EPILOG
Setiap calon TKI/TKI
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Perlindungan sebagaimana dimaksud dilaksanakan mulai dari
pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna penempatan
(Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2004 Pasal 77 Ayat 1-2)
Negara nyaris tidak pernah mampu memberikan perlindungan terhadap TKI. Rangkaian kata-kata itu barangkali merupakan kalimat yang tepat
untuk menggambarkan kondisi perlindungan TKI di Indonesia. Saya tidak asal angkat berbicara. Sebagai
sedikit bukti, mari kita
simak nama perempuan yang indah ini, yakni Yani (18 tahun). Nasib wanita muda
asal Rembang, Jawa Tengah, yang bekerja sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga) di sebuah keluarga di
Singapura itu, ternyata tidak seindah namanya. Ia terpaksa melarikan
diri dari rumah majikan dan meminta perlindungan ke KBRI (Kedutaan Besar
Republik Indonesia) karena tidak tahan disiksa oleh majikannya. Gadis lugu yang
sudah bekerja selama 17 bulan itu mengaku hampir setiap hari dipukuli pada bagian
kepala dan wajahnya dengan payung tanpa diketahui penyebabnya.
Penderitaan lebih parah dialami oleh Sumasri, TKW asal Blitar, Jawa Timur.
Ia pulang dari Puchong (Selangor, Malaysia), selain tidak membawa uang sepeser
pun karena selama dua tahun tidak digaji, kondisinya juga dalam keadaan depresi berat
akibat penyiksaan yang dilakukan oleh majikannya. Sekujur tubuhnya penuh
bekas luka akibat pemukulan dan siraman air panas sang majikan.
Kepergian Yani dan Sumasri ke negeri orang memang tidak menggunakan jalur resmi. Tapi, terlepas dari kesalahan itu, kedua kasus
tersebut menggambarkan betapa nasib para TKI di luar negeri masih begitu
menyedihkan. Berikut sekilas peristiwa-peristiwa penganiayaan dan kedzoliman
yang sempat mengedepan yang diderita oleh para TKI, dari tahun ke tahun. Tahun
2002. Kasus Arsita, TKI asal Taliwang, Sumbawa, NTB. Ia disiksa dan diperkosa
oleh majikannya di Arab Saudi. Kedzoliman itu mengakibatkan rahangnya miring
dan kedua kakinya patah. Ia sempat tidak sadarkan diri selama empat bulan dan
harus dirawat di rumah sakit lantaran dicekik saat majikannya berusaha kembali
memerkosanya. Tahun 2004, kita dikagetkan oleh kasus Nirmala Bonat, TKI
asal Kupang, NTT (Nusa Tenggara Timur). Ia menderita luka bakar yang cukup parah
pada hampir seluruh tubuhnya akibat disetrika dan disiram air panas oleh
majikannya.
Tiada waktu berlalu tanpa nestapa TKI. Tahun 2007, kasus Ceriyati, TKI asal
Brebes, Jawa Tengah, cukup menyedot perhatian kita. Ia melarikan diri melalui jendela lantai
15 di sebuah apartemen di Kuala Lumpur (Malaysia) lantaran tidak tahan setiap
hari disiksa oleh majikannya. Akibat penyiksaan itu, sekujur tubuh Ceriyati
dipenuhi oleh luka, dahi bengkak, leher dan tangan luka parah. Tahun 2005, kasus yang cukup
menonjol adalah kasus Nur Miyati, TKI asal Sumbawa, NTB (Nusa Tenggara
Barat). Ia dianiaya oleh majikannya di Arab Saudi. Akibatnya, Nur Miyati
menderita gangren di kedua pergelangan tangan dan ujung-ujung jari kakinya. Ia
juga mengalami gangguan penglihatan di mata kiri dan gangguan pendengaran di
telinga kirinya. Giginya tanggal dan beberapa bagian tubuhnya terpaksa harus
diamputasi lantaran lukanya yang sudah membusuk.
Tahun 2009. Kasus Siti Hajar, TKI asal Garut, Jawa Barat. Ia disiksa oleh
majikannya di Malaysia. Siti Hajar dianiaya dan tidak dibayar selama bekerja 34
bulan. Setiap hari, ia disiksa, disiram oleh air panas dan dipukuli hingga
mengalami luka yang sangat parah pada hampir sekujur tubuhnya. Mulai dari muka,
badan hingga ujung kaki. Sebelumnya, tahun 2008, ada kasus Keni, TKI asal
Brebes, Jawa Tengah. Ia disiksa oleh majikannya di Arab Saudi. Penyiksaan
terhadap Keni telah meninggalkan luka bakar akibat disetrika pada hampir
seluruh tubuhnya. Akibat penyiksaan itu, kupingnya mengerut dan giginya depan tanggal.
