YANG
DAPAT TERLAKSANA, EFISIEN, DAN ADIL
Pendahuluan
Laporan ini merupakan ringkasan diskusi dalam seminar sehari dengan tema Menuju
Suatu Sistem Jaminan Sosial Yang Dapat Diimplementasikan yang
diselenggarakan oleh BAPPENAS. Berbagai kekuatan dan kelemahan dalam Rancangan
Undang-undang Jaminan Sosial Nasional (RUU JAMSOSNAS) dibahas dalam seminar
sehari tersebut. Untuk memperluas cakrawala, seminar
membahas pula pengalaman negara lain dalam penerapan sistem jaminan sosial.
Laporan ini akan
dibagi kedalam 4 bagian. Bagian pertama, mengulas RUU JAMSOSNAS sebagai latar
belakang serta pandangan berbagai pihak atas RUU tersebut. Bagian kedua,
membahas berbagai isu penting berkaitan dengan pengembangan sistem jaminan
sosial. Bagian ketiga membahas beberapa alternatif sistem JAMSOSNAS berdasarkan pengalaman negara lain. Bagian
keempat membahas usulan perbaikan bagi penyempurnaan RUU JAMSOSNAS.
I. Latar Belakang
Gagasan utama dalam RUU JAMSOSNAS yang sedang dibahas oleh DPR
antara lain adalah sebagai berikut:
1.
JAMSOSNAS untuk pensiun
dilaksanakan melalui badan tunggal pemerintah (monopoli) menggunakan apa yang
disebut dengan manfaat pasti (defined benefit) yang dibiayai secara pay-as-you-go
melalui iuran dari pekerja dan pemberi kerja.
2.
Untuk jaminan kesehatan
dilaksanakan pula melalui suatu badan tunggal pemerintah yang dibiayai melalui
iuran pekerja, pemberi kerja dan pemerintah. Manfaat pelayanan yang diberikan
cukup komprehensif, mulai dari pelayanan preventif seperti imunisasi dan
pelayanan keluarga berencana sampai pelayanan penyakit berat seperti penyakit jantung dan gagal
ginjal.
3.
JAMSOSNAS, utamanya untuk
jaminan kesehatan, akan mencakup seluruh pekerja formal dan informal serta
masyarakat miskin.
4.
Dibentuk suatu Dewan Tripartit
yang akan mengawasi kebijakan JAMSOSNAS dan pelaksanaannya termasuk membawahi
lembaga pemerintah yang menangani jaminan sosial.
5.
Mengubah Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (JAMSOSTEK) dari badan usaha milik negara yang berorientasi laba menjadi
organisasi nir-laba.
Sangat
jelas bahwa masyarakat menginginkan adanya suatu jaminan sosial terutama
jaminan sosial dalam bentuk uang pensiun dan jaminan kesehatan. Namun demikian,
terdapat berbagai desakan untuk mempertajam dan memikirkan kembali beberapa
rumusan dalam RUU JAMSOSNAS. Desakan datang dari berbagai stakeholders
termasuk dari pekerja, pengusaha, badan-badan pemerintah yang menangani
asuransi dan jaminan sosial, berbagai lembaga penelitian, serta berbagai pakar
termasuk pakar ekonomi dan sosial. Beberapa hal yang perlu dipertajam dan
dilakukan penelitian yang mendalam adalah:
1.
Keberlanjutan
jangka panjang dari pembiayaan JAMSOSNAS. Program pensiun
menggunakan defined benefit dan pay-as-you-go membutuhkan
kecermatan dan kedalaman dalam memperhitungkan arus penerimaan dan
pengeluarannya dalam jangka panjang.
2.
Cakupan program. Program JAMSOSNAS yang mencakup seluruh pekerja formal, informal
dan masyarakat miskin dalam satu payung perlu dikaji dengan baik kelayakannya (feasibility).
3.
Monopoli penyelenggara. JAMSOSNAS secara terpusat akan menghilangkan pilihan bagi
masyarakat untuk menentukan jenis dan perusahaan jaminan sosial yang sesuai dengan kebutuhannya. Disamping itu,
pemusatan terhadap satu lembaga untuk menangani JAMSOSNAS akan rawan dari penyalahgunaan dan intervensi politik.
4.
Dampak peningkatan
kontribusi dari para pekerja, pengusaha dan pemerintah yang besarnya
diperkirakan berkisar antara 7–20 %. Untuk itu
perlu dilakukan penelitian mengenai dampak peningkatan kontribusi terhadap
penciptaan kesempatan kerja terutama pekerja dengan upah sekitar upah minimum.
5.
Proses penyusunan RUU. Berbagai stakeholders merasa tidak dilibatkan oleh komite
JAMSOSNAS yang terkesan bekerja secara tertutup. Komite JAMSOSNAS tidak pernah
memberikan perhitungan besarnya biaya yang dibutuhkan (analisa aktuaria) serta
dampaknya terhadap peningkatan kontribusi bagi pekerja, pengusaha dan
pemerintah. Sampai saat ini belum tergambar secara jelas adanya kajian dan
analisa mengenai besarnya iuran, siapa yang akan menanggung, serta bagaimana
manajemen keuangan akan dilaksanakan baik untuk jangka pendek maupun jangka
panjang.
