Pelajaran-pelajaran yang paling
permanen dan berharga tentang moral bukanlah yang berasal dari buku atau bangku
sekolah, melainkan dari pengalaman kehidupan.
Mark
Twain, penulis legendaris asal Amerika Serikat
SEBUAH
pengalaman di masa kecil demikian membekas dalam diri seorang Awang Faroek
Ishak. Sebuah pengalaman bergaul dengan anak-anak dari komunitas masyarakat
Suku Dayak di Barongtongkok, sebuah wilayah di pedalaman sekaligus perbatasan
Kalimantan Timur. Kendati sebentar, hanya sekitar dua tahun, tapi begitu dalam menancap
pada memorinya.
Sebuah
memori yang menggoreskan betapa mereka (anak-anak Suku Dayak) itu masih dalam
keadaan tertinggal jauh dibandingkan saudara-saudaranya se-Tanah Air di wilayah
lain. Betapa mereka terpinggirkan di tengah kelimpahan sumber daya alam Bumi
Borneo. Betapa mereka menjadi asing di kampungnya sendiri. Sebuah tragedi yang
tidak sepantasnya terjadi.
Memori
di masa kecil itulah yang kemudian menuntun langkah Awang Faroek untuk
mendarma-baktikan jiwa-raganya kepada masyarakat, terutama masyarakat
Kalimantan Timur. Dia tak ingin masyarakat yang pernah menjadi lingkungannya
menghabiskan masa kecil senantiasa dibelit ketertinggalan, kemiskinan dan nestapa
penderitaan.
A. Membawa Angin Perubahan
Orang
Dayak terpinggirkan di era modern sekarang ini ternyata masih saja dapat kita
jumpai di beberapa wilayah Kalimantan, tak terkecuali di Kalimantan Timur (Kaltim)
yang dikenal sebagai wilayah berkelimpahan kekayaan alam. Umumnya mereka
bermukim di daerah perbatasan dan wilayah-wilayah pelosok atau pedalaman.
Kehidupan ekonomi mereka masih amat sederhana, bahkan tak jarang masih
kekurangan teramat sangat.
Kendati
Kaltim dilimpahi sumber daya alam (SDA) dan telah menapaki pembangunan di era
otonomi daerah (Otda) sejak tahun 2001, secara umum kondisi kehidupan masyarakat
daerah ini relatif tidak banyak berubah. Arti kata, kekayaan SDA Kaltim
ternyata belum mampu memberikan peningkatan yang signifikan bagi kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini tercermin pada masih banyaknya
keluarga prasejahtera dengan sebaran kantong-kantong kemiskinan yang lumayan
luas, tingkat pengangguran relatif tinggi, terjadi disparitas antar-wilayah,
dan infrastruktur fisik masih cukup memprihatinkan. Tahun 2009 tercatat 239.220
jiwa (menurun sekitar 7% dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 286.440 jiwa)
hidup miskin di wilayah Kalimantan Timur. Secara kuantitatif sekitar 18% dari 3.550.586
jiwa penduduk Kaltim masuk kategori miskin.
Hingga
kini, infrastruktur fisik daerah di wilayah Kaltim terlihat masih sangat minim.
Walaupun daerah ini memperoleh sejumlah kompensasi, karena eksploitasi tambang
misalkan, namun jumlahnya masih amat terbatas. Sekadar contoh daerah kaya SDA
Muara Badak. Daerah penghasil gas terbesar di Indonesia itu kini tetap saja
kumuh dan sebagian besar warganya hidup dalam belitan kemiskinan. Daerah itu
tidak bisa menikmati secara langsung kekayaan SDA yang dihasilkannya. Demikian
pula masyarakat Kecamatan Sanga-Sanga di Kabupaten Kutai Kartanegara yang masih
hidup dalam bingkai kemiskinan. Daerah penting penghasil minyak bumi sejak
dibukanya sumur Louise pada tahun 1897 itu sampai sekarang tetap saja tidak
memperlihatkan bahwa sesungguhnya Sanga-Sanga termasuk daerah kaya SDA,
terutama minyak bumi. Hasil eksploitasi minyak bumi tidak menetes ke rakyat
Sanga-Sanga.
Yang
lebih memprihatinkan lagi, di daerah perbatasan, pedalaman dan daerah
tertinggal, banyak warga masyarakat yang belum merdeka dalam arti yang
sesungguhnya karena masih sangat terisolasi dan terasing. Ketidak-merataan
pendapatan yang terjadi antar-kabupaten/kota di wilayah Kaltim merupakan salah satu
sebab mengapa masih banyak daerah tertinggal di wilayah provinsi ini. Image masyarakat yang berdomisili di
daerah perbatasan, pedalaman dan daerah tertinggal merasa belum aman dari musuh
alami, seperti kemiskinan, kebodohan, dan problematika kesehatan. Ditambah lagi
daerah perbatasan dengan Malaysia yang sangat potensial menimbulkan konflik
internal dan eksternal. Salah satunya adalah berkurangnya wilayah NKRI,
terutama wilayah perbatasan Kaltim. Hal ini dikarenakan kerap terjadi
pemindahan tapal batas negara.
Bukanlah
suatu proses yang tiba-tiba bila nasib warga Suku Dayak di Kalimantan Timur
kurang beruntung sampai sekarang. Hal ini tidak terlepas dari pandangan minor
terhadap mereka yang sudah sejak lama menancap di berbagai kalangan. Simak saja
pendapat Van J. Vert sebagaimana dikutip van Linden (1854), Mill Rokaert
(1987), dan dikutip kembali oleh Stephanus Djuweng (1996), bahwa “Orang Dayak
adalah orang-orang yang ditakdirkan untuk dikuasai ketimbang menjadi penguasa”.
Sungguh, inilah penilaian negatif yang amat merendahkan harkat dan martabat
Suku Dayak. Linden dan Vert, kata Rokaert, adalah antropolog kolonial Belanda
yang dianggap membuat penilaian sangat negatif dan tidak benar. Kendati begitu,
anehnya orang-orang Dayak dan non-Dayak justru percaya saja kepada penilaian
seperti itu. Dan memang, realitas menunjukkan selama ratusan tahun lamanya,
suku-suku Dayak di Kalimantan menjadi pihak yang marjinal dan mereka lebih
banyak dikuasai daripara menjadi penguasa meskipun atas dirinya sendiri.
Dalam
pandangan Stephanus Djuweng (1996), tidak hanya dalam diskursus ilmiah dan
dokumen sejarah dan politik saja dapat ditemukan sejumlah pola penundukan
terhadap Suku Dayak, pun praktik-praktik pelecehan, gaya pengeksploitasian, dan
perilaku diskriminatif terhadap mereka. Tapi juga dalam pelajaran agama,
pendidikan formal, ucapan pejabat, dan publikasi media. Ironisnya, sebagian
besar orang Dayak, tidak saja membenarkan, namun juga termakan
(terinternalisasi) oleh deskripsi-deskripsi negatif atas diri mereka.
Dayak,
sebenarnya, adalah nama kolektif untuk merangkum ratusan kelompok
etno-linguistik di Kalimantan (Borneo). Kelompok-kelompok ini kerapkali pula
disebut sub-sub Suku Dayak. Terdapat banyak variasi antara sub-sub suku satu
dan yang lainnya. Dengan demikian tidaklah tepat untuk melakukan generalisasi
dan uniformitas. Kendati begitu terdapat persamaan-persamaan unsur budaya yang
fundamental sehingga memungkinkan kita untuk memberikan gambaran umum yang
dapat diterima oleh publik.
Selama
ini terdapat suatu litani tiada berujung tentang orang Dayak. Litani itu, kata
Stephanus Djuweng (1996), sebagian memuji, namun kebanyakan justru melecehkan
Suku Dayak. David Jenkins dan Guy Sacerdoty yang menulis artikel di Far Eastern Economic Review (1978)
misalkan, menggambarkan orang Dayak sebagai the
legendary wild man of Borneo (manusia liar Borneo yang legendaris). Sementara
Jan Ave dan Victor King (1985) melukiskan orang Dayak sebagai the people of the weaving forest (orang
dari hutan yang meratap). Bahkan, ada pula yang menggambarkan mereka sebagai the headhunters of Borneo (pemburu
kepala dari Borneo).