Saya seringkali mengatakan, kalau sistem
dan manajemen bisnis jasa TKI tidak segera dibenahi oleh pemerintah supaya
menjadi lebih sistemik, modern dan transparan serta pelaku bisnisnya bekerja
lebih profesional, maka penyiksaan dan permasalahan TKI di luar negeri tidak
akan pernah berakhir. Selama ini, bila terjadi permasalahan TKI, solusinya
seperti pemadam kebakaran. Bersifat sporadis. Lucunya, apabila terjadi kasus,
semua pejabat ikut ribut, saling tuding dan saling menyalahkan. Semua ingin tampil sebagai
pahlawan di siang bolong.
Ketika negara belum sanggup memberikan
pekerjaan kepada warganegaranya yang berjumlah sampai jutaan jiwa, bilamana ada rakyat Indonesia yang bersedia berangkat ke luar
negeri untuk mencari sesuap nasi maka negara tidak boleh menghalang-halangi. Manakala negara tidak
bisa menyediakan lowongan pekerjaan bagi rakyat, sampai kemudian rakyatnya pergi ke luar negeri untuk
mengadu
peruntungan, semestinya dan sudah
selayaknya negara memberikan perlindungan yang memadai. Karena, menurut khittah Undang-undang Dasar 1945, mereka
wajib dilindungi.
Berbicara tentang perlindungan, ada
beberapa hal yang harus kita pahami. Pertama, perlindungan itu sendiri terbagi
menjadi dua. Perlindungan bagi tenaga kerja yang sudah berada di luar negeri
dan perlindungan bagi calon tenaga kerja yang masih ada di dalam negeri.
Kedua hal ini saling berkait kelindan. Satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Perlindungan bagi para calon tenaga kerja di dalam negeri menjadi
sangat penting karena dapat dijadikan tolok ukur dari perlindungan di luar negeri. Kenapa
dikatakan demikian? Sebab, perlindungan TKI di dalam negeri berkaitan dengan
proses pra-penempatan yang berkaitan erat dengan kualitas TKI yang dikirim ke manca negara. Bayangkan,
jika dari proses pra-penempatannya saja sudah menggunakan cara yang ilegal
(misalnya pemalsuan dokumen kependudukan, tidak bisa baca tulis dan tanpa
melalui pelatihan kerja di BLK sistem 200 jam), bukan tidak mungkin bila di kemudian para TKI yang
kebanyakan bekerja di sektor informal ini memperoleh perlakuan tidak manusiawi
seperti disiksa, dianiaya dan diperkosa. Majikan mana yang tidak kesal. Sang majikan merasa sudah membayar
cukup mahal ke agensi penyalur pembantu dan harus menunggu cukup lama
kedatangan para pembantu tahu-tahu mendapatkan tenaga kerja dengan kualitas yang jauh dari apa yang
diharapkan. Artinya, selama proses perlindungan calon TKI di dalam negeri masih
belum beres, perlindungan
TKI di luar negeri pun tidak akan pernah berjalan secara baik. Selama sistem dan
manajemen di dalam negeri masih buruk, selama itu pula kualitas TKI yang kita
kirimkan rendah dan rentan bermasalah.
Kita bisa membayangkan bagaimana
orang-orang kampung yang baru pertama kali keluar dari desanya, cuma dua hari dididik kemudian
langsung diberangkatkan ke luar negeri. Lantas
bisa
bekerja apa mereka di sana? Sudah begitu karakter orang-orang di luar negeri tidak seperti orang Indonesia yang lemah
lembut. Bayangkan, orang-orang yang baru
keluar dari kampungnya di Nusa Tenggara, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat, tanpa bekal pelatihan yang
memadai (seperti pelatihan tata boga, bahasa dan sebagainya) lantas bertemu bangsa yang tinggal
di padang pasir, rumahnya dari batu bertingkat-tingkat bahkan 20 kali teriak
pun tidak akan terdengar. Jelas orang-orang dari kampung itu akan terkaget-kaget menghadapi kondisi sosio-kultural di sana.
Agar perlindungan di dalam negeri berjalan baik, pemerintah sudah semestinya mengawasi proses pra-penempatan
secara tegas. Mulai dari perekrutan, pemenuhan dokumen, pelatihan-pelatihan, sampai sosialisasi
kontrak kerja. Dengan begitu, para calon TKI ini menjadi tahu apa pekerjaan majikannya
sehari-hari, bahasanya, budaya, bagaimana kalau punya masalah, harus ke mana melapor
kalau ada masalah, dan sebagainya. Faktanya, perekrutan dilakukan asal-asalan, dokumen dipalsukan dan ikut
pelatihan
dua hari sudah langsung dikirim ke Timur Tengah. Tak pelak, begitu pulang, mereka membawa beragam
permasalahan. Seandainya perlindungan TKI sudah terlaksana sejak di dalam
negeri, saya yakin permasalahan para TKI di negara penempatan akan jauh
berkurang.
