andromeda tersebut berhasil dimasukkan kembali ke PT Taspen.

Prestasi lain Moeljohardjoko yang dirasakan langsung oleh segenap karyawan PT Taspen adalah soal peningkatan kesejahteraan karyawan. Dia memperbaiki sistem remunerasi dalam rangka meningkatkan gairah kerja karyawan. Dengan metode stick and carrot, Moeljohardjoko memacu kinerja karyawan menuju kinerja terbaik korporasi.

Di bawah kepemimpinan Moeljohardjoko, PT Taspen rupanya mempunyai tim manajemen yang solid. Bahkan, pada akhir Desember 1999 Moeljohardjoko mengungkapkan sejumlah rencana PT Taspen untuk ikut masuk dalam kancah pemulihan ekonomi nasional, antara lain berencana masuk ke Bank Mega, ikut mengambil-alih BCA dan Astra. Dalam perkembangannya, gagasan ini tidak berhasil  direalisasikan, karena kasus BCA dan Astra teramat “politis” untuk dapat diselesaikan dengan cara bisnis murni.

Pada tahun 1999 PT Taspen mengelola dana sebanyak Rp15,03 triliun. Direncanakan, PT Taspen akan meningkatkan investasinya di pasar modal dari 1% menjadi 12% atau sekitar Rp1,8 triliun, sampai akhir tahun 2000. Sementara, pada tahun 1999 penempatan di saham mencapai Rp8,91 miliar dari program THT dan Rp131,79 miliar dari Dana Program Pensiun.

Melengkapi dokumen perjalanan PT Taspen, ada baiknya kita baca petikan wawancara Muljohardjoko,16 Maret 1999, dengan Tempo Online mengenai PT Taspen berjudul "Untuk Bayar Pak Ogah pun Kurang". Muljohardjoko ketika itu mengaku ingin mengurangi baik saham maupun jumlah perusahaan tempat PT Taspen berinvestasi. Tapi, kondisi ekonomi tidak memungkinkan, sehingga dibiarkan saja walau tidak menghasilkan deviden.

Memasuki bulan Mei tahun 2000, Direktur Utama PT Taspen Muljohardjoko mengundurkan diri. Menteri Keuangan (waktu itu) Bambang Subianto pun lantas menunjuk Achmad Subianto yang saat itu sebagai komisaris PT Taspen memangku jabatan sebagai Dirut Taspen hingga tahun 2002. Achmad Subianto didampingi Drs. Didi Achdijat, M.Sc. sebagai Direktur Operasi; M. Hasyim Thojib sebagai Direktur Keuangan; dan Mohammad Thaher sebagai Direktur SDM.

Sebagai direktur utama, Achmad Subianto langsung menyingsingkan lengan baju memetakan segala macam persoalan yang melilit PT Taspen. Tersadar akan permasalahan PT Taspen yang diibaratkan sudah menggunung. Bukankah selama  rentang waktu 1963-2000 Taspen berjalan dengan kinerja dan performa yang sudah relatif baik dan mampu meraup untung sepanjang tahun?

Sekadar catatan, hingga tahun 2000 PT Taspen dalam kondisi “sehat”. PT Taspen juga mampu membukukan pendapatan Rp1,3 triliun dengan laba bersih sekitar Rp93 miliar. Memang benar bahwa waktu itu kondisi PT Taspen sudah relatif baik. Dan justru karena itu pulalah Achmad Subianto ingin memberikan apresiasi yang tinggi kepada pimpinan dan orang-orang Taspen terdahulu.

Intinya, di mata Subianto, kinerja dan performa PT Taspen yang sudah berjalan bagus itu harus didorong supaya menjadi lebih bagus lagi. Peran dan fungsi Taspen bagi peningkatan kesejahteraan (THT dan pensiun) pegawai negeri (peserta) harus diupayakan menjadi lebih optimal lagi. Sebagai BUMN yang berurusan dengan nasib jutaan pegawai negeri sipil, eksistensi Taspen harus terus diperbaiki. Terlebih lagi, pegawai negeri adalah pilar penting dalam perputaran roda birokrasi negara.

Yang pasti, ketika itu Achmad Subianto beserta jajaran karyawan madya, manager serta direksi dan komisaris melakukan reposisi korporat, termasuk memperjelas visi dan misi Taspen menjadi lebih fokus pada kompetensinya. Pencanangan reposisi Taspen itu, terutama menyangkut 5 hal penting, yaitu 1. Kembali kepada jati diri Taspen; 2. Menyelamatkan Taspen; 3. Menata kembali Taspen; 4. Mendorong langkah Taspen menjadi berkelas dunia; dan 5. Mendorong Taspen agar bisa memberikan kontribusi bagi Indonesia untuk keluar dari krisis dan menempatkan Taspen sebagai “oase” bagi Indonesia yang adil, jujur, bersih, sehat dan benar serta sejahtera.

