Saturday, February 16, 2013

MEMBANGUN SISTEM JAMINAN SOSIAL


YANG DAPAT TERLAKSANA, EFISIEN, DAN ADIL

Pendahuluan

Laporan ini merupakan ringkasan diskusi dalam seminar sehari dengan tema Menuju Suatu Sistem Jaminan Sosial Yang Dapat Diimplementasikan yang diselenggarakan oleh BAPPENAS. Berbagai kekuatan dan kelemahan dalam Rancangan Undang-undang Jaminan Sosial Nasional (RUU JAMSOSNAS) dibahas dalam seminar sehari tersebut. Untuk memperluas cakrawala, seminar membahas pula pengalaman negara lain dalam penerapan sistem jaminan sosial.
Laporan ini akan dibagi kedalam 4 bagian. Bagian pertama, mengulas RUU JAMSOSNAS sebagai latar belakang serta pandangan berbagai pihak atas RUU tersebut. Bagian kedua, membahas berbagai isu penting berkaitan dengan pengembangan sistem jaminan sosial. Bagian ketiga membahas beberapa alternatif sistem JAMSOSNAS  berdasarkan pengalaman negara lain. Bagian keempat membahas usulan perbaikan bagi penyempurnaan RUU JAMSOSNAS.

I.              Latar Belakang

Gagasan utama dalam RUU JAMSOSNAS yang sedang dibahas oleh DPR antara lain adalah sebagai berikut:
1.           JAMSOSNAS untuk pensiun dilaksanakan melalui badan tunggal pemerintah (monopoli) menggunakan apa yang disebut dengan manfaat pasti (defined benefit) yang dibiayai secara pay-as-you-go melalui iuran dari pekerja dan pemberi kerja.
2.           Untuk jaminan kesehatan dilaksanakan pula melalui suatu badan tunggal pemerintah yang dibiayai melalui iuran pekerja, pemberi kerja dan pemerintah. Manfaat pelayanan yang diberikan cukup komprehensif, mulai dari pelayanan preventif seperti imunisasi dan pelayanan keluarga berencana sampai pelayanan penyakit  berat seperti penyakit jantung dan gagal ginjal.
3.           JAMSOSNAS, utamanya untuk jaminan kesehatan, akan mencakup seluruh pekerja formal dan informal serta masyarakat miskin.
4.           Dibentuk suatu Dewan Tripartit yang akan mengawasi kebijakan JAMSOSNAS dan pelaksanaannya termasuk membawahi lembaga pemerintah yang menangani jaminan sosial.
5.           Mengubah Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) dari badan usaha milik negara yang berorientasi laba menjadi organisasi nir-laba.
Sangat jelas bahwa masyarakat menginginkan adanya suatu jaminan sosial terutama jaminan sosial dalam bentuk uang pensiun dan jaminan kesehatan. Namun demikian, terdapat berbagai desakan untuk mempertajam dan memikirkan kembali beberapa rumusan dalam RUU JAMSOSNAS. Desakan datang dari berbagai stakeholders termasuk dari pekerja, pengusaha, badan-badan pemerintah yang menangani asuransi dan jaminan sosial, berbagai lembaga penelitian, serta berbagai pakar termasuk pakar ekonomi dan sosial. Beberapa hal yang perlu dipertajam dan dilakukan penelitian yang mendalam adalah:
1.           Keberlanjutan jangka panjang dari pembiayaan JAMSOSNAS. Program pensiun menggunakan defined benefit dan pay-as-you-go membutuhkan kecermatan dan kedalaman dalam memperhitungkan arus penerimaan dan pengeluarannya dalam jangka panjang.
2.           Cakupan program. Program JAMSOSNAS yang mencakup seluruh pekerja formal, informal dan masyarakat miskin dalam satu payung perlu dikaji dengan baik kelayakannya (feasibility).
3.           Monopoli penyelenggara. JAMSOSNAS secara terpusat akan menghilangkan pilihan bagi masyarakat untuk menentukan jenis dan perusahaan jaminan sosial yang  sesuai dengan kebutuhannya. Disamping itu, pemusatan terhadap satu lembaga untuk menangani JAMSOSNAS akan rawan dari  penyalahgunaan dan intervensi politik.
4.           Dampak peningkatan kontribusi dari para pekerja, pengusaha dan pemerintah yang besarnya diperkirakan berkisar antara 7–20 %. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai dampak peningkatan kontribusi terhadap penciptaan kesempatan kerja terutama pekerja dengan upah sekitar upah minimum.
5.           Proses penyusunan RUU. Berbagai stakeholders merasa tidak dilibatkan oleh komite JAMSOSNAS yang terkesan bekerja secara tertutup. Komite JAMSOSNAS tidak pernah memberikan perhitungan besarnya biaya yang dibutuhkan (analisa aktuaria) serta dampaknya terhadap peningkatan kontribusi bagi pekerja, pengusaha dan pemerintah. Sampai saat ini belum tergambar secara jelas adanya kajian dan analisa mengenai besarnya iuran, siapa yang akan menanggung, serta bagaimana manajemen keuangan akan dilaksanakan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

