Tuesday, January 1, 2013

Saatnya Sentralisasi Dana Pensiun


Di Indonesia kini terdapat sekitar 300 lembaga pengelola dana pensiun. selain PT Taspen (Persero) dan PT Jamsostek (Persero), Pemerintah memberi kebebasan kepada BUMN dan perusahaan swasta untuk mengelola sendiri dana pensiun pegawainya.

Alkisah, sebut saja namanya Bramono. Pensiunan pejabat di sebuah departemen ini termangu tatkala menerima uang pensiun yang pertama di bulan Januari 2011. Dana pensiun yang bakal diterima tiap bulan itu tak lebih dari Rp2 juta. Padahal, anak bungsunya masih kuliah dan membutuhkan biaya yang tidak kecil. Bramono hanyalah sebuah contoh. Banyak pensiunan PNS yang bahkan menerima dana pensiun jauh di bawah jumlah yang diterima Bramono.    

Mengapa pensiunan pejabat dan PNS menerima dana pensiun begitu kecil? Hal ini, menurut Ketua Komunitas Jamsosnas Indonesia (KJI) Achmad Subianto kepada Majalah JAMINAN SOSIAL belum lama ini, tak terlepas dari peraturan perundangan yang ada dan pengelolaan dana pensiun yang terpencar-pencar di sekitar 300 lembaga.

Terutama untuk pejabat dan pimpinan lembaga negara yang masa kerjanya relatif pendek (5-10 tahun), jelas Subianto, UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) belum mengatur kompensasi purna tugas untuk dua kelompok ini. Seharusnya, pada mereka berlaku kompensasi berupa santunan purna jabatan sebagaimana yang telah diterapkan oleh BUMN. “Untuk Presiden, menteri, anggota MPR, anggota DPR dan pejabat negara yang lain yang masa jabatannya relatif pendek diberikan santunan purna jabatan. Agar tidak memberatkan keuangan negara dan perusahaan maka dapat diberikan melalui asuransi,” terang Subianto.

Sementara itu untuk karyawan yang masa kerjanya panjang, tutur Subianto lebih lanjut, kompensasi purna tugas diberikan dalam bentuk jaminan pensiun yang dapat berupa bulanan ataupun lumpsum.

Repotnya, kata Subianto, Indonesia bertahan dalam kesalahannya sendiri dalam mengelola dana pensiun dan tunjangan hari tua (THT) sehingga apa yang dinikmati pada pensiunan PNS relatif kecil. Hal ini dapat dilihat dari arah kebijakan dana pensiun dan THT yang berbeda dibandingkan dua negeri jiran, yakni Malaysia dan Singapura.

Dia menilai dua negeri tetangga itu telah berhasil mengelola dan memanfaatkan dana pensiun dan THT secara maksimal bagi kesejahteraan pekerjanya. Singapura memiliki Central Provident Fund (CPF), lembaga yang memonopoli pengelolaan dana pensiun bagi pegawai negeri sipil dan karyawan perusahaan swasta. Saat ini CPF mengelola dana sekitar Rp650 triliun. Sedangkan Malaysia mampu mengelola dana Rp600 triliun di empat institusi pengelola dana pensiun dan THT. Keempat lembaga itu masing-masing Kumpulan Wang Amanat Pencen (KWAP) untuk pegawai pemerintah, Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP) untuk pekerja swasta, Lembaga Tabung Angkatan Tentara (LTAT) bagi anggota militer, dan Socso sebagai jaminan sosial warganegara. “Rahasia sukses menghimpun dana spektakuler itu terletak pada kebijakan sentralisasi pengelolaan dana pensiun dan THT,” kata Subianto.

Di Indonesia kini terdapat sekitar 300 pengelola dana pensiun. Selain PT Taspen dan PT Jamsostek, Pemerintah membebaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta mengelola sendiri dana pensiun pegawainya. Total dana pensiun yang dikelola di perusahaan sebanyak itu hanya sekitar Rp150 triliun atau seperempat dari dana pensiun di Malaysia. Taspen yang sudah berdiri sejak tahun 1963 hanya mengelola dana sekitar Rp10 triliun dan Jamsostek sekitar Rp30 triliun. Sisanya tercecer di berbagai BUMN dan perusahaan swasta.

