Saturday, January 12, 2013

TKI Terlindungi Negara Berjaya


EPILOG



Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perlindungan sebagaimana dimaksud dilaksanakan mulai dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna penempatan

(Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Pasal 77 Ayat 1-2)


Negara nyaris tidak pernah mampu memberikan perlindungan terhadap TKI. Rangkaian kata-kata itu barangkali merupakan kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi perlindungan TKI di Indonesia. Saya tidak asal angkat berbicara. Sebagai sedikit bukti, mari kita simak nama perempuan yang indah ini, yakni Yani (18 tahun). Nasib wanita muda asal Rembang, Jawa Tengah, yang bekerja sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga) di sebuah keluarga di Singapura itu, ternyata tidak seindah namanya. Ia terpaksa melarikan diri dari rumah majikan dan meminta perlindungan ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) karena tidak tahan disiksa oleh majikannya. Gadis lugu yang sudah bekerja selama 17 bulan itu mengaku hampir setiap hari dipukuli pada bagian kepala dan wajahnya dengan payung tanpa diketahui penyebabnya.

Penderitaan lebih parah dialami oleh Sumasri, TKW asal Blitar, Jawa Timur. Ia pulang dari Puchong (Selangor, Malaysia), selain tidak membawa uang sepeser pun karena selama dua tahun tidak digaji, kondisinya juga dalam keadaan depresi berat akibat penyiksaan yang dilakukan oleh majikannya. Sekujur tubuhnya penuh bekas luka akibat pemukulan dan siraman air panas sang majikan.

Kepergian Yani dan Sumasri ke negeri orang memang tidak menggunakan jalur resmi. Tapi, terlepas dari kesalahan itu, kedua kasus tersebut menggambarkan betapa nasib para TKI di luar negeri masih begitu menyedihkan. Berikut sekilas peristiwa-peristiwa penganiayaan dan kedzoliman yang sempat mengedepan yang diderita oleh para TKI, dari tahun ke tahun. Tahun 2002. Kasus Arsita, TKI asal Taliwang, Sumbawa, NTB. Ia disiksa dan diperkosa oleh majikannya di Arab Saudi. Kedzoliman itu mengakibatkan rahangnya miring dan kedua kakinya patah. Ia sempat tidak sadarkan diri selama empat bulan dan harus dirawat di rumah sakit lantaran dicekik saat majikannya berusaha kembali memerkosanya. Tahun 2004, kita dikagetkan oleh kasus Nirmala Bonat, TKI asal Kupang, NTT (Nusa Tenggara Timur). Ia menderita luka bakar yang cukup parah pada hampir seluruh tubuhnya akibat disetrika dan disiram air panas oleh majikannya.

Tiada waktu berlalu tanpa nestapa TKI. Tahun 2007, kasus Ceriyati, TKI asal Brebes, Jawa Tengah, cukup menyedot perhatian kita. Ia melarikan diri melalui jendela lantai 15 di sebuah apartemen di Kuala Lumpur (Malaysia) lantaran tidak tahan setiap hari disiksa oleh majikannya. Akibat penyiksaan itu, sekujur tubuh Ceriyati dipenuhi oleh luka, dahi bengkak, leher dan tangan luka parah. Tahun 2005, kasus yang cukup menonjol adalah kasus Nur Miyati, TKI asal Sumbawa, NTB (Nusa Tenggara Barat). Ia dianiaya oleh majikannya di Arab Saudi. Akibatnya, Nur Miyati menderita gangren di kedua pergelangan tangan dan ujung-ujung jari kakinya. Ia juga mengalami gangguan penglihatan di mata kiri dan gangguan pendengaran di telinga kirinya. Giginya tanggal dan beberapa bagian tubuhnya terpaksa harus diamputasi lantaran lukanya yang sudah membusuk.

Tahun 2009. Kasus Siti Hajar, TKI asal Garut, Jawa Barat. Ia disiksa oleh majikannya di Malaysia. Siti Hajar dianiaya dan tidak dibayar selama bekerja 34 bulan. Setiap hari, ia disiksa, disiram oleh air panas dan dipukuli hingga mengalami luka yang sangat parah pada hampir sekujur tubuhnya. Mulai dari muka, badan hingga ujung kaki. Sebelumnya, tahun 2008, ada kasus Keni, TKI asal Brebes, Jawa Tengah. Ia disiksa oleh majikannya di Arab Saudi. Penyiksaan terhadap Keni telah meninggalkan luka bakar akibat disetrika pada hampir seluruh tubuhnya. Akibat penyiksaan itu, kupingnya mengerut dan giginya depan tanggal.

