Monday, January 14, 2013

Menyiapkan Jaminan Kesehatan


Menjelang akhir abad ke-19 pada masa revolusi industri, sebagian besar penduduk Jerman dilanda kemiskinan. Sistem tradisional seperti bantuan keluarga, lembaga karitas, ataupun pemerintah tidak mampu lagi menjamin pemeliharaan dan pelayanan kesehatan masyarakat.

Hal itu mendorong Kanselir Otto von Bismarck mencanangkan asuransi kesehatan wajib bagi kaum buruh tahun 1883.

Bagi Bismarck, solidaritas merupakan landasan etis untuk menyatukan masyarakat dengan posisi ekonomi berbeda-beda untuk mencapai keselarasan, kesejahteraan sosial ekonomi, dan mengurangi friksi sosial. Langkah itu membuat warga Jerman kini menikmati jaminan pelayanan kesehatan komprehensif berstandar tinggi. Mereka juga memiliki jaminan finansial di kala kehilangan pekerjaan ataupun pada masa tua. Hal serupa berlangsung di banyak negara maju. Negara berkembang, seperti Thailand dan Filipina, mengembangkan asuransi kesehatan sosial lebih dari 10 tahun lalu.

Bagi penduduk Indonesia, hak atas kesehatan ditegaskan dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat 1: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Terkait jaminan sosial, Pasal 34 Ayat 2 menyatakan: ”Negara mengembangkan jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.

Kendala

Namun, bisa dikatakan Indonesia ketinggalan dari negara-negara tetangga. Sampai saat ini, belum semua penduduk Indonesia bisa menikmati pelayanan kesehatan. Bagi penduduk di pedalaman, kondisi geografis mengakibatkan ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan kurang memadai. Di perkotaan yang berlimpah fasilitas dan tenaga kesehatan, masalah finansial menghambat orang miskin dalam mengakses pelayanan kesehatan.

Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) ataupun Jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang diluncurkan pemerintah belum mencakup semua orang yang membutuhkan. Penyakit berat membuat orang berkecukupan jadi jatuh miskin.

Sebenarnya Indonesia telah memiliki UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sejak tahun 2004. Salah satu amanat UU itu adalah tersedianya asuransi kesehatan sosial yang menjamin pelayanan kesehatan bagi semua warga negara. Namun, baru pada 2011 UU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai salah satu aturan pelaksana diterbitkan. Jaminan sosial yang pertama, yakni bidang kesehatan, baru akan dilaksanakan per 1 Januari 2014.

Selain harus menunggu 10 tahun sejak UU SJSN diterbitkan, asuransi kesehatan sosial di Indonesia harus menghadapi tentangan dari mereka yang berseberangan paham ataupun yang belum paham manfaat dan konsepnya.

Pada umumnya, asuransi kesehatan sosial dijalankan oleh lembaga nirlaba yang bersifat independen. Adapun pelayanan kesehatan bisa diselenggarakan pemerintah, organisasi nirlaba, dan pihak swasta. Dalam asuransi yang berbasis gotong royong dan subsidi silang ini, setiap warga wajib membayar iuran dalam persentase tertentu dari gaji yang dibayar bersama dengan pemberi kerja. Iuran penduduk tidak mampu dibayar oleh pemerintah. Sebagai imbalan, warga bisa mengakses pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tanpa mengkhawatirkan biaya perawatan.

Hambatan lain, belum meratanya fasilitas pelayanan kesehatan ataupun tenaga kesehatan di seluruh Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia mencatat, sampai saat ini baru ada 88.309 dokter umum dan 22.212 dokter spesialis. Artinya, satu dokter umum melayani sekitar 2.700 pasien dan satu dokter spesialis melayani sekitar 10.800 pasien. Mereka terkonsentrasi di sejumlah kota besar sehingga perbandingan dokter-pasien makin besar di wilayah pedalaman. Hal serupa terjadi pada fasilitas kesehatan.
Ketimpangan fasilitas dan tenaga kesehatan menimbulkan keraguan terkait mutu pelayanan serta jaminan akses bagi warga, terutama di pedalaman. ”Bisa jadi hanya mereka yang tinggal di perkotaan yang bisa mengakses pelayanan kesehatan,” demikian kekhawatiran sejumlah pemerhati kesehatan.

Pemerintah memang berupaya mengatasi kendala dengan membangun fasilitas kesehatan, mendorong swasta membangun rumah sakit di daerah, memberikan beasiswa bagi dokter dan dokter spesialis yang bersedia bekerja di daerah, menyebar bidan ke desa-desa. Namun, masih banyak kisah kematian warga akibat kesulitan mengakses pelayanan kesehatan.

Kesiapan peraturan

Hal yang penting, aturan operasional penyelenggaraan jaminan kesehatan berupa sejumlah peraturan pemerintah dan peraturan presiden belum siap. Negosiasi pemerintah dengan para pihak belum tuntas. Padahal, ditargetkan November 2012 selesai sehingga bisa segera disosialisasikan kepada masyarakat. Pemerintah kini sedang menggodok dua peraturan presiden, yakni tentang Jaminan Kesehatan dan tentang Penerima Bantuan Iuran.

Alokasi pemerintah untuk bantuan iuran bagi penduduk tidak mampu sebesar Rp 22.000 per orang per bulan oleh banyak pihak dinilai belum mencukupi nilai keekonomian pelayanan kesehatan. Hal itu dikhawatirkan bisa menurunkan mutu layanan medis karena tidak cukup untuk membiayai tenaga medis, obat-obatan, investasi, dan biaya lain. Ikatan Dokter Indonesia mengusulkan, besaran iuran setidaknya Rp60.000 per orang per bulan.

Agar penyelenggaraan jaminan kesehatan berjalan baik, tenaga kesehatan mulai dari dokter, dokter gigi, perawat, bidan, hingga tenaga administrasi, harus dibayar memadai. Karena itu, reformasi sistem pembayaran pelayanan kesehatan dinilai mendesak dilakukan.

Pekerjaan rumah lain yang harus diselesaikan adalah menetapkan batas penghasilan penerima bantuan iuran, menyelesaikan data penerima bantuan iuran, besaran iuran bagi peserta yang bukan pekerja formal, cara pengumpulan iuran serta sejumlah hal lain.

Jika jaminan pelayanan kesehatan disiapkan dengan baik dan dilaksanakan dengan jujur, penduduk Indonesia akan terjamin pelayanan kesehatannya. Produktivitas bisa meningkat karena warga terjamin kesehatannya. Sebaliknya, ketidaksiapan akan meningkatkan penolakan dan masyarakat akan makin jauh dari haknya terkait jaminan pelayanan kesehatan.

(Atika Walujani Moedjiono/kompas.com)

No comments:

Post a Comment