Wednesday, February 6, 2013

PAPUA DALAM RAGAM KEPENTINGAN


                  

Belanda membutuhkan tanah di Timur Jauh yang bisa dijadikan Tropical Holland untuk menampung orang-orang pro-Belanda yang mengalami kesulitan di Indonesia; dan Papua bisa menjadi pangkalan AL Belanda.
Menteri Wilayah Seberang Lautan Belanda HJ van Maarseveen, 1961

Papua, sebuah wilayah dengan kelimpahan sumber daya alam nan penuh pesona. Peneliti Sosial dan Lingkungan Hidup di Tanah Papua Pietsau Amafnini melukiskan Tanah Papua sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang sangat kaya akan keaneka-ragaman hayati. Sumberdaya alamnya sangat potensial, baik sumberdaya hutan, laut, sungai, maupun sumberdaya pertambangan (minyak, gas, mineral dan logam). Sejak berintegrasi dengan Republik Indonesia (1963), daerah yang dulu disebut Irian Jaya ini mengalami perubahan dari tahun ke tahun atas perhatian Pemerintah Indonesia melalui pembangunan fisik dan non-fisik. Papua dikenal sebagai daerah penghasil sumberdaya alam tambang di dunia sejak tahun 1967 dengan masuknya PT Freeport Indonesia yang berlokasi di Mimika. Pada zaman Belanda, Papua juga sudah dikenal sebagai daerah penghasil minyak bumi untuk dunia dengan adanya Niuw-Guinnee Petroleum Mattschappij (NNGPM) yang beroperasi di Sthenkool (sekarang Teluk Bintuni). Pada tahun 1999, British Petroleum (BP) Indonesia mulai membangun Kilangan Gas Alam Cair di Babo, Teluk Bintuni, dengan nama proyek LNG (Liquied Natural Gas) Tangguh. Tidak sampai sebatas itu saja, hampir seluruh jenis potensi sumberdaya alam yang ada di Tanah Papua sudah diolah oleh perusahaan-perusahaan asing dan lokal. Sudah barang tentu, pengolahan itu mendatangkan keuntungan ekonomis yang cukup besar bagi negara dan dikembalikan ke Tanah Papua dalam wujud pembangunan.
Tapi, masyarakat Papua sejauh ini merasa diri mereka belum tersentuh pembangunan secara maksimal. Mereka merasa masih dipinggirkan. Dalam waktu sekitar satu abad belakangan, sentuhan-sentuhan pembangunan –baik oleh Pemerintah Kolonial Belanda maupun Pemerintah Republik Indonesia (setelah berintegrasi tahun 1963)— dirasa kurang melihat sumberdaya lokal yang potensial. Pemerintah Kolonial Belanda tampak setengah hati membangun Tanah Papua karena Papua hanyalah sebuah tempat pelarian setelah tidak ada lagi kesempatan menancapkan kukunya menjajah wilayah lain di Indonesia. Ada kepentingan agar Pemerintah Kolonial Belanda bisa tetap bercokol di wilayah Nusantara. Walau sebenarnya harus diakui bahwa selama Pemerintah Kolonial Belanda bercokol di Tanah Papua, banyak hal telah dilakukan, terutama memajukan sektor pendidikan, kesehatan, dan agama (Kristen).
Memang telah lama Pemerintah Kolonial Belanda ingin menguasai wilayah Papua. Dari catatan sejarah, bermula pada 17 Maret 1824 Belanda dan Inggris menandatangani Perjanjian London. Dalam perjanjian itu, Belanda dan Inggris membagi penguasaan wilayah Hindia. Dan Belanda kebagian wilayah Sumatera, Jawa, Maluku dan Netherlands New Guinea (New Guinea sebelah barat). Selanjutnya, pada 24 Agustus 1828 secara resmi Belanda mengumumkan kekuasaannya atas daerah Papua Barat dengan  membangun simbol kekuasaan berupa benteng Du Bus di Kampung Lobo, Teluk Triton (Kaimana, Fakfak). Karena masih bisa berkuasa di wilayah lain seperti Sumatera, Jawa dan Maluku, Pemerintah Kolonial Belanda tidak cepat-cepat serius menguasai Papua meski telah membangun benteng pertahanan. Sampai kemudian pada tanggal 5 Februari 1855 datanglah dua orang pendeta Zending (Misi Kristen) C.W. Ottow dan G.J. Geissler dari Gereja Protestan Jerman, ke Pulau Mansinam, Manokwari. Kedua pendeta itu adalah murid Ds OG Heldring yang membentuk perhimpunan “Penginjil Tukang” --yakni juru syiar Injil yang sekaligus memiliki keahlian di bidang pertukangan dan pertanian-- pada tahun 1847. Saat kali pertama menjejakkan kaki di Mansinam, kedua pendeta itu berujar penuh khidmat, “Dengan nama Tuhan, kami menginjak tanah ini, tanah yang diberkati Tuhan.” Ya, Papua Tanah yang diberkati Tuhan. Selanjutnya kedua pendeta itu menyebarkan ajaran agama Kristen di wilayah sepanjang pesisir pantai utara Papua. Keduanya relatif cukup berhasil menyebarkan agama Kristen. Mereka tak hanya menyebarkan agama tapi juga mengajarkan hidup sehat, baca-tulis dan keterampilan. Terbukti, pada tanggal 5 Februari 1935, tercatat lebih dari 50.000 orang di wilayah Papua menganut agama Kristen Protestan.   
Dengan memanfaatkan dasar-dasar awal membangun masyarakat yang telah diletakkan oleh dua pendeta Zending tadi, Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mendirikan Pos Pemerintah pertama yang lebih representatif di Fak-Fak dan Manokwari pada tahun 1898, dilanjutkan dengan membuka Pos Pemerintah di Merauke pada tahun 1901. Dan baru pada tahun 1910 pusat administrasi dibuka di pesisir utara tepatnya di Hollandia (kini bernama Jayapura). Pembentukan pos pemerintahan itu dimaksudkan untuk mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan Kolonial Belanda atas tanah jajahannya (Muller, 2008: 106).
Bermodal kekuatan pos-pos pemerintahan itu, Pemerintah Kolonial Belanda mulai ‘membangun’ masyarakat di empat daerah tersebut dengan memperkenalkan dan mendorong praktik adat kebiasaan, tata krama dan berbagai aturan bercorak Barat. Antara lain tentang praktik hidup sehat (kesehatan), pendidikan, disiplin, sopan santun, keamanan, ketertiban dan keindahan. Dari sudut pandang humanitas, penerapan suatu sistem kolonial dalam kehidupan masyarakat yang moderat ini diilhami dan diinspirasi oleh semangat “politik etis” yang muncul pada masa peralihan dari abad ke-19 menuju abad ke-20. Semangat “politik etis” yang dilontarkan Parlemen Belanda ini mengkritik dan bahkan menganjurkan perubahan perilaku politik pemerintah kolonial atas wilayah jajahannya. Dalam konteks “politik etis” itu muncul seorang intelektual Belanda, de Kat Angelino, yang menyatakan bahwa peran Barat bukanlah untuk mendesak Timur, tapi untuk mengembangkan dan memajukannya. Barat dapat memberi kekuatan moril dan spirituil untuk memberi nafas kepada evolusi Timur. Jadi mewujudkan kerja sama Timur-Barat yang selaras dengan jalan menghargai sifat masing-masing di segala bidang dan membangun suatu masyarakat yang harmonis. Politik Kolonial Belanda segera meninggalkan prinsip politik tidak campur tangan dengan masyarakat tradisional secara keseluruhan. Dan sebagai gantinya menerima politik sintesa dengan tiga prinsip, yaitu perlindungan, konsolidasi kebudayaan Indonesia, dan penyesuaian dengan perkembangan dunia modern (Kartodiharjo, 1967).
Mengacu pada pendapat tersebut, penerapan sistem kolonial terhadap masyarakat lokal tradisional di Papua lebih diarahkan untuk membangun peradaban dan memperbaiki harkat dan martabat warga masyarakat, serta menghargai adat-istiadat --termasuk hak ulayat yang ditata menurut sistem kekerabatan Ondoafi. Sementara pembangunan peradaban diaplikasikan dan diberdayakan dalam wujud bidang pendidikan, kesehatan, disiplin dan kerajinan serta keterampilan.
Fenomena ini sedikit berbeda bila dibandingkan dengan penerapanan sistem kolonial di daerah lain di Indonesia sebelum muncul “politik etis”. Misalkan di Maluku ketika itu Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan politik ektripasi (Pattikayhatu, dkk, 1977), yaitu kebijakan penebangan dan pemusnahan pohon cengkeh dan pala serta politik ekspedisi Hongi di mana Belanda menerapkan monopoli produksi rempah-rempah termasuk menetapkan harganya, monopoli perdagangan dan pelayaran. Akibatnya, kebebasan rakyat Maluku di bidang sosial dan perekonomian terancam. Langkah ini sebagai upaya Pemerintah Kolonial mengumpulkan modal ekonomi untuk mengintensifkan mekanisme kebijakan “politik etis” Hindia Belanda di Hollandia dan Papua pada umumnya.
Dalam perkembangannya, pada tahun 1922, Pemerintah Kolonial Belanda membagi wilayah kerja asisten residen menjadi dua, masing-masing di Manokwari yang merupakan wilayah kerja Asisten Residen Noord Nieuw Guinea dan Fakfak yang menjadi wilayah kerja Asisten Residen Nieuw Guinea. Pada 1938 sampai menjelang Perang Dunia (PD) II, wilayah pemerintahan Irian Barat diubah menjadi dua afdeeling, yaitu Afdeeling Noord Nieuw Guinea yang membawahi beberapa Onderafdeeling seperti Manokwari, Sorong, Serui dan Hollandia, dengan ibukota Manokwari; dan Afdeeling West Nieuw Guinea yang membawahi Onderafdeeling Fakfak, Inawatan, Mimika dan wilayah yang terbentang dari Fakfak sampai Merauke. Kedua afdeeling tersebut berada di bawah Karesidenan Amboina dalam wilayah Provinsi Groote Cost (Timur Barat).
