“Berikan
saya seribu bayi,
dan
saya akan jadikan mereka seribu manusia seperti yang Anda inginkan.”
John
B. Watson, Bapak Psikologi Modern
TIDAK ada satu
pun perjalanan hidup seseorang yang dapat diketahui dan ditulis secara lengkap
dan tepat, sekalipun seorang penulis biografi melakukan usaha yang
sungguh-sungguh dan upaya yang keras untuk mencapai kesempurnaan. Demikian sebuah
peringatan yang cukup menarik dari seorang penulis bernama Ira Bruce Nadel.
Ketika
memulai menulis biografi Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak ini, kami
menyadari benar apa yang telah diingatkan oleh Ira Bruce Nadel dalam bukunya yang
berjudul Biography: Fiction, Fact, and
Form tersebut. Untuk itulah, kami berusaha melihat awal mula perjalanan
hidup seorang Awang Faroek Ishak (AFI) dari sisi yang nyaris linier, yakni
garis keturunan atau warna-warni keluarga besar tempat AFI memulai kehidupan di
dunia. Memang, harus diakui, bahwa perjalanan hidup si anak manusia tidak ada yang
linier membentuk garis lurus. Selalu saja ada liku dan romantika kehidupan yang
mewarnai dan menjadi garis yang tidak lurus-lurus saja.
Merunut
garis hidup seorang Awang Faroek terlihat jelas garis-garis yang berliku dan
berkelok. Masa kecil yang penuh warna tradisi anak-anak Suku Dayak, masa
sekolah dasar yang selalu berpindah tempat mengikuti jejak karir ayahanda, dan
memasuki dunia kampus yang jauh dari dunia karir politik dan kepamong-prajaan.
Tegas lekuk-liku kehidupan yang penuh warna-warni bagai pelangi.
A. Jejak-jejak Turunan Pamongpraja
Garis-garis
keturunan pamongpraja pada diri Awang Faroek Ishak mengalir dari ayahanda Awang
Ishak. Awang Ishak bergelar Awang Mas
Pati lahir pada tahun 1909 di Tenggarong, Kutai, Kalimantan Timur, sebagai
anak dari Awang Ibrahim bin Datu Awang Muhammad Saleh gelar Panglima Ribut. Semasa hidupnya, kakek
Awang Faroek Ishak yang memiliki garis turunan langsung trah Kerajaan Kutai ini
dikenal sebagai tokoh pamongpraja yang cukup disegani di wilayah Kalimantan
Timur.
Ayahanda
Awang Ishak, sejak masa remaja telah menunjukkan jiwa dan semangat kepamongprajaan.
Setahun setelah dia lulus dari pendidikan di Hollandse Inlandse School (HIS) di tahun 1923, masih dalam usia
yang relatif sangat muda, Awang Ishak sudah diangkat sebagai pegawai rendah
pada Kesultanan Kutai dengan jabatan juru tulis (schripeen) dan ditempatkan di Onderdistrict
Hooft (Kantor Kecamatan) Muara Kaman.
Setelah
tujuh tahun bekerja sebagai schripeen
di Kantor Kecamatan Muara Kaman, Awang Ishak kemudian dipindahkan pada jabatan
yang sama di Kantor Kecamatan Melak. Berselang dua tahun di Melak, tepatnya
tahun 1932, dia dipindah-tugaskan lagi ke Kantor Kecamatan Muara Kaman dengan
pangkat Schripeen Eerste Klaas (Juru
Tulis Kelas I). Pada tahun 1938, setelah mengabdi selama enam tahun di Muara
Kaman, dia kembali berpindah tugas. Kali ini ke Kantor Kecamatan Sangkulirang,
sampai akhir tahun 1941.
Perjalanan
karir ayahanda Awang Ishak terus beranjak naik. Di antaranya dia pernah
dipercaya sebagai jaksa, wakil kepala kepolisian Kesultanan Kutai di Tenggarong
serta Asisten Wedana (Camat) di sejumlah daerah, seperti di Sanga-Sanga
(1947-1949), Long Iram (1949), Muara Ancalong (1950-1951), serta Muara Pahu.
Setelah itu, 1952-1953, Awang Ishak menjalani tour of duty sebagai camat di Kutai Tengah dan Tenggarong. Tak lama
memang dia bertugas di sana, tahun 1953, tugas baru sebagai camat di Samarinda
telah menanti. Dan, tahun 1954-1955, Awang Ishak diberi amanah untuk mengemban
jabatan Wedana di Barongtongkok.
Di
tengah perjalanan karir dan pengabdiannya, sekitar tahun 1930, Awang Ishak
menikahi Hj. Dayang Djohariyah binti Awang Muhammad Seman gelar Ngebei Setia Dalam. Dari pernikahan ini,
dalam rentang waktu sekitar 24 tahun, mereka dikarunia 13 anak dari rahim Hj.
Dayang Djohariyah. Anak pertama lahir
tahun 1931 diberi nama Hj. Dayang Arhariyah. Kemudian, tahun 1932 lahir anak
kedua yang diberi nama Awang Faisjal yang dalam perjalanan hidupnya pernah
menjadi Bupati Kutai dan kini Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda.
