Sunday, February 24, 2013

Pensiun Dini: Dari Sebuah Revolusi Badut


Atilla Bogdan, seorang polisi berusia 49 tahun asal Hungaria pernah berkeluh atas kebijakan pemotongan anggaran dengan tidak dibayarkannya seseorang yang mengambil pensiun dini di bawah usia 65 tahun, “Saya bekerja sebagai polisi sepanjang hidup saya dan setelah bekerja selama 25 tahun saya kira saya bisa pensiun dan sekarang saya merasa seperti seorang yang diselingkuhi istrinya ketika dia menjadi seorang kakek-kakek.” Sementara itu, Pemerintah Yunani berencana untuk menambah usia pensiun nasional dan melarang pensiun dini sebagai upaya mengatasi defisit anggaran yang sangat besar. Pemerintah sosialis Yunani mengatakan akan meningkatkan usia rata-rata pensiun dari 61 menjadi 63 pada tahun 2015. Kedua negara tersebut, Hungaria dan Yunani, mendapatkan gelombang protes yang sangat besar dari para pegawai negerinya. Bahkan di Budapest, ribuan orang sengaja mengenakan kostum badut (dikenal sebagai Revolusi Badut) dan mencatat rekor sebagai demo terbesar selama masa pemerintahan Perdana Menteri Viktor Orban yang baru berkuasa sejak April lalu.

Dana pensiun pun menjadi beban bagi anggaran pemerintah Jepang. Maret 2011 pemerintah mengusulkan untuk meningkatkan batas pensiun bagi pekerja hingga 68 tahun. Para pembuat kebijakan beranggapan bahwa, hal ini akan mengurangi pengeluaran negara serta menambah efektivitas kerja di perusahaan. Jepang mengalami fenomena generasi yang menua dan minimnya angka kelahiran, sehingga untuk menjaga performa ekonomi negara beberapa perusahaan merekrut kembali tenaga kerja yang sudah di masa pensiunnya. Namun kebijakan ini mendapat tekanan dari oposisi, Menteri Tenaga Kerja, Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang mengingatkan pemerintah bahwa mayoritas masyarakat dan persatuan buruh menentang kehadiran kebijakan ini.


Cermin Cekung Indonesia

Sebaliknya, dengan alasan yang sama—penghematan anggaran dan efektivitas kerja—pemerintah Indonesia baru mulai mencanangkan kebijakan pensiun dini. Para pegawai yang telah bekerja selama minimal 20 tahun dan atau telah berusia 50 tahun ke atas dipersilakan mengajukan pensiun dini.

Pokok permasalahan yang menyebabkan terjadinya perbedaan penafsiran dan kebijakan, salah satunya, adalah faktor sumber daya manusia. Tidak bisa dinafikkan, kualitas dan citra PNS Indonesia adalah inefektif dan korup. Masyarakat terlanjur mengecap pegawai negeri adalah profesi zona aman, santai, dan makan gaji buta. Rata-rata APBD yang dihabiskan untuk belanja pegawai saja mencapai 70%, tetapi masyarakat tetap mengaku tak pernah puas dengan kinerja PNS.

Mantan Presiden Megawati bahkan pernah mengeluh mengenai produktivitas PNS ini, sehingga upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas PNS menjadi pilihan yang tidak bisa ditunda. Tidak dapat dipungkiri bahwa efisiensi dan efektivitas PNS merupakan masalah krusial dalam menata PNS sehingga banyak jenis pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukan seorang saja, namun dalam praktiknya dikerjakan oleh banyak pegawai.

Kondisi tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi apabila PNS tersebut mampu menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri. Keterbatasan kreativitas tidak akan dialami oleh orang-orang yang mempunyai etos kerja yang tinggi dan ditunjang oleh kompetensi yang memadai.

Sedikitnya ada tiga masalah mendasar dalam penataan PNS saat ini, yaitu:

1. Jumlah yang terlalu besar dibandingkan dengan beban pekerjaan yang ada sehingga terjadi pengangguran terselubung;

2. Rendahnya etos kerja akibat tidak tersedianya pola insentif yang memadai;

3. Rendahnya kompetensi PNS sebagai akibat pola rekruitmen yang tidak memenuhi standar meritokrasi.


Pil Koplo Present Value

Ditunjuknya Ditjen Perbendaharaan sebagai pilot project sistem pensiun dini sukarela, menurut Wakil Menteri Keuangan, Anny Ratnawati, sudah cukup tepat karena Ditjen Perbendaharaan dirasa sudah cukup menganut sistem informasi/teknologi yang modern. Apalagi dengan segera diluncurkannya SPAN, seharusnya tidak banyak lagi diperlukan sumber daya manusia. Dan dari tiga masalah mendasar penataan PNS, Kementerian Keuangan, khususnya Ditjen Perbendaharaan tidak mengalami masalah pada poin 2 dan 3.

