Atilla Bogdan, seorang polisi berusia 49 tahun
asal Hungaria pernah berkeluh atas kebijakan pemotongan anggaran dengan tidak
dibayarkannya seseorang yang mengambil pensiun dini di bawah usia 65 tahun,
“Saya bekerja sebagai polisi sepanjang hidup saya dan setelah bekerja selama 25
tahun saya kira saya bisa pensiun dan sekarang saya merasa seperti seorang yang
diselingkuhi istrinya ketika dia menjadi seorang kakek-kakek.” Sementara itu,
Pemerintah Yunani berencana untuk menambah usia pensiun nasional dan melarang
pensiun dini sebagai upaya mengatasi defisit anggaran yang sangat besar.
Pemerintah sosialis Yunani mengatakan akan meningkatkan usia rata-rata pensiun
dari 61 menjadi 63 pada tahun 2015. Kedua negara tersebut, Hungaria dan Yunani,
mendapatkan gelombang protes yang sangat besar dari para pegawai negerinya.
Bahkan di Budapest, ribuan orang sengaja mengenakan kostum badut (dikenal
sebagai Revolusi Badut) dan mencatat rekor sebagai demo terbesar selama masa
pemerintahan Perdana Menteri Viktor Orban yang baru berkuasa sejak April lalu.
Dana pensiun pun menjadi beban bagi anggaran
pemerintah Jepang. Maret 2011 pemerintah mengusulkan untuk meningkatkan batas
pensiun bagi pekerja hingga 68 tahun. Para pembuat kebijakan beranggapan bahwa,
hal ini akan mengurangi pengeluaran negara serta menambah efektivitas kerja di
perusahaan. Jepang mengalami fenomena generasi yang menua dan minimnya angka
kelahiran, sehingga untuk menjaga performa ekonomi negara beberapa perusahaan
merekrut kembali tenaga kerja yang sudah di masa pensiunnya. Namun kebijakan
ini mendapat tekanan dari oposisi, Menteri Tenaga Kerja, Kesehatan dan
Kesejahteraan Jepang mengingatkan pemerintah bahwa mayoritas masyarakat dan
persatuan buruh menentang kehadiran kebijakan ini.
Cermin Cekung Indonesia
Sebaliknya, dengan alasan yang sama—penghematan
anggaran dan efektivitas kerja—pemerintah Indonesia baru mulai mencanangkan
kebijakan pensiun dini. Para pegawai yang telah bekerja selama minimal 20 tahun
dan atau telah berusia 50 tahun ke atas dipersilakan mengajukan pensiun dini.
Pokok permasalahan yang menyebabkan terjadinya
perbedaan penafsiran dan kebijakan, salah satunya, adalah faktor sumber daya
manusia. Tidak bisa dinafikkan, kualitas dan citra PNS Indonesia adalah
inefektif dan korup. Masyarakat terlanjur mengecap pegawai negeri adalah
profesi zona aman, santai, dan makan gaji buta. Rata-rata APBD yang dihabiskan
untuk belanja pegawai saja mencapai 70%, tetapi masyarakat tetap mengaku tak
pernah puas dengan kinerja PNS.
Mantan Presiden Megawati bahkan pernah mengeluh
mengenai produktivitas PNS ini, sehingga upaya peningkatan efisiensi dan
efektivitas PNS menjadi pilihan yang tidak bisa ditunda. Tidak dapat dipungkiri
bahwa efisiensi dan efektivitas PNS merupakan masalah krusial dalam menata PNS sehingga
banyak jenis pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukan seorang saja, namun
dalam praktiknya dikerjakan oleh banyak pegawai.
Kondisi tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi
apabila PNS tersebut mampu menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri. Keterbatasan
kreativitas tidak akan dialami oleh orang-orang yang mempunyai etos kerja yang
tinggi dan ditunjang oleh kompetensi yang memadai.
Sedikitnya ada tiga masalah mendasar dalam
penataan PNS saat ini, yaitu:
1. Jumlah yang terlalu besar dibandingkan dengan
beban pekerjaan yang ada sehingga terjadi pengangguran terselubung;
2. Rendahnya etos kerja akibat tidak tersedianya
pola insentif yang memadai;
3. Rendahnya kompetensi PNS sebagai akibat pola
rekruitmen yang tidak memenuhi standar meritokrasi.
Pil Koplo Present Value
Ditunjuknya Ditjen Perbendaharaan sebagai pilot
project sistem pensiun dini sukarela, menurut Wakil Menteri Keuangan, Anny
Ratnawati, sudah cukup tepat karena Ditjen Perbendaharaan dirasa sudah cukup
menganut sistem informasi/teknologi yang modern. Apalagi dengan segera
diluncurkannya SPAN, seharusnya tidak banyak lagi diperlukan sumber daya
manusia. Dan dari tiga masalah mendasar penataan PNS, Kementerian Keuangan,
khususnya Ditjen Perbendaharaan tidak mengalami masalah pada poin 2 dan 3.
