Monday, February 25, 2013

Berjuang Demi Rakyat Kaltim



Pelajaran-pelajaran yang paling permanen dan berharga tentang moral bukanlah yang berasal dari buku atau bangku sekolah, melainkan dari pengalaman kehidupan.
Mark Twain, penulis legendaris asal Amerika Serikat

SEBUAH pengalaman di masa kecil demikian membekas dalam diri seorang Awang Faroek Ishak. Sebuah pengalaman bergaul dengan anak-anak dari komunitas masyarakat Suku Dayak di Barongtongkok, sebuah wilayah di pedalaman sekaligus perbatasan Kalimantan Timur. Kendati sebentar, hanya sekitar dua tahun, tapi begitu dalam menancap pada memorinya.
Sebuah memori yang menggoreskan betapa mereka (anak-anak Suku Dayak) itu masih dalam keadaan tertinggal jauh dibandingkan saudara-saudaranya se-Tanah Air di wilayah lain. Betapa mereka terpinggirkan di tengah kelimpahan sumber daya alam Bumi Borneo. Betapa mereka menjadi asing di kampungnya sendiri. Sebuah tragedi yang tidak sepantasnya terjadi.
Memori di masa kecil itulah yang kemudian menuntun langkah Awang Faroek untuk mendarma-baktikan jiwa-raganya kepada masyarakat, terutama masyarakat Kalimantan Timur. Dia tak ingin masyarakat yang pernah menjadi lingkungannya menghabiskan masa kecil senantiasa dibelit ketertinggalan, kemiskinan dan nestapa penderitaan.

A.    Membawa Angin Perubahan
Orang Dayak terpinggirkan di era modern sekarang ini ternyata masih saja dapat kita jumpai di beberapa wilayah Kalimantan, tak terkecuali di Kalimantan Timur (Kaltim) yang dikenal sebagai wilayah berkelimpahan kekayaan alam. Umumnya mereka bermukim di daerah perbatasan dan wilayah-wilayah pelosok atau pedalaman. Kehidupan ekonomi mereka masih amat sederhana, bahkan tak jarang masih kekurangan teramat sangat.
Kendati Kaltim dilimpahi sumber daya alam (SDA) dan telah menapaki pembangunan di era otonomi daerah (Otda) sejak tahun 2001, secara umum kondisi kehidupan masyarakat daerah ini relatif tidak banyak berubah. Arti kata, kekayaan SDA Kaltim ternyata belum mampu memberikan peningkatan yang signifikan bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini tercermin pada masih banyaknya keluarga prasejahtera dengan sebaran kantong-kantong kemiskinan yang lumayan luas, tingkat pengangguran relatif tinggi, terjadi disparitas antar-wilayah, dan infrastruktur fisik masih cukup memprihatinkan. Tahun 2009 tercatat 239.220 jiwa (menurun sekitar 7% dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 286.440 jiwa) hidup miskin di wilayah Kalimantan Timur. Secara kuantitatif sekitar 18% dari 3.550.586 jiwa penduduk Kaltim masuk kategori miskin.
Hingga kini, infrastruktur fisik daerah di wilayah Kaltim terlihat masih sangat minim. Walaupun daerah ini memperoleh sejumlah kompensasi, karena eksploitasi tambang misalkan, namun jumlahnya masih amat terbatas. Sekadar contoh daerah kaya SDA Muara Badak. Daerah penghasil gas terbesar di Indonesia itu kini tetap saja kumuh dan sebagian besar warganya hidup dalam belitan kemiskinan. Daerah itu tidak bisa menikmati secara langsung kekayaan SDA yang dihasilkannya. Demikian pula masyarakat Kecamatan Sanga-Sanga di Kabupaten Kutai Kartanegara yang masih hidup dalam bingkai kemiskinan. Daerah penting penghasil minyak bumi sejak dibukanya sumur Louise pada tahun 1897 itu sampai sekarang tetap saja tidak memperlihatkan bahwa sesungguhnya Sanga-Sanga termasuk daerah kaya SDA, terutama minyak bumi. Hasil eksploitasi minyak bumi tidak menetes ke rakyat Sanga-Sanga. 
Yang lebih memprihatinkan lagi, di daerah perbatasan, pedalaman dan daerah tertinggal, banyak warga masyarakat yang belum merdeka dalam arti yang sesungguhnya karena masih sangat terisolasi dan terasing. Ketidak-merataan pendapatan yang terjadi antar-kabupaten/kota di wilayah Kaltim merupakan salah satu sebab mengapa masih banyak daerah tertinggal di wilayah provinsi ini. Image masyarakat yang berdomisili di daerah perbatasan, pedalaman dan daerah tertinggal merasa belum aman dari musuh alami, seperti kemiskinan, kebodohan, dan problematika kesehatan. Ditambah lagi daerah perbatasan dengan Malaysia yang sangat potensial menimbulkan konflik internal dan eksternal. Salah satunya adalah berkurangnya wilayah NKRI, terutama wilayah perbatasan Kaltim. Hal ini dikarenakan kerap terjadi pemindahan tapal batas negara.
Bukanlah suatu proses yang tiba-tiba bila nasib warga Suku Dayak di Kalimantan Timur kurang beruntung sampai sekarang. Hal ini tidak terlepas dari pandangan minor terhadap mereka yang sudah sejak lama menancap di berbagai kalangan. Simak saja pendapat Van J. Vert sebagaimana dikutip van Linden (1854), Mill Rokaert (1987), dan dikutip kembali oleh Stephanus Djuweng (1996), bahwa “Orang Dayak adalah orang-orang yang ditakdirkan untuk dikuasai ketimbang menjadi penguasa”. Sungguh, inilah penilaian negatif yang amat merendahkan harkat dan martabat Suku Dayak. Linden dan Vert, kata Rokaert, adalah antropolog kolonial Belanda yang dianggap membuat penilaian sangat negatif dan tidak benar. Kendati begitu, anehnya orang-orang Dayak dan non-Dayak justru percaya saja kepada penilaian seperti itu. Dan memang, realitas menunjukkan selama ratusan tahun lamanya, suku-suku Dayak di Kalimantan menjadi pihak yang marjinal dan mereka lebih banyak dikuasai daripara menjadi penguasa meskipun atas dirinya sendiri.
Dalam pandangan Stephanus Djuweng (1996), tidak hanya dalam diskursus ilmiah dan dokumen sejarah dan politik saja dapat ditemukan sejumlah pola penundukan terhadap Suku Dayak, pun praktik-praktik pelecehan, gaya pengeksploitasian, dan perilaku diskriminatif terhadap mereka. Tapi juga dalam pelajaran agama, pendidikan formal, ucapan pejabat, dan publikasi media. Ironisnya, sebagian besar orang Dayak, tidak saja membenarkan, namun juga termakan (terinternalisasi) oleh deskripsi-deskripsi negatif atas diri mereka.
Dayak, sebenarnya, adalah nama kolektif untuk merangkum ratusan kelompok etno-linguistik di Kalimantan (Borneo). Kelompok-kelompok ini kerapkali pula disebut sub-sub Suku Dayak. Terdapat banyak variasi antara sub-sub suku satu dan yang lainnya. Dengan demikian tidaklah tepat untuk melakukan generalisasi dan uniformitas. Kendati begitu terdapat persamaan-persamaan unsur budaya yang fundamental sehingga memungkinkan kita untuk memberikan gambaran umum yang dapat diterima oleh publik.
Selama ini terdapat suatu litani tiada berujung tentang orang Dayak. Litani itu, kata Stephanus Djuweng (1996), sebagian memuji, namun kebanyakan justru melecehkan Suku Dayak. David Jenkins dan Guy Sacerdoty yang menulis artikel di Far Eastern Economic Review (1978) misalkan, menggambarkan orang Dayak sebagai the legendary wild man of Borneo (manusia liar Borneo yang legendaris). Sementara Jan Ave dan Victor King (1985) melukiskan orang Dayak sebagai the people of the weaving forest (orang dari hutan yang meratap). Bahkan, ada pula yang menggambarkan mereka sebagai the headhunters of Borneo (pemburu kepala dari Borneo).