Saya  seringkali mengatakan, kalau sistem dan manajemen bisnis jasa TKI tidak segera dibenahi oleh pemerintah supaya menjadi lebih sistemik, modern dan transparan serta pelaku bisnisnya bekerja lebih profesional, maka penyiksaan dan permasalahan TKI di luar negeri tidak akan pernah berakhir. Selama ini, bila terjadi permasalahan TKI, solusinya seperti pemadam kebakaran. Bersifat sporadis. Lucunya, apabila terjadi kasus, semua pejabat ikut ribut, saling tuding dan saling menyalahkan. Semua ingin tampil sebagai pahlawan di siang bolong.

Ketika negara belum sanggup memberikan pekerjaan kepada warganegaranya yang berjumlah sampai jutaan jiwa, bilamana ada rakyat Indonesia yang bersedia berangkat ke luar negeri untuk mencari sesuap nasi maka negara tidak boleh menghalang-halangi. Manakala negara tidak bisa menyediakan lowongan pekerjaan bagi rakyat, sampai kemudian rakyatnya pergi ke luar negeri untuk mengadu peruntungan, semestinya dan sudah selayaknya negara memberikan perlindungan yang memadai. Karena, menurut khittah Undang-undang Dasar 1945, mereka wajib dilindungi.

Berbicara tentang perlindungan, ada beberapa hal yang harus kita pahami. Pertama, perlindungan itu sendiri terbagi menjadi dua. Perlindungan bagi tenaga kerja yang sudah berada di luar negeri dan perlindungan bagi calon tenaga kerja yang masih ada di dalam negeri. Kedua hal ini saling berkait kelindan. Satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Perlindungan bagi para calon tenaga kerja di dalam negeri menjadi sangat penting karena dapat dijadikan tolok ukur dari perlindungan di luar negeri. Kenapa dikatakan demikian? Sebab, perlindungan TKI di dalam negeri berkaitan dengan proses pra-penempatan yang berkaitan erat dengan kualitas TKI yang dikirim ke manca negara. Bayangkan, jika dari proses pra-penempatannya saja sudah menggunakan cara yang ilegal (misalnya pemalsuan dokumen kependudukan, tidak bisa baca tulis dan tanpa melalui pelatihan kerja di BLK sistem 200 jam), bukan tidak mungkin bila di kemudian para TKI yang kebanyakan bekerja di sektor informal ini memperoleh perlakuan tidak manusiawi seperti disiksa, dianiaya dan diperkosa. Majikan mana yang tidak kesal. Sang majikan merasa sudah membayar cukup mahal ke agensi penyalur pembantu dan harus menunggu cukup lama kedatangan para pembantu tahu-tahu mendapatkan tenaga kerja dengan kualitas yang jauh dari apa yang diharapkan. Artinya, selama proses perlindungan calon TKI di dalam negeri masih belum beres, perlindungan TKI di luar negeri pun tidak akan pernah berjalan secara baik. Selama sistem dan manajemen di dalam negeri masih buruk, selama itu pula kualitas TKI yang kita kirimkan rendah dan rentan bermasalah.

Kita bisa membayangkan bagaimana orang-orang kampung yang baru pertama kali keluar dari desanya, cuma dua hari dididik kemudian langsung  diberangkatkan ke luar negeri. Lantas bisa bekerja apa mereka di sana? Sudah begitu karakter orang-orang di luar negeri tidak seperti orang Indonesia yang lemah lembut.  Bayangkan, orang-orang yang baru keluar dari kampungnya di Nusa Tenggara, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat, tanpa bekal pelatihan yang memadai (seperti pelatihan tata boga, bahasa dan sebagainya) lantas bertemu bangsa yang tinggal di padang pasir, rumahnya dari batu bertingkat-tingkat bahkan 20 kali teriak pun tidak akan terdengar. Jelas orang-orang dari kampung itu akan terkaget-kaget menghadapi kondisi sosio-kultural di sana.

Agar perlindungan di dalam negeri berjalan baik, pemerintah sudah semestinya mengawasi proses pra-penempatan secara tegas. Mulai dari perekrutan, pemenuhan dokumen, pelatihan-pelatihan, sampai sosialisasi kontrak kerja. Dengan begitu, para calon TKI ini menjadi tahu apa pekerjaan majikannya sehari-hari, bahasanya, budaya, bagaimana kalau punya masalah, harus ke mana melapor kalau ada masalah, dan sebagainya. Faktanya, perekrutan dilakukan asal-asalan, dokumen dipalsukan dan ikut pelatihan dua hari sudah langsung dikirim ke Timur Tengah. Tak pelak, begitu pulang, mereka membawa beragam permasalahan. Seandainya perlindungan TKI sudah terlaksana sejak di dalam negeri, saya yakin permasalahan para TKI di negara penempatan akan jauh berkurang.