Pemerintah Kolonial Belanda tampaknya sengaja memperlambat pembangunan perekonomian wilayah Tanah Papua. Bahkan, H. Colijn yang ditugaskan Pemerintah Belanda membuat laporan mengenai keadaan Papua, tahun 1904, menyarankan agar pemerintah tetap menguasai Papua secara tidak langsung dengan perantaraan Kesultanan Tidore. Alasannya, pemerintahan langsung akan memakan biaya terlalu banyak. Pemerintah Pusat Belanda di Den Haag dan Batavia pun berpendapat sama bahwa pembangunan di Papua tidak akan menguntungkan, karena alamnya terlalu dahsyat dan penduduknya masih primitif.
Memang, memasuki awal tahun 1900-an, Belanda hanya membuka perkebunan-perkebunan skala kecil. Baru tahun 1935, perusahaan-perusahaan besar Belanda dan Inggris menggabungkan modal mereka dan mendirikan Perusahaan Nederlandsch Niuw-Guinnee Petroleum Mattschappij (NNGPM) bertujuan melakukan eksplorasi untuk mencari sumber-sumber minyak dan kandungan mineral di wilayah Tanah Papua. Sebelumnya (tahun 1907) perusahaan pertambangan minyak Royal Duutch Shell telah dibentuk namun tidak beroperasi secara maksimal. Perusahaan-perusahaan swasta besar yang menanamkan modal dalam NNGPM adalah Bataafsche Pacific Petroleum Maatschappij, Standard Vacuum Oil Company, dan Nederlandsche Pacific Proteleum Maatschappij, dengan masing-masing memiliki saham sekitar 35%. Dari pemerintah Belanda, NNGPM memperoleh hak atas daerah konsesi seluas 10 juta hektar, yakni seluruh daerah kepala burung atau 1/3 wilayah Tanah Papua. Ini sebagai konsesi pemerintah Belanda terhadap perusahaan swasta.
Kemudian NNGPM mendirikan pangkalan-pangkalan pesawat terbang amfibi sikosky di daerah Tanah Merah dan Ayamaru, guna kepentingan meneliti potensi lainnya dari udara. Hasil penelitian memperlihatkan adanya sumber-sumber minyak dan sumber mineral lain di wilayah Papua. Dan, di tahun 1935 itu pula mulai diadakan penggalian percobaan (eksplorasi) di daerah pedalaman kepala burung (Sorong dan Teluk Bintuni). Dari hasil industri minyak tersebut, NNGPM mampu  membiayai penelitian ilmiah dan mendatangkan para ilmuwan dari luar –antara lain ahli zoologi, botani, kehutanan, geologi, geografi dan antropologi-- untuk mengeksplorasi lebih luas lagi dan mencari potensi mineral. Salah satu ekspedisi eksplorasi tersebut adalah melakukan pendakian ke Gunung Cartenz dan Ertsberg (gunung bijih), yang sekarang menjadi tempat beroperasinya penambangan tembaga dan emas berskala besar (PT Freeport Indonesia). Eksplorasi ini juga sekaligus sebagai upaya mengembangkan peta Papua. Namun semua usaha perekomomian terhenti gara-gara pecah Perang Pasifik. Akibatnya, perkembangan modal di Papua pun jadi terhambat.
Yang masih terus berjalan adalah perkembangan perubahan sosial dan budaya. Karena, Pemerintah Kolonial Belanda tetap menggandeng misi Kristen Zending yang dibawa oleh dua pendeta dari Gereja Kristen Jerman. Bahkan, Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan Zending sebagai bagian yang tak terpisahkan darinya. Sebagai bagian integral dari pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, Zending pada masa itu diposisikan sebagai mitra pemerintah dalam membangun peradaban masyarakat dengan mendirikan pos-pos pelayanan di berbagai tempat di wilayah Tanah Papua. Pada umumnya, penyelenggaraan misi Zending tersebut memperoleh bantuan atau subsidi dari Pemerintah Kolonial Belanda. Terkait dengan peranan Zending sebagai organ dan mitra pemerintah tersebut, sejak awal wilayah pekabaran Injil merupakan cikal-bakal terbentuknya pos pemerintahan dan proses pelaksanaan pembangunan.
Dengan demikian, telah terjalin hubungan dan kerja sama antara misi pekabaran Injil, misi penyelenggaraan pemerintahan dan misi pelaksanaan pembangunan, baik dari sisi aktivitasnya maupun dari sisi kelembagaan yang mengemban tugas-tugas tersebut. Sebab itu, keterkaitan dan kemitraan ini tentunya layak dilanjutkan atau diteruskan pada saat ini dan pada waktu mendatang.
Tugas utama Zending adalah bagaimana berupaya membangun peradaban untuk mengubah sikap mental masyarakat di Tanah Papua yang telah lama dikuasai oleh kuasa-kuasa kegelapan dalam bentuk kepercayaan animisme dan dinamisme. Dengan menggunakan Injil Yesus Kristus sebagai senjata pamungkas, diharapkan timbul kesadaran masyarakat di wilayah ini untuk mengubah pola pikir dan pola tindak mereka menuju hidup baru sesuai dengan tuntutan dan kehendak zaman. Dalam menjalankan tugas pengabdiannya, para Zendeling menghadapi berbagai tantangan dan risiko karena bersentuhan langsung dengan masyarakat tradisional di kampung-kampung pelosok Papua. Namun, dengan sikap persuasif para Zendeling dan semangat cinta kasih sesuai ajaran Injil Yesus Kristus serta tanpa memperhitungkan untung-rugi, tugas itu dapat dilaksanakan dengan baik. Mereka rela mengorbankan nyawanya. Bahkan anggota keluarga mereka ikut pula menderita dan menjadi korban dalam menjalankan misi gereja tersebut. 
Pembangunan peradaban di Tanah Papua, selain melalui pendidikan dalam bentuk penyelenggaraan sekolah-sekolah sebagai sarana penyebar-luasan Injil dan agama Kristen Protestan, Zending juga memperhatikan dan memajukan aspek-aspek kehidupan praktis lainnya, seperti pola hidup sehat, pertanian, pertukangan dan kesenian. Pada mulanya, sekolah yang dibangun secara sederhana tersebut disesuaikan dengan taraf kebudayaan penduduk asli masyarakat lokal dan diselenggarakan oleh Zendeling sendiri sebagai guru di rumahnya bersama anak-anak asuhnya. Anak-anak yang telah dibebaskan dari perbudakan dengan uang tebusan oleh Zendeling tersebut kemudian diasuh sebagai anak-anak didiknya. Kepada mereka diberikan pelajaran secara praktis yang manfaatnya dapat langsung dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain berkebun dan bercocok-tanam, prakarya atau pekerjaan tangan, hidup sehat, membaca, menulis, berhitung, menyanyi dan berdoa sebelum dan sesudah selesai pelajaran. Semua itu hanya merupakan sarana untuk menanamkan agama Kristen Protestan sebagai tujuan utama (F.J. van Hasselt, 1922).
Misi para Zendeling tersebut berlangsung secara simultan bersamaan dengan aktivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam menata struktur dan administrasi tata pemerintahan kota Hollandia (Jayapura) serta membenahi wajah kota dengan membangun infrastruktur berupa gedung perkantoran, jalan-jalan, jembatan, instalasi air bersih dan sarana penerangan. Selain itu juga membangun gedung-gedung sekolah dalam berbagai level antara lain sekolah pengadaban, sekolah sambungan, dan sekolah guru. Program pembangunan ini bertujuan untuk memberi pembekalan keterampilan dan ilmu pengetahuan yang merupakan syarat bagi mereka untuk bekerja di masyarakat yang sudah maju.
Karya nyata para Zendeling dalam membangun peradaban masyarakat yang penuh tantangan dan ancaman itu mendapat respon positif dari Residen Ternate van Horts ketika atas nama Gubernur Hindia Belanda melantik van Gorterzee sebagai kontrolir pertama di Manokwari pada 8 November 1898. Saat itu, van Horts dalam pidatonya memuji semangat dan keberanian para Zendeling serta daya tahan mereka dalam mengemban tugas dan misinya. Turut pula memberikan sambutan Pendeta J.L. van Hasselt Senior atas permintaan residen.
Setelah memperoleh dukungan moral dan legitimasi politik dari Pemerintah Hindia Belanda, secara nyata Pendeta van Hasselt Senior mulai melakukan penjajakan sekaligus kunjungan pastoral ke Hollandia (Jayapura) di kawasan Teluk Imbi (Teluk Yos Sudarso). Kunjungan itu dilakukan pada 16 Juli – 2 September 1912, dengan menyinggahi beberapa gereja dan sekolah di Pulau Debi. Selanjutnya, Teluk Imbi/Humbolt dan kota Hollandia yang dipimpin seorang controleur ini dapat disinggahi secara terus-menerus oleh kapal-kapal milik Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM), kapal-kapal perang dan kapal-kapal patroli milik Pemerintah Hindia Belanda. Pun demikian proses pergantian pejabat berturut-turut sejak saat itu sampai dengan meletusnya Perang Pasifik.
Mengapa Pendeta van Hasselt Senior memilih Pulau Debi untuk meretas jalan penyebaran agama sekaligus membuka jalur pelayaran di Tanah Papua? Karena sejak 1908-1912, Pemerintah Hindia Belanda telah membuka posthouder di pulau tersebut dengan menempatkan P. Windhouwer. Pada saat itu, wilayah Nieuw-Guinea bagian utara masih berada di bawah kekuasaan Residen Ternate dengan Asisten Residen berkedudukan di Manokwari setelah meninggalnya Residen Nieuw-Guinea Luilofs.
Perlahan namun pasti, Zendeling van Hasselt Senior yang dibantu oleh beberapa guru jemaat dan penginjil --baik asli Papua maupun asal Maluku (Ambon), Sangir dan Manado— mulai mengajar, mendidik dan melatih warga masyarakat Papua di bidang pendidikan dan pengajaran, kerohanian, disiplin, etika dan moral, serta cara-cara hidup sehat, sikap mental dan kesenian. Mereka melaksanakan tugas dan kewajiban misi gereja tersebut dengan penuh kesabaran walau dihadang tantangan medan yang berat dan mengerikan. Ketangguhan dan kesungguhan serta kerja keras para pengemban misi gereja dalam proses pembangunan peradaban kehidupan masyarakat di Tanah Papua masa itu sungguh mengagumkan. Kehadiran para guru misi (Zending) yang disebut sebagai guru desa itu bukan saja sebagai mediator dalam penyampaian kebudayaan, menurut antropolog sohor Yan Boelaars (1992), mereka juga tampil sebagai katalisator dalam proses perubahan sosial yang berlangsung pesat di Tanah Papua. Guru-guru desa yang berasal dari Maluku dan Minahasa ini disubsidi oleh pemerintah untuk mengurus sekolah-sekolah dasar. Mereka berperan pula dalam pembentukan desa, membuat kebun sekolah, membangun rumah-rumah warga yang lebih baik, memajukan kesehatan masyarakat, membacakan dan menjelaskan surat-surat yang berisikan instruksi-instruksi pemerintah kepada masyarakat untuk dilaksanakan. Mereka memimpin kebaktian di gereja pada hari Minggu, menjalankan katekesasi bagi orang dewasa, dan bertindak sebagai penengah buat menyelesaikan perkelahian antar-warga di desa maupun antardesa. Dengan begitu, para guru bersama isteri akhirnya diterima sebagai ayah dan ibu bagi masyarakat desa di mana mereka bertugas.