Pada
masa sebelum merdeka, Dayak merupakan kata ejekan yang sangat memilukan hati.
Ketika seseorang menyimpang dari norma-norma yang umum –norma Islam dan norma
Kolonial Belanda—disebut “Dayak”. Ikan dan belacan busuk di toko-toko disebut
Dayak. Pokoknya, Dayak itu berarti kotor, kafir, tidak tahu aturan, buas, liar,
gila, terbelakang, dan tidak berbudaya. Dayak adalah orang liar Borneo yang
berekor. Nah, yang ini ada benarnya, karena lelaki Dayak –konon berekor di
depan, tentu saja—bukan di belakang (Djuweng, 1996).
Kebijakan
pendidikan di zaman Kolonial Belanda yang dikontrol pusat-pusat kekuasaan
feodal (kesultanan) nyaris tertutup bagi orang Dayak. Jika orang Dayak ingin
sekolah lebih dari kelas tiga, maka mereka harus masuk Islam, meninggalkan
identitas budaya, agama, sosial dan politik mereka. Bila satu-dua di antara
mereka memasuki dinas kepegawaian kolonial, untuk promosi jabatan, mereka harus
melepaskan identitas ke-Dayak-an mereka.
Litani
bernada minor demikian tidak bisa dihapuskan oleh Proklamasi Kemerdekaan RI 17
Agustus 1945. Pandangan salah dan negatif tentang manusia Dayak yang tertancap
massif selama ratusan tahun pada masa kolonial itu diperkuat pula oleh
pusat-pusat kekuasaan feodal yang telah tertanam kukuh. Dan, bekas racun itu
masih ada pengaruhnya sampai sekarang.
Kini,
dalam diskursus pembangunan dan modernisasi, masyarakat Dayak lebih dikenal
sebagai peladang berpindah, suku terasing, perambah hutan, orang tidak
berbudaya, suku pengembara, orang terbelakang, dan sejumlah predikat negatif
lainnya (Djuweng, 1996). Sebab itu, mereka cuma dimukimkan. Pola pertanian
mereka harus diubah. Budaya mereka harus dihilangkan. Maka, perampasan
tanah-tanah Dayak atas nama Republik dan Pembangunan Nasional, atas nama
modernisasi dan pertumbuhan ekonomi, dianggap sah. Begitu pun eksploitasi
hak-hak intelektual masyarakat adat (indigenous
people) oleh para intelektual modern kita, justru dianggap sebagai hal yang
wajar. Mereka cukup senang ketika ada penelitian ilmiah tentang mereka. Hal ini
dikatakan seorang bergelar profesor-doktor dalam sebuah seminar internasional
di Jakarta beberapa tahun silam. Begitulah, orang kecil dan lemah selalu
berkorban, dan yang kuat yang menikmatinya.
Pendek
kata, kualitas sumber daya manusia (SDM) orang Dayak masih dipandang sebelah
mata. Padahal, di mata Awang Faroek, pandangan minor terhadap orang Dayak tidak
terlepas dari faktor kesempatan dan perlakuan yang diskriminatif yang mereka
terima. Selama ini, wilayah Kalimantan hanya dilihat potensi alamnya nyaris
tanpa diimbangi upaya membangun manusianya.
Ya,
pembangunan manusia teramatlah penting untuk memajukan suatu komunitas atau
wilayah. Sebagaimana diungkapkan oleh E.F. Schumacher dalam bukunya yang cukup
laris Small is Beautiful (1987) bahwa
pembangunan tidak dimulai dari barang tetapi dari orang: pendidikannya, organisasinya,
dan disiplinnya. Tanpa ketiga komponen ini, semua sumber daya tetap hanya akan
terpendam, tidak dapat dimanfaatkan, dan tetap merupakan potensi belaka.
Maka
ketika melihat kualitas manusia Dayak yang belum menggembirakan, ditambah
memori pergaulan dengan anak-anak Dayak di masa kanak-kanak, Awang Faroek terbersit
tekad ingin membawa perubahan (peningkatan) kualitas diri manusia Bumi Borneo. Dia
ingin memperjuangkan bagaimana agar manusia Dayak mampu bersaing di pasaran
global. “Saya menaruh perhatian serius pada masalah peningkatan kualitas SDM
dalam memperjuangkan wilayah Kalimantan Timur ini. Bidang ini menjadi prioritas
program saya dalam membangun Kalimantan Timur agar ke depan orang Dayak tidak
lagi hanya sebagai penonton,” tandas Awang Faroek.
Dengan
prioritas peningkatan kualitas SDM, di benak Awang Faroek, yang terpikir adalah
pembangunan sektor pendidikan mulai dari jenjang pendidikan SD, SMP, SMA sampai
Perguruan Tinggi (PT), termasuk pula pendidikan dan pelatihan (diklat), sebagai
satu jawaban. Sasaran peningkatan kualitas SDM diarahkan pada peserta didik,
guru, mahasiswa, dosen, aparatur pemerintah daerah, dan kalangan pendidik
non-formal. “Dulu semasa awal di Kutai Timur, saya alokasikan anggaran sebesar
25 persen dari total APBD untuk sektor pendidikan guna pengembangan kualitas
SDM yang diharapkan mampu berdaya saing tinggi. Kini, program dan kebijakan ini
akan terus saya lanjutkan,” ujar Awang Faroek tentang tekadnya berjuang demi
rakyat Kalimantan Timur.
Awang
Faroek menyadari betul bahwa angin perubahan kualitas SDM harus ditiupkan di
wilayah Kalimantan Timur. Karena, perubahan adalah sebuah keniscayaan. SDM
merupakan aset vital sebuah komunitas masyarakat. SDM merupakan bagian
terpenting dalam proses perencanaan strategis dan kebijakan pembangunan.
“Pembangunan daerah akan maju bilamana benar-benar berangkat dari peningkatan
kualitas SDM,” tandas Awang Faroek.
B. Memimpin dengan Karisma Sepenuh Hati
Dengan
mengusung prinsip membangun manusia seutuhnya, Awang Faroek pun berusaha
mendengar hati nurani rakyat yang dipimpinnya. Dia berusaha dekat dengan
rakyat, dari lapisan apa saja. Dengan karismanya, dia berusaha optimal sepenuh
hati membangun dan memberdayakan warga masyarakat di daerahnya. Kesenjangan (gap) ekonomi yang lebar antara warga
masyarakat yang hidup di sejumlah wilayah pedalaman dan perbatasan dengan
masyarakat perkotaan, serta ketimpangan antar-sektor menjadi perhatian yang
amat serius dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
Selama
dua periode (1987-1992 dan 1992-1997) duduk sebagai wakil rakyat di DPR/MPR RI,
Awang Faroek telah mengunjungi semua kabupaten/kota dan hampir semua kecamatan
di wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Terlebih lagi setelah dipercaya sebagai
penjabat Bupati Kutai Timur (1999-2001), kemudian Bupati Kutai Timur
(2001-2003) dan kini Gubernur Kalimantan Timur. Dia jelajahi daerah demi
daerah, dia sapa hati demi hati rakyat. Dia memang bukan tipikal pemimpin yang
hanya duduk-duduk manis di atas singgasana.
“Dengan
turun ke lapangan dan berdialog, saya bisa mengetahui segala ragam persoalan
yang ada dan terjadi di tengah-tengah masyarakat. Semua kecamatan di Kutai
Timur pernah saya datangi,” ujar Awang Faroek suatu waktu. Selain itu, dia
berharap dapat secara langsung mengetahui dan memahami berbagai permasalahan
yang dihadapi rakyatnya dan tidak semata-mata menerima laporan dari bawahannya.
Dia sangat memahami, bila cuma mengandalkan laporan anak buahnya, kerapkali
laporan telah terdistorsi demi menyenangkan atasan. Jika tidak hati-hati dan
peduli maka lahirlah bibit aparatur bermental ABS (Asal Bapak Senang).