Kedua, sesuai dengan amanah Undang-undang Nomor 13 tahun 1999, selama ini perlindungan TKI di luar negeri ditangani oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Di negara-negara dengan jumlah TKI tidak terlalu besar, persoalan masih bisa ditangani secara baik. Akan tetapi, begitu terjadi permasalahan di negara-negara yang menjadi tujuan utama TKI (seperti Arab Saudi dan Malaysia), terutama permasalahan yang menimpa tenaga kerja informal, penyelesaiannya cenderung berlarut-larut. Bahkan, tak sedikit yang diabaikan atau dibiarkan.

Sikap Kemlu menyelesaikan masalah TKI di luar negeri sampai sekarang masih monoton. Ada TKI bermasalah datang, didata kemudian ditampung di penampungan kedutaan. Cuma sebatas itu. Sampai hari ini Deplu terkesan tidak mengerti bagaimana cara menyelesaikan sebuah kasus. Saya justru melihat ada semacam kecenderungan di mana setiap kedutaan senang kalau menampung TKI bermasalah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Tujuannya adalah supaya anggaran Kemlu bertambah, khususnya pos anggaran penyelesaian tenaga kerja di luar negeri. Sekadar contoh permasalahan TKI di Arab Saudi. Apabila ada satu orang Arab ingin mendatangkan satu orang pembantu dari Indonesia, dia cukup datang ke maktab (kantor agen pembantu). Melalui maktab yang memang memiliki kuasa untuk mendatangkan pembantu dari Indonesia, lalu ditanda-tanganilah perjanjian antara majikan dan staf yang berwenang di maktab itu. Kemudian setelah ada perjanjian tertulis di atas materai, oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab Saudi dilegalisir dengan biaya SR40. Setelah dilegalisir dikirimlah surat permohonan ke Indonesia, yaitu ke PPTKIS di sini. Setelah surat permohonan datang, barulah PPTKIS mencari orang. Setelah dapat, calon TKI ini kemudian diproses, dididik dan sebagainya. Setelah proses resminya selesai, berangkatlah TKI ini. Ternyata setelah mereka sampai di negara penempatan dan bekerja, majikannya tidak membayar gajinya dalam beberapa bulan sesuai dengan kesepakatan kontrak. Ini merupakan permasalahan yang paling sering terjadi di negara penempatan di Timur Tengah. Berkaitan dengan kewenangan Kemlu, perkara ini mudah sekali cara menyelesaikannya. Karena setiap perjanjian permintaan tenaga informal pasti dilegalisir dulu oleh KBRI, maka apabila ada permasalahan gaji yang tidak dibayar majikan, stop saja maktabnya. Selesaikan dulu masalah gaji, baru kami legalisir. Maktab itu bisa bangkrut kalau mereka sudah di-black list oleh kedutaan. Agar tidak merugi, maktab ini pasti menyelesaikan permasalahan antara TKI dan majikan. Selesai sudah urusan. Tidak perlu Duta Besar sampai turun tangan. Cukup pegawai negeri sipil dari eselon IV.

Masalah ini bisa kita analogikan secara sederhana dengan orang jualan pisang tanpa pesaing. Misalkan saya adalah seorang penjual pisang goreng. Pelanggan saya cukup banyak. Di antara ratusan pelanggan saya, ternyata ada yang berhutang selama berminggu-minggu belum dibayar. Sebagai penjual, saya pasti bilang tidak akan menjual pisang itu ke Anda sebelum Anda membayar hutang. Padahal, jelas-jelas yang jual pisang goreng cuma saya. Begitu juga di negeri Arab, Timur Tengah. Pintunya itu cuma satu, yakni Kedutaan. Lantas kenapa sampai sekarang masih ratusan orang menumpuk di tempat penampungan sementara kedutaan?

Berbicara tentang perlindungan di luar negeri maka kita harus berbicara mengenai perwakilan pemerintah di setiap negara. Tidak semua negara di dunia terdapat perwakilan pemerintah Indonesia. Selama beragam permasalahan dan urusan yang berkaitan dengan warga negara Indonesia bisa terselesaikan, barangkali tidak terlalu bermasalah. Misalkan KBRI di Republik Arab Mesir yang juga merangkap perwakilan Pemerintah Republik Indonesia (RI) di Somalia dan Djibouti. Namun, keberadaan perwakilan Pemerintah RI menjadi sangat penting di negara-negara yang menjadi negara tujuan penempatan TKI. Arab Saudi sekadar contoh. Di negara petro dolar ini terdapat 42 kota, sementara Atase Perburuhan KBRI hanya ada di Riyadh dan Konsul Muda Bidang Perlindungan KBRI hanya ada di Jeddah. Lantas bagaimana dengan 40 kota lain yang notabene jaraknya saling berjauhan. Kita bisa membayangkan bilamana ada TKI yang disiksa atau dianiaya kemudian mau melarikan diri ternyata susah. Masa harus jalan kaki melewati padang pasir gersang ratusan kilometer. Di Kesultanan Oman yang banyak terdapat TKI juga seperti itu. Kota Muscat yang jaraknya ribuan kilometer dari Arab Saudi, ternyata perwakilan Pemerintah Indonesia hanya ada di Riyadh. Bayangkan berapa lama TKI kita harus berjalan untuk mengadukan permasalahannya?