Tahun 1934, lahirlah anak ketiga bernama Awang Abdullah yang meninggal masih di
usia anak-anak.
Anak
keempat, Awang Sabran, lahir di tahun 1935. Awang Sabran yang pernah dipercaya
sebagai Wakil Wali Kota Samarinda gugur dalam kecelakaan speedboat saat menjalankan tugas pada tahun 1971. Lalu, anak kelima
Awang Luthman yang kini memilih jalan hidup sebagai wiraswastawan atau wirausahawan
lahir tahun 1938. Selanjutnya, tahun 1940, lahir anak keenam yang diberi nama
Dayang Narul Fariah. Dua tahun berselang (1942), kemeriahan keluarga Awang
Ishak – Dayang Djohariyah semakin bertambah dengan kelahiran anak ketujuh yang
bernama Dayang Sri Mulyati. Kemeriahan terus bertambah dengan kehadiran anak
kedelapan (1945) dan kesembilan (1947), masing-masing diberi nama Dayang Safiah
dan Dayang Sabariah.
Dan
Awang Faroek Ishak sebagai anak kesepuluh lahir pada tahun 1948. Awang Faroek
pun mewarisi garis kepamongprajaan. Dia sempat dipercaya menjadi Bupati Kutai
Timur (1999-2000), Bupati Definitif Kutai Timur (2001-2003), Bupati Kutai Timur
hasil Pilkada langsung (2006-2011), dan Gubernur Kalimantan Timur melalui
Pilkada langsung (2008-2013).
Keluarga
pasangan Awang Ishak dan Dayang Djohariyah terus menambah anggota baru dengan
kelahiran anak kesebelas, keduabelas dan (bungsu) ketigabelas. Ketiga anak-anak
itu masing-masing Awang Fachrul (lahir 1950), Dayang Hartati (lahir 1951) dan
Awang Fachruddin (lahir 1953) yang kemudian berkarir di jalur Pegawai Negeri
Sipil (PNS).
Dengan
perjalanan karir pamongpraja yang mengalir bagai air, tidaklah mengherankan
bilamana darah kepamongprajaan Awang Ishak pun kental mewarnai sebagian besar
anak-anaknya. Minimal menitis ke Awang Faisjal, Awang Sabran, Awang Faroek, dan
Awang Fachruddin.
Awang
Faroek kecil tumbuh di lingkungan keluarga besar bangsawan Kutai. Lantaran
genealogisnya berdarah bangsawan Kutai, kemudian di dalam sebuah jamuan resmi
di Keraton Kutai, dia dianugerahi gelar Awang
Ngebei Setia Negara oleh sesepuh keraton. Sebuah gelar kebangsawanan dari Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura, Tenggarong, Kutai, Kalimantan Timur.
Di
lingkungan keluarganya, terutama saudara-saudaranya, dia biasa disapa Faroek.
Namun, dalam aktivitas keseharian, warga masyarakat umum lebih banyak mengenal
namanya dengan panggilan akrab Pak Awang. Sejatinya, sebutan Awang memang
bukanlah sebuah nama, melainkan gelar bangsawan dari Kesultanan Kutai
Kartanegara di Kalimantan Timur (Kaltim). Sebagaimana halnya gelar bangsawan di
daerah lain seperti Raden Mas dan Raden Roro di Yogyakarta dan Solo (Jawa
Tengah), Andi di Makassar (Sulawesi
Selatan), atau Lalu di Pulau Lombok
(Nusa Tenggara Barat). Dia menyandang nama Awang,
karena garis genealogisnya sebagai keturunan langsung darah biru Kesultanan Kutai Kartanegara.
Ada
kekuatan darah biru Kesultanan Kutai
Kartagerana dalam diri Awang Faroek Ishak. Lalu, bagaimana sebenarnya karakteristik
dan kulturl orang Kutai? Prototipe orang Kutai, meminjam istilah Abdul Rahim
(2002), dilihat dari kinskip termasuk
ke dalam kategori ras Melayu (Proto
Melayu). Orang Kutai, secara umum, adalah umat yang hidup dalam norma-norma
Islami dengan ikatan tatanan paguyuban (gemeinschaft)
yang kuat serta dalam pergaulan masyarakat heterogen yang telah berlangsung
selama berabad-abad,
Orang
Kutai di Kalimantan Timur memiliki hubungan sangat erat dengan orang Dayak.
Namun, saat ini, muncul masalah pelik berkaitan dengan pengelompokan antara
Suku Kutai dan Suku Dayak. Disebut-sebut bahwa Suku Dayak itu dianggap
merupakan penduduk asli Kutai. Sebaliknya, Suku Kutai pun mengklaim bahwa
mereka adalah penduduk asli.
Melalui
bukunya yang berjudul Peninjau Jilid I
(1974), FR Ukur menjelaskan bahwa penduduk Suku Dayah di Tanah Kutai dapat
digolongkan menjadi Suku Dayak yang tinggal di hulu pedalaman sungai dan
dikelompokkan ke dalam ras Deotro Melayu
atau Melayu Muda. Sedangkan Suku
Kitai yang tinggal di bagian hilir sungai dikelompokkan ke dalam ras Proto Melayu atau Melayu Tua.