Berkat peran strategis para Zendeling dan “guru rakyat” tadi, dalam perjalanannya, Tanah Papua senantiasa terasa tenang dan damai dengan segala aktivitasnya, baik pemerintahan, pembangunan maupun pelayanan kemasyarakatan. Wilayah ini terus stabil sejak tahun 1910 sampai menjelang pecah Perang Dunia II (1939-1945) dan Perang Pasifik (1942-1945). Tahun 1942-1945, sebagian besar wilayah utara Netherlands New Guinea diduduki pasukan Jepang. Jepang tidak memberikan pengayoman dan sentuhan pembangunan apapun di wilayah Tanah Papua.
Karena merasa tertekan oleh penguasaan Jepang dan ditinggalkan oleh Belanda yang berkonsentrasi di Perang Dunia II, timbul rasa kebersamaan di kalangan rakyat Papua untuk bangkit. Sebelum dan selama Perang Dunia II di Pasifik, muncul semacam rasa nasionalisme di kalangan rakyat Papua yang secara khas dinyatakan melalui gerakan Millinerian, Mesianic dan “Cargo-Cultis”. Barangkali yang paling terbuka dari gerakan seperti itu adalah gerakan “Koreri” di Kepulauan Biak, gerakan “Were” atau “Wege” di Enarotali atau gerakan “Simon Tongkat” di Jayapura. Berhadapan dengan kebrutalan tentara Jepang pada masa itu, gerakan Koreri di Biak mencapai titik kulminasinya pada tahun 1942 dengan suatu proklamasi dan pengibaran bendera.
Akibat masih didudukinya sebagian besar kepulauan Indonesia oleh Jepang, Pemerintah Kolonial Belanda di Nieuw Guinea mengalami kekurangan personil yang terlatih di berbagai bidang pemerintahan dan pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pada tahun 1944 Resident J.P. van Eechoud yang terkenal dengan nama “Vader der Papoea’s” (Bapak Orang Papua) mendirikan sebuah sekolah polisi dan sebuah sekolah pamongpraja (bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang sekitar tahun 1944-1949. Sekolah inilah yang melahirkan elite politik (borjuis kecil) terdidik di Nieuw Guinea.
Resident J.P. van Eechoud mempunyai misi khusus dalam mendidik orang Papua di sekolah polisi dan pamongpraja. Yakni, untuk menanamkam Nasionalisme Papua dan membuat orang Papua setia kepada Pemerintah Belanda. Sebab itu, setiap orang yang ternyata pro-Indonesia ditahan (dipenjarakan) atau dibuang keluar Papua sebagai suatu tindakan untuk mengakhiri aktivitas pro-Indonesia di Papua. Beberapa orang yang menempuh pendidikan Eechoud dan kemudian menjadi terkemuka dalam aktivitas politik antara lain Markus dan Frans Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Moses Rumainum, Baldus Mofu, Eliezer Jan Bonay, Lukas Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks, Herman Womsiwor dan Abdullah Arfan.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 ikut mempengaruhi sikap politik para pemuda terdidik tersebut --antara lain Silas Papare, Albert Karubuy, dan Martin Indey. Pada tahun 1946 di Serui (Yapen Waropen), Silas Papare dan sejumlah pengikutnya mendirikan Organisasi Politik pro-Indonesia dengan nama “Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII)”. Di Manokwari pada tanggal 17 Agustus 1947 dilakukan upacara penaikan bendera merah-putih yang dipimpin oleh Silas Papare. Upacara itu dihadiri antara lain oleh Johan Ariks, Albert Karubuy, Lodwijk dan Baren Mandatjan, Samuel Damianus Kawab, dan Franz Joseph Djopari. Upacara tersebut untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Akibatnya, seluruh peserta tersebut harus masuk tahanan polisi Belanda lebih dari 3 bulan. Pemerintah Kolonial Belanda menghadapi tantangan yang berat dari PKII. Sebab, PKII mengklaim bahwa seluruh Indonesia Timur --termasuk West Nieuw Guinea (Irian Barat/Jaya)—menjadi bagian dari Wilayah Republik Indonesia.
Dua orang nasionalis Papua lainnya (Frans Kaisiepo dan Johan Ariks) juga bergabung dengan Silas Papare. Tapi, Johan Ariks kemudian menjadi orang yang sangat anti-Indonesia setelah mengetahui bahwa ada usaha dari Indonesia untuk mengintegrasikan Irian Jaya dengan Indonesia dan bukannya membantu proses kemerdekaan negara Papua. Pada tanggal 16-24 Juli 1946 diselenggarakan konferensi Malino yang dipimpin oleh wakil pemerintah Belanda Dr. H. J van Mook.  Hadir pula pada konferensi tersebut tokoh nasionalis Papua Frans Kaisiepo  yang memperkenalkan nama “IRIAN” bagi West Nieuw Guinea dan secara tegas menuntut West Nieuw Guinea ke dalam bagian wilayah Indonesia Timur. Namun permintaan tersebut ditolak oleh van Mook karena Belanda masih berkepentingan di Nieuw Guinea.
Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 1949, Ratu Belanda menetapkan pemberlakuan Besluit Bewindsregeling Nieuw Guinea. Ini merupakan peraturan ketata-negaraan baru bagi wilayah dan hak-hak penduduk Nieuw Guinea. Peraturan ketata-negaraan ini mengatur keberadaan Dinas-dinas pemerintahan umum; Pengangkatan, Pemberhentian, Kekuasaan dan tanggung jawab Gubernur Nieuw Guinea; Dewan para kepala Jawatan dan bidang kerjanya; Dewan Penasehat untuk kepentingan pribumi, susunan, kekuasaan dan sidang Dewan Perwakilan Nieuw Guinea; pembagian wilayah pemerintah dan daerah-daerah otonom; urusan keuangan, pertahanan, pendidikan, kesehatan dan urusan sosial; serta kemakmuran rakyat, perniagaan, dan pelayaran. Semuanya dirumuskan ke dalam 181 Pasal dengan ketentuan umum serta aturan peralihannya.
Untuk menyesuaikan tata pemerintahan dengan Besluit Bewindsregeling Nieuw Guinea tersebut, Gubernur mengeluarkan keputusan tertanggal 14 Juni 1950 No. 43 untuk mencabut keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 14 Januari 1949 dan 13 Juli 1945 tentang status wilayah Nieuw Guinea (Irian Jaya) sebagai wilayah Neolandschap. Jadi status itu dihapuskan terhitung tanggal 1 Juni 1950 dan Nieuw Guinea menjadi Zelfbesturend Landschap (Gouvernementsblad 1950/12).
Menurut Besluit tersebut, Gubernur menyelenggarakan pemerintahan umum atas nama Ratu Belanda di Nieuw Guinea (Title I Pasal I). Gubernur menyelenggarakan pemerintahan-pemerintahan umum di Nieuw Guinea atas nama dan sebagai wakil Ratu Belanda sesuai dengan ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan itu. Dan dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk Ratu (Pasal 29), Gubernur diangkat dan diberhentikan oleh Ratu Belanda (Pasal 11). Selama masa pemerintahan Nederland Nieuw Guinea, jabatan Gubernur berturut-turut dipegang oleh S.L.J. van Waardenburg (awal 1950 – Maret 1953), J. van Baal (April 1953 – April 1958) dan terakhir Pieter J. Platteel (Mei 1958 - September 1962).
Dalam melaksanakan tugasnya, Gubernur Nederland Nieuw Guinea dibantu oleh Diensten van Algemeen Bestuur (Dinas-dinas Pemerintah Umum) yang tugas dan wewenangnya diatur olehnya dengan persetujuan Ratu Belanda. Masing-masing dinas itu dikepalai oleh seorang direktur yang diangkat dan diberhentikan oleh Ratu Belanda setelah dimusyawarahkan dengan Gubernur (Pasal 60 Besluit Bewindsregeling Nieuw Guinea).
Selain membangun dan meletakkan dasar-dasar tata pemerintahan, di masa penjajahan Kolonial Belanda itu, sektor pendidikan boleh dikatakan memperoleh alokasi yang cukup besar dalam anggaran Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan, anggaran pendidikan ini mencapai 11% dari seluruh pengeluaran tahun 1961. Sayangnya, waktu itu, pembangunan pendidikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja di sektor perekonomian modern. Sesuai dengan kepentingan kaum penjajah, yang lebih diutamakan adalah penanaman nilai-nilai Belanda dan agama Kristen. Baru pada akhir tahun 1961, rencana pembangunan pendidikan diarahkan kepada usaha peningkatan keterampilan. Tapi, tetap lebih diutamakan pendidikan untuk kemajuan rohani dan kemasyarakatan. Walaupun bahasa “Melayu” dijadikan sebagai bahasa “Franca” (Lingua Franca), bahasa Belanda tetap diajarkan sebagai bahasa wajib mulai dari tingkat sekolah dasar. Kemudian bahasa Inggris, Jerman dan Perancis dijadikan bahasa kedua yang mulai diajarkan di sekolah lanjutan.
Pasca kepergian Jepang dari Papua setelah kalah dalam Perang Dunia II, pembangunan pendidikan dasar tetap terus dilakukan oleh misi keagamaan Zending. Tercatat bahwa pada tahun 1961 terdapat 496 sekolah misi tanpa subsidi dengan menampung kurang lebih 20.000 murid. Sekolah Dasar yang bersubsidi sebanyak 776 sekolah dengan jumlah murid pada tahun 1961 sebanyak sekitar 45.000 murid dan seluruhnya ditangani oleh misi. Pelajaran agama merupakan mata pelajaran wajib. Pada tahun 1961 tercatat 1.000 murid belajar di sekolah menengah pertama, 95 orang Irian belajar di luar negeri yaitu Belanda, Port Moresby, dan Australia. Di antara mereka ada yang sampai perguruan tinggi serta ada pula yang masuk sekolah pertanian dan sekolah perawat kesehatan (misalnya pada Nederland National Institut for Tropica Agriculture dan Papua Medical Collega di Port Moresby).