Kedua, sesuai dengan amanah Undang-undang Nomor 13 tahun 1999, selama
ini perlindungan TKI di luar negeri ditangani oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Di negara-negara dengan jumlah TKI tidak terlalu besar, persoalan masih bisa ditangani
secara baik. Akan
tetapi, begitu terjadi permasalahan di negara-negara yang menjadi tujuan utama TKI (seperti Arab Saudi dan
Malaysia),
terutama permasalahan yang menimpa tenaga kerja informal, penyelesaiannya
cenderung berlarut-larut. Bahkan, tak sedikit yang diabaikan atau dibiarkan.
Sikap Kemlu menyelesaikan masalah TKI di luar negeri sampai
sekarang masih monoton. Ada TKI bermasalah datang, didata kemudian ditampung di
penampungan kedutaan. Cuma
sebatas itu. Sampai hari ini Deplu terkesan tidak mengerti bagaimana cara menyelesaikan
sebuah kasus. Saya justru melihat ada semacam kecenderungan di mana setiap
kedutaan senang kalau menampung TKI bermasalah selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Tujuannya
adalah supaya anggaran Kemlu bertambah, khususnya pos anggaran penyelesaian tenaga kerja di luar
negeri. Sekadar contoh permasalahan TKI di Arab Saudi. Apabila ada satu orang Arab ingin mendatangkan
satu orang pembantu dari Indonesia, dia cukup datang ke maktab (kantor agen
pembantu). Melalui maktab yang memang memiliki kuasa untuk mendatangkan
pembantu dari Indonesia, lalu ditanda-tanganilah perjanjian antara majikan dan staf yang
berwenang di maktab itu. Kemudian setelah ada perjanjian tertulis di atas
materai, oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab Saudi
dilegalisir dengan biaya SR40. Setelah dilegalisir dikirimlah surat permohonan ke Indonesia, yaitu ke PPTKIS
di sini. Setelah surat permohonan datang, barulah PPTKIS mencari orang. Setelah
dapat, calon TKI ini kemudian diproses, dididik dan sebagainya. Setelah proses
resminya selesai, berangkatlah TKI ini. Ternyata setelah mereka sampai di
negara penempatan dan bekerja, majikannya tidak membayar gajinya dalam beberapa
bulan sesuai dengan kesepakatan kontrak. Ini merupakan permasalahan yang paling sering terjadi di negara penempatan
di Timur Tengah. Berkaitan dengan kewenangan Kemlu, perkara ini mudah sekali cara menyelesaikannya. Karena setiap perjanjian
permintaan tenaga informal pasti dilegalisir dulu oleh KBRI, maka apabila ada
permasalahan gaji yang tidak dibayar majikan, stop saja maktabnya. Selesaikan
dulu masalah gaji, baru kami legalisir. Maktab itu bisa bangkrut kalau mereka sudah di-black list
oleh kedutaan. Agar tidak merugi, maktab ini pasti menyelesaikan permasalahan
antara TKI dan majikan. Selesai sudah urusan. Tidak perlu Duta Besar sampai turun tangan.
Cukup pegawai negeri sipil dari eselon IV.
Masalah ini bisa kita analogikan secara sederhana dengan orang jualan
pisang tanpa pesaing. Misalkan saya adalah seorang penjual
pisang goreng. Pelanggan saya cukup banyak. Di antara ratusan pelanggan saya,
ternyata ada yang berhutang selama berminggu-minggu belum dibayar. Sebagai penjual, saya pasti
bilang tidak akan menjual pisang itu ke Anda sebelum Anda membayar hutang. Padahal,
jelas-jelas yang jual pisang goreng cuma saya. Begitu juga di negeri Arab, Timur Tengah. Pintunya
itu cuma satu, yakni Kedutaan. Lantas kenapa sampai sekarang masih ratusan orang menumpuk di tempat penampungan
sementara
kedutaan?
Berbicara tentang perlindungan di luar
negeri maka kita harus berbicara mengenai perwakilan pemerintah di setiap
negara. Tidak semua negara
di dunia terdapat perwakilan pemerintah Indonesia. Selama beragam permasalahan
dan urusan yang berkaitan dengan warga negara Indonesia bisa terselesaikan, barangkali tidak terlalu bermasalah.
Misalkan KBRI di
Republik Arab Mesir yang juga merangkap perwakilan Pemerintah Republik Indonesia (RI) di Somalia dan
Djibouti. Namun, keberadaan perwakilan Pemerintah RI menjadi sangat penting di negara-negara yang menjadi
negara tujuan
penempatan
TKI. Arab Saudi sekadar contoh. Di negara
petro dolar ini terdapat 42 kota, sementara Atase Perburuhan KBRI hanya ada di Riyadh dan Konsul Muda Bidang
Perlindungan KBRI hanya ada di Jeddah. Lantas bagaimana dengan 40 kota lain yang
notabene jaraknya
saling berjauhan. Kita bisa membayangkan bilamana ada TKI
yang disiksa atau dianiaya kemudian mau melarikan diri ternyata susah. Masa harus
jalan kaki melewati padang pasir gersang ratusan kilometer. Di Kesultanan Oman yang banyak terdapat TKI
juga seperti itu. Kota Muscat yang jaraknya ribuan kilometer dari Arab Saudi, ternyata
perwakilan Pemerintah Indonesia hanya ada di Riyadh. Bayangkan berapa lama TKI kita harus
berjalan untuk mengadukan permasalahannya?
