Monday, January 14, 2013

Rakyat dalam Pasar Kesehatan


Oleh ACH. FAIDY SUJA’IE
Mahasiswa Pascasarjana
Manajemen dan Kebijakan Publik
Fisipol UGM Yogyakarta

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 secara khusus menyebut hak setiap orang mendapat jaminan hidup sehat dan sejahtera. Hal ini merupakan bukti pengakuan dunia internasional terhadap hak asasi manusia di bidang kesehatan. Oleh sebab itu, mutlak dilakukan oleh setiap negara untuk mengatur jaminan kesehatan bagi setiap warganya sebagai wujud perlindungan terhadap warga negara, karena secara filosofis hadirnya negara merupakan kehendak seluruh rakyatnya. Namun faktanya tidak seperti diharapkan warga negara, negara seringkali abai terhadap kebutuhan dan hak rakyat. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya anggaran bidang kesehatan dalam APBN 2012. Anggaran kesehatan seperti tertuang dalam RAPBN 2012 masih tidak jauh berbeda dengan APBN-P 2011 yang belum berorientasi pada kemakmuran rakyat. Anggaran belanja untuk pegawai mencapai Rp215,7 triliun, sementara anggaran kesehatan hanya dialokasikan Rp14,4 triliun atau 1 persen dari belanja negara. Angka ini masih jauh dari amanat konstitusi kita yang mengamanatkan anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN.

Liberaliasasi Kesehatan

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H (1) jelas mengatur bahwa setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan. Hal ini diperkuat oleh Pasal 34 ayat (2), (3) yang juga mengamanatkan hal yang sama, yaitu adanya hak bagi seluruh rakyat Indonesia atas kesehatan serta adanya jaminan pemerintah atas hak tersebut.

Namun realitasnya, jaminan kesehatan terhadap rakyat kecil belum sama sekali bisa dinikmati. Pasalnya, baik dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 maupun UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ternyata belum membawa angin perubahan signifikan bagi masa depan kesehatan masyarakat dan pemenuhan hak asasi manusia. Karena pada kedua UU tadi, pemerintah telah melakukan liberalisasi kesehatan. Bentuk liberalisasi ini berupa pelimpahan penyelenggaraan fasilitas kesehatan kepada pihak swasta (pasal 30 [3]).

Ketentuan tersebut mendorong komersialisasi kesehatan, dan komodifikasi urusan kesehatan. Sehingga tidak salah apabila disebut dengan pasar kesehatan. Bentuk-bentuk liberalisasi dan komersialisasi kesehatan dapat dilihat dari upaya pemerintah untuk memprivatisasi rumah sakit daerah, setidaknya pemerintah telah mendorong perubahan status RSUD menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Status baru ini memberikan kewenangan kepada rumah sakit untuk mengelola urusan rumah tangganya secara mandiri, termasuk urusan keuangan.

Dengan demikian, maka perubahan status rumah sakit dari RSUD menjadi BLU terbukti telah mendorong kenaikan biaya bagi pasien pengguna jasa rumah sakit. Di Kupang, privatisasi RSU Yohannes Kupang memicu kenaikan biaya rumah sakit hingga 600 persen. Di Purwokerto, Jawa Tengah, kenaikan biaya rumah sakit pasca BLU mencapai 300 persen. Kejadian serupa juga terjadi di Denpasar, Bali, di mana tarif untuk klas ketiga naik dari  Rp 11 ribu menjadi Rp 33 ribu. Selain itu, akibat kebijakan liberalisasi ekonomi, pihak asing juga diberi kesempatan untuk memiliki industri jasa rumah sakit. Berdasarkan ketentuan yang dibuat pemerintah, kepemilikan asing terhadap rumah sakit diperbolehkan hingga 67 persen (Berdikari Online, 14/11/2011).

Kebijakan ini tentu akan menarik pihak swasta, baik perorangan maupun konsorsium, baik yang berasal dalam dalam negeri maupun asing, untuk menjadikan masalah dan pelayanan kesehatan di Indonesia sebagai pasar yang dapat mendatangkan keuntungan bagi mereka. Karena, liberalisasi sektor kesehatan sangat menjanjikan keuntungan materi yang cukup besar bagi para pengusaha. Melalui kebijakan pelimpahan urusan kesehatan dari negara kepada swasta ini, setidaknya ada beberapa aspek yang potensial mendatangkan keuntungan materi besar bagi para pengusaha, misalnya jasa layanan dokter, obat-obatan, alat-alat kesehatan, serta layanan fasilitas kesehatan rumah sakit.

Ironisnya lagi, komersialisasi kesehatan di Indonesia seringkali mendapat ”dukungan” dari para penegak hukum kita, aparat penegak hukum bukan berupaya membongkar relasi kolutif dalam dunia kesehatan, yang terjadi justru kekuasaan yudikatif ini ”terlibat” dalam ”mafia” kesehatan. Di Yogyakarta misalnya, sekelompok masyarakat harus turun jalan menuntut pengusutan kembali kasus dugaan korupsi pengadaan obat dan alat kesehatan (alkes) di Sleman yang penyidikannya sudah dihentikan. Padahal, kasus yang diperkirakan merugikan keuangan negara sebesar Rp1,5 miliar itu dilakukan dengan penunjukan secara langsung yang jelas-jelas melanggar peraturan perundangan (Radar Jogja, 05/01/12). Dalam kasus ini, patut dicurigai bahwa aparat kekuasaan yudikatif juga terlibat dalam mafia kesehatan.

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah di bidang kesehatan telah mendorong terciptanya pasar kesehatan. Rakyat yang sejatinya merupakan pemilik hak atas layanan kesehatan, harus berhadap-hadapan dengan para ”produsen” layanan kesehatan melalui ”pasar kesehatan”, dan masyarakat berada pada posisi konsumen kesehatan. Akhirnya, kesehatan rakyat ditentukan oleh daya beli rakyat. Kesehatan bukan lagi hak rakyat dan kewajiban negara untuk memenuhinya. Kesehatan telah menjadi komoditas yang diperjual-belikan dan konsumsinya ditentukan oleh daya beli masing-masing konsumen (rakyat). Pada posisi ini, rakyat sebagai konsumen telah dirugikan oleh produsen kesehatan.
Oleh sebab itu, perlu political will pemerintah untuk memperbaiki layanan kesehatan kepada rakyat. Di antaranya revisi undang-undang kesehatan mutlak dilakukan, dan pemerintah harus meningkatkan anggaran kesehatan dalam APBN. Selain itu, diperlukan law enforcement yang bebas dari kepentingan elit tertentu serta bebas dari praktik saling menyandera. Dengan begitu, rakyat akan memperoleh jaminan kesehatan seperti diamanatkan konstitusi maupun deklarasi hak asasi manusia. (*)

No comments:

Post a Comment