Terkait dengan beberapa pemikiran tersebut, visi dan misi Taspen pun dievaluasi kembali. Visi lama Taspen menyebutkan: “Menjadi Perusahaan Asuransi dengan layanan dan produk yang prima”. Kemudian dipertajam dengan bahasa yang lebih implementatif, yaitu: “Menjadikan Taspen sebagai pengelola Dana Pensiun dan THT yang bersih, sehat dan benar, dengan pelayanan yang tepat orang, tepat waktu, tepat jumlah, tepat tempat dan tepat administrasi”.

Misi Taspen diperbaharui pula dengan bahasa yang lebih simpel serta fokus pada sasaran, yaitu: “Mewujudkan hari-hari yang indah bagi Peserta melalui pengelolaan Dana Pensiun dan THT secara profesional dan akuntabel dengan berlandaskan etika serta integritas yang tinggi”. Meskipun visi dan misi berubah, namun Subianto dan segenap orang Taspen tetap mempertahankan logo PT Taspen yang dianggap memiliki jiwa dan sejarah yang tinggi. Selain itu, logo PT Taspen yang berwarna biru muda dalam lintasan lingkaran juga menunjukkan sebuah kematangan, langkah yang dinamis dan performa yang lebih profesional. Tema dan makna logo itu jelas semakin sinergis dengan pencanangan visi dan misi baru Taspen tadi.

Memasuki tahun 2002, Achmad Subianto dipercaya kembali sebagai Direktur Utama PT Taspen hingga Januari 2008. Achmad Subianto didampingi oleh Mochammad Bar’i sebagai Direktur Operasi, Heru Maliksjah sebagai Direktur Keuangan dan Djoko Daljono sebagai Direktur SDM. ***


Boks:
Hanya Dipahami sebagai Perusahaan Asuransi,
Bukan sebagai Pilar Sistem Jaminan Sosial Nasional

Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto Tentrem Kerto Raharjo. Itulah potret negeri subur Indonesia. Kaya akan sumberdaya alam, namun hingga sampai kini banyak rakyatnya yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sejak kemerdekaan, pelaksanaan pembangunan dibiayai oleh sumber pajak, fiskal dan pinjaman luar negeri yang angkanya hingga kini cukup fantastis. Yang jelas, sumber pembiayaan dari dalam negeri sendiri yang mengandalkan penerimaan pajak dan fiskal, nampaknya, tak mampu lagi menopang pembangunan berkelanjutan untuk mensejahterakan rakyat, baik dari sisi pangan, sandang, papan maupun pendidikan. Ironis memang. Tapi itulah potret pembangunan Indonesia yang hanya ditopang dua pilar, yakni pajak dan fiskal.

Indonesia sebagai negara berkembang yang diprediksi banyak kalangan akan menjelma menjadi “macan Asia” dari sisi ekonomi, nampaknya harus melihat dulu kaki-kaki penopang sumber dana pembangunannya. Sejak krisis moneter 1997 yang melanda Asia hingga berimbas kepada Indonesia, terlihat Indonesia belum juga pulih perekonomiannya. Krisis moneter yang akhirnya meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian hingga sekarang belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan ekonomi di sektor riil. Pengangguran dan kemiskinan masih menjadi catatan dan pekerjaan rumah pemerintah untuk segera ditangani secara baik.

Mengambil hikmah dari krisis moneter di tahun 1997, ekonomi Indonesia secara makro masih belum memperlihatkan progres yang menggembirakan. Penerimaan sektor pajak akhir-akhir ini semakin digenjot dengan berbagai kebijakan pajak, misalnya Sunset Policy. Demikian juga fiskal terus diupayakan penerimaannya sebagai sumber dana pembangunan. Sementara cadangan keuangan nasional kita sangat rapuh. Cadangan keuangan kita memang masih melimpah di sumber daya alam. Namun, untuk mengeksplorasinya membutuhkan pembiayaan yang cukup besar.

Sebagai negara berkembang yang terus membangun berbagai infrastruktur dan prasarana di berbagai wilayah nusantara, mengandalkan sumber pembiayaan dari pajak dan fiskal adalah sesuatu hal yang akan menuai berbagai ragam kekecewaan. Banyak infrastruktur dan prasarana vital bagi rakyat yang lamban terwujud karena alasan keterbatasan keuangan negara. Negara tidak mempunyai cadangan keuangan yang cukup kuat untuk mewujudkan cita-cita luhur pendiri Republik ini, mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Bercermin dari negeri jiran Malaysia yang cepat pulih dari krisis moneter tanpa bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) dan lembaga keuangan, rupanya selama ini Malaysia memiliki dan menyimpan Cadangan Keuangan Dalam Negeri yang sangat besar. Dana itu berasal dari net ekspor plus dan APBN-nya yang positif, juga dari Dana Sosial Security System, Dana Program Pensiun, Dana Tabungan Haji dan Lembaga Zakat yang dikelola dengan baik.