Dan, untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah, para TKI bagai pungguk
merindukan bulan. Pemerintah (negara) tak jarang lepas tangan saat melihat pentas
drama yang memilukan: “Tragedi TKI”. Pemerintah (negara) tampak kurang peduli
dan kurang mencoba sadar diri. Pemerintah (negara) menganggap seolah-olah tidak
terjadi apa-apa dengan TKI di luar negeri. Padahal, mereka menangis, tersiksa
dan menderita lantaran teraniaya dan terdzolimi oleh para majikan di tempat mereka bekerja
tanpa ada yang membela dan melindungi mereka. Kalau pun pemerintah (negara) sampai turun tangan
itu karena banyak pihak yang sudah “berteriak”.
Inilah yang saya sebut sebagai kesalahan manajemen kolektif. Lantaran
sistem dan manajemen bisnis jasa penempatan dan pengiriman TKI yang masih
amburadul, semrawut, tumpang-tindih dan tidak profesional itu mengakibatkan nasib para TKI --”Pahlawan Keluarga” dan
”Pahlawan Devisa”-- terus terpuruk dalam kepiluan. Peristiwa-peristiwa memilukan dan
mengenaskan, mulai dari kasus upah yang tidak dibayar, penganiayaan berat,
pemerkosaan hingga menjadi korban pembunuhan atau membunuh keluarga majikan
karena tidak tahan setiap hari disiksa, mencerminkan betapa penderitaan para
TKI di luar negeri masih juga belum kunjung berakhir.
Begitu menyengsarakan nasib para TKI. Meskipun secara statistik, penyiksaan dan
pendzoliman kepada para TKI tidak relatif kecil tapi mereka tetaplah warga negara Indonesia yang
mutlak berhak memperoleh perlindungan dari pemerintah (negara). Beberapa pejabat pemerintah
(negara) yang berwenang kerapkali mengaku bahwa mereka cukup sulit memantau keberadaan dan
melindungi kasus yang menimpa TKI, terutama TKI yang tidak resmi alias ilegal.
Sebuah alasan klasik yang memang masuk akal. Namun, ke depan, tentunya hal itu
tidak boleh dibiarkan terus terjadi.
Demikian memilukan nasib para TKI. Pemerintah (negara), selama
ini, mudah-mudahan tidak berlebihan, telah memperlakukan mereka layaknya ”sapi
perah”. Dan, memang, begitulah sikap kurang beradab yang tampak mengiringi
perilaku dan kebijakan para pemimpin bangsa ini. Mereka begitu senang ”memerah
keringat” anak bangsa sendiri. Tidak peduli dengan nasib mereka yang
terus-menerus dalam derita-nestapa. Selama secara materi menghasilkan, maka
keringat mereka akan terus ”diperah” sampai kering kerontang.
Untuk itu, dalam rangka mengurangi, kalau tidak bisa dikatakan
menghilangkan, berbagai permasalahan TKI (termasuk kasus penyiksaan dan
kedzoliman terhadap TKI), saya akan terus berjuang agar sistem dan manajemen
bisnis jasa TKI yang sistemik, modern dan transparan serta profesional segera
bisa diwujudkan. Tanpa upaya itu, penyiksaan dan pendzoliman terhadap TKI tidak akan
pernah berakhir. Selain itu, para TKI juga harus diberi bekal. Mulai dari keterampilan kerja,
kemampuan berbahasa asing, memahami lingkungan kerja dan budaya atau kebiasaan
negara penempatan.
Dengan sistem dan
manajemen bisnis jasa TKI yang lebih sistemik dan sesuai dengan kaidah
manajemen yang baik dan benar (jelas, tegas dan transparan), serta para
pelakunya bekerja secara profesional, tentunya berbagai permasalahan TKI akan
dapat diselesaikan secara baik. Baik untuk TKI dan pengusaha PPTKIS, maupun bagi bangsa dan
negara Indonesia serta negara penempatan TKI. Dengan sistem dan manajemen
bisnis jasa TKI yang baik dan benar, apabila terdapat berbagai kebijakan di
dalam maupun luar negeri, tentunya dapat segera menyesuaikan diri secara lebih
cepat dan tepat. Sebab, sistem dan manajemen seperti itu senafas dengan dunia
ketenagakerjaan internasional.