Senada
dengan FR Ukur, pakar antropologi Mikhail Coomans (1987) berpendapat bahwa Suku
Kutai termasuk ke dalam ras Deotro Melayu
seperti halnya Suku Dayak yang lain. Repotnya, Suku Kutai sendiri tidak mau
disebut Suku Dayak. Sebab, mereka memiliki perikehidupan sosialm budaya dan
ekonomi yang berbeda pula. Misalkan, dalam even bidaya Erau, yang merupakan
simbol pesta adat Suku Dayak dalam memperingati acara ritual khusus yang
dianggap paling besar.
Sebetulnya,
bila dikaji lebih dalam, pengelompokan antara ras Suku Dayak yang tinggal di
hulu dan Suku Dayak yang mendiami kawasan hilir hanyalah bersifat
sosio-religius belaka. Karena, mereka sebenarnya berasal dari satu rumpun atau
kelompok ras yang sama, yaitu kelompok Deotro
Melayu. Namun, lantaran Suku Kutai lebih banyak memperoleh pengaruh budaya
ras Proto Melayu (Banjar, Bugis dan
Jawa) maka secara rasial mereka lebih senang dikelompokkan ke dalam ras Proto Melayu.
Lazimnya,
nama Dayak digunakan bagi ras Proto
Melayu yang tinggal di daerah pelosok dan pedalaman serta beragama
non-Islam. Sedangkan nama Kutai digunakan bagi kelompok penduduk ras Proto Melayu yang beragama Islam.
Bahkan, Suku Dayak sendiri menyebut orang yang beragama Islam sebagai orang haloq atau orang asing.
Jadi,
orang Dayak yang keluar dari ikatan tradisi adat-istiadat para leluhurnya, juga
dianggap orang haloq. Mereka bukan
lagi dikelompokkan ke dalam Suku Dayak. Karena, mereka dianggap telah keluar
dari ketentuan kepercayaan dan adat bidaya nenek moyangnya. Sebaliknya, orang
Dayak yang masuk Islam juga enggan disebut Suku Dayak lagi. Inilah yang
menyebabkan mengapa orang Kutai enggan disebut orang Suku Dayak. Mereka lebih
senang dikelompokkan kedalam ras Proto
Melayu, seperti halnya Suku Banjar yang beragama Islam dan tinggal di
Kalimantan Selatan.
Dalam
sistem kekerabatan bangsawan Kutai, galibnya mereka masih menganut sistem patrilineal. Artinya, garis keturunan
ditarik dari dan ke pihak laki-laki. Pada masa lampau, Suku Kutai masih
mengenal lapisan dan strata sosial, seperti bangsawan, rakyat jelata, dan budak
belian. Bagi kaum bangsawan, dipergunakan berbagai gelar seperti Awang, Aji Bambang, Aji Raden, dan Aji Pangeran. Biasanya, pemberian gelar
itu dilaksanakan dalam suatu upacara resmi di dalam masjid dan lazimnya seusai
shalat Idul Fitri. Namun sekarang, penghormatan terhadap seseorang telah mulai
bergeser, bukan lagi atas dasar kebangsawanan semata, juga atas dasar
tinggi-rendahnya pendidikan yang diperoleh, statusnya dalam pemerintahan dan
banyaknya materi kekayaan yang dimiliki.
Bagi
Awang Faroek sendiri, gelar bangsawan atau darah biru yang mengalir dalam
dirinya bukanlah segala-galanya dan bukan pula yang dirasa istimewa. Dia
memakai gelar bangsawan Kutai tersebut tidak lebih sekadar simbol penghormatan
dan pelestarian aset budaya serta nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Dalam
pandangan Awang Faroek, gelar bangsawan dan darah biru bukan lantas membuat
dirinya berjarak, apalagi mereka lebih daripada yang lain. Ibarat oksigen yang
senantiasa mengisi ruang kosong di mana-mana, begitupun konsep relasional dan
pergaulan Awang Faroek yang mampu melintasi horison nyaris tanpa batas. Terbukti,
dia tidak pernah pilih-pilih teman dalam bergaul. Sikapnya juga jauh dari kesan
jumawa dan sombong. Singkat cerita, dia mampu menempatkan dirinya secara
proporsional dan tidak feodalistik. Di mata para sahabat maupun rakyat,
sosoknya sangat bersahaja dan merakyat. Realitasnya, Awang Faroek memang
terlahir sebagai bangsawan namun representasi ideal bangsawan Kutai yang amat
merakyat.
“Pak
Awang tidak pernah membeda-bedakan orang, mana yang masih yunior dan senior.
Baginya, semua itu dianggap sama. Sikapnya tersebut, sekali lagi membuat saya
sangat kagum dan menaruh respek pada beliau. Walaupun beliau berdarah biru, beliau
adalah sosok berdarah biru yang bersahaja dan merakyat. Beliau tokoh yang bisa
dekat dengan siapa saja,” ujar Bupati Kutai Barat Ismael Thomas SH yang mengaku
sudah cukup lama mengenal sifat maupun karakter Awang Faroek. Apalagi, masih
menurut Thomas, dia pernah menjadi mahasiswa Awang Faroek saat dirinya masih
tercatat sebagai mahasiswa di kampus Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda.