II.           Isu Strategis Dalam Mengembangkan JAMSOSNAS

Apabila suatu pemerintahan mencanangkan untuk melaksanakan suatu sistem jaminan sosial, sebenarnya pemerintah tersebut berjanji kepada para pekerja dan anggota keluarganya akan masa depan kesejahteraan mereka. Janji ini tidak saja diberikan kepada para pekerja pada saat ini yang akan pensiun dalam jangka waktu 15 sampai 30 tahun mendatang, tetapi mencakup juga generasi pekerja yang akan datang. Bila janji tersebut gagal dipenuhi maka kredibilitas pemerintah yang telah dibangun dengan susah payah akan sulit dipulihkan. Pengalaman negara lain dalam mengelola program pensiunnya seringkali menunjukkan bahwa pemerintahan berikutnya biasanya gagal dalam memenuhi janjinya yang disebabkan karena perhitungan yang tidak tepat. Ketidaktepatan perhitungan biasanya karena terlalu tingginya perkiraan (over estimate) akan pemasukan dan rendahnya perkiraan (under estimate) akan biaya yang harus ditanggung dari program tersebut. Akibatnya generasi berikutnya harus menanggung beban dengan membayar pajak lebih tinggi atau memperoleh santunan jaminan sosial dengan jumlah yang lebih kecil dari yang dijanjikan. Baru-baru ini Pemerintah Jepang mengumumkan kepada rakyatnya bahwa manfaat yang diperoleh oleh para pensiunan akan dikurangi agar program pensiun dapat berkelanjutan. Sedangkan di Philipina, pemerintah terpaksa meningkatkan pajak dan tidak menaikkan santunan sejak tahun 2001. Dengan demikian perencanaan dalam pengembangan JAMSOSNAS merupakan sesuatu yang sangat serius. Perencanaan untuk membangun JAMSOSNAS harus dipikirkan secara matang dengan menyerap masukan dari semua pihak serta didasarkan pada ekspektasi yang realistis. Beberapa isu strategis dalam pengembangan JAMSOSNAS adalah sebagai berikut:
1.           Tujuan dari kebijakan publik yang diambil. JAMSOSNAS adalah suatu kebijakan publik dengan demikian harus jelas tujuan yang ingin dicapai. Apakah tujuannya mendorong agar pekerja formal menabung bagi hari tuanya? Apakah tujuannya agar pekerja formal mengasuransikan dirinya terhadap penyakit berat dan kecelakaan? Apakah sistem JAMSOSNAS yang akan kita laksanakan direncanakan untuk memiliki unsur pemerataan? Apakah tujuannya untuk juga melindungi pekerja informal? Untuk memenuhi tujuan yang berbeda tersebut diperlukan berbagai kebijakan dan program yang berbeda pula. Misalnya, program JAMSOSNAS yang mengharuskan peserta untuk mengiur sangat tidaklah tepat bagi pekerja informal. Pekerja informal di Indonesia jumlahnya sangat besar (sekitar 70% dari angkatan kerja) dan sangat tersebar diseluruh pelosok perdesaan sampai perkotaan. Biaya untuk memungut iuran ini akan sangat mahal dan tidak sebanding dengan jumlah iuran yang dapat dikumpulkan. Dengan kata lain kuranglah tepat kalau program JAMSOSNAS akan dibangun hanya menggunakan satu pilar untuk mencakup semua jenis manfaat dan mencakup seluruh lapisan masyarakat. Program JAMSOSNAS harus dibangun melalui beberapa pilar. Bagi masyarakat miskin program JAMSOSNAS akan lebih baik diselenggarakan melalui program tersendiri yang dibiayai oleh  dana pemerintah.
2.           Keberlanjutan pembiayaan JAMSOSNAS. Cara pembiayaan yang berbeda sangat mempengaruhi keberlanjutan pembiayaan (financial sustainability) dari program jaminan sosial. Untuk itu, pada saat kita merancang sistem jaminan sosial, perlu diketahui dengan benar apa implikasi yang timbul dari skenario pembiayaan yang berbeda. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa, program pensiun yang menjanjikan defined benefit dibiayai dari pungutan dari pekerja (payroll taxes) dan menggunakan cara pay-as-you-go, biasanya mengalami kesulitan keuangan dan akhirnya menyebabkan hutang publik yang besar. Program kesehatan universal yang dikelola oleh negara biasanya berujung pada kesulitan keuangan. Banyak negara maju maupun berkembang, yang mulai mengembangkan program pensiun seperti di atas sekitar pertengahan abad ke 20, untuk 40 tahun pertama memang dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan orang yang bekerja jumlahnya masih banyak sedangkan orang yang pensiun pada saat program dimulai masih sedikit. Tetapi pada saat banyak orang memasuki masa pensiun dan rasio dari jumlah pekerja dengan jumlah orang pensiun mengecil maka biaya yang harus dikeluarkan meningkat dengan pesat sementara pemasukan tidak berubah banyak. Hal ini terjadi pada negara tetangga kita Philipina. Pemerintah Philipina memperkenalkan program pensiun menggunakan defined benefit pada tahun 1950 dengan kontribusi 6 % dari gaji pekerja. Pada tahun 1990 pemerintah Philipina mulai merasakan kesulitan yang diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus dikeluarkan karena jumlah orang yang pensiun mencapai puncaknya. Biaya yang harus ditanggung meningkat dari 1 % PDB pada tahun 1990 menjadi 4 % PDB pada tahun 1999, hutang publik yang ditimbulkannya adalah US 21 miliar pada tahun 2000. Untuk menanggulangi ini pemerintah Philipina meningkatkan kontribusi menjadi 9,4 % dan tidak meningkatkan manfaat sejak tahun 2001. Dengan demikian dapat diambil pelajaran bahwa skema jaminan sosial menggunakan defined benefit sangat rawan terhadap kesulitan keuangan di masa depan. Banyak negara sekarang berpindah ke skema iuran pasti (defined contribution) yang mengaitkan antara iuran yang dibayarkan oleh pekerja dengan besarnya manfaat