Belanda boleh dikatakan hanya setengah hati membangun Papua. Faktanya, walau Belanda harus mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk membangun Papua, namun hubungan antara kota dan desa atau kampung tetap saja dibuat terbatas. Tujuannya tak lain untuk tetap melestarikan kepentingan penjajah, terutama kepentingan bisnis. Hal ini terlihat pada sektor perhubungan laut dan luar negeri yang dipegang perusahaan Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM). KPM lah yang menjalankan kapal-kapal yang berlayar menghubungkan kota-kota Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Fak-Fak, Merauke, Singapura, dan Negeri Belanda. Selain itu ada kapal-kapal kecil milik pemerintah untuk keperluan tugas pemerintahan. Belanda juga membuka 17 kantor pos dan telekomunikasi yang melayani antar-kota. Terdapat sebuah telepon radio yang dapat menghubungkan Hollandia-Amsterdam melalui Biak. Pun di tiap kota terdapat telepon. Terdapat juga perusahaan penerbangan Nederland Nieuw Guinea Luchvaart Maatschappij (NNGLM) yang melayani penerbangan secara teratur antara Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Merauke, dan Jayawijaya dengan pesawat DC-3. Kemudian disusul oleh perusahaan penerbangan Kroonduif dan Koninklijk Luchvaart Maatschappij (KLM) untuk penerbangan luar negeri di Biak. Sudah sejak tahun 1950 lapangan terbang Biak menjadi bandar udara internasional. Selain penerbangan tersebut, masih terdapat juga penerbangan yang diselenggarakan oleh misi Protestan yang bernama Mission Aviation Fellowship (MAF) dan penerbangan yang diselenggarakan oleh misi Katolik dengan nama Associated Mission Aviation (AMA) yang melayani jalur penerbangan ke pos-pos penginjilan di wilayah pedalaman. Jalan-jalan hanya dibangun di sekitar kota besar yaitu Hollandia 140 kilometer, Biak 135 kilometer, Manokwari 105 kilometer, Sorong 120 kilometer, Fak-Fak 5 kilometer, dan Merauke 70 kilometer.
***
PERAN tokoh agama demikian kuat dalam upaya membangun Papua di masa penjajahan Kolonial Belanda. Dimulai dengan kehadiran C.W. Ottow dan G.J. Geissler pada tahun 1855 di Pulau Mansinam (Manokwari). Keduanya kemudian menetap sebagai juru siar agama Kristen di daerah Doreri. Setelah itu, lambat laun jumlah golongan orang-orang Belanda di Papua bertambah seiring dengan pertambahan jumlah para juru siar agama yang berusaha menyebarkan agama Kristen di kalangan penduduk pribumi. Bahkan, pada tahun-tahun awal masa penjajahan Belanda di Papua, hampir seluruh golongan orang-orang Belanda di daerah tersebut terdiri dari para penyiar agama Kristen. Di awal kedatangannya ke Papua, hampir sebagian besar pasukan Kolonial Belanda yang diterjunkan ke kawasan ini merangkap sebagai rohaniawan gereja (missionaries). Arti kata, selain sebagai tentara, dokter atau perawat, juga sebagai juru rohani. Sebab itu, sangat wajar bila mereka dengan gigih berjuang kendati menghadapi medan yang sulit, menguasai dan mengontrol wilayah jajahan, sekaligus mengajak warga pribumi masuk agama Kristen. Minimal dua kepentingan menyatu dalam diri kaum penjajah Kolonial Belanda.
Para Zending itu selanjutnya bekerja menyebarkan agama Kristen melalui organisasi benama Utrechtsehe Zending Vereeniging (UZV) yang berpusat di Negeri Belanda. Begitu pula kemudian kegiatan yang dilakukan oleh kaum misionaris Katolik, yakni suatu ordo Franciscan di Tilberg (Belanda) yang merupakan suatu cabang dari pusat misi di Vatikan (Sacra Congregatio de Propaganda Fide). Akhirnya mereka membagi Papua menjadi dua wilayah penggarapan, di mana Kristen Protestan di Utara dan Kristen Katolik di Selatan. Pembagian seperti itu tampaknya identik dengan keadaan di Negeri Belanda yang mana di sana memang diterapkan sistem seperti itu.
Secara rutin dan teliti, mereka mendata jumlah penduduk setempat agar dapat mengikuti perkembangan jumlah penduduk di wilayah kerja masing-masing. Kaum misionaris (Katolik) memiliki "Buku Jiwa" sedang kaum Zending (Kristen Protestan) memelihara "Buku Serani" yang berisi catatan tentang penduduk di wilayah kerjanya itu juga. Dari catatan tersebut kemudian dilaporkan dan diolah oleh pusat-pusat organisasi mereka.
Kerja keras mereka cukup membawa hasil. Hal ini tampak pada komposisi pemeluk-pemeluk agama di Papua, berdasarkan catatan yang dibuat tahun 1963, seperti berikut: Kristen Protestan 130.000 jiwa, Katolik Roma 47.000 jiwa, Islam 11.000 jiwa, Agama Tionghoa 3.000 jiwa dan Agama-agama pribumi 500.000 jiwa. Terhadap data dan komposisi ragam pemeluk agama tersebut, laporan itu memberikan penjelasan bahwa angka 500.000 yang menunjukkan jumlah penganut agama-agama pribumi bukanlah angka pasti. Karena, angka itu didasarkan atas taksiran jumlah orang-orang pribumi di daerah pedalaman yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Kotabaru (kini Jayapura).
Golongan penganut agama Kristen Protestan tersebar di seluruh daerah yang pernah dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda. Golongan penganut agama Katolik Roma terutama didapati di daerah pantai selatan. Golongan penganut agama Islam banyak terdapat di daerah semenanjung Doreri dan Merauke. Sedangkan golongan penganut agama Tionghoa dijumpai di berbagai tempat.
Di masa lalu, dengan mengusung kepentingan penyebaran agama, peran gereja sangat menonjol dalam membawa perubahan sosial masyarakat Papua. Gereja aktif menjalin komunikasi dengan para pemuka adat. Gereja memberi kesempatan pemimpin adat masuk ke komunitas gereja. Mereka mengumpulkan warga sekitar lalu membangun sekolah. Dan, Pemerintah Kolonial Belanda membangun Papua setelah melihat tak ada lagi wilayah lain di Indonesia yang memberi tempat kepada para tentara Kolonial Belanda bercokol. Begitulah esensi penting peran tokoh agama dalam melakukan perubahan sosial masyarakat Papua.
***
ERA berganti. Zaman berubah. Pada 14 Desember 1960, Resolusi Majelis Umum PBB (GA Resolution No. 1514 [XV]) menegaskan bahwa penjajahan dengan segala bentuk manifestasinya harus diakhiri sehingga alasan belum adanya kesiapan dari kondisi politik, ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya kemerdekaan bagi sebuah bangsa.
Pemerintah Kolonial Belanda merasa terusik oleh resolusi tersebut karena harus menyerahkan wilayah Papua kepada Republik Indonesia. Tapi, Pemerintah Kolonial Belanda tidak mau meninggalkan Tanah Papua begitu saja. Sebelum meninggalkan Tanah Papua, Pemerintah Kolonial Belanda berusaha membentuk pola pikir dan rasa nasionalisme di kalangan rakyat Papua. Terlebih lagi, sebelumya Pemerintah Kolonial Belanda sempat menyemai rasa nasionalisme rakyat Papua melalui sekolah polisi dan pamongpraja. Hal ini diwujudkan pada April 1961 dengan membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan New Guinea) yang 22 dari 28 anggotanya adalah orang Papua: ada yang diangkat, dipilih langsung, atau dipilih melalui perwakilan. Menjelang dilangsungkannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda memang telah mengambil ancang-ancang untuk mempertahankan Papua. Di mata Menteri Wilayah Seberang Lautan Belanda HJ van Maarseveen, Indonesia tidak memiliki hak moral atas wilayah itu; Belanda membutuhkan tanah di Timur Jauh yang bisa dijadikan Tropical Holland untuk menampung orang-orang pro-Belanda yang mengalami kesulitan di Indonesia; dan Papua bisa menjadi pangkalan AL Belanda (Richard Chauvel dan Ikrar Nusa Bhakti, Policy Studies 5, East-West Center, Washington, 2004).
Pada 27 September 1961, Menteri Luar Negeri (Menlu) Belanda Joseph Luns melontarkan "Rencana Luns" ke Majelis Umum PBB. Intinya, menurut Luns, harus ada organisasi atau otoritas internasional yang mesti mengambil-alih Irian Barat dan mempersiapkan penduduknya menentukan nasib sendiri saat kondisi stabil. Ujungnya ialah kemerdekaan Papua pada tahun 1970. Usulan Luns tentu saja ditolak oleh Menlu RI (ketika itu) Dr Soebandrio dengan alasan akan merusak kesatuan nasional dan integritas teritorial Indonesia.
Di tengah perseteruan kedua Menlu itu, beberapa elite Papua anggota New Guinea Raad, seperti Nicolaas Jouwe, P. Torey, Markus Kaisiepo, Nicolaas Tanggahma, dan Eliezer Jan Bonay (kemudian diangkat menjadi Gubernur Irian Barat yang pertama), mengatur sebuah pertemuan pada 19 Oktober 1961 yang mengundang 70 pemimpin Papua, 17 di antaranya diangkat sebagai anggota Komite Nasional. Ini yang kemudian diinterpretasikan sebagai Kongres Nasional Papua I. Pertemuan ini menghasilkan manifesto politik, bahwa mulai 1 November 1961: a. Bendera kami (bintang kejora) dikibarkan bersebelahan dengan bendera Belanda; b. Lagu kebangsaan kami, Hai Tanahku Papua, dinyanyikan bersama dengan lagu Wilhelmus; c. Nama tanah air kami adalah Papua Barat; d. Nama rakyat kami adalah orang Papua. Baru pada 1 Desember 1961 administrasi kolonial Belanda membolehkan penaikan bendera "bintang kejora" dan pelantunan lagu Hai Tanahku Papua di Hollandia (Jayapura sekarang). Arti lebih jauh, dengan bantuan Belanda saat itu diproklamasikan Negara Papua Barat (Decki Natalis Pigay, 2000).  Dari sini rasa nasionalisme Papua dipupuk agar lebih subur lagi tertanam di hati sebagian rakyat Papua.