Jadi, sebenarnya cukup waktu bagi Thomas untuk mengenal secara mendalam kiprah
dan keseharian bangsawan Kutai yang egaliter, humanis, bersahaja dan merakyat
itu.
Penilaian
kepribadian Awang Faroek dapat pula ditelusuri dari testimoni mantan Satf Ahli
Ketua Otoritas Batam, Ir. H. Soedarsono Soekardi, yang juga mengaku sudah cukup
lama mengikuti rekam jejak Awang Faroek. “Sejak awal perkenalan kami,
kepribadian Awang Faroek yang paling berkesan sampai hari ini adalah sifatnya
yang rendah hati, santun dalam bertutur, dan sangat sopan dalam
pergaulan,”tutur Soedarsono.
Soedarsono
menambahkan, “Penampilannya dengan face
yang ganteng dan badan yang atletis disertai kecerdasan pikir serta terlahir dari
keluarga yang terhormat (bangsawan Kutai), namun menjadikannya jauh dari kesan
sombong. Awang Faroek justru sebaliknya mampu memanfaatkannya untuk bergaul
dengan berbagai lapisan masyarakat dari yang paling rendah sampai yang paling
atas.”
Demikianlah
keseharian bangsawan Kutai Awang Faroek Ishak. Kendati berdarah bangsawa, dia
tidak pernah memisahkan diri dari rakyatnya. Hal ini tidak lepas dari pola
pendidikan yang ditanamkan orang-tuanya. Menelusuri masa silamnya, ketika
usianya masih balita, Awang Faroek bersama saudara-saudaranya serta ayah-ibunya
kerapkali berpindah-pindah tempat tinggal, mengikuti tugas ayahanda Awang Ishak
gelar Awang Mas Pati. Ayahanda di
masa itu merupakan tokoh pamongpraja dengan jabatan antara lain Jaksa, Wakil
Kepala Kepolisian Kesultanan Kutai di Tenggarong serta Asisten Wedana (Camat)
hingga Wedana. Berkat jabatan ayahanda itu, keluarga besarnya kerap diajak ikut
serta. Misalkan dari tanah kelahirannya di Tenggarong, Kutai, meraka pernah
berpindah ke Samarinda, berikutnya ke Sendawar di Barongtongkok, kemudian ke
Kota Tarakan, lantas balik lagi ke Tenggarong.
Bila
Anda berkesempatan bertandang ke Kesultanan Kutai di Tenggarong insya Allah
tidak ada yang tidak mengenal nama Awang Ishak gelar Awang Mas Pati. Meski Awang Faroek telah almarhum sejak tahun 1967
silam, namun namanya masih harum dikenang warga masyarakat Kalimantan Timur.
Hal ini karena orang tua, kakek dan keluarga besar Awang Faroek merupakan tokoh
pamongpraja yang cukup berpengaruh dan
disegani di wilayah Provinsi Kalimantan Timur.
Tampaknya
alur kehidupan keluarga besar Awang Faroek Ishak ini senafas dengan adagium like father like son. Sebab, bila
dirunut dari sejarah orang-tuanya, kakek-neneknya, pun genealogis keluarga
besarnya di masa lampau, tokoh berambut perak ini termasuk keluarga besar pamongpraja. Faktualnya,
hampir semua saudara Awang Faroek berprofesi sebagai pamong praja, kecuali H.
Awang Luthman yang sengaja memilih profesi berwiraswasta. Tak mengherankan bila
sejarah pamongpraja keluarga ini cukup mengakar dan dikenal baik di bumi
Kalimantan Timur.
Sebenarnya,
bukan semata-mata darah kepamongprajaan yang dialirkan oleh Awang Ishak kepada
Awang Faroek. Spirit nasionalisme juga cukup memberi warna kehidupan Awang
Ishak yang meninggal pada tahun 1967 ini. Ceritanya, di masa pergolakan dan
perlawanan bersenjata terhadap tentara Kolonial Belanda, elan nasionalisme
ayahanda terusik. Dia terlibat aktif membantu perjuangan dan perlawanan rakyat,
walau dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Agaknya, hal inilah yang kemudian menyebabkan
Awang Ishak selalu saja dipindah-tugaskan sebagai camat di beberapa wilayah.
Kedudukan
ayahanda saat itu merupakan orang penting dan terpandang di daerahnya. Berkat
posisi ayahanda itu, perekonomian keluarganya dapat dikatakan relatif berkecukupan.
Namun, ayahanda tidak dapat tinggal diam melihat bangsanya dijajah dan
diinjak-injak harkat dan martabatnya oleh kaum penjajah Kolonial Belanda. Itu
sebabnya pula, secara diam-diam ayahanda memutuskan untuk membantu
pejuang-pejuang pro merah-putih di daerahnya. Ayahanda Awang Ishak menyadari
betul risiko yang bakal dihadapi, termasuk dimutasi dan diturunkan pangkatnya,
bahkan kemungkinan terburuk: ditangkap atau dijebloskan ke bui.