Awang
Faroek mengakui, ada rasa bahagia, senang, bahkan adakalanya rasa haru
menggelayuti relung hati dan nurani, khususnya manakala berinteraksi langsung
dengan rakyatnya yang kebanyakan rakyat kecil itu. Kepedulian dan kepekaan
nurani Awang terhadap persoalan yang dihadapi rakyatnya tak jarang mampu
menyita waktu dan sebagian besar tugas-tugasnya sebagai kepala daerah.
Lantaran
kerapkali turun ke lapangan, singgah ke pelosok-pelosok pedalaman dan wilayah
perbatasan, melihat dari dekat berbagai permasalahan yang dihadapi rakyatnya, kehadiran
sosok Awang Faroek tak asing lagi di mata rakyat kecil di daerahnya. Dia bahkan
tak pernah menjaga jarak dengan rakyatnya. Kapan dan di mana pun Awang Faroek
berada, dia senantiasa menyediakan waktu untuk rakyatnya. Tidak mengherankan,
saat-saat berkumpul, bercengkerama, mendengarkan keluh-kesah rakyatnya, itulah
waktu-waktu bahagia dan sangat mengharukan bagi dirinya sebagai pemimpin
mereka. Bahkan, nalurinya mudah tersentuh dan tidak jarang menitikkan air
tatkala mendapati rakyatnya sedang kesusahan.
“Saya
pernah menangis terharu ketika Kepala Adat Dayak Kenyah di Desa Mekar Baru,
Pejalung Juk, berkata kepada saya bahwa sejak Indonesia merdeka (1945), belum
pernah ada pejabat yang mengunjungi desanya. Sementara saat itu, sebagai Bupati
Kutai Timur, saya sudah tiga kali ke sana. Menurut Pejalung, rakyat desanya
benar-benar bangga dan bahagia, karena saya dan isteri bisa bertandang ke desa
mereka,” kenang Awang Faroek.
Sebagaimana
diketahui, untuk mencapai Desa Mekar Baru, yang merupakan desa paling ujung di
wilayah Kutai Timur, Awang Faroek dan isteri harus rela bersusah-payah menempuh
perjalanan cukup panjang dan berganti-ganti kendaraan, mulai dari speedboat sampai ketinting. Desa Mekar Baru ini pernah terkenal di pentas nasional
ketika terjadi kontroversi tambang emas Bre-X sekitar tahun 1997 silam.
Menurut
Awang Faroek, warga masyarakat yang tinggal di pedalaman dan wilayah perbatasan
merasa bangga sekali saat memperoleh kunjungan pejabat. “Apalagi kalau
kesejahteraan dan perekonomian mereka bisa ditingkatkan, mereka tentu akan lebih
bahagia lagi,” ujarnya.
Sebagai
putera asli Kutai yang pernah melewatkan masa kecilnya bersama anak-anak
masyarakat terpencil Suku Dayak di pedalaman Sungai Mahakam, Awang Faroek
memahami betul bagaimana suara nurani rakyat dan denyut nadi kehidupan alamiah
mereka yang tinggal di wilayah perbatasan dan pedalaman Kalimantan Timur.
“Mereka itu juga saudara-saudara kita, meski dengan kehidupannya yang serba
pas-pasan dan sederhana. Di sisi lain pun banyak di antara mereka yang hidup
dalam keterpurukan. Mereka hidup di tengah kekayaan alam yang melimpah,
sayangnya belum banyak di antara mereka yang merasakan langsung manfaat
pembangunan,” ungkap Awang mengingat kembali memori masa kanak-kanaknya.
Awang
Faroek menambahkan, rakyat Kalimantan Timur pantas bersyukur lantaran
wilayahnya dikaruniai Tuhan dengan kekayaan sumber daya alam (natural resources) yang melimpah ruah,
antara lain batubara, emas, minyak bumi, gas alam, aneka bahan mineral lainnya,
hingga hijaunya hamparan hutan alam yang sangat luas. Bahkan, kekayaan SDA tadi
mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Provinsi Kalimantan Timur.
Sayang
sekali kalau potensi kekayaan alam tersebut tidak dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. “Seperti pada masa saya di Kutai Timur dulu
(2000-2003), saya menempatkan konsep Gerdabangagri sebagai grand strategy dari visi pembangunan daerah. Program-program yang
merupakan implementasi dari Gerdabangagri tersebut telah banyak yang menyentuh
langsung dan dirasakan oleh warga masyarakat,” jelas Awang Faroek, yang pernah
tercatat sebagai bupati pertama di Indonesia yang menelorkan kebijakan populis,
yakni pendidikan gratis di Kutai Timur, dari mulai tingkat SD, SMP, SMA sampai
Perguruan Tinggi seiring berlakunya otonomi daerah pada tahun 2001. Kebijakan
ini kemudian diikuti oleh kepala daerah yang lain seperti Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kabupaten Badung (Bali), Kabupaten Bengkalis (Riau), dan Kabupaten
Padang Pariaman (Sumatera Barat).
Bermodal
karisma dan kedekatan dengan rakyat, Awang Faroek merasa yakin bakal sukses
memimpin masyarakat dan rakyat Kalimantan Timur. Dia juga merasa yakin rakyat
tidak akan sungkan-sungkan mendekati dirinya. Karena, Awang memang memiliki
modal untuk dekat dengan rakyat.
“Menilai
Awang Faroek, kita tidak perlu melihat riwayat hidupnya secara detail. Cukup
lihat bentuk tubuh dan wajahnya yang memancarkan karisma, maka kita sudah akan
tahu tipe manusia yang bagaimana Awang Faroek ini. Kalau Anda bertemu dengan
orang yang tinggi besar dan berwajah ramah seperti dia, saya dapat katakan
pasti orang itu baik hati seperti Awang Faroek,” ujar mantan Rektor Universitas
Mulawarman (Unmul), Samarinda, yang juga mantan Kepala Kopertis Wilayah III
Jakarta, Prof. Dr. Ir. Sambas Wirakusumah, MSc, sebagaimana dikutip Kaltim Post (2003).
“Berbicara
dengan Pak Awang, kita bisa dengan bebas menyampaikan segala bentuk unek-unek.
Dan Pak Awang akan menanggapinya dengan sikdap dan jiwa kebapakan,” tutur
Abdullah, seorang warga masyarakat yang berdomisili di Sangkulirang, Kabupaten
Kutai Timur, mengungkapkan kesannya tentang sosok mantan Bupati Kutai Timur
yang merakyat ini (2005).
Tak
jauh berbeda dengan penilaian tokoh masyarakat serta tokoh adat di Sangatta,
ibukota Kabupaten Kutai Timur, H. Meranen Pital B. “Saya menilai keberpihakan
Pak Awang Faroek kepada rakyat, terutama masyarakat kecil, tak pernah
disangsikan lagi. Lahir batin dan semua waktunya banyak dicurahkan hanya untuk
memikirkan rakyatnya. Saya sebagai tokoh masyarakat di Kutai Timur mengucapkan
terima kasih punya pemimpin daerah seperti Awang Faroek,” kata Meranen Pital
(2005).
Lelaki
ramah, bersahaja dan humanis berbintang Leo, kelahiran Tenggarong, Kutai,
Kalimantan Timur, 31 Juli 1948, ini memang memiliki kemampuan yang tinggi dalam
memimpin dan mengelola setiap lembaga, tempat atau wilayah yang dipimpinnya. Gaya
kepemimpinannya (leadership style)
yang khas dan karismatik memudahkannya untuk mengelola para stafnya secara apik
dan baik. “Pak Awang mampu menunjukkan lead
by example, yaitu suatu prinsip kepemimpinan dengan memberi contoh atau
teladan yang baik, sehingga akan mudah ditiru atau diikuti oleh para stafnya
tanpa harus memberikan instruksi,” ujar External Manager KPC, Dr. Harri
Marsiono (2007).
Secara
teknis, Awang Faroek mempunyai kemampuan dan pemahaman mendalam tentang teori
perencanaan pembangunan wilayah. Pribadinya yang komplit, berkualitas dan
mumpuni tersebut, lanjut Harry, “akan sulit dikalahkan oleh stafnya dan semakin
memberikan legitimasi kepada dirinya. Hal ini terbukti dengan kerja keras dan
semangatnya yang tinggi serta tidak mengenal lelah dalam menjalankan tugasnya.