Pada masa sebelum merdeka, Dayak merupakan kata ejekan yang sangat memilukan hati. Ketika seseorang menyimpang dari norma-norma yang umum –norma Islam dan norma Kolonial Belanda—disebut “Dayak”. Ikan dan belacan busuk di toko-toko disebut Dayak. Pokoknya, Dayak itu berarti kotor, kafir, tidak tahu aturan, buas, liar, gila, terbelakang, dan tidak berbudaya. Dayak adalah orang liar Borneo yang berekor. Nah, yang ini ada benarnya, karena lelaki Dayak –konon berekor di depan, tentu saja—bukan di belakang (Djuweng, 1996).
Kebijakan pendidikan di zaman Kolonial Belanda yang dikontrol pusat-pusat kekuasaan feodal (kesultanan) nyaris tertutup bagi orang Dayak. Jika orang Dayak ingin sekolah lebih dari kelas tiga, maka mereka harus masuk Islam, meninggalkan identitas budaya, agama, sosial dan politik mereka. Bila satu-dua di antara mereka memasuki dinas kepegawaian kolonial, untuk promosi jabatan, mereka harus melepaskan identitas ke-Dayak-an mereka.
Litani bernada minor demikian tidak bisa dihapuskan oleh Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Pandangan salah dan negatif tentang manusia Dayak yang tertancap massif selama ratusan tahun pada masa kolonial itu diperkuat pula oleh pusat-pusat kekuasaan feodal yang telah tertanam kukuh. Dan, bekas racun itu masih ada pengaruhnya sampai sekarang.
Kini, dalam diskursus pembangunan dan modernisasi, masyarakat Dayak lebih dikenal sebagai peladang berpindah, suku terasing, perambah hutan, orang tidak berbudaya, suku pengembara, orang terbelakang, dan sejumlah predikat negatif lainnya (Djuweng, 1996). Sebab itu, mereka cuma dimukimkan. Pola pertanian mereka harus diubah. Budaya mereka harus dihilangkan. Maka, perampasan tanah-tanah Dayak atas nama Republik dan Pembangunan Nasional, atas nama modernisasi dan pertumbuhan ekonomi, dianggap sah. Begitu pun eksploitasi hak-hak intelektual masyarakat adat (indigenous people) oleh para intelektual modern kita, justru dianggap sebagai hal yang wajar. Mereka cukup senang ketika ada penelitian ilmiah tentang mereka. Hal ini dikatakan seorang bergelar profesor-doktor dalam sebuah seminar internasional di Jakarta beberapa tahun silam. Begitulah, orang kecil dan lemah selalu berkorban, dan yang kuat yang menikmatinya.
Pendek kata, kualitas sumber daya manusia (SDM) orang Dayak masih dipandang sebelah mata. Padahal, di mata Awang Faroek, pandangan minor terhadap orang Dayak tidak terlepas dari faktor kesempatan dan perlakuan yang diskriminatif yang mereka terima. Selama ini, wilayah Kalimantan hanya dilihat potensi alamnya nyaris tanpa diimbangi upaya membangun manusianya.
Ya, pembangunan manusia teramatlah penting untuk memajukan suatu komunitas atau wilayah. Sebagaimana diungkapkan oleh E.F. Schumacher dalam bukunya yang cukup laris Small is Beautiful (1987) bahwa pembangunan tidak dimulai dari barang tetapi dari orang: pendidikannya, organisasinya, dan disiplinnya. Tanpa ketiga komponen ini, semua sumber daya tetap hanya akan terpendam, tidak dapat dimanfaatkan, dan tetap merupakan potensi belaka.
Maka ketika melihat kualitas manusia Dayak yang belum menggembirakan, ditambah memori pergaulan dengan anak-anak Dayak di masa kanak-kanak, Awang Faroek terbersit tekad ingin membawa perubahan (peningkatan) kualitas diri manusia Bumi Borneo. Dia ingin memperjuangkan bagaimana agar manusia Dayak mampu bersaing di pasaran global. “Saya menaruh perhatian serius pada masalah peningkatan kualitas SDM dalam memperjuangkan wilayah Kalimantan Timur ini. Bidang ini menjadi prioritas program saya dalam membangun Kalimantan Timur agar ke depan orang Dayak tidak lagi hanya sebagai penonton,” tandas Awang Faroek.
Dengan prioritas peningkatan kualitas SDM, di benak Awang Faroek, yang terpikir adalah pembangunan sektor pendidikan mulai dari jenjang pendidikan SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi (PT), termasuk pula pendidikan dan pelatihan (diklat), sebagai satu jawaban. Sasaran peningkatan kualitas SDM diarahkan pada peserta didik, guru, mahasiswa, dosen, aparatur pemerintah daerah, dan kalangan pendidik non-formal. “Dulu semasa awal di Kutai Timur, saya alokasikan anggaran sebesar 25 persen dari total APBD untuk sektor pendidikan guna pengembangan kualitas SDM yang diharapkan mampu berdaya saing tinggi. Kini, program dan kebijakan ini akan terus saya lanjutkan,” ujar Awang Faroek tentang tekadnya berjuang demi rakyat Kalimantan Timur.
Awang Faroek menyadari betul bahwa angin perubahan kualitas SDM harus ditiupkan di wilayah Kalimantan Timur. Karena, perubahan adalah sebuah keniscayaan. SDM merupakan aset vital sebuah komunitas masyarakat. SDM merupakan bagian terpenting dalam proses perencanaan strategis dan kebijakan pembangunan. “Pembangunan daerah akan maju bilamana benar-benar berangkat dari peningkatan kualitas SDM,” tandas Awang Faroek.

B.     Memimpin dengan Karisma Sepenuh Hati
Dengan mengusung prinsip membangun manusia seutuhnya, Awang Faroek pun berusaha mendengar hati nurani rakyat yang dipimpinnya. Dia berusaha dekat dengan rakyat, dari lapisan apa saja. Dengan karismanya, dia berusaha optimal sepenuh hati membangun dan memberdayakan warga masyarakat di daerahnya. Kesenjangan (gap) ekonomi yang lebar antara warga masyarakat yang hidup di sejumlah wilayah pedalaman dan perbatasan dengan masyarakat perkotaan, serta ketimpangan antar-sektor menjadi perhatian yang amat serius dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
Selama dua periode (1987-1992 dan 1992-1997) duduk sebagai wakil rakyat di DPR/MPR RI, Awang Faroek telah mengunjungi semua kabupaten/kota dan hampir semua kecamatan di wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Terlebih lagi setelah dipercaya sebagai penjabat Bupati Kutai Timur (1999-2001), kemudian Bupati Kutai Timur (2001-2003) dan kini Gubernur Kalimantan Timur. Dia jelajahi daerah demi daerah, dia sapa hati demi hati rakyat. Dia memang bukan tipikal pemimpin yang hanya duduk-duduk manis di atas singgasana.
“Dengan turun ke lapangan dan berdialog, saya bisa mengetahui segala ragam persoalan yang ada dan terjadi di tengah-tengah masyarakat. Semua kecamatan di Kutai Timur pernah saya datangi,” ujar Awang Faroek suatu waktu. Selain itu, dia berharap dapat secara langsung mengetahui dan memahami berbagai permasalahan yang dihadapi rakyatnya dan tidak semata-mata menerima laporan dari bawahannya. Dia sangat memahami, bila cuma mengandalkan laporan anak buahnya, kerapkali laporan telah terdistorsi demi menyenangkan atasan. Jika tidak hati-hati dan peduli maka lahirlah bibit aparatur bermental ABS (Asal Bapak Senang).