yang akan diperoleh. Untuk itu kecermatan perhitungan aktuaria sangat dibutuhkan. Sebagai gambaran, pada saat ini hanya sekitar 10 % penduduk Indonesia menjadi anggota dana pensiun dan hanya 15 % yang mempunyai asuransi kesehatan. Program TASPEN yang sekarang berjalan mewajibkan setiap pegawai negeri membayar iuran sebesar 4,75 % dari pendapatannya kepada PT TASPEN. Pada saat ini pemerintah sebagai pemberi kerja memang belum ikut memberikan iuran, tetapi pada saat membayar uang pensiun pegawai, dengan menggunakan skema defined benefit, pemerintah membayar 77,5 % yang dibebankan kepada APBN. Sisanya dibayar oleh PT TASPEN. Dana pensiun bagi pegawai negeri tersebut diperkirakan akan mengalami defisit pada tahun 2006. Kalau JAMSOSNAS dimaksudkan untuk mencakup seluruh masyarakat maka perlu dilakukan studi yang mendalam mengenai jumlah biaya yang diperlukan serta sumber pembiayaannya. Pengembangan program JAMSOSNAS dengan mengabaikan perhitungan aktuaria akan menimbulkan beban dikemudian hari.
3.           Peranan pemerintah dan swasta dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Berdasarkan pengalaman negara lain program pensiun yang dikelola oleh pemerintah memberikan tingkat manfaat (return) yang kecil kepada para pekerja dibandingkan dengan program yang dikelola oleh swasta. Selain itu pelayanan yang diberikan juga kadang kurang memuaskan dibandingkan dengan program yang dikelola oleh swasta. Manajer investasi program pensiun swasta mempunyai insentif yang lebih tinggi untuk melakukan investasi yang terbaik, namun demikian bukan berarti pengelolaan oleh swasta bukan tanpa masalah. Untuk itu peranan pemerintah dalam regulasi keuangan program pensiun serta dalam pengawasan sangat diperlukan. Dalam kasus negara berkembang seperti Indonesia peran pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelenggarakan program JAMSOSNAS pasti masih akan besar. Namun demikian bukan berarti menghilangkan peran stakeholders lainnya. Lebih jauh lagi sebenarnya pengembangan suatu sistem JAMSOSNAS jangan sampai menghilangkan kebebasan bagi calon peserta untuk memilih program dan perusahaan mana yang sesuai dengan kebutuhannya. Isu good governance dalam pelaksanaan JAMSOSNAS perlu mendapat perhatian terutama di negara yang birokrasinya terkenal sarat dengan KKN. Program yang sudah ada seperti JAMSOSTEK mempunyai angka tunggakan iuran yang tinggi, nilai pengembalian investasi yang rendah, serta manfaat yang rendah pula. Dari potensi peserta JAMSOSTEK yaitu 22 juta pekerja formal, hanya sekitar 9 juta yang benar-benar secara teratur membayar iuran tiap bulannya. Bila pelaksanaan terpusat hanya pada birokrasi pemerintah tanpa memberikan ruang gerak bagi pihak swasta maka rasanya akan sulit untuk mendorong terciptanya sistem JAMSOSNAS yang efisien.
4.           Dampak program jaminan sosial terhadap penciptaan kesempatan kerja. Kalau kita cermati pasar tenaga kerja pada saat ini maka akan jelas terlihat bahwa jumlah pekerja informal masih lebih dari dua kali jumlah pekerja formal. Jumlah pekerja informal pada saat ini berjumlah sekitar 70 juta orang sedangkan pekerja formalnya berjumlah sekitar 30 juta orang. Dapat dibayangkan kesulitan yang akan dihadapi kalau pekerja informal yang jumlahnya 70 juta dan tersebar diseluruh pelosok Indonesia harus mengiur program JAMSOSNAS. Dilihat dari pendapatannya maka pekerja kita baik di desa dan di kota yang berstatus kepala rumah tangga masih didominasi oleh mereka yang berpendapatan antara 600-800 ribu rupiah perbulannya. Mereka yang berstatus kepala rumah tangga yang berpendapatan di atas 1 juta rupiah perbulan hanyalah sekitar 4,5 juta orang. Upah minimum di DKI saat ini sekitar 800 rupiah perbulannya. Dengan upah minimum sebesar inipun masih banyak pekerja yang memperoleh upah di bawah upah minimum. Dan mereka yang beruntung memperoleh upah minimum masih merasakan betapa beratnya memenuhi kebutuhan untuk hidup sehari-hari. Dengan demikian peningkatan iuran bagi pekerja bila tidak direncanakan dengan baik bisa jadi memberatkan dan bahkan berpotensi mengurangi kesempatan kerja formal. Angka-angka ini bisa saja tidak akurat, namun demikian kecermatan perhitungan konsekuensi biaya yang diperlukan untuk mendanai program JAMSOSNAS tidak dapat diabaikan begitu saja. Keadaan pasar tenaga kerja masih belum menggembirakan. Lapangan pekerjaan formal terus berkurang selama kurun waktu 2001 sampai 2003. Padahal diketahui bahwa sebagian besar dari pekerja kita di sektor tersebut adalah pekerja yang kurang terampil (sekitar 50 % adalah lulusan SD dan SD ke bawah). Dengan demikian bila sampai mereka di PHK dari pekerjaan formal maka dapat terbayangkan akan sangat lama bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan formal lagi. Untuk itu menjaga agar lapangan kerja formal tetap bertumbuh adalah cita-cita kita bersama. Apabila iuran yang nantinya akan dipungut untuk membiayai program JAMSOSNAS dirasakan sangat berat baik oleh pekerja maupuan pemberi kerja maka kemungkinan menciutnya lapangan pekerja formal tidak dapat dihindari. Parahnya lagi adalah bahwa korban dari PHK tadi biasanya adalah pekerja yang kurang terampil atau pekerja yang berusia muda atau pekerja wanita. Bertambahnya pengangguran usia muda sangat tidak menguntungkan mengingat jumlah penganggur usia muda terus meningkat jumlahnya beberapa tahun terakhir ini.