Dan, untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah, para TKI bagai pungguk merindukan bulan. Pemerintah (negara) tak jarang lepas tangan saat melihat pentas drama yang memilukan: “Tragedi TKI”. Pemerintah (negara) tampak kurang peduli dan kurang mencoba sadar diri. Pemerintah (negara) menganggap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan TKI di luar negeri. Padahal, mereka menangis, tersiksa dan menderita lantaran teraniaya dan terdzolimi oleh para majikan di tempat mereka bekerja tanpa ada yang membela dan melindungi mereka. Kalau pun pemerintah (negara) sampai turun tangan itu karena banyak pihak yang sudah “berteriak”.

Inilah yang saya sebut sebagai kesalahan manajemen kolektif. Lantaran sistem dan manajemen bisnis jasa penempatan dan pengiriman TKI yang masih amburadul, semrawut, tumpang-tindih dan tidak profesional itu mengakibatkan nasib para TKI --”Pahlawan Keluarga” dan ”Pahlawan Devisa”-- terus terpuruk dalam kepiluan. Peristiwa-peristiwa memilukan dan mengenaskan, mulai dari kasus upah yang tidak dibayar, penganiayaan berat, pemerkosaan hingga menjadi korban pembunuhan atau membunuh keluarga majikan karena tidak tahan setiap hari disiksa, mencerminkan betapa penderitaan para TKI di luar negeri masih juga belum kunjung berakhir.

Begitu menyengsarakan nasib para TKI. Meskipun secara statistik, penyiksaan dan pendzoliman kepada para TKI tidak relatif kecil tapi mereka tetaplah warga negara Indonesia yang mutlak berhak memperoleh perlindungan dari pemerintah (negara). Beberapa pejabat pemerintah (negara) yang berwenang kerapkali mengaku bahwa mereka cukup sulit memantau keberadaan dan melindungi kasus yang menimpa TKI, terutama TKI yang tidak resmi alias ilegal. Sebuah alasan klasik yang memang masuk akal. Namun, ke depan, tentunya hal itu tidak boleh dibiarkan terus terjadi.

Demikian memilukan nasib para TKI. Pemerintah (negara), selama ini, mudah-mudahan tidak berlebihan, telah memperlakukan mereka layaknya ”sapi perah”. Dan, memang, begitulah sikap kurang beradab yang tampak mengiringi perilaku dan kebijakan para pemimpin bangsa ini. Mereka begitu senang ”memerah keringat” anak bangsa sendiri. Tidak peduli dengan nasib mereka yang terus-menerus dalam derita-nestapa. Selama secara materi menghasilkan, maka keringat mereka akan terus ”diperah” sampai kering kerontang.

Untuk itu, dalam rangka mengurangi, kalau tidak bisa dikatakan menghilangkan, berbagai permasalahan TKI (termasuk kasus penyiksaan dan kedzoliman terhadap TKI), saya akan terus berjuang agar sistem dan manajemen bisnis jasa TKI yang sistemik, modern dan transparan serta profesional segera bisa diwujudkan. Tanpa upaya itu, penyiksaan dan pendzoliman terhadap TKI tidak akan pernah berakhir. Selain itu, para TKI juga harus diberi bekal. Mulai dari keterampilan kerja, kemampuan berbahasa asing, memahami lingkungan kerja dan budaya atau kebiasaan negara penempatan.

Dengan sistem dan manajemen bisnis jasa TKI yang lebih sistemik dan sesuai dengan kaidah manajemen yang baik dan benar (jelas, tegas dan transparan), serta para pelakunya bekerja secara profesional, tentunya berbagai permasalahan TKI akan dapat diselesaikan secara baik. Baik untuk TKI dan pengusaha PPTKIS, maupun bagi bangsa dan negara Indonesia serta negara penempatan TKI. Dengan sistem dan manajemen bisnis jasa TKI yang baik dan benar, apabila terdapat berbagai kebijakan di dalam maupun luar negeri, tentunya dapat segera menyesuaikan diri secara lebih cepat dan tepat. Sebab, sistem dan manajemen seperti itu senafas dengan dunia ketenagakerjaan internasional.