Kekhawatiran
itu benar adanya. Berdasar bukti otentik dari seorang pejuang di Samarinda,
melalui laporan rahasia (Gcheiin Verslag)
dari asisten Residen van Oost Borneo
(Kalimantan Timur) kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, akhirnya
diketahuilah segala aktivitas ayahanda selama ini. Dari laporan itu pula,
ayahanda Awang Ishak dituduh terlibat pergerakan bawah tanah terhadap penggulingan
Pemerintah Hindia Belanda. Spontan saja Belanda marah besar. Belanda datang
kepada Sultan Kutai Adji Muhammad Parikesit (waktu itu) dan menyarankan agar
Awang Ishak dipindah-tugaskan ke Long Iram sebagai bentuk hukuman terhadap
dirinya. Namun, surat keputusan itu dibatalkan, lantaran Sultan Kutai tidak
berkenan akan bentuk hukuman terhadap ayahanda.
Sampai
akhir hayatnya tahun 1967, ayahanda Awang Ishak bergelar Awang Mas Pati tidak banyak meninggalkan harta, terlebih gelimang
kemewahan, kepada seorang isteri dan 13 orang anaknya. “Ayah saya cuma mampu
meninggalkan rumah dinas tua dan sederhana yang pernah ditempati sejak zaman
Belanda. Letaknya di Jalan Awang Sabran, Tenggarong. Rumah dinas itu pun baru
bisa dibayar lunas oleh ayah ketika beliau telah pensiun,” cerita Awang Faroek
Ishak mengenang pola hidup ayahanda yang teramat sederhana dan bersahaja.
Tapi,
berkat kesederhanaan itu pula ayahanda Awang Ishak mampu meninggalkan warisan
besar: jiwa pamongpraja yang tumbuh dan mengakar pada genealogi keluarga besarnya.
Pun terbukti, darah birokrat (pamongpraja) Awang Ishak mengalir langsung ke
Awang Faroek. Dari 13 bersaudara, empat orang putranya –Awang Faisjal, Awang
Sabran, Awang Faroek dan Awang Fachruddin-- secara sukarela mengikuti jejak
karir ayahanda, yaitu mengabdikan diri di jalur pemerintahan (birokrasi).
B. Masa Kecil yang Berpindah-pindah
Sekolah
Sebagaimana
galibnya anak seorang prajurit atau pamongpraja, Awang Faroek kecil harus ikut
berpindah-pintah tempat tinggal sesuai tempat penugasan ayahanda Awang Ishak. Memasuki
masa Sekolah Dasar (SD), sekitar tahun 1954-1955, ayahanda ditugaskan sebagai
Wedana Sendawar di Barongtongkok. Awang Faroek lantas didaftarkan masuk ke
Sekolah Rakyat (SR) Katolik Barongtongkok, satu-satunya SR yang ada di wilayah
itu. “Saya ingat betul, pada tahun 1955 saat itu, saya sudah ikut ayah dan
sempat masuk bersekolah di SR Katolik Barongtongkok,” kenang Awang Faroek.
Di
Barongtongtok itu pula, Awang Faroek kanak-kanak bergaul secara intensif
bersama anak-anak komunitas masyarakat Suku Dayak. Di sini dia mengenyam
pendidikan SR Katolik sampai kelas tiga. Kendati cuma seumur jagung, kenangan
manis bergaul dan berinteraksi secara massif dengan masyarakat Dayak di kawasan
perbatasan dan wilayah pedalaman Kalimantan Timur itu rupanya sangat membekas
dan menggugah nuraninya.
Kekayaan
pengalaman yang mampu menembus horizon dunia anak-anak Suku Dayak di pedalaman
dan perbatasan Kalimantan Timur. Romantika keindahan persahabatan masa kecil
berpadu harmonis dengan pesona alam pedesaan yang masih asri dan natural dengan
eksotisme kebersahajaan mereka yang sangat mengesankan. Keindahan vegetasi
hutan alam dan pepohonan nan rindang, hamparan padi sawah yang menghijau-menguning
bak permadani, perkebunan buah-buahan yang mewarnai pekarangan rumah-rumah
warga setempat, pun berinteraksi dengan harmoni alam yang menjadi wahana
bentuk-bentuk permainan tradisional yang mengundang kreativitas dan kerjasama
tim yang amat kuat.
Dalam
perspektif harmoni alam dan kebersahajaan anak-anak Suku Dayak itulah, sosok
Awang Faroek mulai terbangun dan terbentuk. Awang Faroek yang menghabiskan
sebagian masa kecil di Barongtongkok betul-betul merasakan kehidupan
bersama-sama komunitas anak-anak Suku Dayak. Awang Faroek yang keturunan trah
bangsawan Kesultanan Kutai ini tidak semata-mata menghabiskan masa kecilnya di
balik tembok istana kerajaan. Pergaulan dengan anak-anak komunitas Suku Dayak
secara otomatis memperkaya dan menjadi penyeimbang tumbuh suburnya tunas
filantropis di dalam jiwa Awang Faroek di kemudian hari.
“Meski
cuma sebentar, saya melihat dan merasakan secara langsung bagaimana denyut nadi
kehidupan Suku Dayak saat itu yang amat sederhana, bahkan boleh dikatakan masih
terbelakang. Sejak lama, mereka memang tidak diperhatikan oleh pemerintah
karena posisinya yang jauh di pedalaman dan perbatasan Kalimantan. Baru sekitar
tahun tahun 1970-an ada program pembangunan daerah perbatasan dan baru ada
kesempatan bagi mereka (Suku Dayak). Ternyata, saudara-saudara kita orang Dayak
tersebut juga tidak kalah kok. Kalau diberi kesempatan, mereka juga bisa maju.