Bahkan, Awang Faroek mampu bekerja berjam-jam dan berhari-hari tiada henti,
namun tetap bersemangat tinggi.”
Sementara
itu Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo sebagai sahabat lama di
parlemen mengakui bahwa Awang Faroek merupakan sosok egaliter dan humanis dalam
pergaulan. Dia juga memuji kepiawaian Awang Faroek dalam menjalin konsep
relasional dengan berbagai kalangan. “Pak Awang adalah sosok yang memiliki
pemikiran komprehensif dalam melihat suatu permasalahan. Dia tidak pernah
melihat dari golongan mana atau partai mana orang itu berasal. Dulu, kami
bertetangga di kompleks perumahan DPR-RI dan saya melihat beliau banyak
bergaul, bukan hanya dengan satu golongan, tapi semuanya dia rangkul. Dapat
saya katakan, dia itu piawai membangun hubungan dengan semua orang, tanpa
mengenal golongan dan status sosial,” papar Tjahjo Kumolo.
Mantan
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI (Pur) Subagyo Hadi Siswoyo,
kendati telah lama tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Awang Faroek semenjak
mereka selesai mengikuti Penataran Manggala BP-7 di Bogor lebih dari 10 tahun
lalu, namun dia masih memiliki kesan mendalam pada sahabatnya itu. “Saya
mengenal Awang Faroek saat mengikuti Penataran BP-7 di Istana Bogor, lebih dari
sepuluh tahun lalu,” cerita Jenderal Subagyo lalu melanjutkan, “Waktu itu,
semua peserta penataran tinggal bersama selama dua minggu. Dari perkenalan
singkat itulah, saya melihat sahabat saya Awang Faroek sebagai sosok yang
santun, baik dalam bersikap maupun saat bertutur kata. Kesantunannya ini
merupakan ciri khas yang sangat menonjol dalam dirinya. Dia juga termasuk
peserta yang aktif dalam setiap diskusi. Pemikiran-pemikirannya mendeskripsikan
kecerdasannya.”
Awang
Faroek yang mulai meniti karir dari tangga bawah ini memang mempunyai sahabat
dan relasi yang luas dari berbagai kalangan. Tidak sebatas dari kalangan
masyarakat bawah, menengah, bahkan menembus level atas, baik di tingkat lokal,
nasional maupun global.
“Teman
saya memang ada di semua lapisan. Saya berteman ke atas oke, ke tengah oke,
bahkan ke bawah juga oke. Sebab, saya tidak membeda-bedakan orang. Dari latar
belakang keluarga mana, suku apa dan apa agamanya, termasuk apakah dia itu kaya
atau miskin. Semua teman saya anggap sama. Alhamdulillah,
dari dulu sampai sekarang, saya tidak ada semacam jurang pembatas (gap) dengan
mereka. Itulah mengapa orang seringkali menyebut saya ini pandai bergaul dan
cepat akrab dengan siapa saja,” tutur Awang Faroek membuka resep suksesnya
dalam berteman sehingga disegani plus disenangi banyak orang.
Prinsipnya,
tambah Awang Faroek, “Dalam hidup ini saya tidak boleh dan tidak akan pernah
menyakiti orang lain, biarpun orang itu pernah menyakiti saya. Saya tidak boleh
membuat susah orang lain, juga tidak boleh menyulitkan orang lain. Kalau boleh,
saya justru akan terus membantu orang lain di kala orang itu meminta bantuan
kepada saya. Karena saya akan merasa senang jika bisa membantu orang lain.
Tapi, tentunya, bantuan itu harus sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri
saya.”
Demikianlah
roh dari dimensi relasional dan pertemanan yang dibangun oleh Awang Faroek yang
cenderung mendonjolkan empati-partisipatif, dengan getaran yang kental aura
filantropis. Hal ini dapat ditelusuri dari kesediaannya untuk senantiasa
membuka diri dan berbagi dengan semua orang. Tidak mengherankan bila dia sangat
piawai bergaul dan berinteraksi dengan berbagai kalangan dan strata sosial mana
saja. Tentu, tidak semua orang memiliki kemampuan spesifik seperti ini. Kita
dapat menyimak adagium kuno dari filsuf China Sun Tzu yang terasa masih relevan
bahwa seribu kawan terasa kurang dibandingkan satu musuh. Adagium ini terasa
membumi dan terus menginspirasi konsep relasional dan pertemanan yang
dikembangkan Awang Faroek. Filsuf Sun Tzu mengajarkan bahwa betapa sangat vital
dan berharganya manusia membangun relasi dan pertemanan, dan sedapat mungkin
menghindari untuk menciptakan musuh.
Tidak
sekadar membangun relasi manakala Awang Faroek memperjuangkan rakyat Kalimantan
Timur. Dia juga berusaha memberi teladan melalui kerja keras dan visi yang jauh
ke depan. Dia menampilkan sosok pemimpin yang sederhana namun berkarakter, karismatik,
pekerja keras (hard worker) serta
pola pikir yang smart dan cemerlang sehingga
mampu menjangkau jauh ke masa depan. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh berambut
perak ini pantas disebut sebagai orang yang visioner dan futuristik sejati.
Dengan
penampilan semacam itu, Awang Faroek ingin membangun atau menegakkan reputasi. Di
mana pun Awang Faroek berada atau memimpin, dia selalu berusaha memendarkan
sinar reputasi. Dan reputasi ini pula yang kini dia tegakkan di Bumi Kalimantan
Timur yang tengah dipimpinnya. Unsur reputasi, dalam dunia bisnis yang juga
banyak diadopsi oleh organisasi pemerintahan di era otonomi ini memegang posisi
yang amat penting. Kata pakar kepemimpinan Dwight L. Moody: “Jika Anda
kehilangan nyawa, maka itu kematian personal. Tapi, bila Anda kehilangan
reputasi, itu adalah kematian sosial. Ketika Anda kehilangan uang, boleh jadi
Anda tengah bernasib sial saja. Dan, Anda selalu bisa mencarinya lebih banyak
lagi di kemudian hari. Tapi, Anda tidak boleh kehilangan reputasi, Anda harus menjaganya
sebagaimana Anda menjaga nama Anda. Bila Anda menjaga karakter, reputasi Anda
akan terjaga dengan sendirinya.”
Dengan
konsep perjuangan seperti itulah, Awang Faroek mampu membangun reputasi Kutai
Timur dan kini Kalimantan Timur untuk berkembang menjadi daerah yang maju bagai
gula yang semakin banyak didatangi semut. Makna lebih jauh, maju-mundurnya
organisasi pemerintahan daerah, termasuk domain reputasi di daerah tersebut,
sangat bergantung pada sang pemimpin atau kepada daerah.
C. Menjaga Keberlanjutan dan Optimalkan Potensi
Daerah
Dalam
kurun waktu 30-an tahun belakangan, pembangunan ekonomi kita lebih dipengaruhi
oleh paradigma pertumbuhan ekonomi ketimbang paradigma kesejahteraan yang
memihak rakyat. Maka akhir-akhir ini muncullah gugatan terhadap keabsahan
paradigma pertumbuhan ekonomi, terutama dalam membangun masyarakat secara
materiil, karena dilatari kemunculan banyak fenomena yang menimbulkan berbagai persoalan.
Salah satu aspeknya adalah ketika pembangunan diidentikkan dengan pertumbuhan
yang mengedepankan prinsip trickle down
effect dan spread effect,
ternyata telah menghasilkan konglomerasi di satu sisi dan kemiskinan di sisi yang
lain. Sementara itu, manakala pembangunan diidentikkan dengan modernisasi,
menimbulkan pola-pola pengembangan yang cenderung bersifat memaksa dan
berimplikasi pada tingkat ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap
pencetus dan pelaku pembangunan. Akibatnya, banyak nilai-nilai tradisional yang
memiliki potensi riil untuk mendorong pengembangan masyarakat menjadi
teralienasi dan kehilangan daya rekatnya. Sesungguhnya, konsepsi pembangunan
tersebut tidaklah sebatas eufimisme dari pertumbuhan dan atau modernisasi
dengan parameter ekonomi serta kemajuan fisik dan materiil semata, melainkan
lebih dari itu diperlukan aspek-aspek non-materiil yang mencakup pembentukan
dan pengembangan secara keseluruhan sikap-sikap sosial dan kultural dalam
masyarakat.