Sebenarnya, perebutan kepentingan penguasaan wilayah Papua antara Pemerintah Kolonial Belanda dan Pemerintah RI telah berlangsung sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Tercatat pada 23 Agustus 1945, Presiden Soekarno mendeklarasikan kesatuan Indonesia “Dari Sabang Sampai Merauke”. Lalu pada 15 November 1946, melalui penandatanganan Perjanjian Linggajati antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda, bahwa Netherlands New Guinea tidak termasuk wilayah Republik Indonesia. Soekarno pantang mundur. Pada 16 Agustus 1956, Pemerintah RI membentuk pemerintahan provinsi otonom Irian Barat yang berkedudukan di Tidore. Tanggal 1 Desember 1960, sebagai upaya membentuk negara dan menguatkan rasa nasionalisme Papua, Pemerintah Kolonial Belanda mengganti nama Netherlands New Guinea menjadi Papua Barat. Soekarno menanggapi hal ini dengan mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikota) untuk merebut Irian Barat pada tanggal 19 Desember 1961. Trikora berisi: pertama, Gagalkan pembentukan “Negara Papua” buatan Belanda Kolonial; kedua, Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia; dan ketiga, Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan Kemerdekaan dan Kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Mayjen TNI Soeharto kemudian ditunjuk menjadi Panglima Komando Mandala yang bertugas untuk merencanakan, menyiapkan dan menyelenggarakan operasi untuk menggabungkan kembali Papua dengan NKRI. Meski kemampuan kekuatan militer minim dan tingkat kesiapan operasional relatif rendah, beberapa operasi yang dilancarkan TNI dapat memberikan tekanan yang cukup signifikan kepada Angkatan Bersenjata Belanda yang terdiri dari kekuatan AL Marine Luchtvaartdienst sebagai kekuatan tumpuan di wilayah perairan dan pasukan darat Koninklijke Landmacht yang ditempatkan tersebar di wilayah Papua. Pertempuran yang dikenal dengan Pertempuran Laut Aru merupakan pertempuran antara AL Belanda dan TNI AL dengan kekuatan armada KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang dan KRI Harimau yang dikomandani Komodor Yos Sudarso yang berada di KRI Macan Tutul yang gugur bersama-sama tenggelamnya kapal tersebut sebelum menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal “Kobarkan Semangat Pertempuran”. Operasi-operasi lain yang diselenggarakan antara lain Operasi Brimob Polri yang tergabung dalam Resimen Tim Pertempuran berhasil melakukan operasi penghancuran beberapa obyek vital Belanda di Fak-Fak dan sekitarnya; Operasi penerjunan Pulau Tenimbuan; Operasi penerjunan RPKAD di Tanah Miring; dan Operasi Jayawijaya yang terkenal sebagai operasi amfibi terbesar sepanjang sejarah TNI.
Selain operasi militer, upaya diplomasi juga dilaksanakan untuk merebut kembali Papua. Pendekatan terhadap negara-negara lain dan PBB untuk mendukung integrasi Papua dilakukan. Sekjen PBB, U Thant, merespon dengan meminta salah seorang diplomat AS, Ellsworth Bunker, mengajukan usulan yang dikenal dengan Bunker Proposal yang isinya mendesak Pemerintah Belanda untuk segera menyerahkan Papua kepada RI. Melalui proses perjuangan diplomasi yang panjang, kesepakatan RI-Belanda sedikit mencapai titik terang dengan dilaksanakannya New York Agreement pada tanggal 15 Agustus 1962 di Markas Besar PBB. Isi New York Agreement adalah Belanda harus menyerahkan wilayah Papua Barat kepada badan khusus PBB (United Nations Temporary Executive Authority [UNTEA]) yang selanjutnya akan menyerahkan Papua kepada RI. Dengan syarat, Pemerintah RI harus memberikan kesempatan kepada masyarakat Papua untuk mengambil keputusan secara bebas tetap bergabung dengan RI ataukah memisahkan diri dari RI. Untuk menyelenggarakannya, Pemerintah RI akan dibantu oleh PBB dan diberi batas waktu selambat-lambatnya akhir tahun 1969. Maka pada tanggal 1 Oktober 1962, Wakil Gubernur H. Veldkamp menyerahkan kekuasaan kepada UNTEA atas Papua. Baru pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintahan peralihan UNTEA menyerahkan Papua kepada Pemerintah RI. Setelah itu, RI dengan bantuan PBB pun merancang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Proses pelaksanaan Pepera sendiri mulai diselenggarakan tanggal 24 Juli sampai dengan Agustus 1969. Dilaksanakan di 8 Kabupaten (Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fak-Fak, Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura) oleh 1.026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili penduduk Papua yang berjumlah 809.327 jiwa. DMP tersebut terdiri dari 400 orang mewakili unsur tradisional (Kepala Suku/Adat), 360 orang mewakili unsur daerah dan 266 orang mewakili unsur organisasi politik/organisasi kemasyarakatan. Petugas PBB yang mewakili Sekjen PBB adalah Dubes Bolivia, Fernando Ortiz Sanz, bersama-sama 16 orang pengawas PBB lainnya. Hasilnya, peserta rapat Pepera memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian mutlak dari wilayah Republik Indonesia. Hasil tersebut disepakati dan disetujui dengan membubuhkan tanda tangan semua yang hadir dalam rapat Pepera tersebut. Ini menandai bahwa secara de facto masyarakat Papua memilih untuk berintegrasi dengan NKRI. Dengan dikeluarkannya Resolusi PBB nomor 2504 pada Sidang Umum PBB 19 November 1969, dengan 82 negara yang setuju, 30 negara abstain dan tidak ada yang tidak setuju, menunjukkan bahwa dunia Internasional sudah mengakui keabsahan Pepera 1969. Dengan demikian secara de jure pun Papua sah menjadi bagian wilayah RI.
Mudahkah integrasi Papua ke NKRI ketika itu? Ternyata tidak mudah. Di mata sebagian warga masyarakat Papua waktu itu, klaim Republik Indonesia dan Belanda --baik melalui jalur diplomasi maupun konfrontasi— hanya dipenuhi dengan sikap kooperatif antar-pemerintah demi kepentingan pembendungan ideologi komunisme internasional yang tidak simpatik di lubuk hati orang Papua. Sebagian orang Papua merasa tidak pernah dilibatkan secara aktif dalam proses integrasi politik. Dari setiap perundingan, sebagian rakyat Papua diperlakukan sebagai obyek, bukan sebagai subyek, dalam pengambilan keputusan. Lebih ironis lagi, mereka merasa adanya pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri bagi suatu bangsa (GA Resolution No 1541 [XV]) tahun 1960, di mana pada waktu yang bersamaan sebagian rakyat Papua Barat telah menyatakan deklarasi kemerdekaan dan sosialisasi simbol-simbol kebangsaan/kenegaraan.
Selain itu sebagian rakyat Papua merasa bahwa konsensus politik 1969 yang disebut Pepera dilaksanakan di bawah tekanan Indonesia, terutama pelaksanaan menggunakan sistem demokrasi Pancasila (musyawarah mufakat) yang berbeda dengan standar internasional (one man one vote) sesuai New York Agreement. Alasan Indonesia bahwa penyelenggaraan Pepera melalui musyawarah mufakat adalah karena kondisi sosial, ekonomi, geografis dan peradaban hidup primitif masyarakat Papua. Sebagian rakyat Papua tadi menilai hal ini merupakan pengingkaran terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 14 Desember 1960 (GA Resolution Nomor 1514 [XV]).
Mengenai polemik ini, tokoh pejuang Papua Ramses Ohee menegaskan bahwa sejarah masuknya Irian Barat (Papua) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah benar sehingga tidak perlu dipertanyakan dan diutak-atik lagi. "Sejarah masuknya Papua ke dalam NKRI sudah benar, hanya saja dibelokkan oleh sejumlah warga tertentu yang kebanyakan generasi muda. Fakta sejarah menunjukkan keinginan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia sudah muncul sejak pelaksanaan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Sayangnya, masih ada yang beranggapan bahwa Sumpah Pemuda tidak dihadiri oleh pemuda Papua. Ini keliru, karena justru sebaliknya, para pemuda Papua hadir dan berikrar bersama pemuda dari daerah lainnya. Ayah saya, Poreu Ohee, adalah salah satu pemuda Papua yang hadir pada saat itu," papar Ramses.
Setelah pelaksanaan Pepera yang hasilnya disahkan oleh PBB melalui Resolusi Majelis Umum Nomor 2504, sebagai buntut upaya Pemerintah Kolonial membentuk negara tersendiri di Papua, muncullah gejolak-gejolak upaya pemisahan diri sebagian rakyat Papua dari NKRI. Menghadapi gejolak-gejolak ini, Pemerintah RI lantas mengambil kebijakan melalui serangkaian operasi yang bertujuan menciptakan stabilitas keamanan di wilayah tersebut.
Selain kebijakan yang bersifat militeristik tadi, Pemerintah Pusat juga memfokuskan perhatian pada pembangunan ekonomi dan sosial. Pembangunan sosial ekonomi dilaksanakan secara politis. Di masa transisi tahun 1963-1969, Pemerintah membangun sektor pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah, dari TK hingga perguruan Tinggi (Universitas Cendrawasih), pembangunan sarana prasarana infrastuktur, pengembangan sumber daya manusia dengan menempatkan elit-elit terdidik Papua di pos-pos pemerintahan. Bahkan, Gubernur diberikan kepada putra asli Papua di mana hal ini tidak pernah diperoleh orang Papua pada jaman Belanda. Pada 10 September 1969, Presiden Soeharto meresmikan sembilan kabupaten di Provinsi Irian Barat dan meresmikan provinsi tersebut sebagai provinsi Indonesia yang ke-17. Dan pada 1 Maret 1973, Presiden Soeharto mengubah nama Irian Barat menjadi Irian Jaya.