Terbukti, kini sudah banyak orang-orang Dayak yang pintar dan mampu mengisi
pos-pos penting di berbagai bidang,” tandas Awang Faroek.
Namun,
kenangan indah di Barongtongkok waktu itu tak berlangsung lama. Menginjak kelas
tiga SR, Awang Faroek kecil harus berpindah sekolah lagi mengikuti kepindahan
tugas ayahanda ke Tenggarong, Kutai, Kalimantan Timur. Di Tenggarong, Awang
Faroek masuk kelas tiga pada Sekolah Rakyat Negeri (SRN). “Ketika kelas tiga
SRN di Tenggarong itu saya pernah satu kelas dengan Pak Kaning (sapaan akrab
mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hasan Rais –red). Jadi, Pak Kaning itu dulu anaknya memang agak bandel dan
nakal sehingga dia sempat tidak naik kelas,” tutur Awang Faroek.
“Saya
dan Awang Faroek sudah saling mengenal sejak kami masih di SRN Tenggarong. Saya
pernah satu kelas dengan dia hingga duduk di kelas tiga. Setelah itu, karena
saya terpaksa tinggal kelas, maka Awang Faroek lebih dulu satu tahun daripada
saya,” ujar Pak Kaning (2006). Pak Kaning menambahkan, “Semenjak masa sekolah,
Awang Faroek merupakan pribadi yang sangat menonjol, dia termasuk siswa yang
berprestasi. Nilai-nilai di pelajarannya selalu yang terbaik. Berbeda dengan
saya. Selama masa sekolah, saya termasuk siswa yang tidak begitu aktif, bahkan
sampai mengabaikan pelajaran.”
Naik
kelas empat SRN, Awang Faroek berpindah lagi.
Kali ini ke Kota Tarakan, lantaran ayahanda memperoleh tugas baru
sebagai wedana di sana. “Pada saat naik kelas empat SRN, saya kemudian pergi ke
wilayah Tarakan, ikut kepindahan ayah yang memperoleh tugas baru sebagai
wedana,” kata Awang Faroek.
Awang
Faroek bersekolah di SRN Kampung Bugis, Tarakan. Di SRN ini, Awang Faroek
sempat satu sekolah dengan Silvian Yulian Wenas yang lebih populer disapa S.Y.
Wenas. Sebagaimana diketahui karir S.Y. Wenas banyak dihabiskan sebagai perwira
tinggi Kepolisian Republik Indonesia (Polri), di antaranya sempat dipercaya
sebagai Kapolda Kaltim serta Komandan Korps Brimob. “Pada waktu di SRN Kampung
Bugis, saya sempat punya adik kelas bernama S.Y. Wenas. Dia kelas tiga dan saya
kelas lima,” Awang Faroek berkisah.
Selama
di Kota Tarakan ini pula, ayahanda Awang Ishak --yang waktu itu dipercaya
sebagai wedana—berkarib akrab dengan Pitoyo Mangkusubroto, Kepala BPM Tarakan (sebelum
lahirnya Pertamina). Sekadar pengetahuan, Pitoyo Mangkusubroto adalah ayah dari
Dr. Kuntoro Mangkusubroto yang mantan Menteri Pertambangan dan Energi era
Presiden B.J. Habibie, mantan Direktur Utama PLN, dan mantan Ketua Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh.
Sekitar
dua tahun bermukim di Kota Tarakan, Awang Faroek berhasil menamatkan pendidikan
dasarnya di SRN Tarakan pada tahun 1961. Sementara SMP (lulus tahun 1964) dia
rampungkan di kampung halamannya Tenggarong, Kutai, Kalimantan Timur.
C. Masa Remaja di Tenggarong
Selepas
dari SMP, Awang Faroek belum berkeinginan merantau ke kota yang lebih besar.
Dia tetap berada di kampung halamannya, Tenggarong, untuk melanjutkan
pendidikan SMA. Di sela-sela kesibukan sekolah, Awang Faroek menghabiskan
waktunya dengan menyalurkan hobi bermain musik. Bahkan, bersama kawan-kawannya,
dia sempat membentuk kelompok band.
“Dulu,
saya punya grup band, Gesnaria
namanya. Personilnya lima orang, seingat saya antara lain Ir. Fahnoerdin, Ir.
Samidin, Mahmud dan saya sendiri,” Awang Faroek mengenang masa remajanya.
Ayahanda Awang Ishak sangat mendukung keberadaan grup band. Itulah sebabnya,
meski kini Awang Faroek sudah berada di puncak karir politik sebagai Gubernur
Kalimantan Timur, dia tetap menyempatkan waktu bernyanyi dan bermain musik
untuk penyegaran. Pada waktu-waktu tertentu dia tidak menampik bila ada warga
masyarakat yang meminta dirinya naik panggung menyumbangkan satu atau dua lagu.
Apalagi, suaranya tidak kalah dibandingkan suara penyanyi profesional.