Terkait dengan penghematan anggaran, Dirjen
Perbendaharaan Agus Suprijanto mengungkapkan ada potensi penghematan mencapai
40 persen dari dana yang harus dikeluarkan jika kementerian harus
mempertahankan pegawai tersebut. “Dari biaya mempertahankan dia, gaji ditambah
pesangon dan tunjangan, kompensasi (pensiun dini) jika dibandingkan yang gaji
itu ada (penghematan) 40 persen.”
Lebih jauh, beliau menjelaskan dari sisi penerima
akan lebih untung mengambil pensiun dini karena secara finansial present value
dari nilai kompensasi pensiun dini dibandingkan dengan nilai gaji yang diterima
sampai umur pensiun masih jauh lebih besar. Future Value dari kompensasi itu
secara sederhana dirumuskan FV = (PV + i)n-1, di mana uang memiliki nilai
perputaran yang dinamis dan besar.
Hanya saja, teori mengenai bekerjanya uang hanya
akan berhasil bila SDM si pengelola uang juga memiliki kreativitas dan
sayangnya ini bertentangan dengan aksioma pertama, bahwa kebijakan pensiun dini
sebenarnya diusulkan untuk mengurangi pegawai-pegawai yang tidak produktif
seperti misalnya Batalion 7.05 (yang datang hanya pukul 7 pagi, absen, pergi,
kembali lagi pukul 5 sore untuk absen). Hal ini cukup riskan dan menimbulkan
pertanyaan, apakah mereka yang kemudian memensiunkandinikan dirinya mampu menghasilkan
uang yang lebih banyak lagi?
Saya punya contoh miris untuk kasus gagalnya uang
bekerja. Saya punya tetangga kaya. Suatu saat orang tuanya meninggal dan tentu
membagikan warisan-warisannya. Salah seorang anaknya mendapatkan tanah yang
kemudian dijualnya seharga 100 juta. Ia kemudian membangun rumah baru, membeli
ini-itu sampai uangnya habis. Singkat cerita, sekian tahun berlalu, tanah yang
dulu dijualnya seharga 100 juta itu kini telah berharga 2 milyar. Sementara si
mantan pemilik tanah kini tinggal di RSS dan berusaha menjual rumah “baru” yang
dibangun dari harta warisan.
Kekhawatiran saya ini tampaknya pernah pula
diungkapkan pengamat ekonomi UGM, Anggito Abimanyu. Jika memang pensiun dini
diterapkan, seharusnya pemerintah juga mempunyai program untuk mempersiapkan
para pegawai yang akan dipensiunkan.
Beliau juga menuturkan, jika memang diberikan pesangon di depan tanpa
adanya pembinaan terlebih dulu maka dana yang diberikan akan habis begitu saja.
“Kalau habis begitu saja ya rugi dia, lalu akan stres karena enggak
ngapa-ngapain,” tambahnya.
Hidup itu Pilihan
Saya pun mengingat Renato Elias, mantan kapten
Sriwijaya FC asal Brazil yang berhasil mengantarkan SFC menjuarai
double-winners dan tiba-tiba memutuskan setelahnya padahal sejumlah pelatih
masih menginginkannya bermain. Ia mengatakan, “Jumlah usia baik buat karir
seorang pesepakbola adalah 15 tahun, dan kadang ada bonus 5 tahun. Dan tidak
mungkin selamanya berkecimpung di dunia sepakbola. Jadi kita harus menyiapkan
sesuatu yang dapat menunjang masa pensiun kita nanti.” Dan kini di negara
asalnya, Renato telah memiliki sekian gerai futsal dan bisnis merchandise
sepakbola.
Mario Teguh pernah mengatakan bahwa kunci hidup
adalah ketepatan, yakni bagaimana kita bisa mengukur kapasitas kita kemudian
mengukur apa yang kita butuhkan. Karena itu pulalah saya mengapresiasi Ditjen
Perbendaharaan yang menempatkan kebijakan pensiun dini sebagai skema sukarela
bagi para pegawainya. Kitalah yang menilai diri kita kemudian memilih putusan
apa yang paling tepat untuk hidup kita.
Dan Atilla Bogdan barangkali juga memahami betul
filosofi Renato. Ia merasa dirinya lebih berguna bila dirinya lepas dari sistem
kemudian mengabdi bersama masyarakat dengan tidak terikat waktu kerja. Dengan
kompensasi yang ia terima, ia bisa berwiraswasta, membangun bisnis, merancang
sesuatu yang kemudian akan mengisi hari-hari tuanya ketimbang menunggu
dipensiunkan dalam usia lanjut yang mengakibatkan dia seperti badut murahan
yang hanya bisa tersenyum ompong kepada anak-anak yang mendatanginya.
*** (dari berbagai sumber)
Pringadi Abdi Surya, http://sosbud.kompasiana.com
No comments:
Post a Comment