Dalam konteks pembangunan sosial ekonomi, beberapa saat setelah mengambil-alih Papua, Pemerintah RI membuka pintu lebar-lebar bagi investasi asing. Salah satunya, pada 5 April 1967, mendatangkan Freeport-McMoran Copper & Gold. Perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat ini merupakan investor asing pertama yang menanamkan modal di Papua dan juga di Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru. Dengan masa kontrak karya 30 tahun, Freeport-McMoran yang kemudian membentuk PT Freeport Indonesia memperoleh hak untuk menambang tembaga dan emas Ertsberg (gunung bijih) yang berada di tanah ulayat Suku Amungme. Tak pelak orang-orang Suku Amungme melancarkan protes lantaran tanah ulayatnya diambil-paksa. Protes pertama dari Amungme muncul tahun 1967. Sejumlah warga Amungme menanam patok kayu berbentuk salib di sekeliling peralatan dan kemah tim eksplorasi Freeport. Dengan bantuan pemimpin Amungme Moses Kilangin yang waktu itu adalah Kepala Pos Pemerintahan di Akimuga, konflik dapat diredam. Diyakinkan oleh Moses bahwa Freeport hanya menguji batu-batuan dan hasilnya pasti akan menguntungkan Amungme. Seusai pengeboran, ketika tim eksplorasi pergi, semua peralatan dirusak dan barang-barang dicuri oleh penduduk setempat.  
Protes dan keberatan warga Suku Amungme terhadap Freeport kian mengeras pada tahun 1973. Freeport dan Pemerintah RI segera merespon melalui perjanjian dengan Amungme dari Tsinga dan Waa ke dalam January Agreement 1974. Bagi Freeport, perjanjian ini sangat penting artinya karena dapat dijadikan sebagai landasan ijin tertulis untuk kegiatan pertambangan dari Amungme (pasal 5) dan larangan bagi Amungme untuk memasuki lokasi-lokasi kegiatan pertambangan dan tempat tinggal karyawan  (pasal 6 dan lampiran 4).  Dengan demikian Freeport mendapatkan jaminan tertulis bahwa tidak akan ada lagi gangguan dari Amungme.
Menurut teks perjanjian pada Pasal 3 dan lampiran 4, Amungme Waa dan Tsinga akan memperoleh bangunan sekolah dasar untuk siswa-siswa hingga kelas 3 dan selanjutnya dikembangkan sampai kelas 6. Selain itu, Amungme akan mendapatkan perumahan, klinik kesehatan, pusat perbelanjaan, dan prioritas kesempatan bekerja di Freeport. Isi perjanjian ini tidak sepenuhnya dapat dipenuhi. Sebagian warga Amungme memang kemudian diterima menjadi karyawan Freeport namun lantaran pendidikan dan keterampilan yang rendah, mereka hanya menjadi karyawan rendahan. Kemudian sebagian bangunan yang dijanjikan sempat dibangun di Waa dan di Kwamki Lama, Timika. Tapi kemudian dihancurkan lagi oleh pasukan TNI menyusul gerakan perlawanan bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1977.
Pada gejolak sosial 1977, OPM melancarkan aksinya dengan menyerang pegawai pemerintah, anggota TNI, dan para pendatang. Dalam waktu bersamaan, sebagai bentuk protes terhadap kehadiran Freeport, Amungme melakukan pemotongan pipa konsentrat (slurry pipe) dan sejumlah serangan fisik ke Tembagapura. TNI segera menghentikan gangguan ini dengan menggelar operasi militer yang salah satunya adalah menghancurkan fasilitas-fasilitas umum untuk masyarakat setempat yang sudah dibangun oleh Freeport di Waa dan di Kwamki Lama. Setelah masalah OPM dan protes Amungme mereda, pemerintah melalui TNI melarang Freeport untuk membangun kembali fasilitas tersebut di Waa.
Pasca gejolak sosial 1977, keadaan di areal pertambangan Freeport relatif tenang. Namun ketegangan hubungan antara warga masyarakat Amungme dan Freeport masih terasa. Bahkan semakin menguat di bawah permukaan. Tidak ada satu jua kerusuhan yang mencuat ke permukaan. Pada 1983 ketegangan kembali  mengemuka manakala tersebar isu bahwa kota Tembagapura akan dihancurkan oleh OPM dengan bantuan orang-orang Amungme yang sudah bekerja di Freeport. Tak pelak, karyawan Freeport dari Suku Amungme lantas ditangkapi. Sejumlah orang Amungme yang ketakutan melarikan diri ke hutan.
Suku Amungme pun semakin terpinggirkan. Tanah-tanah ulayat Amungme yang biasa digunakan untuk berkebun, berkampung dan berburu terus saja menyempit. Freeport sudah menambang dan membongkar gunung-gunung dan mengambi-lalih sebagian lahan tradisional mereka yang demikian luas. Yelsegel Ongopsegel atau Ertzberg (gunung bijih) sudah ditambang sejak 1967 dan mulai berproduksi tahun 1972. Warga Suku Amungme hanya bisa termangu menyaksikan gunung keramatnya yang dulu dipercaya sebagai tempat bersemayam terakhir bagi para roh, pada sekitar 1996, sudah rata dengan tanah dan bahkan menyisakan lobang raksasa. Kekayaan sosial-kultural Amungme ikut lenyap pula.
Kuatnya daya tarik-menarik kepentingan ketika proses integrasi Papua ke wilayah NKRI membawa konsekuensi Pemerintah menggariskan kebijakan sosial ekonomi yang dikendalikan oleh militer dengan mengusung prinsip Keamanan dan Pembangunan. Militer menjadi panglima dalam seluruh pengambilan keputusan akhir. Ketika itu, pembangunan melalui program task forces dengan bantuan dana Asian Development Bank (ADB) lebih banyak dialokasikan ke dana pertahanan dan keamanan. Akibatnya, dana pembangunan sosial ekonomi yang sesungguhnya justru relatif kecil. Pernah satu waktu pada dekade tahun 1970-an, pemerintah menggelar apa yang disebut dengan Operasi Koteka. Yang dilakukan kala itu adalah mencoba menggantikan koteka —celana berbentuk tabung yang berasal dari kulit labu dan digunakan oleh laki-laki di wilayah pegunungan— dengan celana dari bahan kain. Di saat yang sama, untuk menjamin stabilitas wilayah, pemerintah menerapkan pendekatan keamanan di Papua. Berbagai operasi militer digelar, mulai dari Operasi Sadar, Operasi Baratayudha, Operasi Wibawa, Operasi Pamungkas, Operasi Teritorial sampai penerapan daerah operasi militer (DOM).
Baru setelah keamanan relatif stabil, gerak pembangunan ekonomi mulai bergulir. Mulai tahun 1984, provinsi Papua yang saat itu disebut Irian Jaya mulai dilirik investor asing dan lokal di bidang kehutanan. ’Keperawanan’ hutan Papua mulai dijamah atas nama pembangunan nasional dan menciptakan kesejahteraan masyarakat seutuhnya. Karena itu, hutan Papua harus dibuka untuk pemukiman transmigrasi dan perkebunan skala besar. Pemukiman transmigrasi, perkebunan sawit dan persawahan padi merupakan satu paket pembangunan dalam rencana pembangunan Orde Baru.
Pemerintah Indonesia mentransmigrasikan orang luar Papua (Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku) ke Papua. Orang asli Papua mendapat tempat di lokasi transmigrasi sebagai ’transmigran lokal’ yang dinomor-duakan dalam derap pembangunan. Transmigrasi dihidupkan secara paksa untuk ’membabat’ hutan buat mencetak persawahan (padi), selain menjadi tenaga kerja (buruh) di lahan-lahan perkebunan kelapa sawit milik perusahaan besar seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Sinar Mas. Dalam rentang masa 1980-an pula, menjamur perusahaan-perusahaan pemilik izin HPH (Hak Pengusahaan Hutan) di Tanah Papua. Sampai dengan tahun 2002, jumlah perusahaan HPH di Papua adalah 57 unit perusahaan yang sejak tahun 1980-an ’membagi-bagi’ luasan Tanah Papua untuk kepentingan areal konsesi pengusahaan hutan.
Kebijakan transmigrasi pada masa Orde Baru menyebabkan keresahan sosio-kultural yang telah mengubah wajah demografis di Papua. Selama tiga dekade, kebijakan transmigrasi telah mengundang penduduk yang berasal dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, NTT, Bali dan Maluku untuk memasuki Papua. Dan kini, kaum transmigran yang telah beranak-pinak itu jumlahnya mencapai 15 persen dari total penduduk Papua.
Pengelolaan sumberdaya hutan kayu di Papua yang dioperasikan oleh perusahaan-perusahaan pemegang HPH ditujukan untuk orientasi ekspor hasil hutan berupa kayu jenis komersil seperti kayu merbau (intsia sp), kayu agathis (damar), kayu linggua dan aneka jenis kayu rimba campuran (miks). Sampai dengan tahun 2005, jenis kayu merbau menjadi ’primadona’ hasil hutan Papua. Berbagai perusahaan pengambil hasil hutan kayu bermunculan di Papua baik yang beroperasi secara legal maupun yang ilegal. Hal yang sangat ceroboh adalah kemunculan kebijakan Gubernur Provinsi Papua berupa Surat Keputusan Nomor SK.56/Gub/Papua/2000 tentang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di mana masyarakat asli (adat) Papua yang memiliki hak ulayat atas tanah adatnya mendapat peluang secara besar-besaran untuk mengelola hasil hutan kayu dengan membentuk badan usaha berupa koperasi. Koperasi untuk usaha hutan yang dikembangkan di Papua ini disebut Koperasi Peranserta Masyarakat (Kopermas). Badan usaha yang dikelola oleh masyarakat adat Papua ini ternyata kalah posisi tawarnya dibandingkan perusahaan swasta pemegang HPH. Karena, Kopermas tidak mempunyai peralatan kerja (chainsaw, eksavator, dan truk) dan modal usaha, serta tenaga terampil untuk operasional penebangan kayu. Kopermas pun didekati agar bersedia menjadi ’anak angkat’ perusahaan HPH dengan alasan untuk pembinaan. Selain itu, Kopermas sendiri juga diberi kebebasan mencari mitra usaha pemilik modal dan peralatan. Konsekuensinya, kesempatan ini menjadi peluang dan sekaligus ancaman bagi masyarakat adat, lantaran banyak investor asing dan lokal yang masuk Papua secara ilegal. Penebangan liar lalu merajalela. Tahun 2004 menjadi puncak terungkapnya kasus illegal logging di Indonesia dengan jumlah kasus terbesar di Papua. Pemerintah Indonesia menyikapi hal ini secara tidak serius, karena penanganan kasus illegal logging oleh Tim Operasi Hutan Lestari (OHL) yang menjalankan instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata tidak berhasil. Ternyata hanya masyarakat adat Papua (pemilik tanah adat dan hak atas kelola hutan melalui Kopermas) yang diproses secara hukum. Sedangkan para mafia pelaku illegal logging tidak satu jua yang diungkap dan ditangkap oleh Tim OHL sepanjang tahun 2004-2006.