Dari
musik pula, Awang Faroek bertemu perempuan pujaan hati E. Amelia Suharni yang
kini telah menjadi isteri dan memberinya tiga anak. Selain hobi bernyanyi,
puteri kelima H.E.M. Djakaria Mas Truno Djojo (pensiunan Sekretaris Wilayah
Daerah Tingkat I Kalimantan Timur) juga tidak mau kalah. Perempuan pujaan hati
ini pun sempat memiliki grup band yang diberi nama Payi, kependekan dari Pemuda
Ahmad Yani.
“Dulu,
isteri saya ini kebetulan juga penyanyi dan ia punya grup band Payi (Pemuda Ahmad Yani). Selain itu ia juga aktif di kepanduan Pramuka.
Jadi, kami memiliki banyak kesamaan. Kebetulan, di luar itu, kami juga masih
ada hubungan keluarga serta sama-sama dari Tenggarong,” papar Awang Faroek
menceritakan asal mula kisah asmara dengan sang isteri. Awang Faroek merajut
tali kasih dengan Amelia Suharni yang waktu itu bersekolah SMA di Kota
Samarinda. Jarak tidak menjadi kendala jalinan kasih kedua sejoli muda ketika
itu.
Tak
sebatas kegiatan musik yang berbau glamor yang ditekuni Awang Faroek di masa
remaja. Dia juga aktif di organisasi pelajar di Tenggarong. Bahkan, dia sempat
memperoleh kepercayaan untuk memimpin Ikatan Pelajar Tenggarong.
Di
tengah kegembiraan menghabiskan masa remaja, datang kabar duka. Ayahanda Awang
Ishak meninggal dunia pada usia 58 tahun pada tahun 1967. Padahal, Awang Faroek
belum usai menamatkan SMA. Jelas, perekonomian keluarga sedikit terpengaruh.
Tapi, Awang Faroek tak ingin larut dalam duka yang berkepanjangan. Berkat
gemblengan disiplin hidup sederhana dan mandiri, Awang Faroek langsung memupuk
jiwa kewirausahaan yang ada dalam dirinya. “Pada tahun 1965-an saya sudah mulai
berjualan kacang dengan merek Awangko.
Saya dan almarhumah kakak saya Dayang Sabariah bertugas mendorong kereta jualan
kacang tersebut,” kenang Awang Faroek. Bahkan, dia tidak merasa malu melakoni
pekerjaannya, walau dia masih keturunan bangsawan Kutai yang sangat dihormati
masyarakat setempat.
“Saat
ayah pensiun pada 1965-1966, saya masih duduk di bangku SMA di Tenggarong. Ayah
mendidik kami saat itu dengan disiplin sangat tinggi, hidup sederhana dan
mandiri, dan kami juga diajari oleh beliau agar tidak boleh malu dalam berusaha
yang halal,” Awang Faroek menambahkan.
Biasanya,
demikian cerita Awang Faroek lebih lanjut, aktivitas berjualan itu dia lakukan
sepulang sekolah. Dari sore hingga malam hari. Dia melakoninya tanpa beban,
penuh kegembiraan khas remaja seusianya. Memang terkadang, ada juga sebagian
dari teman-teman sekolah yang meledek, gara-gara sekolah sambil berjualan.
Tapi, Awang Faroek tidak ambil peduli. Prinsipnya, menurut dia, toh pekerjaan
itu halal dan tidak merugikan orang lain. Terlebih lagi, ayahanda memang
mendidik anak-anaknya dengan pola disiplin yang tinggi, hidup sederhana dan
mandiri serta tidak boleh malu.
Di
masa itu, keluarga besar Awang Ishak sempat memiliki kios khusus untuk
berjualan barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti gula, minyak, makanan
kecil dan rokok. “Kios tersebut letaknya di dekat bioskop Tenggarong,” kata
Awang Faroek sembari mengingat-ingat bahwa suatu ketika jualannya laku dan
memperoleh keuntungan lumayan, “Setelah melaporkan keuntungan kepada ayah,
biasanya saya diberi persenan oleh
beliau. Misalkan kalau untung Rp750, maka saya dikasih persen Rp50. Wah, nilai
uang waktu itu sangat besar dan bukan main senangnya saya.”
D. Merantau ke Tanah Jawa Sampai
Membangun Rumah Tangga
Usai
menamatkan SMA Tenggarong pada tahun 1967, pemuda yang taat beribadah ini
memberanikan diri merantau ke Tanah Jawa. Pilihannya jatuh ke Kota Apel,
Malang, Jawa Timur. Tanpa kesulitan berarti, Awang Faroek diterima di Fakultas
Keguruan Ilmu Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri
Malang. Di sana dia menumpang tinggal di rumah seorang pamannya bernama Awang
Khairul –salah seorang adik kandung ayahanda Awang Ishak.
Menurut
Awang Faroek, pada mulanya pilihan untuk masuk ke Kampus IKIP Malang tersebut
mengikuti arahan Awang Faisjal, kakak kandung sekaligus lelaki tertua dalam
keluarga besarnya. Alasan kakaknya waktu itu, karena saudara-saudaranya yang
lain sudah banyak yang memilih masuk Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN),
maka Awang Faroek diarahkan saja agar masuk ke IKIP. Harapannya, tentu, supaya
kelak Awang Faroek bisa mengembangkan karirnya di dunia pendidikan, sesuai
bidang studi yang dipilihnya.