Awang Faroek mengakui, ada rasa bahagia, senang, bahkan adakalanya rasa haru menggelayuti relung hati dan nurani, khususnya manakala berinteraksi langsung dengan rakyatnya yang kebanyakan rakyat kecil itu. Kepedulian dan kepekaan nurani Awang terhadap persoalan yang dihadapi rakyatnya tak jarang mampu menyita waktu dan sebagian besar tugas-tugasnya sebagai kepala daerah.
Lantaran kerapkali turun ke lapangan, singgah ke pelosok-pelosok pedalaman dan wilayah perbatasan, melihat dari dekat berbagai permasalahan yang dihadapi rakyatnya, kehadiran sosok Awang Faroek tak asing lagi di mata rakyat kecil di daerahnya. Dia bahkan tak pernah menjaga jarak dengan rakyatnya. Kapan dan di mana pun Awang Faroek berada, dia senantiasa menyediakan waktu untuk rakyatnya. Tidak mengherankan, saat-saat berkumpul, bercengkerama, mendengarkan keluh-kesah rakyatnya, itulah waktu-waktu bahagia dan sangat mengharukan bagi dirinya sebagai pemimpin mereka. Bahkan, nalurinya mudah tersentuh dan tidak jarang menitikkan air tatkala mendapati rakyatnya sedang kesusahan.
“Saya pernah menangis terharu ketika Kepala Adat Dayak Kenyah di Desa Mekar Baru, Pejalung Juk, berkata kepada saya bahwa sejak Indonesia merdeka (1945), belum pernah ada pejabat yang mengunjungi desanya. Sementara saat itu, sebagai Bupati Kutai Timur, saya sudah tiga kali ke sana. Menurut Pejalung, rakyat desanya benar-benar bangga dan bahagia, karena saya dan isteri bisa bertandang ke desa mereka,” kenang Awang Faroek.
Sebagaimana diketahui, untuk mencapai Desa Mekar Baru, yang merupakan desa paling ujung di wilayah Kutai Timur, Awang Faroek dan isteri harus rela bersusah-payah menempuh perjalanan cukup panjang dan berganti-ganti kendaraan, mulai dari speedboat sampai ketinting. Desa Mekar Baru ini pernah terkenal di pentas nasional ketika terjadi kontroversi tambang emas Bre-X sekitar tahun 1997 silam.
Menurut Awang Faroek, warga masyarakat yang tinggal di pedalaman dan wilayah perbatasan merasa bangga sekali saat memperoleh kunjungan pejabat. “Apalagi kalau kesejahteraan dan perekonomian mereka bisa ditingkatkan, mereka tentu akan lebih bahagia lagi,” ujarnya.
Sebagai putera asli Kutai yang pernah melewatkan masa kecilnya bersama anak-anak masyarakat terpencil Suku Dayak di pedalaman Sungai Mahakam, Awang Faroek memahami betul bagaimana suara nurani rakyat dan denyut nadi kehidupan alamiah mereka yang tinggal di wilayah perbatasan dan pedalaman Kalimantan Timur. “Mereka itu juga saudara-saudara kita, meski dengan kehidupannya yang serba pas-pasan dan sederhana. Di sisi lain pun banyak di antara mereka yang hidup dalam keterpurukan. Mereka hidup di tengah kekayaan alam yang melimpah, sayangnya belum banyak di antara mereka yang merasakan langsung manfaat pembangunan,” ungkap Awang mengingat kembali memori masa kanak-kanaknya.
Awang Faroek menambahkan, rakyat Kalimantan Timur pantas bersyukur lantaran wilayahnya dikaruniai Tuhan dengan kekayaan sumber daya alam (natural resources) yang melimpah ruah, antara lain batubara, emas, minyak bumi, gas alam, aneka bahan mineral lainnya, hingga hijaunya hamparan hutan alam yang sangat luas. Bahkan, kekayaan SDA tadi mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Kalimantan Timur.
Sayang sekali kalau potensi kekayaan alam tersebut tidak dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Seperti pada masa saya di Kutai Timur dulu (2000-2003), saya menempatkan konsep Gerdabangagri sebagai grand strategy dari visi pembangunan daerah. Program-program yang merupakan implementasi dari Gerdabangagri tersebut telah banyak yang menyentuh langsung dan dirasakan oleh warga masyarakat,” jelas Awang Faroek, yang pernah tercatat sebagai bupati pertama di Indonesia yang menelorkan kebijakan populis, yakni pendidikan gratis di Kutai Timur, dari mulai tingkat SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi seiring berlakunya otonomi daerah pada tahun 2001. Kebijakan ini kemudian diikuti oleh kepala daerah yang lain seperti Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Badung (Bali), Kabupaten Bengkalis (Riau), dan Kabupaten Padang Pariaman (Sumatera Barat).   
Bermodal karisma dan kedekatan dengan rakyat, Awang Faroek merasa yakin bakal sukses memimpin masyarakat dan rakyat Kalimantan Timur. Dia juga merasa yakin rakyat tidak akan sungkan-sungkan mendekati dirinya. Karena, Awang memang memiliki modal untuk dekat dengan rakyat.
“Menilai Awang Faroek, kita tidak perlu melihat riwayat hidupnya secara detail. Cukup lihat bentuk tubuh dan wajahnya yang memancarkan karisma, maka kita sudah akan tahu tipe manusia yang bagaimana Awang Faroek ini. Kalau Anda bertemu dengan orang yang tinggi besar dan berwajah ramah seperti dia, saya dapat katakan pasti orang itu baik hati seperti Awang Faroek,” ujar mantan Rektor Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, yang juga mantan Kepala Kopertis Wilayah III Jakarta, Prof. Dr. Ir. Sambas Wirakusumah, MSc, sebagaimana dikutip Kaltim Post (2003).
“Berbicara dengan Pak Awang, kita bisa dengan bebas menyampaikan segala bentuk unek-unek. Dan Pak Awang akan menanggapinya dengan sikdap dan jiwa kebapakan,” tutur Abdullah, seorang warga masyarakat yang berdomisili di Sangkulirang, Kabupaten Kutai Timur, mengungkapkan kesannya tentang sosok mantan Bupati Kutai Timur yang merakyat ini (2005).
Tak jauh berbeda dengan penilaian tokoh masyarakat serta tokoh adat di Sangatta, ibukota Kabupaten Kutai Timur, H. Meranen Pital B. “Saya menilai keberpihakan Pak Awang Faroek kepada rakyat, terutama masyarakat kecil, tak pernah disangsikan lagi. Lahir batin dan semua waktunya banyak dicurahkan hanya untuk memikirkan rakyatnya. Saya sebagai tokoh masyarakat di Kutai Timur mengucapkan terima kasih punya pemimpin daerah seperti Awang Faroek,” kata Meranen Pital (2005).
Lelaki ramah, bersahaja dan humanis berbintang Leo, kelahiran Tenggarong, Kutai, Kalimantan Timur, 31 Juli 1948, ini memang memiliki kemampuan yang tinggi dalam memimpin dan mengelola setiap lembaga, tempat atau wilayah yang dipimpinnya. Gaya kepemimpinannya (leadership style) yang khas dan karismatik memudahkannya untuk mengelola para stafnya secara apik dan baik. “Pak Awang mampu menunjukkan lead by example, yaitu suatu prinsip kepemimpinan dengan memberi contoh atau teladan yang baik, sehingga akan mudah ditiru atau diikuti oleh para stafnya tanpa harus memberikan instruksi,” ujar External Manager KPC, Dr. Harri Marsiono (2007).
Secara teknis, Awang Faroek mempunyai kemampuan dan pemahaman mendalam tentang teori perencanaan pembangunan wilayah. Pribadinya yang komplit, berkualitas dan mumpuni tersebut, lanjut Harry, “akan sulit dikalahkan oleh stafnya dan semakin memberikan legitimasi kepada dirinya. Hal ini terbukti dengan kerja keras dan semangatnya yang tinggi serta tidak mengenal lelah dalam menjalankan tugasnya. Bahkan, Awang Faroek mampu bekerja berjam-jam dan berhari-hari tiada henti, namun tetap bersemangat tinggi.”