Tapi manajemen perlindungan TKI yang sistemik itu masih jauh
panggang dari api. Sampai sekarang saya belum pernah mendengar ada perlindungan
yang komprehensif bagi TKI, terutama bagi TKI di sektor informal. Padahal,
sesungguhnya sudah demikian banyak masukan dan saran yang datangnya dari dalam
negeri maupun luar negeri. Sayangnya, semua itu tidak pernah didengar.
Sebenarnya, aturan mainnya sudah ada, baik dalam bentuk perundang-undangan
maupun aturan pelaksananya. Hanya saja, semua itu ternyata hanya indah di atas
kertas. Implementasinya masih jauh dari sempurna.
Untuk menekan angka kasus penganiayaan TKI, kalau tidak bisa
dikatakan melindungi para TKI, harus dibenahi dulu masalah di dalam negeri.
Sistem dan manajemen bisnis jasa TKI yang baik dan benar yang ditawarkan oleh
asosiasi harus dipertimbangkan, bahkan asosiasi mutlak harus dilibatkan. Dengan perbaikan sistem
dan manajemen di dalam negeri, menurut hemat saya, permasalahan yang dihadapi
oleh para TKI di luar negeri secara otomatis akan jauh berkurang.
UU Nomor 39/2004 mengamanatkan PPTKIS (Pelaksana Penempatan Tenaga
Kerja Indonesia Swasta) untuk bertanggung jawab atas perlindungan TKI, mulai dari
pemberangkatan hingga pulang ke kampung halamannya. Namun, kini peran
perlindungan itu telah diambil alih oleh lembaga asuransi yang ditunjuk oleh pemerintah.
Begitu pula saat pulang, TKI dijemput dan diantar oleh perusahaan angkutan yang
ditunjuk. Semua tidak lagi melibatkan PPTKIS lewat organisasinya. Repotnya, bila ada persoalan dengan
TKI, yang disalahkan justru PPTKIS.
Lebih merepotkan lagi, Pemerintah asal tunjuk perusahaan asuransi tanpa
mengindahkan reputasi dan aturan yang berlaku. Peraturan Menakertrans Nomor
PER-18/MEN/IX/2010 mengatur bahwa perusahaan asuransi yang ditunjuk
disyaratkan harus memiliki perwakilan dan/atau lawyer di negara TKI
bekerja dan di daerah. Dalam kenyataannya, tidak ada perwakilan itu. Kalau pun ada, hanya
bendera. Demikian pula perwakilan di daerah. Kenyataannya, semua ada di Jakarta, atau
sedikit berada di Surabaya dan Semarang. Tidak jarang, perusahaan asuransi yang
ditunjuk pun terlibat perang diskon. Praktik ini jelas menjadikan perlindungan
TKI amat
minim, sebab dananya sudah dihabiskan untuk perang diskon, bukan buat membiayai
perwakilan dan/atau lawyer di luar negeri.
Kalau model seperti ini tetap dipertahankan, maka
pemerintah seharusnya tegas kepada perusahaan asuransi yang ditunjuk untuk
memenuhi berbagai persyaratan tadi. Termasuk, dalam pelaksanaannya harus berbentuk
konsorsium yang dipilih sesuai dengan kondisi negara tempat TKI bekerja. Misalkan,
konsorsium asuransi untuk Kuwait, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Dengan
pemilahan seperti itu, tidak akan terjadi jor-joran atau persaingan harga premi
yang tidak sehat.
Pola asuransi tadi sebenarnya sudah pernah
dilaksanakan semasa pemerintahan Orde Baru. Namun, pola itu dinilai telah
gagal, dan oleh pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri diganti dengan
lembaga perlindungan khususnya di Timur Tengah yang beranggotakan para PPTKIS.
Lembaga tersebut bergerak cepat dan dinamis dalam menyelesaikan masalah TKI.
Hasilnya, sekitar 60 persen masalah TKI di sana dapat ditekan. Lembaga
perlindungan tadi menggunakan dua pola atau cara sekaligus. Pertama,
melalui lawyer dan asuransi setempat. Oleh sebab itu, jika terjadi
kecelakaan atau musibah, lembaga perlindungan itu langsung bergerak menanganinya
dengan melibatkan lawyer dan asuransi setempat yang ditunjuk. Kedua,
jika menyangkut kasus pidana, digunakan jalur pemerintah (G to G) dan lawyer
mem-back-up
perwakilan RI.
Kemudian, seiring dengan pelaksanaan Otonomi Daerah,
UU Nomor 39/2004
telah menekankan pentingnya peran dan wewenang pemerintah daerah serta jajaran kedinasan
yang ada di bawahnya. Namun, dalam kenyataan, daerah terlihat kurang menjalankan
fungsi dan peran yang seharusnya
dijalankan. Terlepas
dari hal itu,
penempatan dan perlindungan TKI memang mutlak melibatkan pemerintah daerah. Sekadar contoh soal
pemeriksaan kesehatan calon TKI. Medical check up calon
TKI sudah seharusnya berada di daerah. Dalam tata aturannya, setelah
dinyatakan sehat, TKI kemudian mendaftar ke Disnaker (Dinas Tenaga Kerja)
Kabupaten/Kota setempat dan datanya dimasukkan secara online. Dengan
demikian, datanya langsung bisa diakses oleh pihak yang terlibat dalam proses
pemberangkatan dan perlindungan TKI.