II. Isu Strategis Dalam Mengembangkan JAMSOSNAS
Apabila
suatu pemerintahan mencanangkan untuk melaksanakan suatu sistem jaminan sosial,
sebenarnya pemerintah tersebut berjanji kepada para pekerja dan anggota
keluarganya akan masa depan kesejahteraan mereka. Janji ini tidak saja
diberikan kepada para pekerja pada saat ini yang akan pensiun dalam jangka
waktu 15 sampai 30 tahun mendatang, tetapi mencakup juga generasi pekerja yang
akan datang. Bila janji tersebut gagal dipenuhi maka kredibilitas pemerintah
yang telah dibangun dengan susah payah akan sulit dipulihkan. Pengalaman negara
lain dalam mengelola program pensiunnya seringkali menunjukkan bahwa
pemerintahan berikutnya biasanya gagal dalam memenuhi janjinya yang disebabkan
karena perhitungan yang tidak tepat. Ketidaktepatan perhitungan biasanya karena
terlalu tingginya perkiraan (over estimate) akan pemasukan dan rendahnya
perkiraan (under estimate) akan biaya yang harus ditanggung dari program
tersebut. Akibatnya generasi berikutnya harus menanggung beban dengan membayar
pajak lebih tinggi atau memperoleh santunan jaminan sosial dengan jumlah yang
lebih kecil dari yang dijanjikan. Baru-baru ini Pemerintah Jepang mengumumkan
kepada rakyatnya bahwa manfaat yang diperoleh oleh para pensiunan akan
dikurangi agar program pensiun dapat berkelanjutan. Sedangkan di Philipina,
pemerintah terpaksa meningkatkan pajak dan tidak menaikkan santunan sejak tahun
2001. Dengan demikian perencanaan dalam pengembangan JAMSOSNAS merupakan
sesuatu yang sangat serius. Perencanaan untuk membangun JAMSOSNAS harus
dipikirkan secara matang dengan menyerap masukan dari semua pihak serta
didasarkan pada ekspektasi yang realistis. Beberapa isu strategis dalam
pengembangan JAMSOSNAS adalah sebagai berikut:
1.
Tujuan dari kebijakan publik
yang diambil. JAMSOSNAS adalah suatu kebijakan
publik dengan demikian harus jelas tujuan yang ingin dicapai. Apakah tujuannya
mendorong agar pekerja formal menabung bagi hari tuanya? Apakah tujuannya agar
pekerja formal mengasuransikan dirinya terhadap penyakit berat dan kecelakaan?
Apakah sistem JAMSOSNAS yang akan kita laksanakan direncanakan untuk memiliki
unsur pemerataan? Apakah tujuannya untuk juga melindungi pekerja informal?
Untuk memenuhi tujuan yang berbeda tersebut diperlukan berbagai kebijakan dan
program yang berbeda pula. Misalnya, program JAMSOSNAS yang mengharuskan
peserta untuk mengiur sangat tidaklah tepat bagi pekerja informal. Pekerja
informal di Indonesia jumlahnya sangat besar (sekitar 70% dari angkatan kerja)
dan sangat tersebar diseluruh pelosok perdesaan sampai perkotaan. Biaya untuk
memungut iuran ini akan sangat mahal dan tidak sebanding dengan jumlah iuran
yang dapat dikumpulkan. Dengan kata lain kuranglah tepat kalau program
JAMSOSNAS akan dibangun hanya menggunakan satu pilar untuk mencakup semua jenis
manfaat dan mencakup seluruh lapisan masyarakat. Program JAMSOSNAS harus
dibangun melalui beberapa pilar. Bagi masyarakat miskin program JAMSOSNAS akan
lebih baik diselenggarakan melalui program tersendiri yang dibiayai oleh dana pemerintah.
2.
Keberlanjutan pembiayaan
JAMSOSNAS. Cara pembiayaan yang berbeda sangat
mempengaruhi keberlanjutan pembiayaan (financial sustainability) dari
program jaminan sosial. Untuk itu, pada saat kita merancang sistem jaminan
sosial, perlu diketahui dengan benar apa implikasi yang timbul dari skenario
pembiayaan yang berbeda. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa, program
pensiun yang menjanjikan defined benefit dibiayai dari pungutan dari
pekerja (payroll taxes) dan menggunakan cara pay-as-you-go,
biasanya mengalami kesulitan keuangan dan akhirnya menyebabkan hutang publik
yang besar. Program kesehatan universal yang dikelola oleh negara biasanya
berujung pada kesulitan keuangan. Banyak negara maju maupun berkembang, yang
mulai mengembangkan program pensiun seperti di atas sekitar pertengahan abad ke
20, untuk 40 tahun pertama memang dapat berjalan dengan baik. Hal ini
disebabkan orang yang bekerja jumlahnya masih banyak sedangkan orang yang
pensiun pada saat program dimulai masih sedikit. Tetapi pada saat banyak orang
memasuki masa pensiun dan rasio dari jumlah pekerja dengan jumlah orang pensiun
mengecil maka biaya yang harus dikeluarkan meningkat dengan pesat sementara
pemasukan tidak berubah banyak. Hal ini terjadi pada negara tetangga kita
Philipina. Pemerintah Philipina memperkenalkan program pensiun menggunakan defined
benefit pada tahun 1950 dengan kontribusi 6 % dari gaji pekerja. Pada tahun
1990 pemerintah Philipina mulai merasakan kesulitan yang diakibatkan oleh
besarnya biaya yang harus dikeluarkan karena jumlah orang yang pensiun mencapai
puncaknya. Biaya yang harus ditanggung meningkat dari 1 % PDB pada tahun 1990
menjadi 4 % PDB pada tahun 1999, hutang publik yang ditimbulkannya adalah US 21
miliar pada tahun 2000. Untuk menanggulangi ini pemerintah Philipina
meningkatkan kontribusi menjadi 9,4 % dan tidak meningkatkan manfaat sejak
tahun 2001. Dengan demikian dapat diambil pelajaran bahwa skema jaminan sosial
menggunakan defined benefit sangat rawan terhadap kesulitan keuangan di
masa depan. Banyak negara sekarang berpindah ke skema iuran pasti (defined
contribution) yang mengaitkan antara iuran yang dibayarkan oleh pekerja
dengan besarnya manfaat yang akan diperoleh. Untuk itu kecermatan perhitungan
aktuaria sangat dibutuhkan. Sebagai gambaran, pada saat ini hanya sekitar 10 %
penduduk Indonesia menjadi anggota dana pensiun dan hanya 15 % yang mempunyai
asuransi kesehatan. Program TASPEN yang sekarang berjalan mewajibkan setiap
pegawai negeri membayar iuran sebesar 4,75 % dari pendapatannya kepada PT
TASPEN. Pada saat ini pemerintah sebagai pemberi kerja memang belum ikut memberikan
iuran, tetapi pada saat membayar uang pensiun pegawai, dengan menggunakan skema
defined benefit, pemerintah membayar 77,5 % yang dibebankan kepada APBN.
