Di
Indonesia kini terdapat sekitar 300 lembaga pengelola dana pensiun. selain PT
Taspen (Persero) dan PT Jamsostek (Persero), Pemerintah memberi kebebasan
kepada BUMN dan perusahaan swasta untuk mengelola sendiri dana pensiun
pegawainya.
Alkisah, sebut saja namanya Bramono. Pensiunan pejabat
di sebuah departemen ini termangu tatkala menerima uang pensiun yang pertama di
bulan Januari 2011. Dana pensiun yang bakal diterima tiap bulan itu tak lebih
dari Rp2 juta. Padahal, anak bungsunya masih kuliah dan membutuhkan biaya yang
tidak kecil. Bramono hanyalah sebuah contoh. Banyak pensiunan PNS yang bahkan
menerima dana pensiun jauh di bawah jumlah yang diterima Bramono.
Mengapa pensiunan pejabat dan PNS menerima dana
pensiun begitu kecil? Hal ini, menurut Ketua Komunitas Jamsosnas Indonesia
(KJI) Achmad Subianto kepada Majalah JAMINAN
SOSIAL belum lama ini, tak terlepas dari peraturan perundangan yang ada dan
pengelolaan dana pensiun yang terpencar-pencar di sekitar 300 lembaga.
Terutama untuk pejabat dan pimpinan lembaga negara
yang masa kerjanya relatif pendek (5-10 tahun), jelas Subianto, UU No.40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) belum mengatur kompensasi
purna tugas untuk dua kelompok ini. Seharusnya, pada mereka berlaku kompensasi
berupa santunan purna jabatan sebagaimana yang telah diterapkan oleh BUMN.
“Untuk Presiden, menteri, anggota MPR, anggota DPR dan pejabat negara yang lain
yang masa jabatannya relatif pendek diberikan santunan purna jabatan. Agar
tidak memberatkan keuangan negara dan perusahaan maka dapat diberikan melalui
asuransi,” terang Subianto.
Sementara itu untuk karyawan yang masa kerjanya
panjang, tutur Subianto lebih lanjut, kompensasi purna tugas diberikan dalam
bentuk jaminan pensiun yang dapat berupa bulanan ataupun lumpsum.
Repotnya, kata Subianto, Indonesia bertahan dalam
kesalahannya sendiri dalam mengelola dana pensiun dan tunjangan hari tua (THT)
sehingga apa yang dinikmati pada pensiunan PNS relatif kecil. Hal ini dapat
dilihat dari arah kebijakan dana pensiun dan THT yang berbeda dibandingkan dua
negeri jiran, yakni Malaysia dan Singapura.
Dia menilai dua negeri tetangga itu telah berhasil
mengelola dan memanfaatkan dana pensiun dan THT secara maksimal bagi
kesejahteraan pekerjanya. Singapura memiliki Central Provident Fund (CPF),
lembaga yang memonopoli pengelolaan dana pensiun bagi pegawai negeri sipil dan
karyawan perusahaan swasta. Saat ini CPF mengelola dana sekitar Rp650 triliun. Sedangkan
Malaysia mampu mengelola dana Rp600 triliun di empat institusi pengelola dana
pensiun dan THT. Keempat lembaga itu masing-masing Kumpulan Wang Amanat Pencen
(KWAP) untuk pegawai pemerintah, Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP) untuk
pekerja swasta, Lembaga Tabung Angkatan Tentara (LTAT) bagi anggota militer,
dan Socso sebagai jaminan sosial warganegara. “Rahasia sukses menghimpun dana
spektakuler itu terletak pada kebijakan sentralisasi pengelolaan dana pensiun
dan THT,” kata Subianto.
Di Indonesia kini terdapat sekitar 300 pengelola
dana pensiun. Selain PT Taspen dan PT Jamsostek, Pemerintah membebaskan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta mengelola sendiri dana pensiun
pegawainya. Total dana pensiun yang dikelola di perusahaan sebanyak itu hanya
sekitar Rp150 triliun atau seperempat dari dana pensiun di Malaysia. Taspen
yang sudah berdiri sejak tahun 1963 hanya mengelola dana sekitar Rp10 triliun
dan Jamsostek sekitar Rp30 triliun. Sisanya tercecer di berbagai BUMN dan
perusahaan swasta.
Mengapa dana pensiun atau jaminan purna tugas ini
demikian minim? Selain karena pengelolaan yang terpencar-pencar, menurut Achmad
Subianto, juga terkait dengan sikap Pemerintah yang mempertahankan sistem
pembayaran iuran secara konvensional bagi PNS, yakni pay as you go yang sepenuhnya menjadi beban APBN. Sementara dalam
praktiknya, iuran dibayar oleh PNS sendiri dan pemerintah selaku pemberi kerja
tidak mengiur.