Kita
harus mengevaluasi model pembangunan dari atas (top down) yang selama ini diyakini secara otomatis akan memberikan
efek ke bawah. Banyak daerah yang menerima pembangunan dari pusat yang kemudian
justru semakin meminggirkan dan memiskinkan kelompok masyarakat yang ada di
daerah. Padahal, banyak daerah kaya sumber daya yang harus diberdayakan agar
rakyat setempat mampu keluar dari jurang kemiskinan. Awang Faroek menyadari
benar bahwa setiap daerah memiliki tiga modal pembangunan, yakni sumber daya
manusia (human capital), sumber daya
alam sebagai modal ekonomi (economic
capital), dan nilai-nilai sosial dan budaya lokal (social capital). Berangkat dari ketiga modal tadi, Awang Faroek
berkeyakinan, pembangunan tidak dapat lagi semata-mata mengandalkan kekuatan
modal ekonomis yang pada kenyataannya telah membuat sumber daya manusia
terasing dan nilai-nilai sosial-budaya lokal tercerabut dari akar kulturalnya.
Seiring
dengan bergulirnya agenda reformasi dan arus penguatan otonomi daerah sebagai
respon terhadap krisis multi-dimensi yang mewarnai proses pembangunan, ketiga
modal pembangunan tadi haruslah didaya-gunakan dalam langkah-langkah kebijakan
pembangunan yang meliputi empat tahapan yaitu penyelamatan (rescue), pemulihan (recovery), pemantapan (stabilization)
dan pembangunan (development). Dengan
mengaplikasikan keempat tahapan tadi, pembangunan akan senantiasa berkelanjutan
dan mampu mengoptimalkan potensi yang ada. Dalam pelaksanaannya diarahkan pada
upaya peningkatan kapabilitas lokal dalam konteks otonomi luas, nyata dan
bertanggung-jawab. Bertanggung-jawab terhadap ketersediaan bagi generasi masa
kini dan keberlanjutan untuk generasi masa mendatang. Pendek kata, pembangunan
tidak lagi sekadar buat memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan
generasi sekarang tapi juga harus memikirkan bagaimana agar generasi yang akan
datang tetap dapat menikmati kue pembangunan. Kita mesti menyadari bahwa pada
modal SDA terdapat SDA yang tak bisa diperbarui (misalkan minyak, gas dan
batubara) sehingga eksploitasi harus terkendali agar tidak cepat habis.
Sementara pada SDA yang dapat diperbarui (contohnya sumber daya hutan,
pertanian dan perikanan), kita mesti kreatif dan inovatif dalam memanfaatkan
dan mengembangkannya.
Sewaktu
menulis dan menerbitkan buku berjudul The
Limit to Growth (1972), Donella H. Meadows dan kawan-kawan menyimpulkan
bahwa pertumbuhan ekonomi akan dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam
(SDA). Jadi pembangunan haruslah berkelanjutan. Dalam nada yang sedikit
berbeda, Garret Hardin (1968) dari University of California memperkenalkan
konsep tragedy of the common. Konsep
ini membahas perihal kerusakan lingkungan hidup akibat perebutan sumber daya
ekologi dalam wilayah terbatas oleh banyak orang. Akibatnya, terjadilah tragedi
berupa kemiskinan bersama karena kehancuran sumber daya yang ada. Lantaran
sumber daya hancur, layaknya pentas drama, ceritanyapun berakhir pilu dan
kelabu. Karena sumber daya yang diperebutkan terbatas dan akhirnya habis. Yang
terjadi selanjutnya adalah kemiskinan dan kepedihan bersama. Konsep itulah yang
kemudian secara umum diterima sebagai dasar kebijakan pembangunan berkelanjutan
yang berbasis pada kelestarian ekologi, populasi, ekonomi dan ilmu
pengetahuan.
Dengan
pijakan beberapa pemikiran tadi, Awang Faroek berusaha mendesain model
pembangunan di Kalimantan Timur (tak terkecuali saat memimpin Kabupaten Kutai
Timur) bersifat makro-sektoral dan mikro-spasial disesuaikan dengan kondisi
setempat, mengkombinasikan paradigma dan teori pembangunan dari berbagai
aliran. Pencerminan terhadap konsepsi pembangunan yang mengemuka di Kalimantan
Timur dalam beberapa kurun waktu belakangan ternyata menjadi landasan yang
mampu mengilhami pencerahan para perencana pembangunan dalam mendesain rencana
dan model pembangunan. Sebab itu, pembangunan di Kalimantan Timur tidak lagi
semata-mata mengedepankan paradigma pertumbuhan ekonomi. Pembangunan harus
memperhatikan indikator non-ekonomi, antara lain indikator sosial dan indeks
kualitas hidup dan pembangunan manusia (IPM).
Menurut
Morris D, Physical Quality of Life Index
(PQLI) atau Indeks Kualitas Hidup (IKH) merupakan gabungan tiga faktor, yakni
Tingkat Harapan Hidup, Angka Kematian dan Tingkat Melek Huruf. Sejak tahun 1990,
UNDP mengembangkan (Human Development
Index = HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencakup tingkat
harapan hidup, tingkat melek huruf masyarakat, dan tingkat pendapatan riil per
kapita masyarakat berdasarkan daya beli masing-masing negara.
Dengan
tetap memanfaatkan modal SDA yang tak bisa diperbaui (batubara, gas dan minyak
bumi), Awang Faroek berusaha meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan
mendorong penggunaan secara optimal modal sumber daya alam berupa lahan kawasan
budidaya non-kehutanan (KBNK) yang mencapai lima juta hektar. Awang Faroek berusaha
meletakkan model pembangunan yang bertumpu pada kekuatan dan potensi lokal
dalam bingkai Gerakan Daerah Pengembangan Agribisnis (Gerdabangagri) untuk
mencapai masyarakat yang sejahtera dan bermartabat. Gerdabangagri menjadi grand strategy masa depan pembangunan di
Kalimantan Timur.
Secara
bertahap, konsep Gerdabangagri mulai dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
Beragam komoditas unggulan hasil pertanian dalam arti luas mulai dikembangkan
di daerah ini. Antara lain tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman
biofarmaka, perkebunan, peternakan, perikanan (darat, laut dan tambak), dan
kehutanan. Strategi pembangunan pertanian inilah yang dikembangkan untuk jangka
panjang, ditunjang oleh dana pembangunan yang berasal dari pemanfaatan sumber
daya alam (SDA) yang tidak dapat diperbarui serta bertujuan memperluas peluang
dan kesempatan ekonomi baru dan berkelanjutan di Kalimantan Timur.
Mengapa
Awang Faroek memilih Gerdabangagri? Karena, pertama,
Gerakan Daerah memiliki makna bahwa pembangunan ekonomi di Kalimantan Timur
digerakkan oleh masyarakat (people driven)
atau berbasis pada masyarakat (community-led
development), yang menempatkan SDM (human
capital) dan modal sosial (kelembagaan, budaya, norma dan kearifan lokal)
sebagai modal pembangunan. Pendekatan ini sebagai pendekatan baru setelah
muncul gugatan terhadap pembangunan yang semata-mata mengedepankan pertumbuhan
ekonomi yang selama ini cenderung cuma memperhatikan modal alam dan modal
ekonomi (kapital, teknologi dan manajemen) sebagai penggerak ekonomi. Sedangkan
modal sosial dan SDM hanya diperlakukan sebagai faktor produksi, bahkan
seringkali diabaikan.
Dengan
pendekatan baru ini, berarti kegiatan-kegiatan ekonomi yang dikembangkan di
Kalimantan Timur adalah kegiatan yang akomodatif terhadap keragaman kualitas
SDM yang ada. Dengan begitu, kegiatan
ekonomi yang ada dilakukan langsung oleh rakyat atau organisasi ekonomi rakyat,
seperti usaha keluarga, usaha kelompok, usaha kecil-menengah dan usaha koperasi
dalam skim perusahaan masyarakat (community
corporate).