Sisanya dibayar oleh PT TASPEN. Dana pensiun bagi pegawai negeri tersebut
diperkirakan akan mengalami defisit pada tahun 2006. Kalau JAMSOSNAS
dimaksudkan untuk mencakup seluruh masyarakat maka perlu dilakukan studi yang
mendalam mengenai jumlah biaya yang diperlukan serta sumber pembiayaannya.
Pengembangan program JAMSOSNAS dengan mengabaikan perhitungan aktuaria akan
menimbulkan beban dikemudian hari.
3.
Peranan pemerintah dan
swasta dalam penyelenggaraan jaminan sosial.
Berdasarkan pengalaman negara lain program pensiun yang dikelola oleh
pemerintah memberikan tingkat manfaat (return) yang kecil kepada para
pekerja dibandingkan dengan program yang dikelola oleh swasta. Selain itu
pelayanan yang diberikan juga kadang kurang memuaskan dibandingkan dengan
program yang dikelola oleh swasta. Manajer investasi program pensiun swasta
mempunyai insentif yang lebih tinggi untuk melakukan investasi yang terbaik,
namun demikian bukan berarti pengelolaan oleh swasta bukan tanpa masalah. Untuk
itu peranan pemerintah dalam regulasi keuangan program pensiun serta dalam
pengawasan sangat diperlukan. Dalam kasus negara berkembang seperti Indonesia
peran pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
menyelenggarakan program JAMSOSNAS pasti masih akan besar. Namun demikian bukan
berarti menghilangkan peran stakeholders lainnya. Lebih jauh lagi
sebenarnya pengembangan suatu sistem JAMSOSNAS jangan sampai menghilangkan
kebebasan bagi calon peserta untuk memilih program dan perusahaan mana yang
sesuai dengan kebutuhannya. Isu good governance dalam pelaksanaan
JAMSOSNAS perlu mendapat perhatian terutama di negara yang birokrasinya
terkenal sarat dengan KKN. Program yang sudah ada seperti JAMSOSTEK mempunyai
angka tunggakan iuran yang tinggi, nilai pengembalian investasi yang rendah,
serta manfaat yang rendah pula. Dari potensi peserta JAMSOSTEK yaitu 22 juta
pekerja formal, hanya sekitar 9 juta yang benar-benar secara teratur membayar
iuran tiap bulannya. Bila pelaksanaan terpusat hanya pada birokrasi pemerintah
tanpa memberikan ruang gerak bagi pihak swasta maka rasanya akan sulit untuk
mendorong terciptanya sistem JAMSOSNAS yang efisien.
4.
Dampak program jaminan
sosial terhadap penciptaan kesempatan kerja. Kalau
kita cermati pasar tenaga kerja pada saat ini maka akan jelas terlihat bahwa
jumlah pekerja informal masih lebih dari dua kali jumlah pekerja formal. Jumlah
pekerja informal pada saat ini berjumlah sekitar 70 juta orang sedangkan
pekerja formalnya berjumlah sekitar 30 juta orang. Dapat dibayangkan kesulitan
yang akan dihadapi kalau pekerja informal yang jumlahnya 70 juta dan tersebar
diseluruh pelosok Indonesia harus mengiur program JAMSOSNAS. Dilihat dari
pendapatannya maka pekerja kita baik di desa dan di kota yang berstatus kepala
rumah tangga masih didominasi oleh mereka yang berpendapatan antara 600-800
ribu rupiah perbulannya. Mereka yang berstatus kepala rumah tangga yang
berpendapatan di atas 1 juta rupiah perbulan hanyalah sekitar 4,5 juta orang.
Upah minimum di DKI saat ini sekitar 800 rupiah perbulannya. Dengan upah
minimum sebesar inipun masih banyak pekerja yang memperoleh upah di bawah upah
minimum. Dan mereka yang beruntung memperoleh upah minimum masih merasakan
betapa beratnya memenuhi kebutuhan untuk hidup sehari-hari. Dengan demikian
peningkatan iuran bagi pekerja bila tidak direncanakan dengan baik bisa jadi
memberatkan dan bahkan berpotensi mengurangi kesempatan kerja formal.