Kendati begitu, perlu diakui, bahwa di satu sisi penanganan kasus illegal logging di Papua cukup berhasil karena mampu menghentikan aktivitas perusahaan-perusahaan HPH dan Kopermas. Aktivitas para pengambil manfaat hasil hutan kayu komersil (terutama merbau) ini dihentikan untuk waktu yang tidak ditentukan, sampai ada kebijakan (peraturan) baru dari Pemerintah Indonesia (Kementerian Kehutanan RI). Di sisi lain, Tim OHL gagal lantaran tidak mampu membuat perubahan kebijakan, misalkan menawarkan suatu usulan peraturan baru atau amandemen UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Akibatnya, usaha-usaha illegal logging kembali marak pada tahun 2006 hingga tahun 2007. Bahkan, perusahaan pemegang HPH dapat seenak sendiri mengubah statusnya menjadi perusahaan perkebunan sawit.
Karena itu, dengan seolah menomor-duakan orang Papua dalam proses pembangunan, tidaklah mengherankan bila sampai pada tahun 1996 sekitar 77% desa di Irian Jaya berada di bawah garis kemiskinan dan menjadi desa binaan program IDT. Dan pada tahun 2005 hampir 85 persen penduduk Papua berkategori miskin. Sebagian besar orang Papua adalah bertani. Sayangnya, sebagian besar lahan di wilayah Tanah Papua telah dikapling oleh para penguasa misalnya untuk pertanian seluas 8,65%, pemukiman penduduk 3,36%, sarana sosial budaya sebesar 1,75 %, transmigrasi seluas 0,55% dan penggunaan tanah untuk keperluan lainnya kurang dari 1%. Dengan demikian sebagian besar tanah --seluas 1.528.277 ha (84,69%)-- di Papua dimiliki oleh negara. Rakyat kesulitan mencari tempat tinggal yang layak huni. Lantaran menempati pemukiman yang basah dikhawatirkan akan menjadikan masa depan anak cucu rakyat asli Papua merana di atas tanahnya sendiri. Selain itu, pembukaan industrialisasi yang mengandalkan penggunaan teknologi canggih nyaris tanpa melibatkan tenaga kerja orang asli Papua menjadi pemicu semakin melebarnya kesenjangan, terutama setelah kehadiran PT Freeport Indonesia. Implikasinya, rakyat Papua merasa pemerintah mengabaikan pembangunan sosial ekonomi sebab rakyat Papua tetap berada pada kondisi stagnan dan marginal. Rakyat Papua merasa tingkat harapan hidup mereka diperpendek, tingkat pertumbuhan diperlambat, angka kematian meningkat, epidemi penyakit merajalela, dan dikebiri menuju uniformitas etnik, kultural, kesenian, serta sistem sosial budaya.
Kesan itu menjadi semakin menguat manakala disandingkan dengan anggapan sementara orang yang mengidentikkan Papua dengan keterbelakangan. Lambat laun, berbagai kasus muncul menjadi bagian dari lipatan-lipatan persoalan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan keamanan. Gugatan masyarakat atas berbagai kebijakan pemerintah kerap kali ditanggapi dengan sikap keras dan kerap berujung pada stigmatisasi negatif terhadap masyarakat Papua.
Tak pelak, pasca Orde Baru, bermunculan berbagai LSM atau organisasi, baik di Jakarta maupun di Irian Jaya yang mengusung isu kemerdekaan Papua. Kegiatan mereka adalah melakukan unjuk rasa di kantor-kantor pemerintahan dan Kedubes Asing di Jakarta, menyuarakan pelanggaran HAM selama masa pemberlakuan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM), ketidak-adilan, keterbelakangan, dan kerusakan lingkungan hidup. ***

Boks:
Dari Masa Majapahit Sampai Otonomi Khusus

Papua selalu saja menjadi ajang perebutan kepentingan dan kekuasaan dari waktu ke waktu. Catatan berikut menggambarkan betapa Papua menjadi arena perebutan pengaruh yang ujung-ujungnya mengorbankan penduduk asli Tanah yang Diberkati ini.
Jauh sebelum jatuh di tangan Pemerintah Kolonial Belanda mulai 17 Maret 1824 (sesuai dengan isi Perjanjian London), beberapa wilayah Tanah Papua berada dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kitab Negarakertagama menuliskan bahwa pada abad ke-14 dua wilayah di Irian –yakni Onin dan Seran— menjadi bagian dari wilayah Kerajaan yang sohor dengan Mahapatih Gajah Mada itu. Namun demikian, lebih lanjut diterangkan Negarakertagama, armada-armada perdagangan yang berdatangan dari Maluku dan barangkali juga dari Pulau Jawa di sebelah barat kawasan ini, telah memiliki pengaruh jauh sebelumnya.
Dari data tersebut terlihat bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di Papua sempat menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan yang pernah dipimpin oleh Prabu Hayamwuruk. Seiring dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit (1527) yang pernah menguasai sejumlah kawasan di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Brunai, hingga Thailand, lalu hadir kekuatan kerajaan Islam Demak. Dapat dikatakan bahwa sejak zaman baru itu, pengaruh Kerajaan Islam Demak menyebar sampai ke Tanah Papua. Terutama melalui jalur perdagangan para saudagar. Tak lama setelah muncul Kerajaan Islam Demak, berdiri pula Kesultanan Ternate, Tidore dan Jailolo di wilayah Maluku Utara. Pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate dapat ditemukan di Raja Ampat (Sorong) dan di seputar Fak-Fak dan di wilayah Kaimana.
Memasuki abad 19, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya dari Jawa dan Sumatera ke Papua. Hal ini diperkokoh dengan penanda-tanganan Perjanjian London pada 17 Maret 1824 antara Belanda dan Inggris. Intinya, Belanda dan Inggris berbagi wilayah di Hindia. Belanda memperoleh wilayah Sumatera, Jawa, Maluku, dan Netherlands New Guinea (New Guinea sebelah Barat).
Namun Pemerintah Kolonial Belanda tidak serta merta membangun Netherlands New Guinea atau Papua. Pemerintah Kolonial merasa masih ada tempat untuk menancapkan pengaruhnya di luar Papua. Tanah yang Diberkati Tuhan itu hanya sebatas dijadikan cadangan tanah jajahan. Bumi Cenderawasih yang masih perawan ketika dibiarkan saja tanpa sentuhan. Di tengah pembiaran itu, melihat Papua yang tampak masih terbelakang, pada 5 Februari 1855, Zending (misi Kristen dari Jerman) tergerak hati mengirimkan dua orang pendetanya Carl W. Ottow dan Johann G. Geissler untuk mewartakan Injil sekaligus membawa peradaban baru ke tengah-tengah penduduk Papua yang masih tertinggal waktu itu.
Sampai akhir abad 19, Pemerintah Kolonial Belanda masih setengah hati menjejakkan kaki di Tanah Papua. Bahkan, di awal abad 20, tepatnya tahun 1904, H. Colijn (utusan Pemerintah Belanda) yang diterjunkan ke Papua menyarankan agar Pemerintah Kolonial tetap menguasai Papua secara tidak langsung dengan perantaraan Kesultanan Tidore yang telah terlebih dulu menjadi bagian wilayah Hindia Belanda. Alasannya, pemerintahan langsung akan memakan biaya terlalu banyak. Pemerintah pusat Belanda di Den Haag dan di Batavia pun berpendapat senada bahwa pembangunan di Papua tidak akan menguntungkan, karena alamnya terlalu dahsyat dan penduduknya masih primitif.
Tapi sesungguhnya sejak pertengahan abad 19 sudah ada denyut kepentingan ekonomi di Tanah Papua. Mulai medio abad itu, perusahaan perkapalan Renesse van Duivenbode melayarkan enam buah kapal modern di perairan Papua. Selain itu, ada sedikit usaha perikanan oleh kapal-kapal Eropa dan Amerika, di mana penyelaman mutiara merupakan cabang usaha paling penting. Tahun 1891 KPM membuka pelayaran bulanan ke tempat-tempat persinggahan penting di pulau Papua. Kapal-kapal tersebut membawa segala macam pedagang, yang membantu perkembangan lebih lanjut perburuan burung-burung cenderawasih. Karena alasan melindungi pelayaran dan perdagangan ini, Pemerintah Kolonial Belanda tergerak untuk lebih tegas mencampuri jalannya segala sesuatu di Tanah Papua.
Ketika perkembangan Papua sudah sejauh itu, tidak hanya Pemerintah Kolonial yang menunjukkan minat kuat menjejakkan kaki di wilayah yang berkelimpahan sumberdaya alam itu. Perusahaan-perusahan Barat pada umumnya mulai melirik Bumi Cenderawasih. Lantas muncullah berbagai ekspedisi, mulai dari meneliti salju abadi, pertanian, perkebunan sampai pertambangan. Dan minyak menjadi incaran paling utama. Tahun 1905 Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) melakukan pelacakan geologis. Kemudian dinas pertambangan pemerintah Hindia Belanda juga aktif di bidang ini. Satu dan lain hal mendorong orang di tahun 1935 untuk mendirikan NV Nederlandsch Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) –satu kombinasi Belanda-Amerika di mana BPM berpartisipasi dengan 40%. Walaupun minyak dibor di dekat Klamono, di daerah penyangga Sorong, pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia II hal ini tidak sampai mengakibatkan eksploitasi. Selain NNGPM masih ada lagi Standard Vacuum Oil Company dan Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij. Kehadiran orang-orang Amerika dan Belanda menjadi pemicu pertama untuk mengembangkan kota kecil ini. Juga di bidang-bidang lain, minyak mendorong kegiatan-kegiatan antara lain pembuatan lapangan terbang di dekat Sorong dan Babo. Tempat-tempat pengeboran memberi pekerjaan kepada orang-orang Papua dari wilayah Kepala Burung, yang mendapat reputasi baik sebagai buruh. Pendek kata, mulai saat itu terjadi perubahan sosial ekonomi di Papua.