III.        Pengalaman Negara Lain

Penyelenggaraan Jaminan Sosial Nasional:
1.           Pengalaman internasional menunjukkan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial dilaksanakan melalui tiga pilar dengan penyelenggara yang berbeda. Banyak negara baik negara maju maupun berkembang melakukan perombakan, terutama yang berkaitan dengan skema defined benefit, dalam rangka menghindari kesulitan di kemudian hari. Perombakan sistem jaminan sosial kebanyakan menuju sistem jaminan sosial tiga pilar. Pilar pertama adalah sistem JAMSOSNAS yang merupakan program jaring pengaman sosial. Program ini dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk melindungi penduduk usia lanjut atau mereka yang tergolong miskin. Dalam hal ini maka skema defined benefit dapat digunakan secara hati-hati. Namun cakupan dan ragam dari program ini sangat tergantung dari kemampuan pemerintah. Pilar kedua adalah sistem JAMSOSNAS bagi pekerja formal dengan skema defined contribution. Manfaat yang akan diperoleh sesuai dengan jumlah iuran yang dipungut. Program ini dapat dilaksanakan oleh swasta dan pemerintah. Pilar ketiga merupakan program sukarela untuk peserta yang menginginkan manfaat yang lebih baik bagi kebutuhan hari tua mereka. Akan sangat tidak bijaksana bila memaksakan sistem JAMSOSNAS bagi negara besar dan beragam ini ke dalam satu pilar.
2.           Pemerintah mempunyai beberapa peran penting. Pertama, pemerintah berperan dalam membuat regulasi yang berkaitan dengan rambu-rambu pengelolaan dana JAMSOSNAS. Kedua, pemerintah diharapkan tetap berperan untuk melaksanakan pilar JAMSOSNAS yang merupakan bagian dari sistem jaring pengaman sosial. Misalnya di Nepal, pemerintah di sana memberikan manfaat yang merata bagi orang lanjut usia (berusia di atas 70 tahun) yang tidak mampu.
3.           Kesempatan dalam memilih perusahaan yang melaksanakan JAMSOSNAS. Sekitar 30 negara menggunakan sistem jaminan sosial tiga pilar. Namun demikian negara-negara ini menggunakan pendekatan yang berbeda dalam rangka memberikan pilihan bagi peserta dalam memilih perusahaan yang menyelenggarakan jaminan sosial. Di Amerika Latin digunakan apa yang dinamakan model pasar eceran (retail market). Artinya pekerja dapat memilih dengan bebas perusahaan penyelenggara jaminan sosial sesuai dengan kebutuhannya. Kelemahannya adalah banyak sekali pilihan yang kadang membingungkan dan juga dengan harga yang lebih mahal. Negara-negara OECD menggunakan apa yang dinamakan model pasar kelompok (group market). Model ini menyerahkan kepada pemberi kerja dan serikat pekerja untuk memilih perusahaan penyelenggara mana yang akan digunakan oleh  seluruh pekerja dalam perusahaan tersebut. Dengan model ini biaya administrasi menjadi lebih rendah. Model terakhir adalah model pasar kelembagaan (institutional market) dimana pemerintah melakukan pengumpulan dana dari seluruh pekerja dan menegosiasikan dengan perusahaan penyelenggara melalui proses tender yang transparan. Perusahaan internasional atau patungan diperbolehkan mengikuti tender ini. Model ini dapat menekan biaya sekaligus memberikan manfaat yang baik.