Angka-angka ini bisa saja tidak akurat, namun demikian kecermatan perhitungan
konsekuensi biaya yang diperlukan untuk mendanai program JAMSOSNAS tidak dapat
diabaikan begitu saja. Keadaan pasar tenaga kerja masih belum menggembirakan.
Lapangan pekerjaan formal terus berkurang selama kurun waktu 2001 sampai 2003.
Padahal diketahui bahwa sebagian besar dari pekerja kita di sektor tersebut
adalah pekerja yang kurang terampil (sekitar 50 % adalah lulusan SD dan SD ke
bawah). Dengan demikian bila sampai mereka di PHK dari pekerjaan formal maka
dapat terbayangkan akan sangat lama bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan
formal lagi. Untuk itu menjaga agar lapangan kerja formal tetap bertumbuh
adalah cita-cita kita bersama. Apabila iuran yang nantinya akan dipungut untuk
membiayai program JAMSOSNAS dirasakan sangat berat baik oleh pekerja maupuan
pemberi kerja maka kemungkinan menciutnya lapangan pekerja formal tidak dapat
dihindari. Parahnya lagi adalah bahwa korban dari PHK tadi biasanya adalah
pekerja yang kurang terampil atau pekerja yang berusia muda atau pekerja
wanita. Bertambahnya pengangguran usia muda sangat tidak menguntungkan
mengingat jumlah penganggur usia muda terus meningkat jumlahnya beberapa tahun
terakhir ini.
III. Pengalaman Negara Lain
Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional:
1.
Pengalaman internasional
menunjukkan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial dilaksanakan melalui tiga
pilar dengan penyelenggara yang berbeda. Banyak
negara baik negara maju maupun berkembang melakukan perombakan, terutama yang
berkaitan dengan skema defined benefit, dalam rangka menghindari
kesulitan di kemudian hari. Perombakan sistem jaminan sosial kebanyakan menuju
sistem jaminan sosial tiga pilar. Pilar pertama adalah sistem JAMSOSNAS yang
merupakan program jaring pengaman sosial. Program ini dilakukan oleh pemerintah
bertujuan untuk melindungi penduduk usia lanjut atau mereka yang tergolong
miskin. Dalam hal ini maka skema defined benefit dapat digunakan secara
hati-hati. Namun cakupan dan ragam dari program ini sangat tergantung dari
kemampuan pemerintah. Pilar kedua adalah sistem JAMSOSNAS bagi pekerja formal
dengan skema defined contribution. Manfaat yang akan diperoleh sesuai
dengan jumlah iuran yang dipungut. Program ini dapat dilaksanakan oleh swasta
dan pemerintah. Pilar ketiga merupakan program sukarela untuk peserta yang
menginginkan manfaat yang lebih baik bagi kebutuhan hari tua mereka. Akan
sangat tidak bijaksana bila memaksakan sistem JAMSOSNAS bagi negara besar dan
beragam ini ke dalam satu pilar.
2.
Pemerintah mempunyai
beberapa peran penting. Pertama, pemerintah
berperan dalam membuat regulasi yang berkaitan dengan rambu-rambu pengelolaan
dana JAMSOSNAS. Kedua, pemerintah diharapkan tetap berperan untuk melaksanakan
pilar JAMSOSNAS yang merupakan bagian dari sistem jaring pengaman sosial.
Misalnya di Nepal, pemerintah di sana memberikan manfaat yang merata bagi orang
lanjut usia (berusia di atas 70 tahun) yang tidak mampu.
3.
Kesempatan dalam memilih
perusahaan yang melaksanakan JAMSOSNAS. Sekitar 30
negara menggunakan sistem jaminan sosial tiga pilar. Namun demikian
negara-negara ini menggunakan pendekatan yang berbeda dalam rangka memberikan
pilihan bagi peserta dalam memilih perusahaan yang menyelenggarakan jaminan
sosial. Di Amerika Latin digunakan apa yang dinamakan model pasar eceran (retail
market). Artinya pekerja dapat memilih dengan bebas perusahaan
penyelenggara jaminan sosial sesuai dengan kebutuhannya. Kelemahannya adalah
banyak sekali pilihan yang kadang membingungkan dan juga dengan harga yang
lebih mahal. Negara-negara OECD menggunakan apa yang dinamakan model pasar
kelompok (group market). Model ini menyerahkan kepada pemberi kerja dan
serikat pekerja untuk memilih perusahaan penyelenggara mana yang akan digunakan
oleh seluruh pekerja dalam perusahaan
tersebut. Dengan model ini biaya administrasi menjadi lebih rendah. Model
terakhir adalah model pasar kelembagaan (institutional market) dimana
pemerintah melakukan pengumpulan dana dari seluruh pekerja dan menegosiasikan
dengan perusahaan penyelenggara melalui proses tender yang transparan.
Perusahaan internasional atau patungan diperbolehkan mengikuti tender ini.
Model ini dapat menekan biaya sekaligus memberikan manfaat yang baik.