Sebab itu, tidaklah mengherankan bila Resident Nieuw-Guinea yang pertama setelah Perang Dunia II, Jan F.K. van Eechoud, tokoh yang dianggap berperan utama di balik lahirnya “nasionalisme Papua” pernah secara eksplisit mengakui bahwa untuk jangka waktu lama Pemerintah Belanda tidak sungguh-sungguh memperhatikan kemajuan penduduk Papua dan cenderung melupakannya. Eechoud bahkan kemudian menulis sebuah buku yang berjudul Vergeten Aarde: Nieuw-Guinea (1952), artinya: “Tanah yang Dilupakan”.
Kesadaran di kalangan Pemerintah Hindia Belanda tentang ketertinggalan rakyat Papua akibat tiadanya perhatian serius dari Belanda sendiri untuk jangka waktu lama memang datang terlambat. Kesadaran itu baru muncul ketika wilayah jajahannya yang sangat luas dan kaya, Hindia Belanda, melepaskan diri dan menjadi negara Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Ditambah lagi, enam hari setelah proklamasi kemerdekaan, Presiden Soekarno mendeklarasikan kesatuan Indonesia “Dari Sabang Sampai Merauke”.
Sebab itu, Belanda lantas berjuang melalui berbagai cara agar Papua tidak lepas dari tangannya. Tanggal 15 November 1946, Belanda dan Republik Indonesia (RI) menanda-tangani Perjanjian Linggajati yang isinya menyebutkan bahwa Netherlands New Guinea tidak termasuk wilayah RI. Perjanjian tinggallah pernyataan di atas kertas. Sepuluh tahun berselang, Pemerintah RI membentuk pemerintahan provinsi otonom Irian Barat yang berkedudukan di Tidore. Aksi ini dibalas Belanda dengan mengubah nama Netherlands New Guinea menjadi Papua Barat pada tanggal 1 Desember 1961.
Presiden Soekarno tak mau kalah. Pada 19 Desember 1961, Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora). Trikora merupakan momentum politik yang penting. Sebab, dengan Trikora, Pemerintah Belanda dipaksa untuk menanda-tangani perjanjian di PBB yang dikenal dengan New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962 mengenai Nieuw Guinea. Dan melalui New York Agreement itu, Belanda harus menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia lewat badan PBB. Tanggal 1 Oktober 1962, PBB melalui United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) mengambil alih pemerintahan dari Belanda. Dan 1 Mei 1963 UNTEA menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada RI.
Kini sudah lebih dari 45 tahun Papua berintegrasi dengan RI di bawah tiga pemerintahan yang berbeda: Orde Lama (1963-1965), Orde Baru (1965-1998), dan pemerintahan pasca-reformasi (1999-sekarang). Dua tahun era Orde Lama tak banyak perubahan sosial-ekonomi terjadi di Bumi Cenderawasih. Perubahan cukup besar terjadi di masa Orde Baru yang di tahun 1967 membawa masuk pemodal asing ke Tanah Papua, terutama dengan masuknya PT Freeport Indonesia. Orde Baru juga terkenal dengan program transmigrasi terpadu yang membawa masuk sumber daya manusia dari Jawa dan Bali ke wilayah yang luasnya sekitar empat kali pulau Jawa ini. Dengan alasan menjaga stabilitas keamanan, tentara pun memainkan peran yang cukup dominan dalam membangun Papua di era Orde Pembangunan. Yang terjadi kemudian, rakyat Papua merasa terpinggirkan. Banyak di antara mereka yang melakukan perlawanan yang kemudian akrab dalam gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Tak ingin mengulangi kesalahan Orde Baru yang terasa memarginalkan rakyat Papua, pada 4 Oktober 1999 Presiden BJ Habibie mendorong pemberlakuan UU Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Provinsi Irian Jaya Tengah dan Provinsi Irian Jaya Barat. Sepekan kemudian, dengan Dekrit Nomor 327/1999, Presiden Habibie mengangkat Gubernur Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat. Namun dua keputusan ini ditolak DPRD Irian Jaya. Pemberlakuan UU Nomor 45/1999 lantas ditunda dan Dekrit Nomor 327/1999 dibatalkan.
Pergantian kekuasaan selepas Orde Baru itu berlangsung relatif cepat. Setelah Pemilu 1999, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) naik menjadi Presiden RI. Pada 1 Januari 2000, Gus Dur meresmikan pergantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Di tengah eforia reformasi di masa-masa itu, lewat wadah Kongres Rakyat Papua (KRP), rakyat Papua menolak penyatuan Papua dalam NKRI. Belum sempat memberikan tanggapan atas gerakan KRP, Gus Dur mendapat mosi tak percaya dari MPR-RI. Dia lalu digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya menjabat Wakil Presiden.
Menanggapi aspirasi KRP, pada 21 November 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri mengundangkan UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Untuk Papua. Selain itu, pada 27 Januari 2003, Megawati menerbitkan Inpres Nomor 1/2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU Nomor 45/1999 yang sempat tertunda.
Dalam kurun waktu yang panjang dan berujung pada pemberlakuan otonomi khusus sejak tahun 2001 itu jelas telah membawa perubahan sosial, budaya, budaya dan ekonomi yang cukup besar di wilayah Tanah Papua. Persoalannya, sejauh mana proses perubahan itu telah membawa dampak berarti bagi kehidupan penduduk asli Papua?
Berbagai laporan –baik dari media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun pemerintah—telah menggambarkan secara jelas realitas yang ada dan implikasi dari proses perubahan sosial tersebut terhadap kehidupan rakyat asli Papua. Kendati terkadang berbagai laporan itu memperlihatkan optimisme dan hal-hal menggembirakan, namun secara umum berbagai laporan tersebut justru menyiratkan pesimisme dan keprihatinan mengenai perikehidupan penduduk asli Papua yang secara sosial-ekonomi malah semakin tertinggal dan menderita di tanahnya sendiri.
Sembilan tahun belakangan, Provinsi Papua telah menjalankan kebijakan pembangunan berdasarkan UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Untuk Papua. Selain merupakan solusi politik, UU ini juga secara jelas menegaskan adanya keberpihakan (affirmative policy) terhadap penduduk asli Papua, di samping mengesahkan kucuran dana yang sangat besar bagi pembangunan Papua. Sayangnya, setelah sembilan tahun berjalan, ternyata kebijakan dalam kerangka otonomi khusus itu belum membawa perubahan yang signifikan bagi rakyat asli Papua, khususnya dalam bidang sosial-ekonomi.
Memang dari tolok ukur PDRB, Provinsi Papua menempati posisi kelima tertinggi setelah DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau dan Riau. Tapi dari segi pembangunan manusia, data memperlihatkan bahwa sebagian besar rakyat Papua masih hidup dalam kondisi memprihatinkan. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) Papua pada tahun 2008 hanyalah 64,00. Angka IPM sebesar itu menempati urutan ke-33 dari 33 provinsi di Republik Indonesia.
Belum lagi angka kemiskinan yang bukan menurun, tapi makin bertambah justru di tengah realitas kekayaan alamnya yang melimpah. Tahun 2010 tercatat 36,8% penduduk provinsi Papua masuk kategori Miskin. Kemudian, di Papua Barat, penduduk miskin mencapai 34,88%. Kondisi tingkat kemiskinan ini merupakan yang tertinggi di Indonesia. Secara nasional, tingkat kemiskinan hanya 13,33% (Data BPS 2010). Kota Jayapura adalah wilayah dengan penduduk miskin terbesar sebanyak 52,11%. Kondisi ini dipengaruhi oleh arus urbanisasi dari desa ke kota tanpa diimbangi dengan keterampilan yang cukup untuk ikut berperan dalam perekonomian kota. Juga disebabkan oleh kurangnya kapasitas pembuat kebijakan dalam mengantisipasi hal tersebut. Wilayah kabupaten dengan prosentase penduduk miskin terbesar adalah Kabupaten Jayawijaya: 50,31%. Angka kematian bayi mencapai 79 per 1.000 kelahiran dan tingkat gizi penduduk sangat buruk. Penderita penyakit endemis dan penyakit menular, seperti HIV/AIDS, semakin tinggi, sedangkan pelayanan kesehatan masih amat terbatas.
Berdasarkan hasil penelitian Universitas Cenderawasih tahun 2005 tentang berbagai indikator pembangunan di Papua, 74 persen penduduknya hidup di daerah terisolasi lantaran tidak memiliki akses sarana dan prasarana transportasi ke pusat-pusat pelayanan pemerintahan, pelayanan sosial, dan ekonomi. Dari penduduk asli Papua sekitar 1,5 juta jiwa, penduduk yang tamat SD 21,64 persen, tamat SMA hanya 10,5 persen, sedangkan tamat perguruan tinggi cuma 1,91 persen.  Sekitar 45,98% kelompok usia 16-18 tahun tidak melanjutkan sekolah.
Dari segi ekonomi dan mata pencarian, mayoritas rakyat Papua masih hidup dalam taraf ekonomi subsisten bahkan sebagian lagi masih dalam taraf peramu (food-gathering complex). Sebab itu, mereka jelas tidak akan mampu bersaing dengan saudara-saudaranya dari luar Papua dalam persaingan sistem ekonomi pasar. Sekitar 30,6% pencari kerja tidak lulus SD.
Laporan Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007 tentang fenomena mama-mama penjual sayur di lapangan parkir di samping Pasar Swalayan Gelael di Kota Jayapura adalah gambaran ironis sekaligus memprihatinkan tentang masyarakat asli Papua yang semakin termarginalisasi di tanahnya sendiri. Itulah realitas ketimpangan sosial ekonomi penduduk asli Papua di tengah kekayaan alamnya yang melimpah.
Kini, di tengah arus besar otonomi khusus, Papua terbagi ke dalam dua provinsi, yakni Provinsi Papua di bawah kepemimpinan Gubernur Barnabas (Bas) Suebu dan Provinsi Papua Barat dengan Gubernur Abraham (Bram) Octavianus Atururi. Di bawah kepemimpinan kedua tokoh yang merupakan generasi intelektual Papua itu, ada demikian besar harapan diletakkan ke pundak mereka: bagaimana dengan kebijakan otonomi khusus mereka mampu mewujudkan cita-cita “Papua Baru” –di mana rakyat asli Papua semakin sejahtera secara sosial-ekonomi, dan terutama, semakin meningkat harkat, martabat dan harga dirinya sebagai manusia Indonesia. ***

No comments:

Post a Comment