Sementara itu Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo sebagai sahabat lama di parlemen mengakui bahwa Awang Faroek merupakan sosok egaliter dan humanis dalam pergaulan. Dia juga memuji kepiawaian Awang Faroek dalam menjalin konsep relasional dengan berbagai kalangan. “Pak Awang adalah sosok yang memiliki pemikiran komprehensif dalam melihat suatu permasalahan. Dia tidak pernah melihat dari golongan mana atau partai mana orang itu berasal. Dulu, kami bertetangga di kompleks perumahan DPR-RI dan saya melihat beliau banyak bergaul, bukan hanya dengan satu golongan, tapi semuanya dia rangkul. Dapat saya katakan, dia itu piawai membangun hubungan dengan semua orang, tanpa mengenal golongan dan status sosial,” papar Tjahjo Kumolo.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI (Pur) Subagyo Hadi Siswoyo, kendati telah lama tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Awang Faroek semenjak mereka selesai mengikuti Penataran Manggala BP-7 di Bogor lebih dari 10 tahun lalu, namun dia masih memiliki kesan mendalam pada sahabatnya itu. “Saya mengenal Awang Faroek saat mengikuti Penataran BP-7 di Istana Bogor, lebih dari sepuluh tahun lalu,” cerita Jenderal Subagyo lalu melanjutkan, “Waktu itu, semua peserta penataran tinggal bersama selama dua minggu. Dari perkenalan singkat itulah, saya melihat sahabat saya Awang Faroek sebagai sosok yang santun, baik dalam bersikap maupun saat bertutur kata. Kesantunannya ini merupakan ciri khas yang sangat menonjol dalam dirinya. Dia juga termasuk peserta yang aktif dalam setiap diskusi. Pemikiran-pemikirannya mendeskripsikan kecerdasannya.”
Awang Faroek yang mulai meniti karir dari tangga bawah ini memang mempunyai sahabat dan relasi yang luas dari berbagai kalangan. Tidak sebatas dari kalangan masyarakat bawah, menengah, bahkan menembus level atas, baik di tingkat lokal, nasional maupun global.
“Teman saya memang ada di semua lapisan. Saya berteman ke atas oke, ke tengah oke, bahkan ke bawah juga oke. Sebab, saya tidak membeda-bedakan orang. Dari latar belakang keluarga mana, suku apa dan apa agamanya, termasuk apakah dia itu kaya atau miskin. Semua teman saya anggap sama. Alhamdulillah, dari dulu sampai sekarang, saya tidak ada semacam jurang pembatas (gap) dengan mereka. Itulah mengapa orang seringkali menyebut saya ini pandai bergaul dan cepat akrab dengan siapa saja,” tutur Awang Faroek membuka resep suksesnya dalam berteman sehingga disegani plus disenangi banyak orang.
Prinsipnya, tambah Awang Faroek, “Dalam hidup ini saya tidak boleh dan tidak akan pernah menyakiti orang lain, biarpun orang itu pernah menyakiti saya. Saya tidak boleh membuat susah orang lain, juga tidak boleh menyulitkan orang lain. Kalau boleh, saya justru akan terus membantu orang lain di kala orang itu meminta bantuan kepada saya. Karena saya akan merasa senang jika bisa membantu orang lain. Tapi, tentunya, bantuan itu harus sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri saya.”  
Demikianlah roh dari dimensi relasional dan pertemanan yang dibangun oleh Awang Faroek yang cenderung mendonjolkan empati-partisipatif, dengan getaran yang kental aura filantropis. Hal ini dapat ditelusuri dari kesediaannya untuk senantiasa membuka diri dan berbagi dengan semua orang. Tidak mengherankan bila dia sangat piawai bergaul dan berinteraksi dengan berbagai kalangan dan strata sosial mana saja. Tentu, tidak semua orang memiliki kemampuan spesifik seperti ini. Kita dapat menyimak adagium kuno dari filsuf China Sun Tzu yang terasa masih relevan bahwa seribu kawan terasa kurang dibandingkan satu musuh. Adagium ini terasa membumi dan terus menginspirasi konsep relasional dan pertemanan yang dikembangkan Awang Faroek. Filsuf Sun Tzu mengajarkan bahwa betapa sangat vital dan berharganya manusia membangun relasi dan pertemanan, dan sedapat mungkin menghindari untuk menciptakan musuh.
Tidak sekadar membangun relasi manakala Awang Faroek memperjuangkan rakyat Kalimantan Timur. Dia juga berusaha memberi teladan melalui kerja keras dan visi yang jauh ke depan. Dia menampilkan sosok pemimpin yang sederhana namun berkarakter, karismatik, pekerja keras (hard worker) serta pola pikir yang smart dan cemerlang sehingga mampu menjangkau jauh ke masa depan. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh berambut perak ini pantas disebut sebagai orang yang visioner dan futuristik sejati.
Dengan penampilan semacam itu, Awang Faroek ingin membangun atau menegakkan reputasi. Di mana pun Awang Faroek berada atau memimpin, dia selalu berusaha memendarkan sinar reputasi. Dan reputasi ini pula yang kini dia tegakkan di Bumi Kalimantan Timur yang tengah dipimpinnya. Unsur reputasi, dalam dunia bisnis yang juga banyak diadopsi oleh organisasi pemerintahan di era otonomi ini memegang posisi yang amat penting. Kata pakar kepemimpinan Dwight L. Moody: “Jika Anda kehilangan nyawa, maka itu kematian personal. Tapi, bila Anda kehilangan reputasi, itu adalah kematian sosial. Ketika Anda kehilangan uang, boleh jadi Anda tengah bernasib sial saja. Dan, Anda selalu bisa mencarinya lebih banyak lagi di kemudian hari. Tapi, Anda tidak boleh kehilangan reputasi, Anda harus menjaganya sebagaimana Anda menjaga nama Anda. Bila Anda menjaga karakter, reputasi Anda akan terjaga dengan sendirinya.”
Dengan konsep perjuangan seperti itulah, Awang Faroek mampu membangun reputasi Kutai Timur dan kini Kalimantan Timur untuk berkembang menjadi daerah yang maju bagai gula yang semakin banyak didatangi semut. Makna lebih jauh, maju-mundurnya organisasi pemerintahan daerah, termasuk domain reputasi di daerah tersebut, sangat bergantung pada sang pemimpin atau kepada daerah.

C.    Menjaga Keberlanjutan dan Optimalkan Potensi Daerah
Dalam kurun waktu 30-an tahun belakangan, pembangunan ekonomi kita lebih dipengaruhi oleh paradigma pertumbuhan ekonomi ketimbang paradigma kesejahteraan yang memihak rakyat. Maka akhir-akhir ini muncullah gugatan terhadap keabsahan paradigma pertumbuhan ekonomi, terutama dalam membangun masyarakat secara materiil, karena dilatari kemunculan banyak fenomena yang menimbulkan berbagai persoalan. Salah satu aspeknya adalah ketika pembangunan diidentikkan dengan pertumbuhan yang mengedepankan prinsip trickle down effect dan spread effect, ternyata telah menghasilkan konglomerasi di satu sisi dan kemiskinan di sisi yang lain. Sementara itu, manakala pembangunan diidentikkan dengan modernisasi, menimbulkan pola-pola pengembangan yang cenderung bersifat memaksa dan berimplikasi pada tingkat ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap pencetus dan pelaku pembangunan. Akibatnya, banyak nilai-nilai tradisional yang memiliki potensi riil untuk mendorong pengembangan masyarakat menjadi teralienasi dan kehilangan daya rekatnya. Sesungguhnya, konsepsi pembangunan tersebut tidaklah sebatas eufimisme dari pertumbuhan dan atau modernisasi dengan parameter ekonomi serta kemajuan fisik dan materiil semata, melainkan lebih dari itu diperlukan aspek-aspek non-materiil yang mencakup pembentukan dan pengembangan secara keseluruhan sikap-sikap sosial dan kultural dalam masyarakat.