Pengalaman Negara Lain Dalam Mengelola Program
Jaminan Kesehatan:
Pengalaman negara Kolombia dalam
mereformasi program jaminan kesehatannya sangat menarik untuk dikemukakan. Pada
awalnya pemerintah Kolombia membatasi pilihan perusahaan asuransi kepada satu
perusahaan penyelenggara (monopoli) dalam melaksanakan program jaminan kesehatannya. Namun karena
banyaknya keluhan terhadap kualitas program kesehatan ini maka pemerintah
melakukan reformasi yang sangat mendasar. Program jaminan kesehatan pada
dasarnya dibagi dua: Pertama adalah asuransi kesehatan wajib bagi pekerja
formal yang disebut social health insurance (SHI). Kedua adalah program
jaminan kesehatan bagi pekerja informal dan masyarakat miskin.
Pemerintah Kolombia membuka account
dimana pekerja formal anggota SHI mengiur sebesar 11 % dari pendapatannya untuk
program ini. Pembayaran sebesar 11 % dari pendapatan ini ditanggung 1/3 oleh
pekerja dan 2/3 oleh pemberi kerja.
Pengelolaan account ini tidak diserahkan kepada sebuah perusahaan
pemerintah tetapi kepada tiga bank. Pemerintah menetapkan standard dan jenis
layanan komprehensif yang harus dicakup dalam SHI. Selanjutnya pemerintah
melakukan seleksi kepada perusahaan asuransi penyelenggara jaminan kesehatan.
Perusahaan yang mengikuti seleksi ini dapat berbentuk perusahaan pemerintah,
swasta, atau swasta asing. Dari seleksi ini terpilih 28 perusahaan peserta
penyelenggara jaminan kesehatan. Pekerja peserta SHI dapat memilih salah satu
dari 28 perusahaan ini sebagai penyelenggara jaminan kesehatan untuk pekerja
itu sendiri dan keluarganya. Setelah pekerja menetapkan pilihannya maka uang
premi akan dibayarkan dari account tadi langsung kepada perusahaan
asuransi penyelenggara jaminan kesehatan. Bila sudah memilih salah satu
perusahaan penyelenggara maka pekerja tidak diperbolehkan untuk pindah perusahaan
minimal dalam 3 tahun. Perusahaan asuransi penyelenggara jaminan kesehatan ini
dapat bekerja sama dengan berbagai rumah sakit pemerintah dan swasta yang ada
atau dapat juga melaksanakan sebagian dari pelayanan kesehatannya sendiri.
Program jaminan kesehatan bagi pekerja informal dan masyarakat
miskin disubsidi oleh peserta pekerja
formal dan pemerintah. Jumlah pekerja formal yang dicakup oleh SHI berjumlah
sekitar 30 % dari penduduk. Penduduk miskin dan pekerja informal berjumlah
sekitar 60 %. Mereka ini tidak mampu untuk membayar iuran jaminan kesehatan.
Untuk itu pemerintah melakukan subsidi yang diambil dari anggaran pemerintah
dan juga sumbangan 1 % dari pendapatan pekerja formal. Program jaminan
kesehatan bersubsidi ini dilaksanakan melalui pemerintah daerah. Pemerintah
daerah melakukan seleksi untuk memilih siapa yang berhak menerima bantuan uang
iuran jaminan kesehatan. Setelah pemerintah daerah menentukan siapa yang berhak
menerima maka pemerintah pusat mengirim dana tadi ke pemerintah daerah dan dana
tersebut dibayarkan sebagai uang premi jaminan kesehatan kepada perusahaan
penyelenggara jaminan kesehatan yang dipilih oleh pekerja informal dan penduduk
miskin tadi. Dari 60% penduduk yang tergolong pekerja informal dan miskin tadi
hanya sekitar 30 % yang berhak untuk memperoleh bantuan jaminan kesehatan atau
hanya sekitar 20 % dari populasi. Dengan demikian masih ada sekitar 40 %
penduduk yang tidak tercakup dalam program jaminan kesehatan. Mereka ini tidak
tergolong miskin sehingga tidak berhak untuk memperoleh bantuan jaminan
kesehatan tetapi tidak cukup mampu untuk membayar premi SHI sebesar 11 % dari
pendapatan. Selain itu kebanyakan masyarakat yang dicakup adalah masyarakat
perkotaan dan hanya sebagian masyarakat perdesaan. Ini merupakan tantangan
berat yang sedang terus diupayakan untuk dipecahkan oleh pemerintah Kolombia.
Model jaminan kesehatan di negara Chili juga merupakan model lain
yang menarik untuk dipertimbangkan. Reformasi jaminan kesehatan di Chili
dilakukan mulai tahun 1980an. Jaminan kesehatan dibagi dua, bagi peserta yang
mampu mengikuti program kesehatan yang disebut dengan ISAPRE sedangkan bagi
yang tidak mampu mengikuti program yang disebut FONASA. ISAPRE adalah program
asuransi jaminan kesehatan yang terdiri dari 18 perusahaan asuransi kesehatan
swasta. Kriteria dari mampu atau tidak adalah dengan melihat 7 % dari
pendapatan calon peserta. Seandainya 7 % dari pendapatan calon peserta sesuai
dengan premi yang harus dibayarkan kepada ISAPRE maka pekerja tadi dapat
memilih untuk masuk sebagai peserta ISAPRE atau FONASA. Namun bila penghasilan
pekerja tadi tidak mencukupi maka tidak ada pilihan kecuali menjadi peserta
FONASA.