Tapi manajemen perlindungan TKI yang sistemik itu masih jauh panggang dari api. Sampai sekarang saya belum pernah mendengar ada perlindungan yang komprehensif bagi TKI, terutama bagi TKI di sektor informal. Padahal, sesungguhnya sudah demikian banyak masukan dan saran yang datangnya dari dalam negeri maupun luar negeri. Sayangnya, semua itu tidak pernah didengar. Sebenarnya, aturan mainnya sudah ada, baik dalam bentuk perundang-undangan maupun aturan pelaksananya. Hanya saja, semua itu ternyata hanya indah di atas kertas. Implementasinya masih jauh dari sempurna.

Untuk menekan angka kasus penganiayaan TKI, kalau tidak bisa dikatakan melindungi para TKI, harus dibenahi dulu masalah di dalam negeri. Sistem dan manajemen bisnis jasa TKI yang baik dan benar yang ditawarkan oleh asosiasi harus dipertimbangkan, bahkan asosiasi mutlak harus dilibatkan. Dengan perbaikan sistem dan manajemen di dalam negeri, menurut hemat saya, permasalahan yang dihadapi oleh para TKI di luar negeri secara otomatis akan jauh berkurang.

UU Nomor 39/2004 mengamanatkan PPTKIS (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta) untuk bertanggung jawab atas perlindungan TKI, mulai dari pemberangkatan hingga pulang ke kampung halamannya. Namun, kini peran perlindungan itu telah diambil alih oleh lembaga asuransi yang ditunjuk oleh pemerintah. Begitu pula saat pulang, TKI dijemput dan diantar oleh perusahaan angkutan yang ditunjuk. Semua tidak lagi melibatkan PPTKIS lewat organisasinya. Repotnya, bila ada persoalan dengan TKI, yang disalahkan justru PPTKIS.

Lebih merepotkan lagi, Pemerintah asal tunjuk perusahaan asuransi tanpa mengindahkan reputasi dan aturan yang berlaku. Peraturan Menakertrans Nomor PER-18/MEN/IX/2010 mengatur bahwa perusahaan asuransi yang ditunjuk disyaratkan harus memiliki perwakilan dan/atau lawyer di negara TKI bekerja dan di daerah. Dalam kenyataannya, tidak ada perwakilan itu. Kalau pun ada, hanya bendera. Demikian pula perwakilan di daerah. Kenyataannya, semua ada di Jakarta, atau sedikit berada di Surabaya dan Semarang. Tidak jarang, perusahaan asuransi yang ditunjuk pun terlibat perang diskon. Praktik ini jelas menjadikan perlindungan TKI amat minim, sebab dananya sudah dihabiskan untuk perang diskon, bukan buat membiayai perwakilan dan/atau lawyer di luar negeri.

Kalau model seperti ini tetap dipertahankan, maka pemerintah seharusnya tegas kepada perusahaan asuransi yang ditunjuk untuk memenuhi berbagai persyaratan tadi. Termasuk, dalam pelaksanaannya harus berbentuk konsorsium yang dipilih sesuai dengan kondisi negara tempat TKI bekerja. Misalkan, konsorsium asuransi untuk Kuwait, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Dengan pemilahan seperti itu, tidak akan terjadi jor-joran atau persaingan harga premi yang tidak sehat.

Pola asuransi tadi sebenarnya sudah pernah dilaksanakan semasa pemerintahan Orde Baru. Namun, pola itu dinilai telah gagal, dan oleh pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri diganti dengan lembaga perlindungan khususnya di Timur Tengah yang beranggotakan para PPTKIS. Lembaga tersebut bergerak cepat dan dinamis dalam menyelesaikan masalah TKI. Hasilnya, sekitar 60 persen masalah TKI di sana dapat ditekan. Lembaga perlindungan tadi menggunakan dua pola atau cara sekaligus. Pertama, melalui lawyer dan asuransi setempat. Oleh sebab itu, jika terjadi kecelakaan atau musibah, lembaga perlindungan itu langsung bergerak menanganinya dengan melibatkan lawyer dan asuransi setempat yang ditunjuk. Kedua, jika menyangkut kasus pidana, digunakan jalur pemerintah (G to G) dan lawyer mem-back-up perwakilan RI.

Kemudian, seiring dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, UU Nomor 39/2004 telah menekankan pentingnya peran dan wewenang pemerintah daerah serta jajaran kedinasan yang ada di bawahnya. Namun, dalam kenyataan, daerah terlihat kurang menjalankan fungsi dan peran yang seharusnya dijalankan. Terlepas dari hal itu, penempatan dan perlindungan TKI memang mutlak melibatkan pemerintah daerah. Sekadar contoh soal pemeriksaan kesehatan calon TKI. Medical check up calon TKI sudah seharusnya berada di daerah. Dalam tata aturannya, setelah dinyatakan sehat, TKI kemudian mendaftar ke Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) Kabupaten/Kota setempat dan datanya dimasukkan secara online. Dengan demikian, datanya langsung bisa diakses oleh pihak yang terlibat dalam proses pemberangkatan dan perlindungan TKI.

