Sunday, February 24, 2013

Perjalanan Penuh Makna, dari Barongtongkok sampai Malang





“Berikan saya seribu bayi,
dan saya akan jadikan mereka seribu manusia seperti yang Anda inginkan.”
John B. Watson, Bapak Psikologi Modern

TIDAK ada satu pun perjalanan hidup seseorang yang dapat diketahui dan ditulis secara lengkap dan tepat, sekalipun seorang penulis biografi melakukan usaha yang sungguh-sungguh dan upaya yang keras untuk mencapai kesempurnaan. Demikian sebuah peringatan yang cukup menarik dari seorang penulis bernama Ira Bruce Nadel.
Ketika memulai menulis biografi Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak ini, kami menyadari benar apa yang telah diingatkan oleh Ira Bruce Nadel dalam bukunya yang berjudul Biography: Fiction, Fact, and Form tersebut. Untuk itulah, kami berusaha melihat awal mula perjalanan hidup seorang Awang Faroek Ishak (AFI) dari sisi yang nyaris linier, yakni garis keturunan atau warna-warni keluarga besar tempat AFI memulai kehidupan di dunia. Memang, harus diakui, bahwa perjalanan hidup si anak manusia tidak ada yang linier membentuk garis lurus. Selalu saja ada liku dan romantika kehidupan yang mewarnai dan menjadi garis yang tidak lurus-lurus saja.
Merunut garis hidup seorang Awang Faroek terlihat jelas garis-garis yang berliku dan berkelok. Masa kecil yang penuh warna tradisi anak-anak Suku Dayak, masa sekolah dasar yang selalu berpindah tempat mengikuti jejak karir ayahanda, dan memasuki dunia kampus yang jauh dari dunia karir politik dan kepamong-prajaan. Tegas lekuk-liku kehidupan yang penuh warna-warni bagai pelangi.

A.    Jejak-jejak Turunan Pamongpraja
Garis-garis keturunan pamongpraja pada diri Awang Faroek Ishak mengalir dari ayahanda Awang Ishak. Awang Ishak bergelar Awang Mas Pati lahir pada tahun 1909 di Tenggarong, Kutai, Kalimantan Timur, sebagai anak dari Awang Ibrahim bin Datu Awang Muhammad Saleh gelar Panglima Ribut. Semasa hidupnya, kakek Awang Faroek Ishak yang memiliki garis turunan langsung trah Kerajaan Kutai ini dikenal sebagai tokoh pamongpraja yang cukup disegani di wilayah Kalimantan Timur.
Ayahanda Awang Ishak, sejak masa remaja telah menunjukkan jiwa dan semangat kepamongprajaan. Setahun setelah dia lulus dari pendidikan di Hollandse Inlandse School (HIS) di tahun 1923, masih dalam usia yang relatif sangat muda, Awang Ishak sudah diangkat sebagai pegawai rendah pada Kesultanan Kutai dengan jabatan juru tulis (schripeen) dan ditempatkan di Onderdistrict Hooft (Kantor Kecamatan) Muara Kaman.
Setelah tujuh tahun bekerja sebagai schripeen di Kantor Kecamatan Muara Kaman, Awang Ishak kemudian dipindahkan pada jabatan yang sama di Kantor Kecamatan Melak. Berselang dua tahun di Melak, tepatnya tahun 1932, dia dipindah-tugaskan lagi ke Kantor Kecamatan Muara Kaman dengan pangkat Schripeen Eerste Klaas (Juru Tulis Kelas I). Pada tahun 1938, setelah mengabdi selama enam tahun di Muara Kaman, dia kembali berpindah tugas. Kali ini ke Kantor Kecamatan Sangkulirang, sampai akhir tahun 1941.
Perjalanan karir ayahanda Awang Ishak terus beranjak naik. Di antaranya dia pernah dipercaya sebagai jaksa, wakil kepala kepolisian Kesultanan Kutai di Tenggarong serta Asisten Wedana (Camat) di sejumlah daerah, seperti di Sanga-Sanga (1947-1949), Long Iram (1949), Muara Ancalong (1950-1951), serta Muara Pahu. Setelah itu, 1952-1953, Awang Ishak menjalani tour of duty sebagai camat di Kutai Tengah dan Tenggarong. Tak lama memang dia bertugas di sana, tahun 1953, tugas baru sebagai camat di Samarinda telah menanti. Dan, tahun 1954-1955, Awang Ishak diberi amanah untuk mengemban jabatan Wedana di Barongtongkok.
Di tengah perjalanan karir dan pengabdiannya, sekitar tahun 1930, Awang Ishak menikahi Hj. Dayang Djohariyah binti Awang Muhammad Seman gelar Ngebei Setia Dalam. Dari pernikahan ini, dalam rentang waktu sekitar 24 tahun, mereka dikarunia 13 anak dari rahim Hj. Dayang Djohariyah.  Anak pertama lahir tahun 1931 diberi nama Hj. Dayang Arhariyah. Kemudian, tahun 1932 lahir anak kedua yang diberi nama Awang Faisjal yang dalam perjalanan hidupnya pernah menjadi Bupati Kutai dan kini Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. Tahun 1934, lahirlah anak ketiga bernama Awang Abdullah yang meninggal masih di usia anak-anak.