ISAPRE didanai dari iuran peserta yang besarnya adalah 7 % dari
pendapatan pekerja dan bagi yang menginginkan manfaat yang lebih luas dapat
membayar iuran tambahan. ISAPRE ini lah yang menjual paket-paket asuransi
kesehatan kepada pekerja. Sampai saat ini ada kurang lebih 10.000 paket
kesehatan yang dapat dibeli melalui ISAPRE. Untuk melaksanakan pelayanan kesehatan
ISAPRE bekerja sama dengan penyelenggara layanan kesehatan swasta. Pemerintah
menetapkan standar manfaat kesehatan yang harus dipenuhi oleh ISAPRE tetapi
pemerintah tidak memberikan subsidi kepada ISAPRE. Sedangkan FONASA murni
dikelola oleh pemerintah, selain dibiayai dari 7 % iuran pekerja pemerintah
juga memberikan tambahan sebesar iuran yang terkumpul dari pekerja. Jaringan
penyedia layanan kesehatan FONASA adalah gabungan antara penyedia layanan
kesehatan pemerintah dan swasta.
Pertimbangan Teoritis Dalam Merancang Jaminan Sosial Kesehatan
Bentuk penyelenggaraan jaminan
kesehatan sangat berbeda antara penyelenggaraan jaminan kesehatan di Kolombia
dan di Chili. Kalau kita ingin mencermati lebih dalam, sebetulnya apa yang
ingin dicapai dari masing-masing cara penyelenggaraan jaminan kesehatan yang
berbeda tersebut?
Menghindari
kegagalan pasar untuk pasar asuransi kesehatan. Masalah terbesar dalam
pasar asuransi kesehatan adalah adanya informasi yang sangat asimetris antara
perusahaan asuransi dengan peserta berkaitan dengan resiko yang dihadapi oleh
perusahaan. Orang yang paling mengetahui mengenai kondisi
kesehatannya adalah si peserta itu sendiri. Bagi perusahaan akan sangat mahal
untuk mengetahui kondisi kesehatan dari masyarakat peserta dengan akurat.
Membiarkannya kepada pasar akan berakibat tidak terpenuhinya jaminan kesehatan
bagi masyarakat miskin dan para lanjut usia. Salah satu jalan, walaupun bukan first
best, adalah mewajibkan perusahaan asuransi mengenakan premi sebesar resiko
kesehatan rata-rata masyarakat. Dengan demikian diharapkan dapat terjadi subsidi
silang antara yang mampu dan yang tidak mampu. Tetapi cara ini akan memberikan
insentif bagi peserta yang mempunyai resiko kesehatan kecil untuk tidak
mengikuti program tersebut karena premium yang dibayarkan lebih tinggi dari
resiko yang dihadapi. Sebaliknya bagi perusahaan asuransi akan lebih memilih
peserta yang mempunyai resiko kecil. Penyelenggaraan jaminan kesehatan di
Kolombia dirancang untuk menghindari hal ini dengan mewajibkan setiap pekerja
yang mampu untuk mengikuti program jaminan kesehatan, sedangkan bagi yang tidak
mampu ditangani oleh pemerintah.
Menghindari kegagalan pasar untuk pasar jasa pelayanan kesehatan. Masalah terbesar dalam pasar ini juga adanya informasi yang asimetris
antara pasien dan pemberi jasa pelayanan kesehatan berkaitan dengan persepsi
pelayanan kesehatan. Sebagai contoh, bagi pasien yang terpenting adalah
cepatnya pelayanan diberikan, dari sisi dokter ketelitian sehingga membutuhkan
waktu pemeriksaan yang lebih lama merupakan hal yang penting. Bila dibiarkan
kepada pasar maka kompetisi akan terfokus kepada cepatnya pelayanan tetapi
berpotensi mengorbankan kualitas. Permasalahan ini merupakan tantangan dari
sistem penyelenggaraan jaminan kesehatan di Kolombia.
Menghindari kegagalan pemerintah. Untuk mengatasi
kegagalan pasar pemerintah melakukan intervensi. Namun intervensi yang
dilakukan bukan tanpa masalah. KKN adalah salah satu kegagalan pemerintah yang
sering dijumpai di negara manapun. Tetapi tanpa adanya regulasi pemerintah,
perilaku rent-seeking dari berbagai pelaku akan sulit dihindari.
Pengalaman Kolombia dalam mengundang pihak swasta untuk berpartisipasi
diimbangi oleh regulasi yang jelas dari pemerintah. Baik pemerintah ataupun
pasar secara sendiri-sendiri tidak dapat memecahkan masalah, untuk itu tetap
dibutuhkan peran dari keduanya.