Kita harus mengevaluasi model pembangunan dari atas (top down) yang selama ini diyakini secara otomatis akan memberikan efek ke bawah. Banyak daerah yang menerima pembangunan dari pusat yang kemudian justru semakin meminggirkan dan memiskinkan kelompok masyarakat yang ada di daerah. Padahal, banyak daerah kaya sumber daya yang harus diberdayakan agar rakyat setempat mampu keluar dari jurang kemiskinan. Awang Faroek menyadari benar bahwa setiap daerah memiliki tiga modal pembangunan, yakni sumber daya manusia (human capital), sumber daya alam sebagai modal ekonomi (economic capital), dan nilai-nilai sosial dan budaya lokal (social capital). Berangkat dari ketiga modal tadi, Awang Faroek berkeyakinan, pembangunan tidak dapat lagi semata-mata mengandalkan kekuatan modal ekonomis yang pada kenyataannya telah membuat sumber daya manusia terasing dan nilai-nilai sosial-budaya lokal tercerabut dari akar kulturalnya.
Seiring dengan bergulirnya agenda reformasi dan arus penguatan otonomi daerah sebagai respon terhadap krisis multi-dimensi yang mewarnai proses pembangunan, ketiga modal pembangunan tadi haruslah didaya-gunakan dalam langkah-langkah kebijakan pembangunan yang meliputi empat tahapan yaitu penyelamatan (rescue), pemulihan (recovery), pemantapan (stabilization) dan pembangunan (development). Dengan mengaplikasikan keempat tahapan tadi, pembangunan akan senantiasa berkelanjutan dan mampu mengoptimalkan potensi yang ada. Dalam pelaksanaannya diarahkan pada upaya peningkatan kapabilitas lokal dalam konteks otonomi luas, nyata dan bertanggung-jawab. Bertanggung-jawab terhadap ketersediaan bagi generasi masa kini dan keberlanjutan untuk generasi masa mendatang. Pendek kata, pembangunan tidak lagi sekadar buat memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan generasi sekarang tapi juga harus memikirkan bagaimana agar generasi yang akan datang tetap dapat menikmati kue pembangunan. Kita mesti menyadari bahwa pada modal SDA terdapat SDA yang tak bisa diperbarui (misalkan minyak, gas dan batubara) sehingga eksploitasi harus terkendali agar tidak cepat habis. Sementara pada SDA yang dapat diperbarui (contohnya sumber daya hutan, pertanian dan perikanan), kita mesti kreatif dan inovatif dalam memanfaatkan dan mengembangkannya.
Sewaktu menulis dan menerbitkan buku berjudul The Limit to Growth (1972), Donella H. Meadows dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam (SDA). Jadi pembangunan haruslah berkelanjutan. Dalam nada yang sedikit berbeda, Garret Hardin (1968) dari University of California memperkenalkan konsep tragedy of the common. Konsep ini membahas perihal kerusakan lingkungan hidup akibat perebutan sumber daya ekologi dalam wilayah terbatas oleh banyak orang. Akibatnya, terjadilah tragedi berupa kemiskinan bersama karena kehancuran sumber daya yang ada. Lantaran sumber daya hancur, layaknya pentas drama, ceritanyapun berakhir pilu dan kelabu. Karena sumber daya yang diperebutkan terbatas dan akhirnya habis. Yang terjadi selanjutnya adalah kemiskinan dan kepedihan bersama. Konsep itulah yang kemudian secara umum diterima sebagai dasar kebijakan pembangunan berkelanjutan yang berbasis pada kelestarian ekologi, populasi, ekonomi dan ilmu pengetahuan.  
Dengan pijakan beberapa pemikiran tadi, Awang Faroek berusaha mendesain model pembangunan di Kalimantan Timur (tak terkecuali saat memimpin Kabupaten Kutai Timur) bersifat makro-sektoral dan mikro-spasial disesuaikan dengan kondisi setempat, mengkombinasikan paradigma dan teori pembangunan dari berbagai aliran. Pencerminan terhadap konsepsi pembangunan yang mengemuka di Kalimantan Timur dalam beberapa kurun waktu belakangan ternyata menjadi landasan yang mampu mengilhami pencerahan para perencana pembangunan dalam mendesain rencana dan model pembangunan. Sebab itu, pembangunan di Kalimantan Timur tidak lagi semata-mata mengedepankan paradigma pertumbuhan ekonomi. Pembangunan harus memperhatikan indikator non-ekonomi, antara lain indikator sosial dan indeks kualitas hidup dan pembangunan manusia (IPM).
Menurut Morris D, Physical Quality of Life Index (PQLI) atau Indeks Kualitas Hidup (IKH) merupakan gabungan tiga faktor, yakni Tingkat Harapan Hidup, Angka Kematian dan Tingkat Melek Huruf. Sejak tahun 1990, UNDP mengembangkan (Human Development Index = HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencakup tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf masyarakat, dan tingkat pendapatan riil per kapita masyarakat berdasarkan daya beli masing-masing negara.
Dengan tetap memanfaatkan modal SDA yang tak bisa diperbaui (batubara, gas dan minyak bumi), Awang Faroek berusaha meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan mendorong penggunaan secara optimal modal sumber daya alam berupa lahan kawasan budidaya non-kehutanan (KBNK) yang mencapai lima juta hektar. Awang Faroek berusaha meletakkan model pembangunan yang bertumpu pada kekuatan dan potensi lokal dalam bingkai Gerakan Daerah Pengembangan Agribisnis (Gerdabangagri) untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dan bermartabat. Gerdabangagri menjadi grand strategy masa depan pembangunan di Kalimantan Timur.
Secara bertahap, konsep Gerdabangagri mulai dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Beragam komoditas unggulan hasil pertanian dalam arti luas mulai dikembangkan di daerah ini. Antara lain tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman biofarmaka, perkebunan, peternakan, perikanan (darat, laut dan tambak), dan kehutanan. Strategi pembangunan pertanian inilah yang dikembangkan untuk jangka panjang, ditunjang oleh dana pembangunan yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang tidak dapat diperbarui serta bertujuan memperluas peluang dan kesempatan ekonomi baru dan berkelanjutan di Kalimantan Timur.
Mengapa Awang Faroek memilih Gerdabangagri? Karena, pertama, Gerakan Daerah memiliki makna bahwa pembangunan ekonomi di Kalimantan Timur digerakkan oleh masyarakat (people driven) atau berbasis pada masyarakat (community-led development), yang menempatkan SDM (human capital) dan modal sosial (kelembagaan, budaya, norma dan kearifan lokal) sebagai modal pembangunan. Pendekatan ini sebagai pendekatan baru setelah muncul gugatan terhadap pembangunan yang semata-mata mengedepankan pertumbuhan ekonomi yang selama ini cenderung cuma memperhatikan modal alam dan modal ekonomi (kapital, teknologi dan manajemen) sebagai penggerak ekonomi. Sedangkan modal sosial dan SDM hanya diperlakukan sebagai faktor produksi, bahkan seringkali diabaikan.
Dengan pendekatan baru ini, berarti kegiatan-kegiatan ekonomi yang dikembangkan di Kalimantan Timur adalah kegiatan yang akomodatif terhadap keragaman kualitas SDM  yang ada. Dengan begitu, kegiatan ekonomi yang ada dilakukan langsung oleh rakyat atau organisasi ekonomi rakyat, seperti usaha keluarga, usaha kelompok, usaha kecil-menengah dan usaha koperasi dalam skim perusahaan masyarakat (community corporate).