Mengapa dana pensiun atau jaminan purna tugas ini demikian minim? Selain karena pengelolaan yang terpencar-pencar, menurut Achmad Subianto, juga terkait dengan sikap Pemerintah yang mempertahankan sistem pembayaran iuran secara konvensional bagi PNS, yakni pay as you go yang sepenuhnya menjadi beban APBN. Sementara dalam praktiknya, iuran dibayar oleh PNS sendiri dan pemerintah selaku pemberi kerja tidak mengiur.
Setiap bulan PNS harus menyisihkan 11 persen dari gaji pokoknya. Rinciannya, 3,25 persen THT, 4,75 persen dana pensiun, 2 persen asuransi kesehatan yang dikelola Askes, dan 1 persen untuk iuran uang muka pemilikan rumah yang dikelola Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum).

Selama ini pembayaran dana pensiun dilakukan dengan pola berbagi beban antara Pemerintah dan PT Taspen. Tahun 2007 Pemerintah berkontribusi 85,5 persen dari dana kebutuhan pensiun per tahun dan 14,5 persen dibayar Taspen. Tahun 2008, kontribusi itu berubah menjadi 92,5 persen berbanding 7,5 persen.

Padahal, dalam PP No.25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial PNS dan UU No.43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian telah ditegaskan bahwa pemberi kerja (dalam hal ini Pemerintah) berkewajiban mengiur dana pensiun dan asuransi kesehatan. Kenyataannya, ungkap Subianto, Pemerintah tidak pernah membayar iuran itu.

Ironisnya, Pemerintah mewajibkan seluruh perusahaan swasta untuk berkontribusi menjamin kesejahteraan pekerjanya. Standar ganda ini yang selalu dipertanyakan banyak pihak dan nasib PNS makin terpuruk.

Singapura dan Malaysia baru memulai membenahi sistem kesejahteraan pegawainya. Mereka sudah berkomitmen mengganti sistem pay as you go dengan fully funded. Dengan fully funded, berarti iuran dana pensiun dan THT ditanggung bersama, pekerja dan pemberi kerja alias pemerintah.

Achmad Subianto menyarankan agar sistem fully funded dimulai dengan modal awal Rp49,7 triliun untuk membentuk badan penyelenggara jaminan pensiun dan THT. “Sistem ini tidak membuat pembayaran dana pensiun membebani APBN,” tegasnya.

Potensi pendanaan yang ada saat ini adalah uang iuran peserta yang ada di Taspen senilai Rp9,2 triliun. Kemudian dana yang masih disimpan Pemerintah Rp30,5 triliun dan kewajiban lama Pemerintah Rp300 triliun. Bila terjadi kenaikan gaji PNS, kewajiban Pemerintah akan bertambah besar lagi.

Kewajiban lama itu tidak perlu sekaligus dipenuhi, tetapi dicicil selama 20-30 tahun atau dibayar Rp10 triliun sampai Rp15 triliun per tahun. Dengan demikian keperluan modal awal Rp49,7 triliun dapat tercukupi.
Rupanya Pemerintah tidak buru-buru menyambut usulan ini. Saat Menteri Keuangan dijabat Sri Mulyani Indrawati, Pemerintah menyatakan masih memerlukan kajian mendalam untuk memutuskan sitem pembayaran dana pensiun. “Implikasi perubahan sistem itu sangat banyak, kami harus membuat kajian dari berbagai aspek,” katanya ketika itu.

Menurut Sri Mulyani, kajian harus dilakukan minimal pada dua hal: pertama, mengukur manfaat yang akan diperoleh pensiunan PNS sebagai pengguna akhir dana pensiun, dan kedua, implikasi terhadap APBN. Implikasi terhadap APBN perlu dikaji karena perubahan ini bisa berdampak bertahun-tahun. Ketentuan pada PP No.25/1981 yang mengadopsi sistem fully funded sehingga PNS membayar 8 persen dari gaji per bulan sementara Pemerintah 8 persen namun belum juga dibayar menyebabkan hutang Pemerintah kepada PT Taspen mencapai Rp306,3 triliun.

Mantan anggota Komisi XI Drajat H. Wibowo menegaskan, apapun alasannya, Pemerintah tidak akan terlepas dari kewajiban membayar tunggakan Rp306,33 triliun. Ada premi dana pensiun PNS yang menjadi kewajiban Pemerintah yang belum dilunasi sejak Taspen berdiri.
Namun, hutang Pemerintah tidak bisa ditetapkan secara sepihak, harus didasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan. “Cara pembayarannya dapat dengan menukarkan piutang Pemerintah ke BUMN seperti yang dilakukan atas tunggakan dana Rekening Dana Investasi,” jelas Drajat. ***

No comments:

Post a Comment