Pengalaman Negara Lain Dalam Mengelola Program Jaminan Kesehatan:
Pengalaman negara Kolombia dalam mereformasi program jaminan kesehatannya sangat menarik untuk dikemukakan. Pada awalnya pemerintah Kolombia membatasi pilihan perusahaan asuransi kepada satu perusahaan penyelenggara (monopoli) dalam melaksanakan  program jaminan kesehatannya. Namun karena banyaknya keluhan terhadap kualitas program kesehatan ini maka pemerintah melakukan reformasi yang sangat mendasar. Program jaminan kesehatan pada dasarnya dibagi dua: Pertama adalah asuransi kesehatan wajib bagi pekerja formal yang disebut social health insurance (SHI). Kedua adalah program jaminan kesehatan bagi pekerja informal dan masyarakat miskin.
Pemerintah Kolombia membuka account dimana pekerja formal anggota SHI mengiur sebesar 11 % dari pendapatannya untuk program ini. Pembayaran sebesar 11 % dari pendapatan ini ditanggung 1/3 oleh pekerja dan 2/3 oleh pemberi kerja.  Pengelolaan account ini tidak diserahkan kepada sebuah perusahaan pemerintah tetapi kepada tiga bank. Pemerintah menetapkan standard dan jenis layanan komprehensif yang harus dicakup dalam SHI. Selanjutnya pemerintah melakukan seleksi kepada perusahaan asuransi penyelenggara jaminan kesehatan. Perusahaan yang mengikuti seleksi ini dapat berbentuk perusahaan pemerintah, swasta, atau swasta asing. Dari seleksi ini terpilih 28 perusahaan peserta penyelenggara jaminan kesehatan. Pekerja peserta SHI dapat memilih salah satu dari 28 perusahaan ini sebagai penyelenggara jaminan kesehatan untuk pekerja itu sendiri dan keluarganya. Setelah pekerja menetapkan pilihannya maka uang premi akan dibayarkan dari account tadi langsung kepada perusahaan asuransi penyelenggara jaminan kesehatan. Bila sudah memilih salah satu perusahaan penyelenggara maka pekerja tidak diperbolehkan untuk pindah perusahaan minimal dalam 3 tahun. Perusahaan asuransi penyelenggara jaminan kesehatan ini dapat bekerja sama dengan berbagai rumah sakit pemerintah dan swasta yang ada atau dapat juga melaksanakan sebagian dari pelayanan kesehatannya sendiri.
Program jaminan kesehatan bagi pekerja informal dan masyarakat miskin  disubsidi oleh peserta pekerja formal dan pemerintah. Jumlah pekerja formal yang dicakup oleh SHI berjumlah sekitar 30 % dari penduduk. Penduduk miskin dan pekerja informal berjumlah sekitar 60 %. Mereka ini tidak mampu untuk membayar iuran jaminan kesehatan. Untuk itu pemerintah melakukan subsidi yang diambil dari anggaran pemerintah dan juga sumbangan 1 % dari pendapatan pekerja formal. Program jaminan kesehatan bersubsidi ini dilaksanakan melalui pemerintah daerah. Pemerintah daerah melakukan seleksi untuk memilih siapa yang berhak menerima bantuan uang iuran jaminan kesehatan. Setelah pemerintah daerah menentukan siapa yang berhak menerima maka pemerintah pusat mengirim dana tadi ke pemerintah daerah dan dana tersebut dibayarkan sebagai uang premi jaminan kesehatan kepada perusahaan penyelenggara jaminan kesehatan yang dipilih oleh pekerja informal dan penduduk miskin tadi. Dari 60% penduduk yang tergolong pekerja informal dan miskin tadi hanya sekitar 30 % yang berhak untuk memperoleh bantuan jaminan kesehatan atau hanya sekitar 20 % dari populasi. Dengan demikian masih ada sekitar 40 % penduduk yang tidak tercakup dalam program jaminan kesehatan. Mereka ini tidak tergolong miskin sehingga tidak berhak untuk memperoleh bantuan jaminan kesehatan tetapi tidak cukup mampu untuk membayar premi SHI sebesar 11 % dari pendapatan. Selain itu kebanyakan masyarakat yang dicakup adalah masyarakat perkotaan dan hanya sebagian masyarakat perdesaan. Ini merupakan tantangan berat yang sedang terus diupayakan untuk dipecahkan oleh pemerintah Kolombia.
Model jaminan kesehatan di negara Chili juga merupakan model lain yang menarik untuk dipertimbangkan. Reformasi jaminan kesehatan di Chili dilakukan mulai tahun 1980an. Jaminan kesehatan dibagi dua, bagi peserta yang mampu mengikuti program kesehatan yang disebut dengan ISAPRE sedangkan bagi yang tidak mampu mengikuti program yang disebut FONASA. ISAPRE adalah program asuransi jaminan kesehatan yang terdiri dari 18 perusahaan asuransi kesehatan swasta. Kriteria dari mampu atau tidak adalah dengan melihat 7 % dari pendapatan calon peserta. Seandainya 7 % dari pendapatan calon peserta sesuai dengan premi yang harus dibayarkan kepada ISAPRE maka pekerja tadi dapat memilih untuk masuk sebagai peserta ISAPRE atau FONASA. Namun bila penghasilan pekerja tadi tidak mencukupi maka tidak ada pilihan kecuali menjadi peserta FONASA.
ISAPRE didanai dari iuran peserta yang besarnya adalah 7 % dari pendapatan pekerja dan bagi yang menginginkan manfaat yang lebih luas dapat membayar iuran tambahan. ISAPRE ini lah yang menjual paket-paket asuransi kesehatan kepada pekerja. Sampai saat ini ada kurang lebih 10.000 paket kesehatan yang dapat dibeli melalui ISAPRE. Untuk melaksanakan pelayanan kesehatan ISAPRE bekerja sama dengan penyelenggara layanan kesehatan swasta. Pemerintah menetapkan standar manfaat kesehatan yang harus dipenuhi oleh ISAPRE tetapi pemerintah tidak memberikan subsidi kepada ISAPRE. Sedangkan FONASA murni dikelola oleh pemerintah, selain dibiayai dari 7 % iuran pekerja pemerintah juga memberikan tambahan sebesar iuran yang terkumpul dari pekerja. Jaringan penyedia layanan kesehatan FONASA adalah gabungan antara penyedia layanan kesehatan pemerintah dan swasta.