Kedua, Gerakan Daerah bermakna pula sebagai suatu “orkestra” pembangunan yang harmoni, di mana potensi, kekuatan dan peran antara rakyat, Pemerintah Provinsi dan dunia usaha merupakan orkestra pembangunan yang saling menguntungkan (win-win condition) dan bukan saling menyingkirkan (win-loss atau loss-loss) dalam mengejar kemajuan ekonomi. Bila hal ini dapat diimplementasikan di Kalimantan Timur maka akan terwujud suatu perekonomian yang saling tergantung (interdependency economy) dan bukan yang tergantung (dependency economy), dan bukan pula yang bersifat sendiri-sendiri atau egois (independency economy).
Ketiga, Gerakan Daerah pun bermakna suatu gerakan desentralistis yakni pengelolaan pembangunan daerah Kalimantan Timur lebih banyak dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan tidak lagi ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini sesuai dengan hakikat dan esensi penerapan otonomi daerah.
Keempat, Gerakan Daerah mengandung makna berbasis pada sumber daya lokal (local resources based). Arti kata, sektor-sektor ekonomi yang dikembangkan di daerah ini adalah sektor ekonomi yang memanfaatkan sumber daya yang tersedia di daerah ini, bukan foot lose industry. Namun hal ini tidak berarti bahwa input impor –baik dari daerah lain maupun luar negeri— tidak dapat dilakukan. Input yang tidak tersedia atau belum dapat dihasilkan daerah ini seperti teknologi dan manajemen tentu saja dapat didatangkan dari luar. Tapi tidak serta merta menggantikan sumber daya lokal, melainkan dalam rangka memperkuat, memperbaiki dan melengkapi sumber daya yang ada. Demikian pula kehadiran investor (PMDN dan PMA) ke daerah ini tetap diperbolehkan, bahkan sangat diharapkan. Sekali lagi, tetap dalam kerangka memperkuat usaha-usaha rakyat lokal, bukan menyingkirkan usaha rakyat.
Kelima, Bangagri bermakna bahwa pembangunan ekonomi di Kalimantan Timur akan dikembangkan melalui pendayagunaan persekutuan sinergis antara sumber daya alam terbarui (pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan) dengan modal sosial dan modal ekonomi (barang-barang modal dan manajemen) dalam suatu sistem agribisnis. Pembangunan sistem agribisnis merupakan leading sector pembangunan ekonomi wilayah Kalimantan Timur.
Keenam, Bangagri sesuai dengan lingkup pengertian sistem agribisnis, maka pembangunan ekonomi Kalimantan Timur akan mengintegrasikan pembangunan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan dengan industri dan jasa. Artinya, pembangunan sistem agribisnis diimplementasikan dengan membangun pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan yang didukung oleh pengembangan industri, yakni industri hulu (perbenihan atau pembibitan, agrokimia, agroalsin) dan industri hilir (industri pengolahan), serta didukung oleh sektor jasa seperti perbankan, jaringan jalan, pelabuhan, irigasi, jaringan telekomunikasi, pendidikan, transportasi, penelitian dan pengembangan, serta peraturan daerah. Jadi, bukan pertanian yang mendukung industri.
Begitu pun pengembangan infrastruktur dan jasa lainnya, haruslah ditentukan oleh kebutuhan pembangunan pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, industri hulu dan industri hilir pertanian. Hal ini tidak dapat dibalik.
Ketujuh, Bangagri berarti pula bahwa pembangunan ekonomi daerah melalui pengembangan sistem agribisnis tidak berhenti pada memanfaatkan atau mengeksploitasi keunggulan komparatif yang dimiliki Kalimantan Timur. Tapi, mendayagunakan menjadi keunggulan bersaing (competitve advantage). Sehingga, kapasitas ekonomi daerah dalam kesempatan kerja dan berusaha meningkat, diversifikasi produk dan nilai tambah (added value) meningkat, demi peningkatan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan (sustainability).
Berangkat dari ketujuh nilai Gerdabangagri tadi, Awang Faroek berusaha membawa perubahan model pembangunan yang cenderung datang dari atas menjadi mengakomodasi apa kebutuhan dan keinginan rakyat. Dalam arti, membangun Kalimantan Timur melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing (competitiveness), berkerakyatan (community-driven), berkelanjutan (sustainability), dan terdesentralisasi (dezentralized). Keempat nilai itulah yang akan diwujudkan dalam perekonomian di Kalimantan Timur kini dan mendatang.
Untuk melihat bagaimana penerapan konsep Gerdabangagri yang mengoptimalkan potensi daerah ada baiknya kita sedikit melihat hasil-hasil penerapan konsep di Kabupaten Kutai Timur (Kutim). Bahwa pembangunan sektor pertanian dalam arti luas yang menjadi salah satu ikon Pemkab Kutim melalui Gerdabangagri terus berlanjut sampai sekarang.  Hal ini sesuai dengan keinginan menjadikan Kutai Timur sebagai pusat agribisnis dan agroindustri sehingga terus dipacu dengan melibatkan berbagai pihak serta menjalin kerja sama semua elemen masyarakat dan perguruan tinggi. Juga melibatkan Pemerintah Pusat serta Pemerintah Provinsi Kaltim.
Salah satu unggulan yang dimiliki Kutim adalah perkebunan kelapa sawit yang tersebar di 18 kecamatan. Jika tahun 2002 lalu sentra perkebunan kelapa sawit hanya berada di dua kecamatan, yakni Muara Wahau dan Kongbeng, kini sudah menyebar hampir ke seluruh kecamatan, meski belum begitu besar seperti di dua kecamatan tersebut. Tidak menutup kemungkinan di tiap kecamatan juga bakal dibangun pabrik CPO (crude palm oil) karena tanaman kelapa sawit sudah mulai terlihat di berbagai kecamatan.
Pembangunan perkebunan sawit pada tahun 2000 seluas 1.235 hektar dengan produksi 172 ton. Seiring dengan perkembangan komoditas kelapa sawit telah terbangun pabrik CPO sebanyak 4 unit yang secara keseluruhan memiliki kapasitas produksi sebesar 120 ton/jam. Kini Data Dinas Perkebunan Kaltim menunjukkan, luas tanaman perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur baru mencapai 202.761,50 Ha yang melibatkan jumlah petani sebanyak 242.597 TKP. Total produksi perkebunan kelapa sawit sebanyak 1.203.682 ton dengan nilai produksi Rp1,742 triliun. Jelas ada prospek cerah di sektor perkebunan kelapa sawit.
Kemudian untuk perkebunan kakao pada tahun 2000 seluas 2.211 hektar, tahun 2008 menjadi 6.807 hektar. Selain itu, hasil perkebunan lainnya yang sudah berproduksi adalah kopi, lada, vanili, kelapa, jarak pagar dan karet.
Untuk penanaman perkebunan kelapa sawit ini, Pemkab Kutim mentargetkan 350.000 hektar hingga 2011 ini dan sampai 2016 ditargetkan mencapai 500.000 hektar lahan perkebunan kelapa sawit, baik perusahaan perkebunan swasta besar maupun kebun rakyat. Hal ini merupakan wujud dukungan Kutai Timur terhadap program 1 juta hektar di Kalimantan Timur. Dengan luas lahan yang dimiliki Kutai Timur sekitar 1,4 juta hektar, target pengembangan tanaman kelapa sawit bisa dicapai.
Saat ini, pengembangan perkebunan bukan saja kelapa sawit, namun sudah berkembang kepada komoditi lainnya. Antara lain karet, kakao, kenaf, vanili, dan komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Potensi perkebunan dan pertanian di Kutim yang cukup besar menjadi incaran kalangan investor. Hal ini disebabkan iklim investasi di daerah ini cukup kondusif serta mendapat dukungan masyarakat.