Anak keempat, Awang Sabran, lahir di tahun 1935. Awang Sabran yang pernah dipercaya sebagai Wakil Wali Kota Samarinda gugur dalam kecelakaan speedboat saat menjalankan tugas pada tahun 1971. Lalu, anak kelima Awang Luthman yang kini memilih jalan hidup sebagai wiraswastawan atau wirausahawan lahir tahun 1938. Selanjutnya, tahun 1940, lahir anak keenam yang diberi nama Dayang Narul Fariah. Dua tahun berselang (1942), kemeriahan keluarga Awang Ishak – Dayang Djohariyah semakin bertambah dengan kelahiran anak ketujuh yang bernama Dayang Sri Mulyati. Kemeriahan terus bertambah dengan kehadiran anak kedelapan (1945) dan kesembilan (1947), masing-masing diberi nama Dayang Safiah dan Dayang Sabariah.
Dan Awang Faroek Ishak sebagai anak kesepuluh lahir pada tahun 1948. Awang Faroek pun mewarisi garis kepamongprajaan. Dia sempat dipercaya menjadi Bupati Kutai Timur (1999-2000), Bupati Definitif Kutai Timur (2001-2003), Bupati Kutai Timur hasil Pilkada langsung (2006-2011), dan Gubernur Kalimantan Timur melalui Pilkada langsung (2008-2013).
Keluarga pasangan Awang Ishak dan Dayang Djohariyah terus menambah anggota baru dengan kelahiran anak kesebelas, keduabelas dan (bungsu) ketigabelas. Ketiga anak-anak itu masing-masing Awang Fachrul (lahir 1950), Dayang Hartati (lahir 1951) dan Awang Fachruddin (lahir 1953) yang kemudian berkarir di jalur Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Dengan perjalanan karir pamongpraja yang mengalir bagai air, tidaklah mengherankan bilamana darah kepamongprajaan Awang Ishak pun kental mewarnai sebagian besar anak-anaknya. Minimal menitis ke Awang Faisjal, Awang Sabran, Awang Faroek, dan Awang Fachruddin.
Awang Faroek kecil tumbuh di lingkungan keluarga besar bangsawan Kutai. Lantaran genealogisnya berdarah bangsawan Kutai, kemudian di dalam sebuah jamuan resmi di Keraton Kutai, dia dianugerahi gelar Awang Ngebei Setia Negara oleh sesepuh keraton. Sebuah gelar kebangsawanan dari Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Tenggarong, Kutai, Kalimantan Timur.
Di lingkungan keluarganya, terutama saudara-saudaranya, dia biasa disapa Faroek. Namun, dalam aktivitas keseharian, warga masyarakat umum lebih banyak mengenal namanya dengan panggilan akrab Pak Awang. Sejatinya, sebutan Awang memang bukanlah sebuah nama, melainkan gelar bangsawan dari Kesultanan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur (Kaltim). Sebagaimana halnya gelar bangsawan di daerah lain seperti Raden Mas dan Raden Roro di Yogyakarta dan Solo (Jawa Tengah), Andi di Makassar (Sulawesi Selatan), atau Lalu di Pulau Lombok (Nusa Tenggara Barat). Dia menyandang nama Awang, karena garis genealogisnya sebagai keturunan langsung darah biru Kesultanan Kutai Kartanegara.
Ada kekuatan darah biru Kesultanan Kutai Kartagerana dalam diri Awang Faroek Ishak. Lalu, bagaimana sebenarnya karakteristik dan kulturl orang Kutai? Prototipe orang Kutai, meminjam istilah Abdul Rahim (2002), dilihat dari kinskip termasuk ke dalam kategori ras Melayu (Proto Melayu). Orang Kutai, secara umum, adalah umat yang hidup dalam norma-norma Islami dengan ikatan tatanan paguyuban (gemeinschaft) yang kuat serta dalam pergaulan masyarakat heterogen yang telah berlangsung selama berabad-abad,
Orang Kutai di Kalimantan Timur memiliki hubungan sangat erat dengan orang Dayak. Namun, saat ini, muncul masalah pelik berkaitan dengan pengelompokan antara Suku Kutai dan Suku Dayak. Disebut-sebut bahwa Suku Dayak itu dianggap merupakan penduduk asli Kutai. Sebaliknya, Suku Kutai pun mengklaim bahwa mereka adalah penduduk asli.
Melalui bukunya yang berjudul Peninjau Jilid I (1974), FR Ukur menjelaskan bahwa penduduk Suku Dayah di Tanah Kutai dapat digolongkan menjadi Suku Dayak yang tinggal di hulu pedalaman sungai dan dikelompokkan ke dalam ras Deotro Melayu atau Melayu Muda. Sedangkan Suku Kitai yang tinggal di bagian hilir sungai dikelompokkan ke dalam ras Proto Melayu atau Melayu Tua.