Kesempatan menjadi tenaga kerja di manca negara sampai kini sangat terbuka lebar. Sebagai gambaran, Taiwan misalnya. Untuk menggulirkan roda industri dan perekonomiannya, negeri berpenduduk 23 juta jiwa itu sangat membutuhkan tenaga kerja asing, termasuk TKI. Peluang lain, di banyak negara maju kini ada kecenderungan para wanita yang umumnya berpendidikan tinggi dan lebih suka bekerja di perkantoran atau sektor industri daripada ketimbang mengurus rumah tangga (domestic helpers). Artinya, peluang kerja menjadi TKW di negara-negara maju tadi juga semakin terbuka lebar.

Menjadi TKI (termasuk TKW) bukanlah pekerjaan yang hina. Menjadi TKI adalah pekerjaan yang sungguh mulia sebagaimana pekerjaan halal pada umumnya. Yang pasti, para TKI dan bisnis jasa TKI telah terbukti mampu mengatasi krisis tenaga kerja di Tanah Air. Sektor jasa penempatan dan pengiriman TKI juga mampu menjadi penyelamat kehidupan bangsa Indonesia dari keruntuhan akibat krisis ekonomi (1997-1998), menjadi salah satu penopang perekonomian keluarga dan pedesaan, hingga urat nadi perekonomian nasional. Bahkan, kini, ketika dunia sedang tersungkur dihantam badai krisis ekonomi global, bisnis jasa penempatan dan pengiriman TKI nyaris tidak banyak terpengaruh. Kontribusi ekonomis para TKI dan bisnis jasa pengiriman TKI bagi masyarakat, bangsa dan negara hampir-hampir tidak pernah berkurang. Bahkan terus bertambah. Pada tahun 2003 para TKI telah menyumbang devisa senilai US$1,67 miliar, meningkat menjadi US$1,88 miliar (2004), US$2,93 miliar (2005), US$3,42 miliar (2006), dan naik lagi menjadi US$5,84 miliar (2007). Tahun 2008 naik menjadi US$8,24 miliar dan ditargetkan menjadi US$20,75 miliar (Rp186 triliun) pada tahun 2009 lalu (Kompas, 15 Juni 2009).

Persoalannya, walau disebut-sebut sebagai pahlawan keluarga dan pahlawan devisa, namun harkat dan martabat serta nasib para TKI masih saja ternistakan. Sepanjang 2000-2009, berbagai kasus penganiayaan dan pendzoliman terhadap mereka terus marak terjadi. Mulai dari kasus penganiayaan dan pendzoliman terhadap Arsita, TKI asal Taliwang, Sumbawa (2002); Nirmala Bonat, TKI asal Kupang (2004); Nur Miyati, TKI asal Sumbawa (2005); Ceriyati, TKI asal Brebes (2007); hingga Siti Hajar, TKI asal Garut (2009). Berbagai kasus penganiayaan dan pendzoliman itu seharusnya menjadi tamparan yang keras bagi pemerintah (negara) guna mawas diri untuk selanjutnya memberikan perlindungan kepada para TKI secara lebih optimal. Di antaranya melalui pembenahan sistem dan manajemen bisnis jasa TKI yang lebih jelas, tegas, transparan dan profesional.

Hasil Pemilu 2004, pemimpin pemerintahan berganti dari Presiden Megawati Soekarnoputri kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Erman Suparno diberi amanah sebagai Menakertrans. Sebelum terjadi pergantian kepemimpinan pemerintahan, UU Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (UU PPTKILN) disetujui dan disahkan. Dan, sejak disahkan, UU PPTKILN sudah menuai banyak kritikan. UU PPTKILN ternyata hanya menyalin pasal-pasal dari Kepmenakertrans Nomor 104/2002 tentang Penempatan TKI ke Luar Negeri yang sebenarnya belum menjangkau perlindungan hukum TKI di negara penempatan. UU PPTKILN belum senafas dengan hukum perburuhan internasional (ILO), esensi kerjasama bilateral dan subyek hukum negara penerima TKI. Perlindungan hukum terhadap TKI selama ini hanya sebatas berbentuk Nota Kesepahaman atau MoU (Memorandum of Understanding). Bahkan, ada yang belum memiliki MoU. MoU antara lain telah dilakukan dengan Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Kuwait dan Yordania. Harus dimengerti, dalam bentuk MoU sesungguhnya belumlah cukup memadai untuk memberikan  perlindungan TKI di negara penempatan. Terlebih lagi belum ada MoU, jelas jauh dari memadai.