Setiap bulan PNS harus menyisihkan 11 persen dari
gaji pokoknya. Rinciannya, 3,25 persen THT, 4,75 persen dana pensiun, 2 persen
asuransi kesehatan yang dikelola Askes, dan 1 persen untuk iuran uang muka
pemilikan rumah yang dikelola Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan
(Bapertarum).
Selama ini pembayaran dana pensiun dilakukan
dengan pola berbagi beban antara Pemerintah dan PT Taspen. Tahun 2007
Pemerintah berkontribusi 85,5 persen dari dana kebutuhan pensiun per tahun dan
14,5 persen dibayar Taspen. Tahun 2008, kontribusi itu berubah menjadi 92,5
persen berbanding 7,5 persen.
Padahal, dalam PP No.25 Tahun 1981 tentang
Asuransi Sosial PNS dan UU No.43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
telah ditegaskan bahwa pemberi kerja (dalam hal ini Pemerintah) berkewajiban
mengiur dana pensiun dan asuransi kesehatan. Kenyataannya, ungkap Subianto, Pemerintah
tidak pernah membayar iuran itu.
Ironisnya, Pemerintah mewajibkan seluruh
perusahaan swasta untuk berkontribusi menjamin kesejahteraan pekerjanya.
Standar ganda ini yang selalu dipertanyakan banyak pihak dan nasib PNS makin
terpuruk.
Singapura dan Malaysia baru memulai membenahi
sistem kesejahteraan pegawainya. Mereka sudah berkomitmen mengganti sistem pay as you go dengan fully funded. Dengan fully funded, berarti iuran dana pensiun
dan THT ditanggung bersama, pekerja dan pemberi kerja alias pemerintah.
Achmad Subianto menyarankan agar sistem fully funded dimulai dengan modal awal
Rp49,7 triliun untuk membentuk badan penyelenggara jaminan pensiun dan THT. “Sistem
ini tidak membuat pembayaran dana pensiun membebani APBN,” tegasnya.
Potensi pendanaan yang ada saat ini adalah uang
iuran peserta yang ada di Taspen senilai Rp9,2 triliun. Kemudian dana yang
masih disimpan Pemerintah Rp30,5 triliun dan kewajiban lama Pemerintah Rp300
triliun. Bila terjadi kenaikan gaji PNS, kewajiban Pemerintah akan bertambah
besar lagi.
Kewajiban lama itu tidak perlu sekaligus dipenuhi,
tetapi dicicil selama 20-30 tahun atau dibayar Rp10 triliun sampai Rp15 triliun
per tahun. Dengan demikian keperluan modal awal Rp49,7 triliun dapat tercukupi.
Rupanya Pemerintah tidak buru-buru menyambut
usulan ini. Saat Menteri Keuangan dijabat Sri Mulyani Indrawati, Pemerintah
menyatakan masih memerlukan kajian mendalam untuk memutuskan sitem pembayaran
dana pensiun. “Implikasi perubahan sistem itu sangat banyak, kami harus membuat
kajian dari berbagai aspek,” katanya ketika itu.
Menurut Sri Mulyani, kajian harus dilakukan
minimal pada dua hal: pertama,
mengukur manfaat yang akan diperoleh pensiunan PNS sebagai pengguna akhir dana
pensiun, dan kedua, implikasi
terhadap APBN. Implikasi terhadap APBN perlu dikaji karena perubahan ini bisa
berdampak bertahun-tahun. Ketentuan pada PP No.25/1981 yang mengadopsi sistem fully funded sehingga PNS membayar 8
persen dari gaji per bulan sementara Pemerintah 8 persen namun belum juga
dibayar menyebabkan hutang Pemerintah kepada PT Taspen mencapai Rp306,3
triliun.
Mantan anggota Komisi XI Drajat H. Wibowo
menegaskan, apapun alasannya, Pemerintah tidak akan terlepas dari kewajiban
membayar tunggakan Rp306,33 triliun. Ada premi dana pensiun PNS yang menjadi
kewajiban Pemerintah yang belum dilunasi sejak Taspen berdiri.
Namun, hutang Pemerintah tidak bisa ditetapkan secara
sepihak, harus didasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan. “Cara pembayarannya
dapat dengan menukarkan piutang Pemerintah ke BUMN seperti yang dilakukan atas
tunggakan dana Rekening Dana Investasi,” jelas Drajat. ***
No comments:
Post a Comment