Senada dengan FR Ukur, pakar antropologi Mikhail Coomans (1987) berpendapat bahwa Suku Kutai termasuk ke dalam ras Deotro Melayu seperti halnya Suku Dayak yang lain. Repotnya, Suku Kutai sendiri tidak mau disebut Suku Dayak. Sebab, mereka memiliki perikehidupan sosialm budaya dan ekonomi yang berbeda pula. Misalkan, dalam even bidaya Erau, yang merupakan simbol pesta adat Suku Dayak dalam memperingati acara ritual khusus yang dianggap paling besar.
Sebetulnya, bila dikaji lebih dalam, pengelompokan antara ras Suku Dayak yang tinggal di hulu dan Suku Dayak yang mendiami kawasan hilir hanyalah bersifat sosio-religius belaka. Karena, mereka sebenarnya berasal dari satu rumpun atau kelompok ras yang sama, yaitu kelompok Deotro Melayu. Namun, lantaran Suku Kutai lebih banyak memperoleh pengaruh budaya ras Proto Melayu (Banjar, Bugis dan Jawa) maka secara rasial mereka lebih senang dikelompokkan ke dalam ras Proto Melayu.
Lazimnya, nama Dayak digunakan bagi ras Proto Melayu yang tinggal di daerah pelosok dan pedalaman serta beragama non-Islam. Sedangkan nama Kutai digunakan bagi kelompok penduduk ras Proto Melayu yang beragama Islam. Bahkan, Suku Dayak sendiri menyebut orang yang beragama Islam sebagai orang haloq atau orang asing.
Jadi, orang Dayak yang keluar dari ikatan tradisi adat-istiadat para leluhurnya, juga dianggap orang haloq. Mereka bukan lagi dikelompokkan ke dalam Suku Dayak. Karena, mereka dianggap telah keluar dari ketentuan kepercayaan dan adat bidaya nenek moyangnya. Sebaliknya, orang Dayak yang masuk Islam juga enggan disebut Suku Dayak lagi. Inilah yang menyebabkan mengapa orang Kutai enggan disebut orang Suku Dayak. Mereka lebih senang dikelompokkan kedalam ras Proto Melayu, seperti halnya Suku Banjar yang beragama Islam dan tinggal di Kalimantan Selatan.
Dalam sistem kekerabatan bangsawan Kutai, galibnya mereka masih menganut sistem patrilineal. Artinya, garis keturunan ditarik dari dan ke pihak laki-laki. Pada masa lampau, Suku Kutai masih mengenal lapisan dan strata sosial, seperti bangsawan, rakyat jelata, dan budak belian. Bagi kaum bangsawan, dipergunakan berbagai gelar seperti Awang, Aji Bambang, Aji Raden, dan Aji Pangeran. Biasanya, pemberian gelar itu dilaksanakan dalam suatu upacara resmi di dalam masjid dan lazimnya seusai shalat Idul Fitri. Namun sekarang, penghormatan terhadap seseorang telah mulai bergeser, bukan lagi atas dasar kebangsawanan semata, juga atas dasar tinggi-rendahnya pendidikan yang diperoleh, statusnya dalam pemerintahan dan banyaknya materi kekayaan yang dimiliki.
Bagi Awang Faroek sendiri, gelar bangsawan atau darah biru yang mengalir dalam dirinya bukanlah segala-galanya dan bukan pula yang dirasa istimewa. Dia memakai gelar bangsawan Kutai tersebut tidak lebih sekadar simbol penghormatan dan pelestarian aset budaya serta nilai-nilai luhur budaya bangsa.    
Dalam pandangan Awang Faroek, gelar bangsawan dan darah biru bukan lantas membuat dirinya berjarak, apalagi mereka lebih daripada yang lain. Ibarat oksigen yang senantiasa mengisi ruang kosong di mana-mana, begitupun konsep relasional dan pergaulan Awang Faroek yang mampu melintasi horison nyaris tanpa batas. Terbukti, dia tidak pernah pilih-pilih teman dalam bergaul. Sikapnya juga jauh dari kesan jumawa dan sombong. Singkat cerita, dia mampu menempatkan dirinya secara proporsional dan tidak feodalistik. Di mata para sahabat maupun rakyat, sosoknya sangat bersahaja dan merakyat. Realitasnya, Awang Faroek memang terlahir sebagai bangsawan namun representasi ideal bangsawan Kutai yang amat merakyat.
“Pak Awang tidak pernah membeda-bedakan orang, mana yang masih yunior dan senior. Baginya, semua itu dianggap sama. Sikapnya tersebut, sekali lagi membuat saya sangat kagum dan menaruh respek pada beliau. Walaupun beliau berdarah biru, beliau adalah sosok berdarah biru yang bersahaja dan merakyat. Beliau tokoh yang bisa dekat dengan siapa saja,” ujar Bupati Kutai Barat Ismael Thomas SH yang mengaku sudah cukup lama mengenal sifat maupun karakter Awang Faroek. Apalagi, masih menurut Thomas, dia pernah menjadi mahasiswa Awang Faroek saat dirinya masih tercatat sebagai mahasiswa di kampus Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda. Jadi, sebenarnya cukup waktu bagi Thomas untuk mengenal secara mendalam kiprah dan keseharian bangsawan Kutai yang egaliter, humanis, bersahaja dan merakyat itu.