Kedua,
Gerakan Daerah bermakna pula sebagai suatu “orkestra” pembangunan yang harmoni,
di mana potensi, kekuatan dan peran antara rakyat, Pemerintah Provinsi dan
dunia usaha merupakan orkestra pembangunan yang saling menguntungkan (win-win condition) dan bukan saling
menyingkirkan (win-loss atau loss-loss) dalam mengejar kemajuan
ekonomi. Bila hal ini dapat diimplementasikan di Kalimantan Timur maka akan
terwujud suatu perekonomian yang saling tergantung (interdependency economy) dan bukan yang tergantung (dependency economy), dan bukan pula yang
bersifat sendiri-sendiri atau egois (independency
economy).
Ketiga,
Gerakan Daerah pun bermakna suatu gerakan desentralistis yakni pengelolaan
pembangunan daerah Kalimantan Timur lebih banyak dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur dan tidak lagi ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Hal
ini sesuai dengan hakikat dan esensi penerapan otonomi daerah.
Keempat,
Gerakan Daerah mengandung makna berbasis pada sumber daya lokal (local resources based). Arti kata,
sektor-sektor ekonomi yang dikembangkan di daerah ini adalah sektor ekonomi
yang memanfaatkan sumber daya yang tersedia di daerah ini, bukan foot lose industry. Namun hal ini tidak
berarti bahwa input impor –baik dari daerah lain maupun luar negeri— tidak
dapat dilakukan. Input yang tidak tersedia atau belum dapat dihasilkan daerah
ini seperti teknologi dan manajemen tentu saja dapat didatangkan dari luar.
Tapi tidak serta merta menggantikan sumber daya lokal, melainkan dalam rangka memperkuat,
memperbaiki dan melengkapi sumber daya yang ada. Demikian pula kehadiran
investor (PMDN dan PMA) ke daerah ini tetap diperbolehkan, bahkan sangat
diharapkan. Sekali lagi, tetap dalam kerangka memperkuat usaha-usaha rakyat
lokal, bukan menyingkirkan usaha rakyat.
Kelima,
Bangagri bermakna bahwa pembangunan ekonomi di Kalimantan Timur akan
dikembangkan melalui pendayagunaan persekutuan sinergis antara sumber daya alam
terbarui (pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan,
perikanan dan kehutanan) dengan modal sosial dan modal ekonomi (barang-barang
modal dan manajemen) dalam suatu sistem agribisnis. Pembangunan sistem
agribisnis merupakan leading sector
pembangunan ekonomi wilayah Kalimantan Timur.
Keenam,
Bangagri sesuai dengan lingkup pengertian sistem agribisnis, maka pembangunan
ekonomi Kalimantan Timur akan mengintegrasikan pembangunan pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan dengan industri dan jasa.
Artinya, pembangunan sistem agribisnis diimplementasikan dengan membangun
pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan
dan kehutanan yang didukung oleh pengembangan industri, yakni industri hulu
(perbenihan atau pembibitan, agrokimia, agroalsin) dan industri hilir (industri
pengolahan), serta didukung oleh sektor jasa seperti perbankan, jaringan jalan,
pelabuhan, irigasi, jaringan telekomunikasi, pendidikan, transportasi,
penelitian dan pengembangan, serta peraturan daerah. Jadi, bukan pertanian yang
mendukung industri.
Begitu
pun pengembangan infrastruktur dan jasa lainnya, haruslah ditentukan oleh
kebutuhan pembangunan pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan,
peternakan, perikanan, kehutanan, industri hulu dan industri hilir pertanian.
Hal ini tidak dapat dibalik.
Ketujuh,
Bangagri berarti pula bahwa pembangunan ekonomi daerah melalui pengembangan
sistem agribisnis tidak berhenti pada memanfaatkan atau mengeksploitasi
keunggulan komparatif yang dimiliki Kalimantan Timur. Tapi, mendayagunakan
menjadi keunggulan bersaing (competitve
advantage). Sehingga, kapasitas ekonomi daerah dalam kesempatan kerja dan
berusaha meningkat, diversifikasi produk dan nilai tambah (added value) meningkat, demi peningkatan kesejahteraan rakyat
secara berkelanjutan (sustainability).
Berangkat
dari ketujuh nilai Gerdabangagri tadi, Awang Faroek berusaha membawa perubahan
model pembangunan yang cenderung datang dari atas menjadi mengakomodasi apa
kebutuhan dan keinginan rakyat. Dalam arti, membangun Kalimantan Timur melalui
pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing (competitiveness), berkerakyatan (community-driven), berkelanjutan (sustainability), dan terdesentralisasi (dezentralized). Keempat nilai itulah
yang akan diwujudkan dalam perekonomian di Kalimantan Timur kini dan mendatang.
Untuk
melihat bagaimana penerapan konsep Gerdabangagri yang mengoptimalkan potensi
daerah ada baiknya kita sedikit melihat hasil-hasil penerapan konsep di
Kabupaten Kutai Timur (Kutim). Bahwa pembangunan sektor pertanian dalam arti
luas yang menjadi salah satu ikon Pemkab Kutim melalui Gerdabangagri terus
berlanjut sampai sekarang. Hal ini
sesuai dengan keinginan menjadikan Kutai Timur sebagai pusat agribisnis dan
agroindustri sehingga terus dipacu dengan melibatkan berbagai pihak serta
menjalin kerja sama semua elemen masyarakat dan perguruan tinggi. Juga
melibatkan Pemerintah Pusat serta Pemerintah Provinsi Kaltim.
Salah
satu unggulan yang dimiliki Kutim adalah perkebunan kelapa sawit yang tersebar
di 18 kecamatan. Jika tahun 2002 lalu sentra perkebunan kelapa sawit hanya
berada di dua kecamatan, yakni Muara Wahau dan Kongbeng, kini sudah menyebar
hampir ke seluruh kecamatan, meski belum begitu besar seperti di dua kecamatan
tersebut. Tidak menutup kemungkinan di tiap kecamatan juga bakal dibangun
pabrik CPO (crude palm oil) karena
tanaman kelapa sawit sudah mulai terlihat di berbagai kecamatan.
Pembangunan
perkebunan sawit pada tahun 2000 seluas 1.235 hektar dengan produksi 172 ton.
Seiring dengan perkembangan komoditas kelapa sawit telah terbangun pabrik CPO
sebanyak 4 unit yang secara keseluruhan memiliki kapasitas produksi sebesar 120
ton/jam. Kini Data Dinas Perkebunan Kaltim menunjukkan, luas tanaman perkebunan
kelapa sawit di Kalimantan Timur baru mencapai 202.761,50 Ha yang melibatkan
jumlah petani sebanyak 242.597 TKP. Total produksi perkebunan kelapa sawit
sebanyak 1.203.682 ton dengan nilai produksi Rp1,742 triliun. Jelas ada prospek
cerah di sektor perkebunan kelapa sawit.
Kemudian
untuk perkebunan kakao pada tahun 2000 seluas 2.211 hektar, tahun 2008 menjadi
6.807 hektar. Selain itu, hasil perkebunan lainnya yang sudah berproduksi
adalah kopi, lada, vanili, kelapa, jarak pagar dan karet.
Untuk
penanaman perkebunan kelapa sawit ini, Pemkab Kutim mentargetkan 350.000 hektar
hingga 2011 ini dan sampai 2016 ditargetkan mencapai 500.000 hektar lahan
perkebunan kelapa sawit, baik perusahaan perkebunan swasta besar maupun kebun
rakyat. Hal ini merupakan wujud dukungan Kutai Timur terhadap program 1 juta
hektar di Kalimantan Timur. Dengan luas lahan yang dimiliki Kutai Timur sekitar
1,4 juta hektar, target pengembangan tanaman kelapa sawit bisa dicapai.
Saat
ini, pengembangan perkebunan bukan saja kelapa sawit, namun sudah berkembang
kepada komoditi lainnya. Antara lain karet, kakao, kenaf, vanili, dan komoditas
yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Potensi perkebunan dan pertanian di Kutim
yang cukup besar menjadi incaran kalangan investor. Hal ini disebabkan iklim
investasi di daerah ini cukup kondusif serta mendapat dukungan masyarakat.