Berdasarkan UU PPTKILN, pemerintah, antara lain, harus membentuk Badan Nasional Penempatan Perlindungan TKI (BNP2TKI) sebagai pelaksana kebijakan pemerintah (Kemnakertrans). Dan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (Perpres) Nomor 81/2006, dibentuklah BNP2TKI. Kemudian, berdasarkan Keppres Nomor 2/2007 (11 Januari 2007), Jumhur Hidayat ditunjuk sebagai Kepala BNP2TKI. Dibentuknya BNP2TKI dimasudkan sebagai upaya meningkatkan perlindungan terhadap TKI. Tapi, dalam pelaksanaannya, sekali lagi tidak seindah di atas kertas. Di satu sisi, lantaran menyangkut “lahan rezeki”, BNP2TKI acapkali saling berebut dengan Kemnakertrans. Padahal, dalam UU Nomor 39/2004 secara tegas diatur bahwa BNP2TKI adalah pelaksana kebijakan Kemnakertrans dalam penempatan TKI di luar negeri.

Di sisi lain, kehadiran BNP2TKI terasa menjadi semacam pesaing PPTKIS. Sebab, dalam Keppres Nomor 2/2007 disebutkan bahwa tugas BNP2TKI adalah melaksanakan penempatan TKI atas dasar perjanjian tertulis antara pemerintah dan pemerintah negara tujuan penempatan TKI atau pengguna berbadan hukum di negara tujuan penempatan. Arti kata, BNP2TKI dapat pula berperan sebagai pelaku bisnis jasa penempatan dan pengiriman TKI layaknya PPTKIS. Padahal, secara jelas, Perpres Nomor 81/2006 menyebutkan bahwa BNP2TKI merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen ( berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden) yang berperan sebagai pelaksana kebijakan pemerintah, bukan pelaksana penempatan dan pengiriman TKI ke luar negeri.

Selain itu, sejumlah pihak juga banyak mengeluhkan urusan birokrasi yang cenderung sulit, rumit dan berbelit. Mendengar keluhan semacam itu, pada 2006, Presiden Yudhoyono merespon dengan menerbitkan Inpres Nomor 6/2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI. Inpres itu mengatur bahwa dua belas menteri, Kepala Kepolisian, serta para Gubernur dan Bupati/Walikota se-Indonesia wajib dilibatkan dalam pelaksanaan kebijakan yang pada intinya mereformasi penempatan dan perlindungan TKI ke dalam online system. Baru saja mengawali pelaksanaan berkaitan dengan online system, langsung menuai kritik tajam. Sebab, persyaratan online system justru tambah berbelit-berbelit dan semua biaya harus ditanggung oleh calon TKI sendiri. Walhasil, kebijakan yang dimaksudkan agar proses pengiriman dan penempatan serta perlindungan terhadap TKI menjadi lebih baik serta mudah dan murah, malah menjadi semakin runyam, amburadul, sulit dan mahal.

Dalam epilog ini saya ingin menegaskan bahwa, dari waktu ke waktu, kebijakan dan program penempatan dan perlindungan terhadap TKI yang dilaksanakan pemerintah bersifat sporadis layaknya pemadam kebakaran. Kebijakan dan program perlindungan terhadap TKI kurang mendasar dan komprehensif. Berbagai praktik mafia dan “kebobrokan” di dalam negeri tampak dibiarkan, tidak diberantas secara tuntas. Ditambah lagi dengan ketidak-jelasan dan ketidak-tegasan lembaga yang berwenang atas TKI, maka sistem dan manajemen bisnis jasa TKI menjadi semakin amburadul, semrawut, tumpang-tindih, serta tidak jelas dan tegas, serta kurang profesional.

Untuk itu ada baiknya kita menyimak pemikiran Yatim Kelana dalam bukunya yang berjudul Perjalanan Organisasi PPTKIS Dalam Misi Sosial Penempatan Ke Luar Negeri (2007). Dalam kerangka pembenahan bisnis jasa penempatan dan perlindungan TKI yang mendasar dan komprehensif, dia menyarankan beberapa hal yang harus dilakukan. Di antaranya, pertama, PPTKIS dan pemerintah harus saling membutuhkan dan menjalin kerja sama sinergis. Layaknya ikan dan air yang saling membutuhkan. Bukan seperti minyak dengan air yang saling bertentangan. Kedua, guna meringankan beban para TKI, pemerintah (Pusat dan Daerah) dapat menganggarkan dana melalui APBN/APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) buat calon TKI. Dengan demikian, pengiriman, penempatan dan perlindungan terhadap TKI yang mudah, murah dan aman dapat diwujudkan. Ketiga, harus ada visi dan misi yang sama dari para stakeholders serta koordinasi antar-instansi terkait harus lebih padu. Dengan kata lain, sistem dan manajemen bisnis jasa TKI yang sistemik dan sesuai dengan kaidah manajemen modern yang baik dan benar (jelas, tegas dan transparan), serta para pelaku bisnisnya bekerja secara profesional harus segera diwujudkan.