Penilaian kepribadian Awang Faroek dapat pula ditelusuri dari testimoni mantan Satf Ahli Ketua Otoritas Batam, Ir. H. Soedarsono Soekardi, yang juga mengaku sudah cukup lama mengikuti rekam jejak Awang Faroek. “Sejak awal perkenalan kami, kepribadian Awang Faroek yang paling berkesan sampai hari ini adalah sifatnya yang rendah hati, santun dalam bertutur, dan sangat sopan dalam pergaulan,”tutur Soedarsono.
Soedarsono menambahkan, “Penampilannya dengan face yang ganteng dan badan yang atletis disertai kecerdasan pikir serta terlahir dari keluarga yang terhormat (bangsawan Kutai), namun menjadikannya jauh dari kesan sombong. Awang Faroek justru sebaliknya mampu memanfaatkannya untuk bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat dari yang paling rendah sampai yang paling atas.”
Demikianlah keseharian bangsawan Kutai Awang Faroek Ishak. Kendati berdarah bangsawa, dia tidak pernah memisahkan diri dari rakyatnya. Hal ini tidak lepas dari pola pendidikan yang ditanamkan orang-tuanya. Menelusuri masa silamnya, ketika usianya masih balita, Awang Faroek bersama saudara-saudaranya serta ayah-ibunya kerapkali berpindah-pindah tempat tinggal, mengikuti tugas ayahanda Awang Ishak gelar Awang Mas Pati. Ayahanda di masa itu merupakan tokoh pamongpraja dengan jabatan antara lain Jaksa, Wakil Kepala Kepolisian Kesultanan Kutai di Tenggarong serta Asisten Wedana (Camat) hingga Wedana. Berkat jabatan ayahanda itu, keluarga besarnya kerap diajak ikut serta. Misalkan dari tanah kelahirannya di Tenggarong, Kutai, meraka pernah berpindah ke Samarinda, berikutnya ke Sendawar di Barongtongkok, kemudian ke Kota Tarakan, lantas balik lagi ke Tenggarong.
Bila Anda berkesempatan bertandang ke Kesultanan Kutai di Tenggarong insya Allah tidak ada yang tidak mengenal nama Awang Ishak gelar Awang Mas Pati. Meski Awang Faroek telah almarhum sejak tahun 1967 silam, namun namanya masih harum dikenang warga masyarakat Kalimantan Timur. Hal ini karena orang tua, kakek dan keluarga besar Awang Faroek merupakan tokoh pamongpraja yang cukup  berpengaruh dan disegani di wilayah Provinsi Kalimantan Timur.
Tampaknya alur kehidupan keluarga besar Awang Faroek Ishak ini senafas dengan adagium like father like son. Sebab, bila dirunut dari sejarah orang-tuanya, kakek-neneknya, pun genealogis keluarga besarnya di masa lampau, tokoh berambut perak ini termasuk  keluarga besar pamongpraja. Faktualnya, hampir semua saudara Awang Faroek berprofesi sebagai pamong praja, kecuali H. Awang Luthman yang sengaja memilih profesi berwiraswasta. Tak mengherankan bila sejarah pamongpraja keluarga ini cukup mengakar dan dikenal baik di bumi Kalimantan Timur.
Sebenarnya, bukan semata-mata darah kepamongprajaan yang dialirkan oleh Awang Ishak kepada Awang Faroek. Spirit nasionalisme juga cukup memberi warna kehidupan Awang Ishak yang meninggal pada tahun 1967 ini. Ceritanya, di masa pergolakan dan perlawanan bersenjata terhadap tentara Kolonial Belanda, elan nasionalisme ayahanda terusik. Dia terlibat aktif membantu perjuangan dan perlawanan rakyat, walau dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Agaknya, hal inilah yang kemudian menyebabkan Awang Ishak selalu saja dipindah-tugaskan sebagai camat di beberapa wilayah.
Kedudukan ayahanda saat itu merupakan orang penting dan terpandang di daerahnya. Berkat posisi ayahanda itu, perekonomian keluarganya dapat dikatakan relatif berkecukupan. Namun, ayahanda tidak dapat tinggal diam melihat bangsanya dijajah dan diinjak-injak harkat dan martabatnya oleh kaum penjajah Kolonial Belanda. Itu sebabnya pula, secara diam-diam ayahanda memutuskan untuk membantu pejuang-pejuang pro merah-putih di daerahnya. Ayahanda Awang Ishak menyadari betul risiko yang bakal dihadapi, termasuk dimutasi dan diturunkan pangkatnya, bahkan kemungkinan terburuk: ditangkap atau dijebloskan ke bui.
