Belanda membutuhkan tanah di
Timur Jauh yang bisa dijadikan Tropical
Holland untuk menampung orang-orang
pro-Belanda yang mengalami kesulitan di Indonesia; dan Papua bisa menjadi
pangkalan AL Belanda.
Menteri Wilayah Seberang Lautan Belanda HJ van Maarseveen, 1961
Papua, sebuah wilayah dengan kelimpahan sumber daya alam nan penuh
pesona. Peneliti Sosial dan Lingkungan Hidup di Tanah Papua Pietsau Amafnini
melukiskan Tanah Papua sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang sangat kaya
akan keaneka-ragaman hayati. Sumberdaya alamnya sangat potensial, baik
sumberdaya hutan, laut, sungai, maupun sumberdaya pertambangan (minyak, gas,
mineral dan logam). Sejak berintegrasi dengan Republik Indonesia (1963), daerah
yang dulu disebut Irian Jaya ini mengalami perubahan dari tahun ke tahun atas
perhatian Pemerintah Indonesia melalui pembangunan fisik dan non-fisik. Papua
dikenal sebagai daerah penghasil sumberdaya alam tambang di dunia sejak tahun
1967 dengan masuknya PT Freeport Indonesia yang berlokasi di Mimika. Pada zaman
Belanda, Papua juga sudah dikenal sebagai daerah penghasil minyak bumi untuk
dunia dengan adanya Niuw-Guinnee Petroleum Mattschappij (NNGPM) yang beroperasi
di Sthenkool (sekarang Teluk Bintuni). Pada tahun 1999, British Petroleum (BP)
Indonesia mulai membangun Kilangan Gas Alam Cair di Babo, Teluk Bintuni, dengan
nama proyek LNG (Liquied Natural Gas) Tangguh. Tidak sampai sebatas itu saja,
hampir seluruh jenis potensi sumberdaya alam yang ada di Tanah Papua sudah
diolah oleh perusahaan-perusahaan asing dan lokal. Sudah barang tentu,
pengolahan itu mendatangkan keuntungan ekonomis yang cukup besar bagi negara
dan dikembalikan ke Tanah Papua dalam wujud pembangunan.
Tapi, masyarakat Papua sejauh
ini merasa diri mereka belum tersentuh pembangunan secara maksimal. Mereka
merasa masih dipinggirkan. Dalam waktu sekitar satu abad belakangan,
sentuhan-sentuhan pembangunan –baik oleh Pemerintah Kolonial Belanda maupun
Pemerintah Republik Indonesia (setelah berintegrasi tahun 1963)— dirasa kurang
melihat sumberdaya lokal yang potensial. Pemerintah Kolonial Belanda tampak
setengah hati membangun Tanah Papua karena Papua hanyalah sebuah tempat
pelarian setelah tidak ada lagi kesempatan menancapkan kukunya menjajah wilayah
lain di Indonesia. Ada kepentingan agar Pemerintah Kolonial Belanda bisa tetap
bercokol di wilayah Nusantara. Walau sebenarnya harus diakui bahwa selama
Pemerintah Kolonial Belanda bercokol di Tanah Papua, banyak hal telah
dilakukan, terutama memajukan sektor pendidikan, kesehatan, dan agama
(Kristen).
Memang telah lama Pemerintah
Kolonial Belanda ingin menguasai wilayah Papua. Dari catatan sejarah, bermula pada
17 Maret 1824 Belanda dan Inggris menandatangani Perjanjian London. Dalam
perjanjian itu, Belanda dan Inggris membagi penguasaan wilayah Hindia. Dan
Belanda kebagian wilayah Sumatera, Jawa, Maluku dan Netherlands New Guinea (New
Guinea sebelah barat). Selanjutnya, pada 24 Agustus 1828 secara resmi Belanda
mengumumkan kekuasaannya atas daerah Papua Barat dengan membangun simbol kekuasaan berupa benteng Du
Bus di Kampung Lobo, Teluk Triton (Kaimana, Fakfak). Karena masih bisa berkuasa
di wilayah lain seperti Sumatera, Jawa dan Maluku, Pemerintah Kolonial Belanda
tidak cepat-cepat serius menguasai Papua meski telah membangun benteng
pertahanan. Sampai kemudian pada tanggal 5 Februari 1855 datanglah dua orang pendeta
Zending (Misi Kristen) C.W. Ottow dan G.J. Geissler dari Gereja Protestan
Jerman, ke Pulau Mansinam, Manokwari. Kedua pendeta itu adalah murid Ds OG
Heldring yang membentuk perhimpunan “Penginjil Tukang” --yakni juru syiar Injil
yang sekaligus memiliki keahlian di bidang pertukangan dan pertanian-- pada
tahun 1847. Saat kali pertama menjejakkan kaki di Mansinam, kedua pendeta itu
berujar penuh khidmat, “Dengan nama Tuhan, kami menginjak tanah ini, tanah yang
diberkati Tuhan.” Ya, Papua Tanah yang diberkati Tuhan. Selanjutnya kedua
pendeta itu menyebarkan ajaran agama Kristen di wilayah sepanjang pesisir
pantai utara Papua. Keduanya relatif cukup berhasil menyebarkan agama Kristen.