Pertimbangan Teoritis Dalam Merancang Jaminan Sosial Kesehatan

Bentuk penyelenggaraan jaminan kesehatan sangat berbeda antara penyelenggaraan jaminan kesehatan di Kolombia dan di Chili. Kalau kita ingin mencermati lebih dalam, sebetulnya apa yang ingin dicapai dari masing-masing cara penyelenggaraan jaminan kesehatan yang berbeda tersebut?
Menghindari kegagalan pasar untuk pasar asuransi kesehatan. Masalah terbesar dalam pasar asuransi kesehatan adalah adanya informasi yang sangat asimetris antara perusahaan asuransi dengan peserta berkaitan dengan resiko yang dihadapi oleh perusahaan. Orang yang paling mengetahui mengenai kondisi kesehatannya adalah si peserta itu sendiri. Bagi perusahaan akan sangat mahal untuk mengetahui kondisi kesehatan dari masyarakat peserta dengan akurat. Membiarkannya kepada pasar akan berakibat tidak terpenuhinya jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dan para lanjut usia. Salah satu jalan, walaupun bukan first best, adalah mewajibkan perusahaan asuransi mengenakan premi sebesar resiko kesehatan rata-rata masyarakat. Dengan demikian diharapkan dapat terjadi subsidi silang antara yang mampu dan yang tidak mampu. Tetapi cara ini akan memberikan insentif bagi peserta yang mempunyai resiko kesehatan kecil untuk tidak mengikuti program tersebut karena premium yang dibayarkan lebih tinggi dari resiko yang dihadapi. Sebaliknya bagi perusahaan asuransi akan lebih memilih peserta yang mempunyai resiko kecil. Penyelenggaraan jaminan kesehatan di Kolombia dirancang untuk menghindari hal ini dengan mewajibkan setiap pekerja yang mampu untuk mengikuti program jaminan kesehatan, sedangkan bagi yang tidak mampu ditangani oleh pemerintah.
Menghindari kegagalan pasar untuk pasar jasa pelayanan kesehatan. Masalah terbesar dalam pasar ini juga adanya informasi yang asimetris antara pasien dan pemberi jasa pelayanan kesehatan berkaitan dengan persepsi pelayanan kesehatan. Sebagai contoh, bagi pasien yang terpenting adalah cepatnya pelayanan diberikan, dari sisi dokter ketelitian sehingga membutuhkan waktu pemeriksaan yang lebih lama merupakan hal yang penting. Bila dibiarkan kepada pasar maka kompetisi akan terfokus kepada cepatnya pelayanan tetapi berpotensi mengorbankan kualitas. Permasalahan ini merupakan tantangan dari sistem penyelenggaraan jaminan kesehatan di Kolombia.
Menghindari kegagalan pemerintah. Untuk mengatasi kegagalan pasar pemerintah melakukan intervensi. Namun intervensi yang dilakukan bukan tanpa masalah. KKN adalah salah satu kegagalan pemerintah yang sering dijumpai di negara manapun. Tetapi tanpa adanya regulasi pemerintah, perilaku rent-seeking dari berbagai pelaku akan sulit dihindari. Pengalaman Kolombia dalam mengundang pihak swasta untuk berpartisipasi diimbangi oleh regulasi yang jelas dari pemerintah. Baik pemerintah ataupun pasar secara sendiri-sendiri tidak dapat memecahkan masalah, untuk itu tetap dibutuhkan peran dari keduanya.
Menghindari masalah pembiayaan dikemudian hari. Dalam perdebatan mengenai sistem jaminan kesehatan yang adil sering dikemukakan bahwa masyarakat membayar sesuai dengan kemampuannya tetapi dalam memperoleh pelayanan kesehatan tergantung dari kebutuhannya. Dari sinilah timbul gagasan yang disebut dengan pooling dana. Dengan dana yang dikumpulkan dimungkinkan terjadi subsidi silang dari masyarakat yang beresiko rendah tetapi mampu kepada masyarakat yang beresiko tinggi tetapi tidak mampu. Tetapi cara pooling ini bukan tanpa masalah, semakin besar pooling ini maka premi yang dibayar oleh peserta menjadi tidak terkait dengan resiko yang dihadapi oleh peserta tadi. Hal ini menimbulkan insentif bagi yang mampu tetapi beresiko kecil untuk menghindari pembayaran iuran. Dengan kata lain, bagi sebagian masyarakat, manfaat yang diterima tidak sebanding dengan premi yang harus dibayarkan. Sistem jaminan kesehatan yang ada di Kolombia menghadapi masalah ini. Chili berusaha mengatasi masalah ini dengan tidak melakukan pooling dana diantara ISAPRE apalagi dengan FONASA. Sistem di Kolombia didesain agar para perusahaan asuransi memfokuskan pada pelayanan yang dapat menekan biaya serendah mungkin melalui resiko yang ditanggung bersama. Sebaliknya ISAPRE di Chili kurang mempunyai insentif untuk menekan biaya karena ISAPRE bertindak sebagai perusahaan asuransi dimana perserta dapat membayar lebih untuk layanan yang lebih baik.
Selain itu, hal yang dapat kita cermati dari sistem jaminan kesehatan di Kolombia dan Chili adalah digunakannya sistem asuransi melalui cara defined contribution bagi masyarakat yang dianggap mampu serta adanya kebebasan bagi masyarakat untuk memilih perusahaan penyelenggara jaminan kesehatan. Peran pemerintah masih sangat besar terutama dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin tetapi tidak menghilangkan keikutsertaan  perusahaan swasta. Adanya pilihan ini sudah tentu sangat penting bagi masyarakat dalam upaya memperoleh layanan jaminan kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhannya.