Kekhawatiran itu benar adanya. Berdasar bukti otentik dari seorang pejuang di Samarinda, melalui laporan rahasia (Gcheiin Verslag) dari asisten Residen van Oost Borneo (Kalimantan Timur) kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, akhirnya diketahuilah segala aktivitas ayahanda selama ini. Dari laporan itu pula, ayahanda Awang Ishak dituduh terlibat pergerakan bawah tanah terhadap penggulingan Pemerintah Hindia Belanda. Spontan saja Belanda marah besar. Belanda datang kepada Sultan Kutai Adji Muhammad Parikesit (waktu itu) dan menyarankan agar Awang Ishak dipindah-tugaskan ke Long Iram sebagai bentuk hukuman terhadap dirinya. Namun, surat keputusan itu dibatalkan, lantaran Sultan Kutai tidak berkenan akan bentuk hukuman terhadap ayahanda.
Sampai akhir hayatnya tahun 1967, ayahanda Awang Ishak bergelar Awang Mas Pati tidak banyak meninggalkan harta, terlebih gelimang kemewahan, kepada seorang isteri dan 13 orang anaknya. “Ayah saya cuma mampu meninggalkan rumah dinas tua dan sederhana yang pernah ditempati sejak zaman Belanda. Letaknya di Jalan Awang Sabran, Tenggarong. Rumah dinas itu pun baru bisa dibayar lunas oleh ayah ketika beliau telah pensiun,” cerita Awang Faroek Ishak mengenang pola hidup ayahanda yang teramat sederhana dan bersahaja.
Tapi, berkat kesederhanaan itu pula ayahanda Awang Ishak mampu meninggalkan warisan besar: jiwa pamongpraja yang tumbuh dan mengakar pada genealogi keluarga besarnya. Pun terbukti, darah birokrat (pamongpraja) Awang Ishak mengalir langsung ke Awang Faroek. Dari 13 bersaudara, empat orang putranya –Awang Faisjal, Awang Sabran, Awang Faroek dan Awang Fachruddin-- secara sukarela mengikuti jejak karir ayahanda, yaitu mengabdikan diri di jalur pemerintahan (birokrasi).  

B.     Masa Kecil yang Berpindah-pindah Sekolah
Sebagaimana galibnya anak seorang prajurit atau pamongpraja, Awang Faroek kecil harus ikut berpindah-pintah tempat tinggal sesuai tempat penugasan ayahanda Awang Ishak. Memasuki masa Sekolah Dasar (SD), sekitar tahun 1954-1955, ayahanda ditugaskan sebagai Wedana Sendawar di Barongtongkok. Awang Faroek lantas didaftarkan masuk ke Sekolah Rakyat (SR) Katolik Barongtongkok, satu-satunya SR yang ada di wilayah itu. “Saya ingat betul, pada tahun 1955 saat itu, saya sudah ikut ayah dan sempat masuk bersekolah di SR Katolik Barongtongkok,” kenang Awang Faroek.
Di Barongtongtok itu pula, Awang Faroek kanak-kanak bergaul secara intensif bersama anak-anak komunitas masyarakat Suku Dayak. Di sini dia mengenyam pendidikan SR Katolik sampai kelas tiga. Kendati cuma seumur jagung, kenangan manis bergaul dan berinteraksi secara massif dengan masyarakat Dayak di kawasan perbatasan dan wilayah pedalaman Kalimantan Timur itu rupanya sangat membekas dan menggugah nuraninya.
Kekayaan pengalaman yang mampu menembus horizon dunia anak-anak Suku Dayak di pedalaman dan perbatasan Kalimantan Timur. Romantika keindahan persahabatan masa kecil berpadu harmonis dengan pesona alam pedesaan yang masih asri dan natural dengan eksotisme kebersahajaan mereka yang sangat mengesankan. Keindahan vegetasi hutan alam dan pepohonan nan rindang, hamparan padi sawah yang menghijau-menguning bak permadani, perkebunan buah-buahan yang mewarnai pekarangan rumah-rumah warga setempat, pun berinteraksi dengan harmoni alam yang menjadi wahana bentuk-bentuk permainan tradisional yang mengundang kreativitas dan kerjasama tim yang amat kuat.
Dalam perspektif harmoni alam dan kebersahajaan anak-anak Suku Dayak itulah, sosok Awang Faroek mulai terbangun dan terbentuk. Awang Faroek yang menghabiskan sebagian masa kecil di Barongtongkok betul-betul merasakan kehidupan bersama-sama komunitas anak-anak Suku Dayak. Awang Faroek yang keturunan trah bangsawan Kesultanan Kutai ini tidak semata-mata menghabiskan masa kecilnya di balik tembok istana kerajaan. Pergaulan dengan anak-anak komunitas Suku Dayak secara otomatis memperkaya dan menjadi penyeimbang tumbuh suburnya tunas filantropis di dalam jiwa Awang Faroek di kemudian hari.