Menghindari
masalah pembiayaan dikemudian hari. Dalam perdebatan mengenai sistem jaminan
kesehatan yang adil sering dikemukakan bahwa masyarakat membayar sesuai dengan
kemampuannya tetapi dalam memperoleh pelayanan kesehatan tergantung dari
kebutuhannya. Dari sinilah timbul gagasan yang disebut dengan pooling
dana. Dengan dana yang dikumpulkan dimungkinkan terjadi subsidi silang dari
masyarakat yang beresiko rendah tetapi mampu kepada masyarakat yang beresiko
tinggi tetapi tidak mampu. Tetapi cara pooling ini bukan tanpa masalah,
semakin besar pooling ini maka premi yang dibayar oleh peserta menjadi
tidak terkait dengan resiko yang dihadapi oleh peserta tadi. Hal ini
menimbulkan insentif bagi yang mampu tetapi beresiko kecil untuk menghindari
pembayaran iuran. Dengan kata lain, bagi sebagian masyarakat, manfaat yang
diterima tidak sebanding dengan premi yang harus dibayarkan. Sistem jaminan
kesehatan yang ada di Kolombia menghadapi masalah ini. Chili berusaha mengatasi
masalah ini dengan tidak melakukan pooling dana diantara ISAPRE apalagi
dengan FONASA. Sistem di Kolombia didesain agar para perusahaan asuransi
memfokuskan pada pelayanan yang dapat menekan biaya serendah mungkin melalui
resiko yang ditanggung bersama. Sebaliknya ISAPRE di Chili kurang mempunyai
insentif untuk menekan biaya karena ISAPRE bertindak sebagai perusahaan
asuransi dimana perserta dapat membayar lebih untuk layanan yang lebih baik.
Selain itu, hal
yang dapat kita cermati dari sistem jaminan kesehatan di Kolombia dan Chili
adalah digunakannya sistem asuransi melalui cara defined contribution
bagi masyarakat yang dianggap mampu serta adanya kebebasan bagi masyarakat
untuk memilih perusahaan penyelenggara jaminan kesehatan. Peran pemerintah
masih sangat besar terutama dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi
masyarakat miskin tetapi tidak menghilangkan keikutsertaan perusahaan swasta. Adanya pilihan ini sudah
tentu sangat penting bagi masyarakat dalam upaya memperoleh layanan jaminan
kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhannya.
IV. Usulan Penyempurnaan
Para peserta seminar BAPPENAS Menuju Suatu Sistem Jaminan
Sosial Yang Dapat Diimplementasikan sepakat bahwa Indonesia membutuhkan
adanya suatu sistem jaminan nasional yang dapat dilaksanakan, efisien, serta
adil. Namun demikian dengan RUU Sistem Jaminan Sosial Nasional yang sedang
dibahas oleh DPR dirasakan banyak hal yang perlu disempurnakan.
Dari pengalaman
berbagai negara yang melakukan reformasi sistem jaminan sosial sesungguhnya
kita mempunyai banyak pilihan. Sudah tentu tidak ada satu model yang serta
merta cocok dengan keadaan Indonesia. Namun demikian model apapun yang akan
dipilih harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi, struktur pasar
kerja, keterbatasan anggaran pemerintah, serta yang terpenting adanya pilihan
bagi pekerja untuk dapat memilih perusahaan penyelenggara jaminan sosial.
Selain itu pengalaman baik dan buruk dari negara lain sebaiknya kita jadikan
bahan pertimbangan. Secara umum usulan para peserta seminar untuk
menyempurnakan RUU Sistem Jaminan Sosial Nasional, adalah sebagai berikut:
1.
Membangun konsensus serta
melakukan analisa aktuaria. Disarankan untuk membentuk kelompok kerja yang
terdiri dari seluruh stakeholders meliputi serikat pekerja, pengusaha,
peneliti dan akademisi, pelaksana program jaminan sosial yang ada, serta dari
pihak pemerintah. Kelompok kerja ini melapor kepada panitia kerja DPR yang
sedang membahas RUU JAMSOSNAS. Kelompok kerja ini bertugas untuk mencari
konsensus dalam bentuk jaminan sosial yang diinginkan, siapa penerimanya, serta
siapa pelaksananya. Selain itu kelompok kerja melakukan analisa aktuaria untuk
mengetahui besarnya biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan program JAMSOSNAS.
2.
Saran di atas memang
membutuhkan waktu yang cukup lama, namun demikian untuk pengembangan suatu
program JAMSOSNAS yang komprehensif disarankan untuk dilakukan. Dalam waktu
yang pendek beberapa perbaikan yang dapat dilaksanakan adalah: Pertama,
merancang sistem JAMSOSNAS tiga pilar. Dengan demikian penanganan pekerja
informal dan masyarakat miskin dilakukan tersendiri. Kedua, mengganti skema defined
benefit menjadi defined contribution bagi program pensiun. Ketiga,
melibatkan pihak swasta dalam memberikan pelayanan agar masyarakat mempunyai
pilihan. Dengan demikian tidak perlu melebur perusahaan penyelenggara jaminan
sosial milik pemerintah yang sudah ada. Keempat, melakukan analisa aktuaria
untuk mengetahui berapa biaya yang dibutuhkan serta bagaimana membiayainya.
Beberapa permasalahan pokok beserta saran dilampirkan dalam tabel berikut.
Tabel 1
Beberapa Permasalahan Pokok Dalam RUU JAMSOSNAS
Materi Dalam RUU
|
Isu dan Saran Pelaksanaannya
|
Skema defined benefit dalam program jaminan pensiun.
|
Program jaminan pensiun menggunakan skema defined benefit
merupakan skema
yang sudah sejak lama dianut di banyak negara tetapi skema ini rawan
insolvensi keuangan, mudah terjebak dalam ketidakmampuan untuk membayar utang
tepat waktu.
Saran:
Mengganti skema defined benefit menjadi defined contribution.
Selanjutnya melakukan analisa aktuaria.
|
Menjanjikan manfaat hari tua yang dibayarkan semuanya sekaligus pada saat
pensiun berdasarkan skema defined contribution (sama seperti skema
Jamsostek).
|
Sudah benar untuk menggunakan skema defined contribution. Dengan
demikian yang terpenting adalah menjaga agar investasi yang dilakukan
memberikan manfaat yang besar.