Terkait dengan penghematan anggaran, Dirjen Perbendaharaan Agus Suprijanto mengungkapkan ada potensi penghematan mencapai 40 persen dari dana yang harus dikeluarkan jika kementerian harus mempertahankan pegawai tersebut. “Dari biaya mempertahankan dia, gaji ditambah pesangon dan tunjangan, kompensasi (pensiun dini) jika dibandingkan yang gaji itu ada (penghematan) 40 persen.”

Lebih jauh, beliau menjelaskan dari sisi penerima akan lebih untung mengambil pensiun dini karena secara finansial present value dari nilai kompensasi pensiun dini dibandingkan dengan nilai gaji yang diterima sampai umur pensiun masih jauh lebih besar. Future Value dari kompensasi itu secara sederhana dirumuskan FV = (PV + i)n-1, di mana uang memiliki nilai perputaran yang dinamis dan besar.

Hanya saja, teori mengenai bekerjanya uang hanya akan berhasil bila SDM si pengelola uang juga memiliki kreativitas dan sayangnya ini bertentangan dengan aksioma pertama, bahwa kebijakan pensiun dini sebenarnya diusulkan untuk mengurangi pegawai-pegawai yang tidak produktif seperti misalnya Batalion 7.05 (yang datang hanya pukul 7 pagi, absen, pergi, kembali lagi pukul 5 sore untuk absen). Hal ini cukup riskan dan menimbulkan pertanyaan, apakah mereka yang kemudian memensiunkandinikan dirinya mampu menghasilkan uang yang lebih banyak lagi?

Saya punya contoh miris untuk kasus gagalnya uang bekerja. Saya punya tetangga kaya. Suatu saat orang tuanya meninggal dan tentu membagikan warisan-warisannya. Salah seorang anaknya mendapatkan tanah yang kemudian dijualnya seharga 100 juta. Ia kemudian membangun rumah baru, membeli ini-itu sampai uangnya habis. Singkat cerita, sekian tahun berlalu, tanah yang dulu dijualnya seharga 100 juta itu kini telah berharga 2 milyar. Sementara si mantan pemilik tanah kini tinggal di RSS dan berusaha menjual rumah “baru” yang dibangun dari harta warisan.

Kekhawatiran saya ini tampaknya pernah pula diungkapkan pengamat ekonomi UGM, Anggito Abimanyu. Jika memang pensiun dini diterapkan, seharusnya pemerintah juga mempunyai program untuk mempersiapkan para pegawai yang akan dipensiunkan.  Beliau juga menuturkan, jika memang diberikan pesangon di depan tanpa adanya pembinaan terlebih dulu maka dana yang diberikan akan habis begitu saja. “Kalau habis begitu saja ya rugi dia, lalu akan stres karena enggak ngapa-ngapain,” tambahnya.


Hidup itu Pilihan

Saya pun mengingat Renato Elias, mantan kapten Sriwijaya FC asal Brazil yang berhasil mengantarkan SFC menjuarai double-winners dan tiba-tiba memutuskan setelahnya padahal sejumlah pelatih masih menginginkannya bermain. Ia mengatakan, “Jumlah usia baik buat karir seorang pesepakbola adalah 15 tahun, dan kadang ada bonus 5 tahun. Dan tidak mungkin selamanya berkecimpung di dunia sepakbola. Jadi kita harus menyiapkan sesuatu yang dapat menunjang masa pensiun kita nanti.” Dan kini di negara asalnya, Renato telah memiliki sekian gerai futsal dan bisnis merchandise sepakbola.

Mario Teguh pernah mengatakan bahwa kunci hidup adalah ketepatan, yakni bagaimana kita bisa mengukur kapasitas kita kemudian mengukur apa yang kita butuhkan. Karena itu pulalah saya mengapresiasi Ditjen Perbendaharaan yang menempatkan kebijakan pensiun dini sebagai skema sukarela bagi para pegawainya. Kitalah yang menilai diri kita kemudian memilih putusan apa yang paling tepat untuk hidup kita.

Dan Atilla Bogdan barangkali juga memahami betul filosofi Renato. Ia merasa dirinya lebih berguna bila dirinya lepas dari sistem kemudian mengabdi bersama masyarakat dengan tidak terikat waktu kerja. Dengan kompensasi yang ia terima, ia bisa berwiraswasta, membangun bisnis, merancang sesuatu yang kemudian akan mengisi hari-hari tuanya ketimbang menunggu dipensiunkan dalam usia lanjut yang mengakibatkan dia seperti badut murahan yang hanya bisa tersenyum ompong kepada anak-anak yang mendatanginya.

*** (dari berbagai sumber)

Pringadi Abdi Surya, http://sosbud.kompasiana.com

No comments:

Post a Comment