“Meski cuma sebentar, saya melihat dan merasakan secara langsung bagaimana denyut nadi kehidupan Suku Dayak saat itu yang amat sederhana, bahkan boleh dikatakan masih terbelakang. Sejak lama, mereka memang tidak diperhatikan oleh pemerintah karena posisinya yang jauh di pedalaman dan perbatasan Kalimantan. Baru sekitar tahun tahun 1970-an ada program pembangunan daerah perbatasan dan baru ada kesempatan bagi mereka (Suku Dayak). Ternyata, saudara-saudara kita orang Dayak tersebut juga tidak kalah kok. Kalau diberi kesempatan, mereka juga bisa maju. Terbukti, kini sudah banyak orang-orang Dayak yang pintar dan mampu mengisi pos-pos penting di berbagai bidang,” tandas Awang Faroek.
Namun, kenangan indah di Barongtongkok waktu itu tak berlangsung lama. Menginjak kelas tiga SR, Awang Faroek kecil harus berpindah sekolah lagi mengikuti kepindahan tugas ayahanda ke Tenggarong, Kutai, Kalimantan Timur. Di Tenggarong, Awang Faroek masuk kelas tiga pada Sekolah Rakyat Negeri (SRN). “Ketika kelas tiga SRN di Tenggarong itu saya pernah satu kelas dengan Pak Kaning (sapaan akrab mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hasan Rais –red). Jadi, Pak Kaning itu dulu anaknya memang agak bandel dan nakal sehingga dia sempat tidak naik kelas,” tutur Awang Faroek.
“Saya dan Awang Faroek sudah saling mengenal sejak kami masih di SRN Tenggarong. Saya pernah satu kelas dengan dia hingga duduk di kelas tiga. Setelah itu, karena saya terpaksa tinggal kelas, maka Awang Faroek lebih dulu satu tahun daripada saya,” ujar Pak Kaning (2006). Pak Kaning menambahkan, “Semenjak masa sekolah, Awang Faroek merupakan pribadi yang sangat menonjol, dia termasuk siswa yang berprestasi. Nilai-nilai di pelajarannya selalu yang terbaik. Berbeda dengan saya. Selama masa sekolah, saya termasuk siswa yang tidak begitu aktif, bahkan sampai mengabaikan pelajaran.”
Naik kelas empat SRN, Awang Faroek berpindah lagi.  Kali ini ke Kota Tarakan, lantaran ayahanda memperoleh tugas baru sebagai wedana di sana. “Pada saat naik kelas empat SRN, saya kemudian pergi ke wilayah Tarakan, ikut kepindahan ayah yang memperoleh tugas baru sebagai wedana,” kata Awang Faroek.
Awang Faroek bersekolah di SRN Kampung Bugis, Tarakan. Di SRN ini, Awang Faroek sempat satu sekolah dengan Silvian Yulian Wenas yang lebih populer disapa S.Y. Wenas. Sebagaimana diketahui karir S.Y. Wenas banyak dihabiskan sebagai perwira tinggi Kepolisian Republik Indonesia (Polri), di antaranya sempat dipercaya sebagai Kapolda Kaltim serta Komandan Korps Brimob. “Pada waktu di SRN Kampung Bugis, saya sempat punya adik kelas bernama S.Y. Wenas. Dia kelas tiga dan saya kelas lima,” Awang Faroek berkisah.
Selama di Kota Tarakan ini pula, ayahanda Awang Ishak --yang waktu itu dipercaya sebagai wedana—berkarib akrab dengan Pitoyo Mangkusubroto, Kepala BPM Tarakan (sebelum lahirnya Pertamina). Sekadar pengetahuan, Pitoyo Mangkusubroto adalah ayah dari Dr. Kuntoro Mangkusubroto yang mantan Menteri Pertambangan dan Energi era Presiden B.J. Habibie, mantan Direktur Utama PLN, dan mantan Ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh. 
Sekitar dua tahun bermukim di Kota Tarakan, Awang Faroek berhasil menamatkan pendidikan dasarnya di SRN Tarakan pada tahun 1961. Sementara SMP (lulus tahun 1964) dia rampungkan di kampung halamannya Tenggarong, Kutai, Kalimantan Timur.

C.    Masa Remaja di Tenggarong
Selepas dari SMP, Awang Faroek belum berkeinginan merantau ke kota yang lebih besar. Dia tetap berada di kampung halamannya, Tenggarong, untuk melanjutkan pendidikan SMA. Di sela-sela kesibukan sekolah, Awang Faroek menghabiskan waktunya dengan menyalurkan hobi bermain musik. Bahkan, bersama kawan-kawannya, dia sempat membentuk kelompok band.
“Dulu, saya punya grup band, Gesnaria namanya. Personilnya lima orang, seingat saya antara lain Ir. Fahnoerdin, Ir. Samidin, Mahmud dan saya sendiri,” Awang Faroek mengenang masa remajanya. Ayahanda Awang Ishak sangat mendukung keberadaan grup band. Itulah sebabnya, meski kini Awang Faroek sudah berada di puncak karir politik sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dia tetap menyempatkan waktu bernyanyi dan bermain musik untuk penyegaran. Pada waktu-waktu tertentu dia tidak menampik bila ada warga masyarakat yang meminta dirinya naik panggung menyumbangkan satu atau dua lagu. Apalagi, suaranya tidak kalah dibandingkan suara penyanyi profesional.