IV.        Usulan Penyempurnaan

Para peserta seminar BAPPENAS Menuju Suatu Sistem Jaminan Sosial Yang Dapat Diimplementasikan sepakat bahwa Indonesia membutuhkan adanya suatu sistem jaminan nasional yang dapat dilaksanakan, efisien, serta adil. Namun demikian dengan RUU Sistem Jaminan Sosial Nasional yang sedang dibahas oleh DPR dirasakan banyak hal yang perlu disempurnakan.
Dari pengalaman berbagai negara yang melakukan reformasi sistem jaminan sosial sesungguhnya kita mempunyai banyak pilihan. Sudah tentu tidak ada satu model yang serta merta cocok dengan keadaan Indonesia. Namun demikian model apapun yang akan dipilih harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi, struktur pasar kerja, keterbatasan anggaran pemerintah, serta yang terpenting adanya pilihan bagi pekerja untuk dapat memilih perusahaan penyelenggara jaminan sosial. Selain itu pengalaman baik dan buruk dari negara lain sebaiknya kita jadikan bahan pertimbangan. Secara umum usulan para peserta seminar untuk menyempurnakan RUU Sistem Jaminan Sosial Nasional,  adalah sebagai berikut:
1.         Membangun konsensus serta melakukan analisa aktuaria. Disarankan untuk membentuk kelompok kerja yang terdiri dari seluruh stakeholders meliputi serikat pekerja, pengusaha, peneliti dan akademisi, pelaksana program jaminan sosial yang ada, serta dari pihak pemerintah. Kelompok kerja ini melapor kepada panitia kerja DPR yang sedang membahas RUU JAMSOSNAS. Kelompok kerja ini bertugas untuk mencari konsensus dalam bentuk jaminan sosial yang diinginkan, siapa penerimanya, serta siapa pelaksananya. Selain itu kelompok kerja melakukan analisa aktuaria untuk mengetahui besarnya biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan program JAMSOSNAS.
2.         Saran di atas memang membutuhkan waktu yang cukup lama, namun demikian untuk pengembangan suatu program JAMSOSNAS yang komprehensif disarankan untuk dilakukan. Dalam waktu yang pendek beberapa perbaikan yang dapat dilaksanakan adalah: Pertama, merancang sistem JAMSOSNAS tiga pilar. Dengan demikian penanganan pekerja informal dan masyarakat miskin dilakukan tersendiri. Kedua, mengganti skema defined benefit menjadi defined contribution bagi program pensiun. Ketiga, melibatkan pihak swasta dalam memberikan pelayanan agar masyarakat mempunyai pilihan. Dengan demikian tidak perlu melebur perusahaan penyelenggara jaminan sosial milik pemerintah yang sudah ada. Keempat, melakukan analisa aktuaria untuk mengetahui berapa biaya yang dibutuhkan serta bagaimana membiayainya. Beberapa permasalahan pokok beserta saran dilampirkan dalam tabel berikut.