“Begini,
kami semua bersaudara ini mengikuti jejak ayahanda. Ayah saya kan pamong. Saya
tadinya mau jadi guru saja, sesuai dengan arahan kakak saya Awang Faisjal.
Makanya, saya memilih masuk IKIP Malang. Tapi, eh, belakangan akhirnya saya
juga jadi pamong. Barangkali selain faktor keturunan, ini juga panggilan jiwa,”
aku Awang Faroek sambil tersenyum.
Di
Kota Malang yang berhawa sejuk tersebut kebetulan rumah sang paman Awang
Khairul berada tak jauh dari Kampus IKIP. Berjarak sekitar satu kilometer. Jadi
setiap pergi-pulang ke Kampus, Awang Faroek cukup senang melakoninya dengan
berjalan kaki.
“Saya
kuliah di IKIP Malang saat itu hanya mengandalkan kiriman wesel dari ibu di
Kaltim. Di Malang, sepeda pun saya tidak punya. Saya biasa berjalan kaki dari
rumah paman ke Kampus sekitar satu kilometer,” kenang Awang Faroek sambil
menambahkan, “Saya masih ingat, di masa itu, uang seratus perak sudah bisa buat
makan dan minum. Jadi, lidah saya ini lidah Jawa. Saya juga bisa berbahasa Jawa
dengan baik, nggak bisa dikibulin.”
Selama
menjalani studi di Kampus IKIP Malang, Awang Faroek tak mau tinggal diam sekadar
belajar text book di ruang kelas.
Jiwa keorganisasiannya yang telah tampak semasa SMA terus diasahnya di Kampus
IKIP Malang. Di sela-sela aktivitas studi yang padat, dia menyempatkan diri
berkegiatan sebagai pengurus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang
Malang, periode 1968-1973. Setahun berselang, dia dipercaya sebagai Ketua Umum
Senat Mahasiswa Fakultas Keguruan IKIP Malang, 1969-1972. Selain itu, dia pun
aktif sebagai anggota Golongan Karya (Golkar) Kotamadya Malang, 1971-1973. Pada
tahun 1973 Awang Faroek berhasil menyelesaikan studinya di IKIP Malang dan
berhak menyandang gelar sarjana.
Dia
kemudian pulang kampung ke Tenggarong. Langkahnya mantap, dia ingin melamar
perempuan pujaan hatinya E. Amelia Suharni yang telah dipacarinya sejak masih
di bangku SMA. Pendar-pendar cintanya yang dirajut antarkota
Tenggarong-Samarinda terus berlanjut antara Malang dan Tenggarong. Tahun 1974,
keduanya bersepakat untuk membangun mahligai rumah tangga di usia yang relatif
muda (Awang Faroek berusia 26 tahun dan Amelia Suharni berumur 25 tahun).
Dari
buah perkawinan keduanya kemudian lahir tiga orang anak kesayangan,
masing-masing Awang Ferdian Hidayat (lahir tahun 1975), Dayang Dona Walfaries
Tania (lahir tahun 1976) dan si bungsu Awang Fauzan (lahir tahun 1985). Anak
pertama dan anak kedua telah menikah, masing-masing dengan Rima Hartani dan
Toni Saparisa. Ikatan kekeluargaan antara orang tua, anak, menantu dan
cucu-cucunya senantiasa terjalin dengan baik. Suami-isteri itu pun selalu akur
dan dihormati oleh ketiga anak-anak dan menantu.
Bagi
Awang Faroek, keharmonisan keluarga turut mempengaruhi etos kerja dan
perjalanan karirnya selama ini. Sebab itu, baginya, makna keluarga tidak dapat
dipisahkan dengan makna kesuksesan yang telah dirintis dan diraih sepanjang
perjalanan hidupnya. Keluarga tidak ubahnya motivator bagi perkembangan karir
Awang Faroek sampai saat ini.
Kini
di usianya 63 tahun, Awang Faroek mengakui seolah memperoleh energi baru dan
kenikmatan tiada tara dalam konteks keutuhan sebuah kehidupan keluarga. Kenikmatan
yang merefleksikan konstruksi dan jiwa sebuah rumah tangga yang utuh yang
terdiri dari anak, menantu dan cucu. Berbicara soal cucunya, Awang Faroek menggeleng-gelengkan
kepalanya penuh khidmat seakan menggambarkan nikmatnya menjadi seorang kakek.
“Waduh, nikmatnya ternyata luar biasa mempunyai seorang cucu. Kenikmatan yang
tiada tara,” ujar Awang Faroek suatu waktu dengan penuh antusias. Diakuinya,
selepas urusan dinas dan segudang kegiatan lainnya, tidak ada yang dia nikmati
selain bercengkerama dengan cucu pertamanya Fionalita Aifa Savitri. Kehadiran
cucu pertama itu –kemudian disusul lahir cucu kedua Awang Farel Muhammad dan
cucu ketiga Dayang Cyntia Pratistadewi—laksana obat penawar letih dan lelah di
tengah rutinitas sang kakek yang tiada kenal waktu itu. ***
No comments:
Post a Comment