Dari musik pula, Awang Faroek bertemu perempuan pujaan hati E. Amelia Suharni yang kini telah menjadi isteri dan memberinya tiga anak. Selain hobi bernyanyi, puteri kelima H.E.M. Djakaria Mas Truno Djojo (pensiunan Sekretaris Wilayah Daerah Tingkat I Kalimantan Timur) juga tidak mau kalah. Perempuan pujaan hati ini pun sempat memiliki grup band yang diberi nama Payi, kependekan dari Pemuda Ahmad Yani.
“Dulu, isteri saya ini kebetulan juga penyanyi dan ia punya grup band Payi (Pemuda Ahmad Yani). Selain itu ia juga aktif di kepanduan Pramuka. Jadi, kami memiliki banyak kesamaan. Kebetulan, di luar itu, kami juga masih ada hubungan keluarga serta sama-sama dari Tenggarong,” papar Awang Faroek menceritakan asal mula kisah asmara dengan sang isteri. Awang Faroek merajut tali kasih dengan Amelia Suharni yang waktu itu bersekolah SMA di Kota Samarinda. Jarak tidak menjadi kendala jalinan kasih kedua sejoli muda ketika itu.
Tak sebatas kegiatan musik yang berbau glamor yang ditekuni Awang Faroek di masa remaja. Dia juga aktif di organisasi pelajar di Tenggarong. Bahkan, dia sempat memperoleh kepercayaan untuk memimpin Ikatan Pelajar Tenggarong.
Di tengah kegembiraan menghabiskan masa remaja, datang kabar duka. Ayahanda Awang Ishak meninggal dunia pada usia 58 tahun pada tahun 1967. Padahal, Awang Faroek belum usai menamatkan SMA. Jelas, perekonomian keluarga sedikit terpengaruh. Tapi, Awang Faroek tak ingin larut dalam duka yang berkepanjangan. Berkat gemblengan disiplin hidup sederhana dan mandiri, Awang Faroek langsung memupuk jiwa kewirausahaan yang ada dalam dirinya. “Pada tahun 1965-an saya sudah mulai berjualan kacang dengan merek Awangko. Saya dan almarhumah kakak saya Dayang Sabariah bertugas mendorong kereta jualan kacang tersebut,” kenang Awang Faroek. Bahkan, dia tidak merasa malu melakoni pekerjaannya, walau dia masih keturunan bangsawan Kutai yang sangat dihormati masyarakat setempat.
“Saat ayah pensiun pada 1965-1966, saya masih duduk di bangku SMA di Tenggarong. Ayah mendidik kami saat itu dengan disiplin sangat tinggi, hidup sederhana dan mandiri, dan kami juga diajari oleh beliau agar tidak boleh malu dalam berusaha yang halal,” Awang Faroek menambahkan.
Biasanya, demikian cerita Awang Faroek lebih lanjut, aktivitas berjualan itu dia lakukan sepulang sekolah. Dari sore hingga malam hari. Dia melakoninya tanpa beban, penuh kegembiraan khas remaja seusianya. Memang terkadang, ada juga sebagian dari teman-teman sekolah yang meledek, gara-gara sekolah sambil berjualan. Tapi, Awang Faroek tidak ambil peduli. Prinsipnya, menurut dia, toh pekerjaan itu halal dan tidak merugikan orang lain. Terlebih lagi, ayahanda memang mendidik anak-anaknya dengan pola disiplin yang tinggi, hidup sederhana dan mandiri serta tidak boleh malu.
Di masa itu, keluarga besar Awang Ishak sempat memiliki kios khusus untuk berjualan barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti gula, minyak, makanan kecil dan rokok. “Kios tersebut letaknya di dekat bioskop Tenggarong,” kata Awang Faroek sembari mengingat-ingat bahwa suatu ketika jualannya laku dan memperoleh keuntungan lumayan, “Setelah melaporkan keuntungan kepada ayah, biasanya saya diberi persenan oleh beliau. Misalkan kalau untung Rp750, maka saya dikasih persen Rp50. Wah, nilai uang waktu itu sangat besar dan bukan main senangnya saya.”

D.    Merantau ke Tanah Jawa Sampai Membangun Rumah Tangga
Usai menamatkan SMA Tenggarong pada tahun 1967, pemuda yang taat beribadah ini memberanikan diri merantau ke Tanah Jawa. Pilihannya jatuh ke Kota Apel, Malang, Jawa Timur. Tanpa kesulitan berarti, Awang Faroek diterima di Fakultas Keguruan Ilmu Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Malang. Di sana dia menumpang tinggal di rumah seorang pamannya bernama Awang Khairul –salah seorang adik kandung ayahanda Awang Ishak.
Menurut Awang Faroek, pada mulanya pilihan untuk masuk ke Kampus IKIP Malang tersebut mengikuti arahan Awang Faisjal, kakak kandung sekaligus lelaki tertua dalam keluarga besarnya. Alasan kakaknya waktu itu, karena saudara-saudaranya yang lain sudah banyak yang memilih masuk Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN), maka Awang Faroek diarahkan saja agar masuk ke IKIP. Harapannya, tentu, supaya kelak Awang Faroek bisa mengembangkan karirnya di dunia pendidikan, sesuai bidang studi yang dipilihnya.