Kesempatan menjadi tenaga kerja di manca negara sampai
kini sangat terbuka lebar. Sebagai gambaran, Taiwan misalnya. Untuk menggulirkan
roda industri dan perekonomiannya, negeri berpenduduk 23 juta jiwa itu sangat membutuhkan
tenaga kerja asing, termasuk TKI. Peluang lain, di banyak negara maju kini ada
kecenderungan para wanita yang umumnya berpendidikan tinggi dan lebih suka bekerja di perkantoran atau sektor industri daripada ketimbang
mengurus rumah tangga (domestic helpers). Artinya, peluang
kerja menjadi TKW di negara-negara maju tadi juga semakin terbuka
lebar.
Menjadi TKI (termasuk TKW) bukanlah
pekerjaan yang hina. Menjadi TKI adalah pekerjaan yang sungguh mulia sebagaimana pekerjaan
halal pada umumnya. Yang pasti, para TKI dan bisnis jasa TKI telah terbukti
mampu mengatasi krisis tenaga kerja di Tanah Air. Sektor jasa penempatan dan
pengiriman TKI juga mampu menjadi penyelamat kehidupan bangsa Indonesia dari
keruntuhan akibat krisis ekonomi (1997-1998), menjadi salah satu penopang
perekonomian keluarga dan pedesaan, hingga urat nadi perekonomian nasional.
Bahkan, kini, ketika dunia sedang tersungkur dihantam badai krisis ekonomi
global, bisnis jasa penempatan dan pengiriman TKI nyaris tidak banyak terpengaruh. Kontribusi ekonomis para TKI
dan bisnis jasa pengiriman TKI bagi masyarakat, bangsa dan negara hampir-hampir tidak pernah berkurang.
Bahkan terus bertambah. Pada tahun 2003 para TKI telah menyumbang devisa
senilai US$1,67 miliar, meningkat menjadi US$1,88 miliar (2004), US$2,93 miliar
(2005), US$3,42 miliar (2006), dan naik lagi menjadi US$5,84 miliar (2007).
Tahun 2008 naik menjadi US$8,24 miliar dan ditargetkan menjadi US$20,75 miliar
(Rp186 triliun) pada tahun 2009 lalu (Kompas, 15 Juni 2009).
Persoalannya, walau disebut-sebut sebagai pahlawan keluarga dan pahlawan devisa, namun harkat dan
martabat serta nasib para TKI masih saja ternistakan. Sepanjang 2000-2009, berbagai kasus
penganiayaan dan pendzoliman terhadap mereka terus marak terjadi. Mulai
dari kasus penganiayaan dan pendzoliman terhadap Arsita, TKI asal Taliwang,
Sumbawa (2002); Nirmala Bonat, TKI asal Kupang (2004); Nur Miyati, TKI asal
Sumbawa (2005); Ceriyati, TKI asal Brebes (2007); hingga Siti Hajar, TKI asal
Garut (2009). Berbagai kasus penganiayaan dan pendzoliman itu seharusnya
menjadi tamparan yang keras bagi pemerintah (negara) guna mawas diri untuk
selanjutnya memberikan perlindungan kepada para TKI secara lebih optimal. Di antaranya
melalui pembenahan sistem dan manajemen bisnis jasa TKI yang lebih jelas,
tegas, transparan dan profesional.
Hasil Pemilu 2004,
pemimpin pemerintahan berganti dari Presiden Megawati Soekarnoputri kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Erman Suparno diberi amanah sebagai
Menakertrans. Sebelum terjadi pergantian kepemimpinan pemerintahan, UU Nomor 39/2004
tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (UU PPTKILN) disetujui dan disahkan.
Dan, sejak disahkan, UU PPTKILN sudah menuai banyak kritikan. UU PPTKILN
ternyata hanya menyalin pasal-pasal dari Kepmenakertrans Nomor 104/2002
tentang Penempatan TKI ke Luar Negeri yang sebenarnya belum menjangkau
perlindungan hukum TKI di negara penempatan. UU PPTKILN belum senafas dengan
hukum perburuhan internasional (ILO), esensi kerjasama bilateral dan subyek
hukum negara penerima TKI. Perlindungan hukum terhadap TKI selama ini hanya sebatas
berbentuk Nota Kesepahaman atau MoU (Memorandum of Understanding).