Pada akhirnya, saya mengingatkan bahwa kita sudah saatnya kembali ke tekad dan tujuan para founding fathers saat mendirikan negara ini sebagaimana tertuang dalam konstitusi negara (UUD 1945). Bahwa negara melindungi segenap bangsa (rakyat) dan seluruh tumpah darah, dan memberikan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara tegas, dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 27 ayat (2) dinyatakan: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak bagi kemanusiaan.” Artinya, secara konstitusional, pemerintah (negara) memang berkewajiban dan bertanggung jawab melindungi rakyat Indonesia di manapun berada, serta memberikan penghidupan yang layak bagi mereka. Karena, jika TKI terlindungi dengan baik maka negara kita pasti akan lebih dihargai dan berjaya.

Jika perlindungan terhadap TKI benar-benar terwujud secara komprehensif, sistemik dan integratif, maka jangan lagi merisaukan tentang kemajuan dan kejayaan negeri ini. Sebuah ungkapan yang rasanya tidaklah berlebihan. Sebab, selain memiliki sumber kekayaan alam yang berlimpah (economic capital), sesungguhnya Indonesia juga memiliki penduduk yang besar. Apabila mereka memiliki keterampilan (skill) yang memadai, sumber daya manusia yang begitu besar itu juga bisa menjadi modal manusia (human capital) guna menghasilkan nilai ekonomis yang besar pula bagi bangsa dan negara. Seandainya penduduk Indonesia sudah menjadi human capital dengan nilai ekonomis yang tinggi, tentunya, Indonesia yang maju dan jaya benar-benar dapat diwujudkan.

Human capital dengan nilai ekonomis yang tinggi itu, antara lain, dapat dilakukan dengan mengirim TKI yang terampil untuk bekerja di luar negeri. Yang jelas, sekadar mengingatkan kembali, pada tahun 2008 misalnya, para TKI telah menyumbang devisa kepada negara sebesar US$8,2 miliar atau Rp82 triliun. Setahun kemudian (2009), diperkirakan meningkat menjadi US$20,75 miliar (Rp186 triliun). Sebuah angka yang sangat besar. Padahal, sejak tahun 2008 hingga sekarang ini, dunia internasional tengah mengalami krisis ekonomi global. Tapi, di tengah kondisi perekonomian dunia yang kurang menggembirakan tersebut, bisnis jasa TKI tetap tidak terpengaruh. Kontribusi dan sumbangsih ekonomis mereka kepada negara tidak terkurangi, malah ke depan diperkirakan akan terus bertambah dan meningkat.

Faktor utama meningkatnya devisa negara dari para TKI itu sendiri adalah karena semakin bertambahnya jumlah para TKI yang bekerja di luar negeri. Artinya, atas dasar kalkulasi matematis-ekonomis, semakin banyak TKI yang bekerja di luar negeri maka semakin besar pula devisa yang dapat disumbangkan kepada masyarakat, bangsa dan negara. Terlebih, di tengah krisis ekonomi global sekarang ini, permintaan TKI dari negara-negara maju seperti Taiwan, Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Singapura dan Malaysia (kawasan Asia Pasifik), serta Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Yordania (kawasan Timur Tengah) serta kawasan benua lain, masih sangat besar. Mengapa? Ya, karena negara-negara maju tersebut tetap membutuhkan tenaga kerja yang terampil. Karakter dan jati diri TKI yang dikenal sebagai pekerja keras, ulet, terampil dan tidak malu melakukan pekerjaan di luar job description guna menolong majikan atau atasannya, cukup disukai oleh negara lain.

Dalam sebuah studi pernah pula diungkapkan, bahwa dalam rentang sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang panjang, hanyalah sektor pariwisata (tourism) dan bisnis jasa TKI yang mampu menarik modal dari luar negeri (capital inflight). Sedangkan sektor yang lain, termasuk sektor minyak dan gas (migas), justru lebih banyak membawa ”terbang” modal bangsa Indonesia ke luar negeri (capital flight). Artinya, sektor pariwisata dan bisnis jasa TKI itulah yang selama ini memberikan kontribusi surplus (positif) atau capital values (nilai kapital) kepada bangsa-negara Indonesia.***



No comments:

Post a Comment