Saran:
Melibatkan sektor swasta dalam pelaksanaannya. Pengelolaan investasi
melalui sektor publik seringkali memberikan tingkat manfaat yang lebih rendah
dibandingkan dengan skema-skema yang dikelola secara kompetitif.
|
Jaminan kesehatan sosial.
|
Pelaksanaan jaminan kesehatan hanya melalui satu perusahaan berpotensi
pada pelayanan yang tidak memuaskan. Adanya pilihan bagi masyarakat merupakan
esensi kehidupan bermasyarakat dalam era demokrasi.
Saran:
Masyarakat menginginkan adanya pilihan dalam memilih perusahaan
penyelenggara jaminan kesehatan. Penyelenggara jaminan kesehatan swasta harus
dilibatkan. Seperti Kolombia misalnya, terdapat 28 perusahaan yang dapat
dipilih.
|
Materi Dalam RUU
|
Isu dan Saran Pelaksanaannya
|
Dewan wali amanat (trust) tripartit terdiri dari wakil-wakil
pemerintah, pengusaha dan serikat pekerja, diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.
|
Tidak jelas, bagaimana suatu ‘dewan wali amanat’ akan dapat melindungi
lembaga jaminan sosial yang dimonopoli oleh negara dari campur tangan
politik.
Saran:
Penyelenggaraan jaminan sosial sebaiknya tidak dilaksanakan melalui satu
pilar satu pelaku. Disarankan untuk menggunakan penyelenggaraan 3 pilar.
|
Penyelenggara asuransi dan jaminan sosial yang sudah ada seperti Taspen,
Jamsostek, ASKES akan dilaksanakan di bawah bimbingan dewan wali amanat.
Tujuan dasarnya adalah supaya semua lembaga tersebut akhirnya dapat
digabungkan menjadi satu lembaga negara.
|
Lembaga-lembaga jaminan sosial yang dimonopoli negara cenderung tidak
efisien, memberikan pelayanan yang buruk, dan rawan korupsi.
Saran:
Diinginkan kerangka kompetitif yang memberikan beberapa kemungkinan pada
pekerja untuk memilih sendiri manajer dan perusahaan penyelenggara asuransi
yang mereka kehendaki sesuai dengan kebutuhannya. Penyelenggara yang sudah
ada lebih baik diminta untuk memperbaiki kinerjanya tanpa harus digabung.
|
Materi Dalam RUU
|
Isu dan Saran Pelaksanaannya
|
Program JAMSOSNAS, utamanya jaminan kesehatan, bersifat wajib untuk semua
pekerja, termasuk pekerja informal.
|
Tidak mungkin mengikutsertakan pekerja informal dalam skema iuran. Akan
sangat mahal untuk memungut iuran dari pekerja informal yang jumlahnya jauh
lebih besar dari pekerja formal dan tempatnya yang sangat tersebar. Dalam
program JAMSOSTEK, untuk pekerja formal saja tidak sampai setengahnya yang
secara teratur membayar iuran.
Saran:
Oleh sebab itu hendaknya dibentuk program terpisah untuk jaminan sosial
bagi pekerja informal dan masyarakat miskin yang dibiayai dari pajak secara
umum.
|
Pengenaan pajak atas upah (payroll taxes) sebesar 17-20% bagi
pekerja untuk membiayai program JAMSOSNAS.
|
Pengenaan tambahan pungutan yang tinggi cenderung menyebabkan orang
berusaha mengelak membayar pajak dan
hilangnya lapangan pekerjaan formal. Pekerja yang berupah rendah dan biasanya tidak terampil
serta usia muda biasanya akan lebih dahulu menjadi korban hilangnya lapangan
kerja formal.
Saran:
Dilakukan analisa yang mendalam mengenai dampak pengenaan pajak atas upah
terhadap penciptaan kesempatan kerja.
|
Sumber: Lokakarya Internasional Menuju Suatu Sistem
Jaminan Sosial Yang Dapat Diimplementasikan, diselenggarakan oleh
BAPPENAS, tanggal 24 Juni 2004, di Hotel Borobudur, Jakarta.
Lokakarya
Satu Hari
Menuju
Suatu Sistem Jaminan Sosial Yang Dapat Diimplementasikan
Pembicara:
1.
Dr. Soekarno Wirokartono
Deputi
Bidang Ekonomi, BAPPENAS
2.
Dra. Leila Retna Komala, MA
Deputi Bidang
Sumber Daya Manusia & Kebudayaan, BAPPENAS
3.
Dr. Bambang Widianto
Direktur
Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi, BAPPENAS
4.
Dr. Estelle James
International
Pension Specialist, USA
5.
Alex Arifianto
Lembaga
Penelitian SMERU
6.
Rizaldy Capulong
Deputy Chief of
the Actuarial Department
Philippine Social
Security Commission
7.
Professor Mukul Asher
National
University of Singapore
8.
Ramon Castono - Yepes
Health
Specialist, Colombia
9.
Dr. Mochammad Ikhsan
LPEM - FEUI
10. Menno Pradhan
World Bank
11. John Anggelini
Asian Development
Bank
Moderator:
1.
Rekson Silaban
Ketua Umum
Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(SBSI)
2.
Ari Perdana
CSIS
3.
Bismo Sanyoto
Sektretaris
Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(SBSI)
No comments:
Post a Comment