Jika kita telah mengetahui kelemahan bangsa ini, maka seyogianya prinsip penyelamatan ekonomi yang harus diterapkan adalah gotong-royong, kebersamaan atau dalam bahasa agamanya menggunakan konsep jamaah. Konsep ini ternyata tidak dipakai oleh para pemegang kebijakan nasional. Akibatnya, ekonomi kita lemah dan sangat bergantung kepada Bantuan dan Pinjaman Luar Negeri.

Dengan prinsip gotong-royong atau prinsip jamaah yang dimiliki Indonesia sebagai jati diri bangsa, sudah selayaknya semua kebijakan harus didasarkan kepada landasan prinsip-prinsip jamaah. Sangat disayangkan, prinsip itu tidak tampak dalam kebijakan pemerintah. Kebijakan dan deregulasi yang bergulir selama ini cenderung memecah-mecah potensi kekuatan ekonomi nasional dan menghilangkan pemupukan cadangan keuangan nasional. Padahal, jika berbagai kebijakan yang bergulir semakin memperkuat cadangan keuangan nasional, maka akan terbentuk satu pilar penopang sumber pembiayaan pembangunan, yakni Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Di berbagai negara, sumber pembiayaan pembangunan ditopang oleh 3 pilar, yakni pajak, fiskal dan Jaminan Sosial. Negara-negara yang mengalami kemajuan pesat di berbagai bidang karena ditunjang oleh Dana Cadangan Keuangan Nasional yang kuat yang berasal dari sistem jaminan sosial yang telah tertata dengan baik. Bagaimana dengan negara Indonesia? Yang pasti, hingga saat ini 2 (dua) pilar pajak dan fiskal masih menjadi primadona sumber penerimaan negara. Sedangkan pilar ketiga, yakni Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), belum menjadi pilar sumber penerimaan negara.

Sejatinya, untuk memperkuat Cadangan Keuangan Nasional sebagai sumber dana SJSN, salah satunya, kita bisa mengandalkan dari Program Dana Pensiun yang jumlahnya cukup signifikan. PT Taspen yang berdiri tahun 1963 hingga saat ini eksistensinya baru dipahami dan dihayati sebagai Badan Usaha Milik Negara di bidang asuransi. PT Taspen hanya sebagai  pengelola Dana Program Pensiun dan Tunjangan Hari Tua PNS dan pensiunannya. Jadi bisa kita katakan, salah satu faktor utama dan mendasar terpuruknya jati diri Taspen pada masa lalu (antara lain) lantaran eksistensinya baru dipahami dan dihayati hanya sebagai BUMN asuransi.

PT Taspen pun hingga kini belum menampakkan sebagai “rumah kesejahteraan” Pegawai Negeri Sipil. Perolehan Dana Pensiun dan Tunjangan Hari Tua nampaknya masih berkejar-kejaran dengan pasar. Harga-harga pasar seakan melaju terus naik. Sementara perolehan dana pensiun dan Tunjangan Hari Tua angka nominalnya tetap. Kalaupun naik, kecepatan laju kenaikan harga-harga pasar jauh lebih cepat. Praktis, para pensiunan PNS harus berjibaku mencari sumber pendapatan lain untuk menutupi kebutuhan hidupnya di hari-hari tua.

Singkat kata, Taspen belum ditata menjadi “rumah kesejahteraan”. Keberadaan PT Taspen juga belum menjadi pilar penyangga perekonomian bangsa-negara. Keberadaan PT Taspen sebagai penghimpun dan pengelola Dana Pensiun dan THT juga belum dianggap sebagai salah satu bagian integral dari SJSN. PT Taspen seakan dibiarkan hidup apa adanya tanpa ada kepedulian dari berbagai pihak untuk memperjuangkan jati diri dan eksistensinya. Bisa dibayangkan, para PNS dan pensiunan sebagai peserta PT Taspen yang ingin memetik manfaat dan kemaslahatan jauh dari harapan yang diidam-idamkan. Jauh pula dari harapan masyarakat, bangsa dan negara.
                                                                                           
SJSN yang sumber dananya berasal dari cadangan keuangan nasional bisa diperkuat dengan sumber tabungan dan dana pensiun yang dikelola PT Taspen. Artinya, PT Taspen sejatinya dapat menjadi salah satu pilar penopang SJSN. Ketika PT Taspen menjadi salah satu pilar SJSN, maka manfaat dan kemashalatannya bagi peserta, masyarakat maupun bagi bangsa dan negara dapat terimplementasi secara baik.

No comments:

Post a Comment