Bahkan, ada yang belum memiliki MoU. MoU antara lain telah dilakukan dengan
Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Kuwait dan Yordania. Harus dimengerti, dalam bentuk
MoU sesungguhnya belumlah cukup memadai untuk memberikan perlindungan TKI di negara penempatan. Terlebih lagi
belum ada MoU, jelas jauh dari memadai.
Berdasarkan UU
PPTKILN, pemerintah, antara lain, harus membentuk Badan Nasional Penempatan
Perlindungan TKI (BNP2TKI) sebagai pelaksana kebijakan pemerintah (Kemnakertrans).
Dan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (Perpres) Nomor 81/2006,
dibentuklah
BNP2TKI. Kemudian, berdasarkan Keppres Nomor 2/2007 (11 Januari 2007), Jumhur Hidayat ditunjuk
sebagai Kepala BNP2TKI. Dibentuknya BNP2TKI dimasudkan sebagai upaya
meningkatkan perlindungan terhadap TKI. Tapi, dalam pelaksanaannya, sekali lagi
tidak seindah di atas kertas. Di satu sisi, lantaran menyangkut “lahan rezeki”, BNP2TKI acapkali saling
berebut dengan Kemnakertrans. Padahal, dalam UU Nomor 39/2004 secara tegas diatur bahwa BNP2TKI adalah pelaksana kebijakan Kemnakertrans dalam
penempatan TKI di luar negeri.
Di sisi lain, kehadiran BNP2TKI terasa menjadi semacam
pesaing PPTKIS. Sebab, dalam Keppres Nomor 2/2007 disebutkan bahwa tugas BNP2TKI adalah melaksanakan
penempatan TKI atas dasar perjanjian tertulis antara pemerintah dan pemerintah negara tujuan penempatan TKI atau
pengguna berbadan hukum di negara tujuan penempatan. Arti kata, BNP2TKI dapat pula berperan
sebagai pelaku bisnis jasa penempatan dan pengiriman TKI layaknya PPTKIS. Padahal,
secara jelas, Perpres Nomor 81/2006 menyebutkan bahwa BNP2TKI merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen ( berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden) yang berperan sebagai pelaksana kebijakan pemerintah,
bukan pelaksana penempatan dan pengiriman TKI ke luar negeri.
Selain itu, sejumlah pihak juga banyak
mengeluhkan urusan birokrasi yang cenderung sulit, rumit dan berbelit. Mendengar
keluhan semacam
itu,
pada 2006, Presiden Yudhoyono merespon dengan menerbitkan Inpres Nomor 6/2006 tentang
Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI. Inpres itu mengatur
bahwa dua belas menteri, Kepala Kepolisian, serta para Gubernur dan
Bupati/Walikota se-Indonesia wajib dilibatkan dalam pelaksanaan kebijakan yang pada intinya
mereformasi penempatan dan perlindungan TKI ke dalam online system. Baru saja mengawali pelaksanaan berkaitan dengan online
system, langsung menuai kritik tajam. Sebab, persyaratan online system
justru
tambah berbelit-berbelit dan semua biaya harus ditanggung oleh calon TKI sendiri. Walhasil,
kebijakan yang dimaksudkan agar proses pengiriman dan penempatan serta
perlindungan terhadap TKI menjadi lebih baik serta mudah dan murah, malah
menjadi semakin runyam, amburadul, sulit dan mahal.
Dalam epilog ini saya ingin menegaskan bahwa, dari waktu ke waktu,
kebijakan dan program penempatan dan perlindungan terhadap TKI yang dilaksanakan pemerintah
bersifat sporadis layaknya pemadam kebakaran. Kebijakan dan program
perlindungan terhadap TKI kurang mendasar dan komprehensif. Berbagai praktik
mafia dan “kebobrokan” di dalam negeri tampak dibiarkan, tidak diberantas
secara tuntas. Ditambah lagi dengan ketidak-jelasan dan ketidak-tegasan lembaga yang
berwenang atas TKI, maka sistem dan manajemen bisnis jasa TKI menjadi semakin
amburadul, semrawut, tumpang-tindih, serta tidak jelas dan tegas, serta kurang
profesional.
Untuk itu ada baiknya kita menyimak pemikiran Yatim
Kelana dalam bukunya yang berjudul Perjalanan Organisasi PPTKIS Dalam Misi
Sosial Penempatan Ke Luar Negeri (2007). Dalam kerangka pembenahan bisnis jasa penempatan dan
perlindungan TKI yang mendasar dan komprehensif, dia menyarankan beberapa hal
yang harus dilakukan. Di antaranya, pertama, PPTKIS dan pemerintah harus
saling membutuhkan dan menjalin kerja sama sinergis. Layaknya ikan dan air yang saling membutuhkan. Bukan
seperti minyak dengan air yang saling bertentangan. Kedua, guna
meringankan beban para TKI, pemerintah (Pusat dan Daerah) dapat menganggarkan
dana melalui APBN/APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah) buat calon TKI. Dengan demikian, pengiriman, penempatan dan
perlindungan terhadap TKI yang mudah, murah dan aman dapat diwujudkan. Ketiga,
harus ada visi dan misi yang sama dari para stakeholders serta
koordinasi antar-instansi terkait harus lebih padu. Dengan kata lain, sistem dan manajemen
bisnis jasa TKI yang sistemik dan sesuai dengan kaidah manajemen modern yang
baik dan benar (jelas, tegas dan transparan), serta para pelaku bisnisnya
bekerja secara profesional harus segera diwujudkan.