Keberhasilan
pembangunan sektor perkebunan kelapa sawit ini juga diikuti dengan pembangunan
pabrik CPO yang dilakukan sejumlah perusahaan. Antara lain di Muara Wahau dan
Kongbeng serta di Sangkulirang dan Karangan. Kapasitas pabrik CPO itu sudah
mencapai ratusan ton per hari. Pabrik CPO seperti itu bakal tumbuh dan
berkembang seiring dengan pengembangan kebun sawit yang tersebar di seluruh
kecamatan. Saat ini, tanaman perkebunan kelapa sawit di daerah ini sudah
melampaui Kabupaten Paser yang terlebih dulu menanam komoditi yang sama. Bahkan
di Muara Wahau juga telah berdiri pabrik biodiesel yang telah diresmikan dan
menghasilkan solar, namun sementara ini hanya untuk memenuhi kebutuhan pabrik
sendiri.
Pemerintah
memprogramkan pembangunan perkebunan kelapa sawit kerjasama antara investor dan
masyarakat melalui program pola kemitraan. Saat awal dicanangkan baru ada 24
investor yang terlibat, kini telah masuk 64 investor. Dengan demikian, baik
masyarakat maupun perusahaan akan maju bersama dalam membangun perkebunannya.
Melalui pola tersebut, diharapkan masyarakat tidak hanya menjadi penonton,
namun berperan aktif dalam membangun perkebunannya serta ikut menjaga aset yang
dimiliki. Dengan demikian, suasana dan iklim investasi akan tetap kondusif,
karena masyarakat ikut dilibatkan di dalamnya.
Tidak
hanya sektor perkebunan yang berkembang. Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan
Timur juga telah menetapkan Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara,
sebagai salah satu Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Sapi
Potong (SPAKU Sapi Potong). Selain itu, kawasan ini juga merupakan sentra
pengembangan tanaman lada rakyat yang produksinya paling tinggi dibandingkan dengan
wilayah lain di Kabupaten Penajam Paser Utara, yaitu 112,50 ton lada
kering/tahun. Kemudian Provinsi Kalimantan Timur mencanangkan pula program
swasembada daging sapi tahun 2010 dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan
pangan asal daging sapi yang sampai saat ini masih mengalami kekurangan.
Data
dari Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur (2008) mencatat bahwa kebutuhan
daging di Kalimantan Timur hingga saat ini masih cukup tinggi, dengan tingkat
konsumsi daging pada tahun 2008 sebesar 24.945 ton dan 31,68% berasal dari
daging sapi potong (setara dengan 48.616 ekor). Sedangkan kemampuan daerah ini
untuk menyediakan ternak sapi potong sebagai penghasil daging hanya sebesar 14%
atau 6.922 ekor. Dengan begitu, masih diperlukan 41.694 ekor sapi potong yang
harus didatangkan dari luar wilayah Provinsi Kalimantan Timur.
Sapi
potong merupakan sumber penghasil daging terbesar kedua setelah ayam potong dan
yang menjadi permasalahan di tingkat lapangan adalah lambatnya perkembangan
populasi ternak sapi potong baik untuk pedaging maupun sebagai penghasil
bakalan lokal, sehingga diperlukan suatu paket teknologi pemberian pakan
tambahan yang dapat memacu perkembangan populasi sapi potong di Kalimantan
Timur. Dengan demikian upaya peningkatan produktivitas sapi potong diharapkan
dapat mempercepat terpenuhinya kebutuhan daging di Kalimantan Timur.
Sedangkan
tanaman lada merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai nilai
atau harga rataan paling tinggi, yaitu Rp15.350,00/kg. Dan, usaha tani lada
dapat meningkatkan kesejahteraan petani di wilayah ini selain ternak sapi
potong dan tanaman lainnya (Disbun Kaltim, 2008).
Berdasarkan
potensi dan kendala yang dimiliki wilayah ini, serta untuk meningkatkan
produktivitas lahan, tanaman pangan, lada, dan ternak sapi potong, telah
dilakukan suatu upaya untuk menerapkan teknologi usaha tani konservasi terpadu
antara tanaman pangan, lada dan ternak sapi potong, sehingga diharapkan
produktivitasnya menjadi lebih baik. Komponen-komponen teknologi introduksi
yang diterapkan untuk meningkatkan produktivitas lahan kering berlereng,
tanaman pangan, lada dan ternak sapi potong antara lain, (1) Teknologi
konservasi lahan dengan sistem kontur dengan menggunakan ondol-ondol untuk
menentukan tata letak tanaman; (2) Memanfaatkan lahan di antara garis kontur
dengan tanaman pangan (ubi jalar, jagung, dan tanaman hortikultura) dan di
garis konturnya ditanami hijauan makanan ternak dengan tujuan untuk mencegah
laju erosi tanah dan sebagai sumber hijauan pakan ternak. Sedangkan untuk
tanaman lada yang biasanya petani menggunakan kayu ulin sebagai tiang panjat
diubah dengan menggunakan leguminosa pohon gliricidae/gamal bertujuan untuk
menyediakan hijauan pakan ternak sapi potong yang memiliki kandungan protein
pakan tinggi, dan dengan jarak tanam 3 meter; (3) Pemeliharaan ternak sapi
potong secara berkelompok dengan memanfaatkan hijauan pakan ternak (rumput dan
gliricidae) sebagai sumber hijauan pakan. Dan kotoran sapi yang sudah terkumpul
diolah secara fermentasi terbuka menggunakan mikroba terpilih yang dimanfaatkan
sebagai sumber hara bagi tanaman.
Manajemen
perbaikan pakan dilakukan dengan memberikan hijauan pakan bermutu (rumput dan
gliricidae) dan konsentrat berupa dedak padi yang sesuai untuk kebutuhan hidup
pokok dan berproduksi.
Memperbaiki
kualitas pakan sapi di tingkat peternak rakyat merupakan suatu hal yang tidak
mudah dilakukan karena berkaitan dengan kemampuan dan kebiasaan peternak,
selain menyangkut potensi atau daya dukung wilayah sekitar. Sebab itu sangat
diperlukan adanya upaya untuk memulai memberi sentuhan teknologi dalam usaha
meningkatkan produktivitas sapi potong. Salah satu teknologi terapan yang
terkait dengan usaha peningkatan produktivitas ternak adalah pemberian bioplus
(Aryogi et al., 1999). Probiotik adalah feed
supplement yang dikembangkan dari mikroba rumen terpilih yang berasal dari
rumen sapi, sehingga apabila mikroba tersebut diberikan kepada sapi lain akan
bersinergi dengan mikroba-mikroba yang ada di dalam rumen sapi lain. Hasil
sinergistik antar-mikroba tersebut akan meningkatkan efisiensi penggunaan gizi
pakan.
Dengan
strategi dan langkah pembangunan yang langsung menyentuh rakyat tingkat akar
rumput, kini Kalimantan Timur menuai banyak kemajuan sosial kemasyarakatan.
Usaha kecil, menengah dan koperasi yang terlibat penuh dalam pemberdayaan dan
pengembangan agribisnis mampu memberikan kontribusi terhadap produk domestik
bruto yang cukup signifikan (lebih dari 50 persen). Sektor yang bergerak dari
masyarakat tingkat akar rumput ini pun mampu menyerap tenaga kerja yang sangat
berarti (sekitar 80 persen dari tenaga kerja produktif yang ada di Kalimantan
Timur). Sampai kemudian Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur memberanikan diri
menyambut program transmigrasi terpadu agribisnis. Program transmigrasi ini
sangat jelas. Data dari Disnakertrans Kaltim menyebutkan kini terdapat sekitar
45 kawasan transmigrasi baru dengan luas lahan yang dibutuhkan sekitar
1.174.625 hektar. Dan jumlah keluarga transmigran yang bisa diserap berjumlah
41.062 KK. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebagian besar pekerja yang
bekerja di perkebunan Malaysia adalah orang Indonesia. Mereka hanya menjadi
buruh. Tapi di sini, mereka sekaligus akan menjadi pemilik lahan perkebunan
dengan luasan terbagi sekitar lima hektar
per kepala keluarga. Jika ditawarkan, mereka pasti akan memilih kembali
ke Indonesia, dan secara bersama-sama membantu membangun Kaltim. Ini akan
sangat luar biasa efeknya bagi perkembangan pembangunan di wilayah ini.