Keberhasilan pembangunan sektor perkebunan kelapa sawit ini juga diikuti dengan pembangunan pabrik CPO yang dilakukan sejumlah perusahaan. Antara lain di Muara Wahau dan Kongbeng serta di Sangkulirang dan Karangan. Kapasitas pabrik CPO itu sudah mencapai ratusan ton per hari. Pabrik CPO seperti itu bakal tumbuh dan berkembang seiring dengan pengembangan kebun sawit yang tersebar di seluruh kecamatan. Saat ini, tanaman perkebunan kelapa sawit di daerah ini sudah melampaui Kabupaten Paser yang terlebih dulu menanam komoditi yang sama. Bahkan di Muara Wahau juga telah berdiri pabrik biodiesel yang telah diresmikan dan menghasilkan solar, namun sementara ini hanya untuk memenuhi kebutuhan pabrik sendiri.
Pemerintah memprogramkan pembangunan perkebunan kelapa sawit kerjasama antara investor dan masyarakat melalui program pola kemitraan. Saat awal dicanangkan baru ada 24 investor yang terlibat, kini telah masuk 64 investor. Dengan demikian, baik masyarakat maupun perusahaan akan maju bersama dalam membangun perkebunannya. Melalui pola tersebut, diharapkan masyarakat tidak hanya menjadi penonton, namun berperan aktif dalam membangun perkebunannya serta ikut menjaga aset yang dimiliki. Dengan demikian, suasana dan iklim investasi akan tetap kondusif, karena masyarakat ikut dilibatkan di dalamnya.
Tidak hanya sektor perkebunan yang berkembang. Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur juga telah menetapkan Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, sebagai salah satu Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Sapi Potong (SPAKU Sapi Potong). Selain itu, kawasan ini juga merupakan sentra pengembangan tanaman lada rakyat yang produksinya paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Kabupaten Penajam Paser Utara, yaitu 112,50 ton lada kering/tahun. Kemudian Provinsi Kalimantan Timur mencanangkan pula program swasembada daging sapi tahun 2010 dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan pangan asal daging sapi yang sampai saat ini masih mengalami kekurangan.
Data dari Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur (2008) mencatat bahwa kebutuhan daging di Kalimantan Timur hingga saat ini masih cukup tinggi, dengan tingkat konsumsi daging pada tahun 2008 sebesar 24.945 ton dan 31,68% berasal dari daging sapi potong (setara dengan 48.616 ekor). Sedangkan kemampuan daerah ini untuk menyediakan ternak sapi potong sebagai penghasil daging hanya sebesar 14% atau 6.922 ekor. Dengan begitu, masih diperlukan 41.694 ekor sapi potong yang harus didatangkan dari luar wilayah Provinsi Kalimantan Timur.
Sapi potong merupakan sumber penghasil daging terbesar kedua setelah ayam potong dan yang menjadi permasalahan di tingkat lapangan adalah lambatnya perkembangan populasi ternak sapi potong baik untuk pedaging maupun sebagai penghasil bakalan lokal, sehingga diperlukan suatu paket teknologi pemberian pakan tambahan yang dapat memacu perkembangan populasi sapi potong di Kalimantan Timur. Dengan demikian upaya peningkatan produktivitas sapi potong diharapkan dapat mempercepat terpenuhinya kebutuhan daging di Kalimantan Timur.
Sedangkan tanaman lada merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai nilai atau harga rataan paling tinggi, yaitu Rp15.350,00/kg. Dan, usaha tani lada dapat meningkatkan kesejahteraan petani di wilayah ini selain ternak sapi potong dan tanaman lainnya (Disbun Kaltim, 2008).
Berdasarkan potensi dan kendala yang dimiliki wilayah ini, serta untuk meningkatkan produktivitas lahan, tanaman pangan, lada, dan ternak sapi potong, telah dilakukan suatu upaya untuk menerapkan teknologi usaha tani konservasi terpadu antara tanaman pangan, lada dan ternak sapi potong, sehingga diharapkan produktivitasnya menjadi lebih baik. Komponen-komponen teknologi introduksi yang diterapkan untuk meningkatkan produktivitas lahan kering berlereng, tanaman pangan, lada dan ternak sapi potong antara lain, (1) Teknologi konservasi lahan dengan sistem kontur dengan menggunakan ondol-ondol untuk menentukan tata letak tanaman; (2) Memanfaatkan lahan di antara garis kontur dengan tanaman pangan (ubi jalar, jagung, dan tanaman hortikultura) dan di garis konturnya ditanami hijauan makanan ternak dengan tujuan untuk mencegah laju erosi tanah dan sebagai sumber hijauan pakan ternak. Sedangkan untuk tanaman lada yang biasanya petani menggunakan kayu ulin sebagai tiang panjat diubah dengan menggunakan leguminosa pohon gliricidae/gamal bertujuan untuk menyediakan hijauan pakan ternak sapi potong yang memiliki kandungan protein pakan tinggi, dan dengan jarak tanam 3 meter; (3) Pemeliharaan ternak sapi potong secara berkelompok dengan memanfaatkan hijauan pakan ternak (rumput dan gliricidae) sebagai sumber hijauan pakan. Dan kotoran sapi yang sudah terkumpul diolah secara fermentasi terbuka menggunakan mikroba terpilih yang dimanfaatkan sebagai sumber hara bagi tanaman.
Manajemen perbaikan pakan dilakukan dengan memberikan hijauan pakan bermutu (rumput dan gliricidae) dan konsentrat berupa dedak padi yang sesuai untuk kebutuhan hidup pokok dan berproduksi.
Memperbaiki kualitas pakan sapi di tingkat peternak rakyat merupakan suatu hal yang tidak mudah dilakukan karena berkaitan dengan kemampuan dan kebiasaan peternak, selain menyangkut potensi atau daya dukung wilayah sekitar. Sebab itu sangat diperlukan adanya upaya untuk memulai memberi sentuhan teknologi dalam usaha meningkatkan produktivitas sapi potong. Salah satu teknologi terapan yang terkait dengan usaha peningkatan produktivitas ternak adalah pemberian bioplus (Aryogi et al., 1999). Probiotik adalah feed supplement yang dikembangkan dari mikroba rumen terpilih yang berasal dari rumen sapi, sehingga apabila mikroba tersebut diberikan kepada sapi lain akan bersinergi dengan mikroba-mikroba yang ada di dalam rumen sapi lain. Hasil sinergistik antar-mikroba tersebut akan meningkatkan efisiensi penggunaan gizi pakan.
Dengan strategi dan langkah pembangunan yang langsung menyentuh rakyat tingkat akar rumput, kini Kalimantan Timur menuai banyak kemajuan sosial kemasyarakatan. Usaha kecil, menengah dan koperasi yang terlibat penuh dalam pemberdayaan dan pengembangan agribisnis mampu memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto yang cukup signifikan (lebih dari 50 persen). Sektor yang bergerak dari masyarakat tingkat akar rumput ini pun mampu menyerap tenaga kerja yang sangat berarti (sekitar 80 persen dari tenaga kerja produktif yang ada di Kalimantan Timur). Sampai kemudian Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur memberanikan diri menyambut program transmigrasi terpadu agribisnis. Program transmigrasi ini sangat jelas. Data dari Disnakertrans Kaltim menyebutkan kini terdapat sekitar 45 kawasan transmigrasi baru dengan luas lahan yang dibutuhkan sekitar 1.174.625 hektar. Dan jumlah keluarga transmigran yang bisa diserap berjumlah 41.062 KK. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebagian besar pekerja yang bekerja di perkebunan Malaysia adalah orang Indonesia. Mereka hanya menjadi buruh. Tapi di sini, mereka sekaligus akan menjadi pemilik lahan perkebunan dengan luasan terbagi sekitar  lima  hektar  per kepala keluarga. Jika ditawarkan, mereka pasti akan memilih kembali ke Indonesia, dan secara bersama-sama membantu membangun Kaltim. Ini akan sangat luar biasa efeknya bagi perkembangan pembangunan di wilayah ini.