Pada akhirnya, saya mengingatkan bahwa
kita sudah saatnya kembali ke tekad dan tujuan para founding
fathers saat mendirikan negara ini sebagaimana tertuang dalam konstitusi
negara (UUD 1945). Bahwa negara melindungi segenap bangsa (rakyat) dan seluruh tumpah
darah, dan memberikan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia.
Secara tegas, dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 27 ayat (2) dinyatakan: “Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak bagi kemanusiaan.”
Artinya, secara konstitusional, pemerintah (negara) memang berkewajiban dan
bertanggung jawab melindungi rakyat Indonesia di manapun berada, serta
memberikan penghidupan yang layak bagi mereka. Karena, jika TKI terlindungi
dengan baik maka negara kita pasti akan
lebih dihargai dan berjaya.
Jika perlindungan terhadap
TKI benar-benar terwujud secara komprehensif, sistemik dan integratif, maka
jangan lagi merisaukan
tentang kemajuan dan kejayaan negeri ini. Sebuah ungkapan yang rasanya tidaklah
berlebihan. Sebab, selain memiliki sumber kekayaan alam yang berlimpah (economic
capital), sesungguhnya Indonesia juga memiliki penduduk yang besar. Apabila
mereka memiliki keterampilan (skill)
yang memadai, sumber daya manusia yang begitu besar itu juga bisa menjadi modal
manusia (human capital) guna menghasilkan nilai ekonomis yang besar pula
bagi bangsa dan negara. Seandainya penduduk Indonesia sudah menjadi human
capital dengan nilai ekonomis yang tinggi, tentunya, Indonesia yang maju dan jaya benar-benar dapat diwujudkan.
Human capital dengan nilai ekonomis yang tinggi itu, antara lain, dapat dilakukan dengan
mengirim TKI yang terampil untuk bekerja di
luar negeri. Yang jelas, sekadar mengingatkan kembali, pada tahun 2008
misalnya, para TKI telah menyumbang devisa kepada negara sebesar US$8,2 miliar
atau Rp82 triliun. Setahun kemudian (2009), diperkirakan meningkat menjadi
US$20,75 miliar (Rp186 triliun). Sebuah angka yang sangat besar. Padahal, sejak
tahun 2008 hingga sekarang ini, dunia internasional tengah mengalami krisis
ekonomi global. Tapi, di tengah kondisi perekonomian dunia yang kurang
menggembirakan tersebut, bisnis jasa TKI tetap tidak terpengaruh. Kontribusi dan
sumbangsih ekonomis mereka kepada negara tidak terkurangi, malah ke depan
diperkirakan akan terus bertambah dan meningkat.
Faktor utama meningkatnya devisa negara dari para TKI
itu sendiri adalah karena semakin bertambahnya jumlah para TKI yang bekerja
di luar negeri. Artinya, atas dasar kalkulasi matematis-ekonomis, semakin banyak TKI
yang bekerja di luar negeri maka semakin besar pula devisa yang dapat disumbangkan
kepada masyarakat, bangsa dan negara. Terlebih, di tengah krisis ekonomi global
sekarang ini, permintaan TKI dari negara-negara maju seperti Taiwan, Korea
Selatan, Jepang, Hongkong, Singapura dan Malaysia (kawasan Asia Pasifik), serta
Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Yordania (kawasan Timur Tengah) serta kawasan
benua lain, masih sangat besar. Mengapa? Ya, karena negara-negara maju tersebut
tetap membutuhkan tenaga kerja yang terampil. Karakter dan jati diri TKI yang dikenal
sebagai pekerja keras, ulet, terampil dan tidak malu melakukan pekerjaan di luar job
description guna menolong majikan atau atasannya, cukup disukai oleh negara
lain.
Dalam sebuah studi pernah pula diungkapkan, bahwa
dalam rentang sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang panjang, hanyalah sektor
pariwisata (tourism) dan bisnis jasa TKI yang mampu menarik modal dari
luar negeri (capital inflight). Sedangkan sektor yang lain, termasuk sektor minyak dan
gas (migas), justru lebih banyak membawa ”terbang” modal bangsa Indonesia ke
luar negeri (capital flight). Artinya, sektor pariwisata dan bisnis jasa
TKI itulah yang selama ini memberikan kontribusi surplus (positif) atau capital
values (nilai kapital) kepada bangsa-negara Indonesia.***
No comments:
Post a Comment