Ditambah
lagi pengembangan perkebunan di Kalimantan Timur dengan Pola Unit Pelaksana
Perkebunan (UPP), Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Pola Swadaya/Parsial dan Pola
Perkebunan Besar baik BUMN (PTPN XIII) maupun swasta.
Dengan
pembangunan yang dapat dinikmati oleh semakin banyak rakyat kecil dan investor
swasta, telah membawa efek perkembangan ekonomi lebih jauh dengan bergeraknya
kegiatan ekspor –baik antardaerah maupun dari Kalimantan Timur ke luar negeri.
Jelas, Gerdabangagri mampu mengurangi angka kemiskinan (pro poor), membuka lapangan kerja (pro job) dan membawa pertumbuhan yang lebih cepat (pro growth). Dan, sekali lagi, strategi
ini mampu menapaki tahap-tahap
pembangunan mulai dari penyelamatan (rescue)
atas SDA yang tidak dapat diperbarui, pemulihan (recovery) SDA yang dapat diperbarui namun terlanjur dieksploitasi
berlebihan, pemantapan (stabilization)
sektor-sektor yang mampu menjadi landasan pencapaian kesejahteraan sosial dan
pembangunan (development) untuk
menggapai kemakmuran bersama. Pembangunan ekonomi yang tidak semata-mata
bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Melalui strategi Gerdabangagri, kini
masyarakat Kalimantan Timur membangun dirinya mengejar cita-cita kesejajaran
dengan daerah lain yang terlebih dulu maju.
D. Memantik Spirit Kewirausahaan
Dalam
memperjuangkan rakyat Kalimantan Timur, Awang Faroek sangat concern mengembangkan kultur kerja yang
mengedepankan kompetensi dan profesionalitas. Ini sangat beralasan, lantaran
dia harus didampingi para staf, aparatur, ataupun orang-orang profesional yang
diharapkan mampu mengimbangi kecerdasan ide dan kecemerlangan pola pikirnya
yang visioner itu.
“Saya
selalu bekerja profesional, seperti halnya saya membuat konsep, program dan
kebijakan dalam kebijakan membangun daerah saya Kutai Timur,” tegas Awang
Faroek dengan sorot matanya yang tajam. Tidak mengherankan, dalam aktivitas
kesehariannya, yang muncul ke permukaan adalah tampilan sosok kepala daerah
yang dinamis, penuh energi spirit dan idealisme, pekerja keras yang berpikir
cerdas. Kemampuan pola pikir dan analisanya yang cerdas itu tak bisa dilepaskan
dari kematangan pengalaman dan luasnya pergaulan yang telah dia lewati. Dia
memiliki jejaring kerja (networking) sangat
luas dan dia sangat cepat belajar dari pengalaman-pengalaman orang lain yang
telah sukses dikombinasikan dengan pemikirannya sendiri yang cemerlang. Dan
bakat besarnya yang telah terasah sejak remaja semakin excellent saja.
Awang
Faroek menyadari betul bahwa kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat
Kalimantan Timur tidak terlepas dari kultur dan nilai budaya yang melekat dalam
benak warga masyarakat. Setidaknya, masih banyak warga yang berpandangan bahwa
kehidupan itu buruk dan mereka kurang berupaya maksimal untuk mengubah
kehidupan itu ke arah yang lebih baik. Padahal, Tuhan telah mengingatkan bahwa
tidaklah bakal berubah nasib suatu kaum tanpa adanya usaha kaum itu sendiri
untuk mengubah nasib mereka. Selain itu, masih banyak juga yang berpandangan
bahwa kehidupan itu penuh dengan penderitaan yang mendera tiada habis-habisnya.
Sikap
mental semacam itu jelas cenderung apatis terhadap kehidupan, lebih suka lari
dari kenyatan hidup dan tidak memiliki sikap mental needs for achievement. Orientasi nilai-nilai budaya yang melahirkan
sikap mental yang apatis ini menjadi kendala mental dalam pembangunan, sebab
itu harus dihilangkan. Dengan demikian, tidak lagi menghambat pelaksanaan
program dan kebijakan pemerintah daerah dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Implikasinya,
perlu dilakukan upaya kelembagaan dengan fokus penciptaan pada orientasi nilai
yang berpandangan bahwa hidup ini memiliki peluang yang sangat besar buat
diperbaiki. Namun, perlu diingat, bahwa upaya tersebut membutuhkan suatu proses
yang relatif lama. Sebab, hal ini berkaitan langsung dengan masalah perubahan
sikap mental dan perilaku warga masyarakat. Perubahan sikap mental dan perilaku
ini dapat dilakukan melalui perubahan pandangan mereka tentang hidup.
Perubahan
itu diperkirakan dapat diwujudkan dengan menggerakkan staf dan aparatur yang
dipimpinnya untuk mensosialisasikan dan mengkampanyekan nilai-nilai budaya dan
mental optimisme meraih perubahan yang lebih baik. Awang Faroek senantiasa
menggelorakan para staf dan aparaturnya untuk menanamkan sikap-sikap positif
yang mesti dipunyai oleh warga masyarakat Kalimantan Timur.
Orientasi
nilai-nilai budaya yang cocok dengan pembangunan adalah pandangan yang
menyatakan bahwa karya itu untuk meningkatkan atau menghasilkan karya yang
lebih baik. Masih banyak warga masyarakat yang memandang karya sekadar untuk
hidup. Sebagian besar warga masyarakat masih memandang bahwa bekerja keras dan
mencapai keberhasilan hanya untuk memperoleh penghargaan dari masyarakat. Mereka
belum memahami sepenuhnya bahwa bekerja keras dan tekun sebagai batu loncatan
guna meraih sebuah keberhasilan. Dalam bahasa antropolog Prof. Koentjaraningrat
(1979), masih banyak warga masyarakat yang bermental menerabas. Jelas, hal ini
dapat menjadi virus atas kesuksesan pembangunan. Sebagai pemimpin di Kalimantan
Timur, Awang Faroek berusaha meminimalisir mentalitas menerabas ini di
masyarakatnya dan berusaha menumbuhkan sikap mental yang meyakini bahwa
keberhasilan mesti dicapai melalui kerja keras.
Awang
Faroek tidak hanya menggugah spirit warga masyarakat luas. Masyarakat bisnis
pun tak lepas dari upayanya menggerakkan iklim perekonomian wilayah Kalimantan
Timur. Kepada pengusaha yang berniat menanamkan modalnya, dia memberi kepastian
hukum, stabilitas keamanan dan kemudahan-kemudahan semisal perizinan. Di
antaranya, dia berusaha mewujudkan fasilitas tax holiday kepada para pengusaha. Walhasil, tahun 2004 contohnya,
daerah (Kabupaten Kutai Timur) yang dia pimpin mencatat kemajuan cukup penting
di bidang investasi. Dari 335 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, Kutai Timur
menempati urutan 28 daerah yang memiliki peluang dan daya tarik investasi.
Berikutnya, tahun 2006, Kutai Timur kembali meraih penghargaan Invesment Award 2006 dengan kategori Peringkat Tertinggi untuk Faktor Ekonomi
Daerah dari lembaga independen KPPOD, didukung The Asia Foundation dan USAID.
Singkat
cerita, berbagai langkah dan kebijakan yang memberi kemudahan dan “sangat
bersahabat” kepada dunia usaha (investor) tersebut, barangkali tidak akan muncul
dari seseorang yang tidak memiliki pemahaman luas, matang dan teruji.
Perjalanan hidup dan track record-nya
selama ini menunjukkan bahwa Awang Faroek bukan cuma pantas disebut Bupati CEO yang sangat visioner dan
memiliki jiwa entrepreneurship, namun
juga sosok intelektual dan politisi yang memang telah kenyang ditempa berbagai
pengalaman.
Pada
akhirnya, berbagai terobosan penting Awang Faroek di bidang investasi di
daerahnya tersebut telah diakui oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI yang kemudian
memberikan anugerah Government Innovative
Award kepada Kabupaten Kutai Timur. ***
No comments:
Post a Comment