Tabel 1
Beberapa Permasalahan Pokok Dalam RUU JAMSOSNAS

Materi Dalam RUU
Isu dan Saran Pelaksanaannya
Skema defined benefit dalam program jaminan pensiun.
Program jaminan pensiun menggunakan skema defined benefit merupakan skema
yang sudah sejak lama dianut di banyak negara tetapi skema ini rawan insolvensi keuangan, mudah terjebak dalam ketidakmampuan untuk membayar utang tepat waktu.
Saran:
Mengganti skema defined benefit menjadi defined contribution. Selanjutnya melakukan analisa aktuaria.
Menjanjikan manfaat hari tua yang dibayarkan semuanya sekaligus pada saat pensiun berdasarkan skema defined contribution (sama seperti skema Jamsostek).
Sudah benar untuk menggunakan skema defined contribution. Dengan demikian yang terpenting adalah menjaga agar investasi yang dilakukan memberikan manfaat yang besar. 
Saran:
Melibatkan sektor swasta dalam pelaksanaannya. Pengelolaan investasi melalui sektor publik seringkali memberikan tingkat manfaat yang lebih rendah dibandingkan dengan skema-skema yang dikelola secara kompetitif.
Jaminan kesehatan sosial.
Pelaksanaan jaminan kesehatan hanya melalui satu perusahaan berpotensi pada pelayanan yang tidak memuaskan. Adanya pilihan bagi masyarakat merupakan esensi kehidupan bermasyarakat dalam era demokrasi.
Saran:
Masyarakat menginginkan adanya pilihan dalam memilih perusahaan penyelenggara jaminan kesehatan. Penyelenggara jaminan kesehatan swasta harus dilibatkan. Seperti Kolombia misalnya, terdapat 28 perusahaan yang dapat dipilih.


Materi Dalam RUU
Isu dan Saran Pelaksanaannya
Dewan wali amanat (trust) tripartit terdiri dari wakil-wakil pemerintah, pengusaha dan serikat pekerja, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Tidak jelas, bagaimana suatu ‘dewan wali amanat’ akan dapat melindungi lembaga jaminan sosial yang dimonopoli oleh negara dari campur tangan politik.
Saran:
Penyelenggaraan jaminan sosial sebaiknya tidak dilaksanakan melalui satu pilar satu pelaku. Disarankan untuk menggunakan penyelenggaraan 3 pilar.

Penyelenggara asuransi dan jaminan sosial yang sudah ada seperti Taspen, Jamsostek, ASKES akan dilaksanakan di bawah bimbingan dewan wali amanat. Tujuan dasarnya adalah supaya semua lembaga tersebut akhirnya dapat digabungkan menjadi satu lembaga negara.
Lembaga-lembaga jaminan sosial yang dimonopoli negara cenderung tidak efisien, memberikan pelayanan yang buruk, dan rawan korupsi.
Saran:
Diinginkan kerangka kompetitif yang memberikan beberapa kemungkinan pada pekerja untuk memilih sendiri manajer dan perusahaan penyelenggara asuransi yang mereka kehendaki sesuai dengan kebutuhannya. Penyelenggara yang sudah ada lebih baik diminta untuk memperbaiki kinerjanya tanpa harus digabung.



Materi Dalam RUU
Isu dan Saran Pelaksanaannya
Program JAMSOSNAS, utamanya jaminan kesehatan, bersifat wajib untuk semua pekerja, termasuk pekerja informal.
Tidak mungkin mengikutsertakan pekerja informal dalam skema iuran. Akan sangat mahal untuk memungut iuran dari pekerja informal yang jumlahnya jauh lebih besar dari pekerja formal dan tempatnya yang sangat tersebar. Dalam program JAMSOSTEK, untuk pekerja formal saja tidak sampai setengahnya yang secara teratur membayar iuran.
Saran:
Oleh sebab itu hendaknya dibentuk program terpisah untuk jaminan sosial bagi pekerja informal dan masyarakat miskin yang dibiayai dari pajak secara umum.
Pengenaan pajak atas upah (payroll taxes) sebesar 17-20% bagi pekerja untuk membiayai program JAMSOSNAS.
Pengenaan tambahan pungutan yang tinggi cenderung menyebabkan orang berusaha mengelak membayar pajak dan  hilangnya lapangan pekerjaan formal. Pekerja yang  berupah rendah dan biasanya tidak terampil serta usia muda biasanya akan lebih dahulu menjadi korban hilangnya lapangan kerja formal.
Saran:
Dilakukan analisa yang mendalam mengenai dampak pengenaan pajak atas upah terhadap penciptaan kesempatan kerja.
Sumber:     Lokakarya Internasional Menuju Suatu Sistem Jaminan Sosial Yang Dapat Diimplementasikan, diselenggarakan oleh BAPPENAS, tanggal 24 Juni 2004, di Hotel Borobudur, Jakarta.



Lokakarya Satu Hari
Menuju Suatu Sistem Jaminan Sosial Yang Dapat Diimplementasikan

Pembicara:

1.       Dr. Soekarno Wirokartono

Deputi Bidang Ekonomi, BAPPENAS

2.       Dra. Leila Retna Komala, MA
Deputi Bidang Sumber Daya Manusia & Kebudayaan, BAPPENAS
3.       Dr. Bambang Widianto
Direktur Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi, BAPPENAS
4.       Dr. Estelle James
International Pension Specialist, USA
5.       Alex Arifianto
Lembaga Penelitian SMERU
6.       Rizaldy Capulong
Deputy Chief of the Actuarial Department
Philippine Social Security Commission
7.       Professor Mukul Asher
National University of Singapore
8.       Ramon Castono - Yepes
Health Specialist, Colombia
9.       Dr. Mochammad Ikhsan
LPEM - FEUI
10.  Menno Pradhan
World Bank
11.  John Anggelini
Asian Development Bank

Moderator:

1.       Rekson Silaban
Ketua Umum Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(SBSI)
2.       Ari Perdana
CSIS
3.       Bismo Sanyoto
Sektretaris Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(SBSI)

No comments:

Post a Comment