Menjelang akhir abad ke-19 pada masa revolusi industri, sebagian
besar penduduk Jerman dilanda kemiskinan. Sistem tradisional seperti bantuan
keluarga, lembaga karitas, ataupun pemerintah tidak mampu lagi menjamin
pemeliharaan dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Hal itu mendorong Kanselir Otto von Bismarck mencanangkan
asuransi kesehatan wajib bagi kaum buruh tahun 1883.
Bagi Bismarck, solidaritas merupakan landasan etis untuk
menyatukan masyarakat dengan posisi ekonomi berbeda-beda untuk mencapai
keselarasan, kesejahteraan sosial ekonomi, dan mengurangi friksi sosial.
Langkah itu membuat warga Jerman kini menikmati jaminan pelayanan kesehatan
komprehensif berstandar tinggi. Mereka juga memiliki jaminan finansial di kala
kehilangan pekerjaan ataupun pada masa tua. Hal serupa berlangsung di banyak
negara maju. Negara berkembang, seperti Thailand dan Filipina, mengembangkan asuransi
kesehatan sosial lebih dari 10 tahun lalu.
Bagi penduduk Indonesia, hak atas kesehatan ditegaskan dalam
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat 1: ”Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Terkait
jaminan sosial, Pasal 34 Ayat 2 menyatakan: ”Negara mengembangkan jaminan
sosial nasional bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.
Kendala
Namun, bisa dikatakan Indonesia ketinggalan dari negara-negara
tetangga. Sampai saat ini, belum semua penduduk Indonesia bisa menikmati
pelayanan kesehatan. Bagi penduduk di pedalaman, kondisi geografis mengakibatkan
ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan kurang memadai. Di perkotaan yang
berlimpah fasilitas dan tenaga kesehatan, masalah finansial menghambat orang
miskin dalam mengakses pelayanan kesehatan.
Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) ataupun Jaminan
kesehatan daerah (Jamkesda) yang diluncurkan pemerintah belum mencakup semua
orang yang membutuhkan. Penyakit berat membuat orang berkecukupan jadi jatuh
miskin.
Sebenarnya Indonesia telah memiliki UU Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) sejak tahun 2004. Salah satu amanat UU itu adalah tersedianya
asuransi kesehatan sosial yang menjamin pelayanan kesehatan bagi semua warga
negara. Namun, baru pada 2011 UU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) sebagai salah satu aturan pelaksana diterbitkan. Jaminan sosial yang
pertama, yakni bidang kesehatan, baru akan dilaksanakan per 1 Januari 2014.
Selain harus menunggu 10 tahun sejak UU SJSN diterbitkan,
asuransi kesehatan sosial di Indonesia harus menghadapi tentangan dari mereka
yang berseberangan paham ataupun yang belum paham manfaat dan konsepnya.
Pada umumnya, asuransi kesehatan sosial dijalankan oleh lembaga
nirlaba yang bersifat independen. Adapun pelayanan kesehatan bisa
diselenggarakan pemerintah, organisasi nirlaba, dan pihak swasta. Dalam asuransi
yang berbasis gotong royong dan subsidi silang ini, setiap warga wajib membayar
iuran dalam persentase tertentu dari gaji yang dibayar bersama dengan pemberi
kerja. Iuran penduduk tidak mampu dibayar oleh pemerintah. Sebagai imbalan,
warga bisa mengakses pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tanpa mengkhawatirkan
biaya perawatan.
Hambatan lain, belum meratanya fasilitas pelayanan kesehatan
ataupun tenaga kesehatan di seluruh Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia
mencatat, sampai saat ini baru ada 88.309 dokter umum dan 22.212 dokter
spesialis. Artinya, satu dokter umum melayani sekitar 2.700 pasien dan satu
dokter spesialis melayani sekitar 10.800 pasien. Mereka terkonsentrasi di
sejumlah kota besar sehingga perbandingan dokter-pasien makin besar di wilayah
pedalaman. Hal serupa terjadi pada fasilitas kesehatan.
Ketimpangan fasilitas dan tenaga kesehatan menimbulkan keraguan
terkait mutu pelayanan serta jaminan akses bagi warga, terutama di pedalaman.
”Bisa jadi hanya mereka yang tinggal di perkotaan yang bisa mengakses pelayanan
kesehatan,” demikian kekhawatiran sejumlah pemerhati kesehatan.
Pemerintah memang berupaya mengatasi kendala dengan membangun
fasilitas kesehatan, mendorong swasta membangun rumah sakit di daerah,
memberikan beasiswa bagi dokter dan dokter spesialis yang bersedia bekerja di
daerah, menyebar bidan ke desa-desa. Namun, masih banyak kisah kematian warga
akibat kesulitan mengakses pelayanan kesehatan.
Kesiapan
peraturan
Hal yang penting, aturan operasional penyelenggaraan jaminan
kesehatan berupa sejumlah peraturan pemerintah dan peraturan presiden belum
siap. Negosiasi pemerintah dengan para pihak belum tuntas. Padahal, ditargetkan
November 2012 selesai sehingga bisa segera disosialisasikan kepada masyarakat.
Pemerintah kini sedang menggodok dua peraturan presiden, yakni tentang Jaminan
Kesehatan dan tentang Penerima Bantuan Iuran.
Alokasi pemerintah untuk bantuan iuran bagi penduduk tidak mampu
sebesar Rp 22.000 per orang per bulan oleh banyak pihak dinilai belum mencukupi
nilai keekonomian pelayanan kesehatan. Hal itu dikhawatirkan bisa menurunkan
mutu layanan medis karena tidak cukup untuk membiayai tenaga medis,
obat-obatan, investasi, dan biaya lain. Ikatan Dokter Indonesia mengusulkan,
besaran iuran setidaknya Rp60.000 per orang per bulan.
Agar penyelenggaraan jaminan kesehatan berjalan baik, tenaga
kesehatan mulai dari dokter, dokter gigi, perawat, bidan, hingga tenaga
administrasi, harus dibayar memadai. Karena itu, reformasi sistem pembayaran
pelayanan kesehatan dinilai mendesak dilakukan.
Pekerjaan rumah lain yang harus diselesaikan adalah menetapkan
batas penghasilan penerima bantuan iuran, menyelesaikan data penerima bantuan
iuran, besaran iuran bagi peserta yang bukan pekerja formal, cara pengumpulan
iuran serta sejumlah hal lain.
Jika jaminan pelayanan kesehatan disiapkan dengan baik dan
dilaksanakan dengan jujur, penduduk Indonesia akan terjamin pelayanan
kesehatannya. Produktivitas bisa meningkat karena warga terjamin kesehatannya.
Sebaliknya, ketidaksiapan akan meningkatkan penolakan dan masyarakat akan makin
jauh dari haknya terkait jaminan pelayanan kesehatan.
(Atika Walujani Moedjiono/kompas.com)
No comments:
Post a Comment