Ditambah lagi pengembangan perkebunan di Kalimantan Timur dengan Pola Unit Pelaksana Perkebunan (UPP), Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Pola Swadaya/Parsial dan Pola Perkebunan Besar baik BUMN (PTPN XIII) maupun swasta.
Dengan pembangunan yang dapat dinikmati oleh semakin banyak rakyat kecil dan investor swasta, telah membawa efek perkembangan ekonomi lebih jauh dengan bergeraknya kegiatan ekspor –baik antardaerah maupun dari Kalimantan Timur ke luar negeri. Jelas, Gerdabangagri mampu mengurangi angka kemiskinan (pro poor), membuka lapangan kerja (pro job) dan membawa pertumbuhan yang lebih cepat (pro growth). Dan, sekali lagi, strategi ini  mampu menapaki tahap-tahap pembangunan mulai dari penyelamatan (rescue) atas SDA yang tidak dapat diperbarui, pemulihan (recovery) SDA yang dapat diperbarui namun terlanjur dieksploitasi berlebihan, pemantapan (stabilization) sektor-sektor yang mampu menjadi landasan pencapaian kesejahteraan sosial dan pembangunan (development) untuk menggapai kemakmuran bersama. Pembangunan ekonomi yang tidak semata-mata bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Melalui strategi Gerdabangagri, kini masyarakat Kalimantan Timur membangun dirinya mengejar cita-cita kesejajaran dengan daerah lain yang terlebih dulu maju.

D.    Memantik Spirit Kewirausahaan
Dalam memperjuangkan rakyat Kalimantan Timur, Awang Faroek sangat concern mengembangkan kultur kerja yang mengedepankan kompetensi dan profesionalitas. Ini sangat beralasan, lantaran dia harus didampingi para staf, aparatur, ataupun orang-orang profesional yang diharapkan mampu mengimbangi kecerdasan ide dan kecemerlangan pola pikirnya yang visioner itu.
“Saya selalu bekerja profesional, seperti halnya saya membuat konsep, program dan kebijakan dalam kebijakan membangun daerah saya Kutai Timur,” tegas Awang Faroek dengan sorot matanya yang tajam. Tidak mengherankan, dalam aktivitas kesehariannya, yang muncul ke permukaan adalah tampilan sosok kepala daerah yang dinamis, penuh energi spirit dan idealisme, pekerja keras yang berpikir cerdas. Kemampuan pola pikir dan analisanya yang cerdas itu tak bisa dilepaskan dari kematangan pengalaman dan luasnya pergaulan yang telah dia lewati. Dia memiliki jejaring kerja (networking) sangat luas dan dia sangat cepat belajar dari pengalaman-pengalaman orang lain yang telah sukses dikombinasikan dengan pemikirannya sendiri yang cemerlang. Dan bakat besarnya yang telah terasah sejak remaja semakin excellent saja.
Awang Faroek menyadari betul bahwa kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat Kalimantan Timur tidak terlepas dari kultur dan nilai budaya yang melekat dalam benak warga masyarakat. Setidaknya, masih banyak warga yang berpandangan bahwa kehidupan itu buruk dan mereka kurang berupaya maksimal untuk mengubah kehidupan itu ke arah yang lebih baik. Padahal, Tuhan telah mengingatkan bahwa tidaklah bakal berubah nasib suatu kaum tanpa adanya usaha kaum itu sendiri untuk mengubah nasib mereka. Selain itu, masih banyak juga yang berpandangan bahwa kehidupan itu penuh dengan penderitaan yang mendera tiada habis-habisnya.
Sikap mental semacam itu jelas cenderung apatis terhadap kehidupan, lebih suka lari dari kenyatan hidup dan tidak memiliki sikap mental needs for achievement. Orientasi nilai-nilai budaya yang melahirkan sikap mental yang apatis ini menjadi kendala mental dalam pembangunan, sebab itu harus dihilangkan. Dengan demikian, tidak lagi menghambat pelaksanaan program dan kebijakan pemerintah daerah dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Implikasinya, perlu dilakukan upaya kelembagaan dengan fokus penciptaan pada orientasi nilai yang berpandangan bahwa hidup ini memiliki peluang yang sangat besar buat diperbaiki. Namun, perlu diingat, bahwa upaya tersebut membutuhkan suatu proses yang relatif lama. Sebab, hal ini berkaitan langsung dengan masalah perubahan sikap mental dan perilaku warga masyarakat. Perubahan sikap mental dan perilaku ini dapat dilakukan melalui perubahan pandangan mereka tentang hidup.
Perubahan itu diperkirakan dapat diwujudkan dengan menggerakkan staf dan aparatur yang dipimpinnya untuk mensosialisasikan dan mengkampanyekan nilai-nilai budaya dan mental optimisme meraih perubahan yang lebih baik. Awang Faroek senantiasa menggelorakan para staf dan aparaturnya untuk menanamkan sikap-sikap positif yang mesti dipunyai oleh warga masyarakat Kalimantan Timur.
Orientasi nilai-nilai budaya yang cocok dengan pembangunan adalah pandangan yang menyatakan bahwa karya itu untuk meningkatkan atau menghasilkan karya yang lebih baik. Masih banyak warga masyarakat yang memandang karya sekadar untuk hidup. Sebagian besar warga masyarakat masih memandang bahwa bekerja keras dan mencapai keberhasilan hanya untuk memperoleh penghargaan dari masyarakat. Mereka belum memahami sepenuhnya bahwa bekerja keras dan tekun sebagai batu loncatan guna meraih sebuah keberhasilan. Dalam bahasa antropolog Prof. Koentjaraningrat (1979), masih banyak warga masyarakat yang bermental menerabas. Jelas, hal ini dapat menjadi virus atas kesuksesan pembangunan. Sebagai pemimpin di Kalimantan Timur, Awang Faroek berusaha meminimalisir mentalitas menerabas ini di masyarakatnya dan berusaha menumbuhkan sikap mental yang meyakini bahwa keberhasilan mesti dicapai melalui kerja keras.
Awang Faroek tidak hanya menggugah spirit warga masyarakat luas. Masyarakat bisnis pun tak lepas dari upayanya menggerakkan iklim perekonomian wilayah Kalimantan Timur. Kepada pengusaha yang berniat menanamkan modalnya, dia memberi kepastian hukum, stabilitas keamanan dan kemudahan-kemudahan semisal perizinan. Di antaranya, dia berusaha mewujudkan fasilitas tax holiday kepada para pengusaha. Walhasil, tahun 2004 contohnya, daerah (Kabupaten Kutai Timur) yang dia pimpin mencatat kemajuan cukup penting di bidang investasi. Dari 335 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, Kutai Timur menempati urutan 28 daerah yang memiliki peluang dan daya tarik investasi. Berikutnya, tahun 2006, Kutai Timur kembali meraih penghargaan Invesment Award 2006 dengan kategori Peringkat Tertinggi untuk Faktor Ekonomi Daerah dari lembaga independen KPPOD, didukung The Asia Foundation dan USAID.
Singkat cerita, berbagai langkah dan kebijakan yang memberi kemudahan dan “sangat bersahabat” kepada dunia usaha (investor) tersebut, barangkali tidak akan muncul dari seseorang yang tidak memiliki pemahaman luas, matang dan teruji. Perjalanan hidup dan track record-nya selama ini menunjukkan bahwa Awang Faroek bukan cuma pantas disebut Bupati CEO yang sangat visioner dan memiliki jiwa entrepreneurship, namun juga sosok intelektual dan politisi yang memang telah kenyang ditempa berbagai pengalaman.
Pada akhirnya, berbagai terobosan penting Awang Faroek di bidang investasi di daerahnya tersebut telah diakui oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI yang kemudian memberikan anugerah Government Innovative Award kepada Kabupaten Kutai Timur. ***              

No comments:

Post a Comment