“Begini, kami semua bersaudara ini mengikuti jejak ayahanda. Ayah saya kan pamong. Saya tadinya mau jadi guru saja, sesuai dengan arahan kakak saya Awang Faisjal. Makanya, saya memilih masuk IKIP Malang. Tapi, eh, belakangan akhirnya saya juga jadi pamong. Barangkali selain faktor keturunan, ini juga panggilan jiwa,” aku Awang Faroek sambil tersenyum.
Di Kota Malang yang berhawa sejuk tersebut kebetulan rumah sang paman Awang Khairul berada tak jauh dari Kampus IKIP. Berjarak sekitar satu kilometer. Jadi setiap pergi-pulang ke Kampus, Awang Faroek cukup senang melakoninya dengan berjalan kaki.
“Saya kuliah di IKIP Malang saat itu hanya mengandalkan kiriman wesel dari ibu di Kaltim. Di Malang, sepeda pun saya tidak punya. Saya biasa berjalan kaki dari rumah paman ke Kampus sekitar satu kilometer,” kenang Awang Faroek sambil menambahkan, “Saya masih ingat, di masa itu, uang seratus perak sudah bisa buat makan dan minum. Jadi, lidah saya ini lidah Jawa. Saya juga bisa berbahasa Jawa dengan baik, nggak bisa dikibulin.”
Selama menjalani studi di Kampus IKIP Malang, Awang Faroek tak mau tinggal diam sekadar belajar text book di ruang kelas. Jiwa keorganisasiannya yang telah tampak semasa SMA terus diasahnya di Kampus IKIP Malang. Di sela-sela aktivitas studi yang padat, dia menyempatkan diri berkegiatan sebagai pengurus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Malang, periode 1968-1973. Setahun berselang, dia dipercaya sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Keguruan IKIP Malang, 1969-1972. Selain itu, dia pun aktif sebagai anggota Golongan Karya (Golkar) Kotamadya Malang, 1971-1973. Pada tahun 1973 Awang Faroek berhasil menyelesaikan studinya di IKIP Malang dan berhak menyandang gelar sarjana.
Dia kemudian pulang kampung ke Tenggarong. Langkahnya mantap, dia ingin melamar perempuan pujaan hatinya E. Amelia Suharni yang telah dipacarinya sejak masih di bangku SMA. Pendar-pendar cintanya yang dirajut antarkota Tenggarong-Samarinda terus berlanjut antara Malang dan Tenggarong. Tahun 1974, keduanya bersepakat untuk membangun mahligai rumah tangga di usia yang relatif muda (Awang Faroek berusia 26 tahun dan Amelia Suharni berumur 25 tahun).
Dari buah perkawinan keduanya kemudian lahir tiga orang anak kesayangan, masing-masing Awang Ferdian Hidayat (lahir tahun 1975), Dayang Dona Walfaries Tania (lahir tahun 1976) dan si bungsu Awang Fauzan (lahir tahun 1985). Anak pertama dan anak kedua telah menikah, masing-masing dengan Rima Hartani dan Toni Saparisa. Ikatan kekeluargaan antara orang tua, anak, menantu dan cucu-cucunya senantiasa terjalin dengan baik. Suami-isteri itu pun selalu akur dan dihormati oleh ketiga anak-anak dan menantu.
Bagi Awang Faroek, keharmonisan keluarga turut mempengaruhi etos kerja dan perjalanan karirnya selama ini. Sebab itu, baginya, makna keluarga tidak dapat dipisahkan dengan makna kesuksesan yang telah dirintis dan diraih sepanjang perjalanan hidupnya. Keluarga tidak ubahnya motivator bagi perkembangan karir Awang Faroek sampai saat ini.
Kini di usianya 63 tahun, Awang Faroek mengakui seolah memperoleh energi baru dan kenikmatan tiada tara dalam konteks keutuhan sebuah kehidupan keluarga. Kenikmatan yang merefleksikan konstruksi dan jiwa sebuah rumah tangga yang utuh yang terdiri dari anak, menantu dan cucu. Berbicara soal cucunya, Awang Faroek menggeleng-gelengkan kepalanya penuh khidmat seakan menggambarkan nikmatnya menjadi seorang kakek. “Waduh, nikmatnya ternyata luar biasa mempunyai seorang cucu. Kenikmatan yang tiada tara,” ujar Awang Faroek suatu waktu dengan penuh antusias. Diakuinya, selepas urusan dinas dan segudang kegiatan lainnya, tidak ada yang dia nikmati selain bercengkerama dengan cucu pertamanya Fionalita Aifa Savitri. Kehadiran cucu pertama itu –kemudian disusul lahir cucu kedua Awang Farel Muhammad dan cucu ketiga Dayang Cyntia Pratistadewi—laksana obat penawar letih dan lelah di tengah rutinitas sang kakek yang tiada kenal waktu itu. ***   
       
    

No comments:

Post a Comment