Mereka tak hanya menyebarkan agama tapi juga mengajarkan hidup sehat, baca-tulis
dan keterampilan. Terbukti, pada tanggal 5 Februari 1935, tercatat lebih dari
50.000 orang di wilayah Papua menganut agama Kristen Protestan.
Dengan memanfaatkan
dasar-dasar awal membangun masyarakat yang telah diletakkan oleh dua pendeta
Zending tadi, Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mendirikan Pos Pemerintah
pertama yang lebih representatif di Fak-Fak dan Manokwari pada tahun 1898, dilanjutkan
dengan membuka Pos Pemerintah di Merauke pada tahun 1901. Dan baru pada tahun
1910 pusat administrasi dibuka di pesisir utara tepatnya di Hollandia (kini
bernama Jayapura). Pembentukan pos pemerintahan itu dimaksudkan untuk
mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan Kolonial Belanda atas tanah
jajahannya (Muller, 2008: 106).
Bermodal kekuatan pos-pos
pemerintahan itu, Pemerintah Kolonial Belanda mulai ‘membangun’ masyarakat di
empat daerah tersebut dengan memperkenalkan dan mendorong praktik adat
kebiasaan, tata krama dan berbagai aturan bercorak Barat. Antara lain tentang
praktik hidup sehat (kesehatan), pendidikan, disiplin, sopan santun, keamanan,
ketertiban dan keindahan. Dari sudut pandang humanitas, penerapan suatu sistem
kolonial dalam kehidupan masyarakat yang moderat ini diilhami dan diinspirasi
oleh semangat “politik etis” yang muncul pada masa peralihan dari abad ke-19
menuju abad ke-20. Semangat “politik etis” yang dilontarkan Parlemen Belanda
ini mengkritik dan bahkan menganjurkan perubahan perilaku politik pemerintah
kolonial atas wilayah jajahannya. Dalam konteks “politik etis” itu muncul
seorang intelektual Belanda, de Kat Angelino, yang menyatakan bahwa peran Barat
bukanlah untuk mendesak Timur, tapi untuk mengembangkan dan memajukannya. Barat
dapat memberi kekuatan moril dan spirituil untuk memberi nafas kepada evolusi
Timur. Jadi mewujudkan kerja sama Timur-Barat yang selaras dengan jalan
menghargai sifat masing-masing di segala bidang dan membangun suatu masyarakat
yang harmonis. Politik Kolonial Belanda segera meninggalkan prinsip politik
tidak campur tangan dengan masyarakat tradisional secara keseluruhan. Dan
sebagai gantinya menerima politik sintesa dengan tiga prinsip, yaitu
perlindungan, konsolidasi kebudayaan Indonesia, dan penyesuaian dengan
perkembangan dunia modern (Kartodiharjo, 1967).
Mengacu pada pendapat
tersebut, penerapan sistem kolonial terhadap masyarakat lokal tradisional di
Papua lebih diarahkan untuk membangun peradaban dan memperbaiki harkat dan
martabat warga masyarakat, serta menghargai adat-istiadat --termasuk hak ulayat
yang ditata menurut sistem kekerabatan Ondoafi. Sementara pembangunan peradaban
diaplikasikan dan diberdayakan dalam wujud bidang pendidikan, kesehatan,
disiplin dan kerajinan serta keterampilan.
Fenomena ini sedikit berbeda
bila dibandingkan dengan penerapanan sistem kolonial di daerah lain di
Indonesia sebelum muncul “politik etis”. Misalkan di Maluku ketika itu Pemerintah
Kolonial Belanda menerapkan politik ektripasi (Pattikayhatu, dkk, 1977), yaitu kebijakan
penebangan dan pemusnahan pohon cengkeh dan pala serta politik ekspedisi Hongi
di mana Belanda menerapkan monopoli produksi rempah-rempah termasuk menetapkan
harganya, monopoli perdagangan dan pelayaran. Akibatnya, kebebasan rakyat Maluku
di bidang sosial dan perekonomian terancam. Langkah ini sebagai upaya Pemerintah
Kolonial mengumpulkan modal ekonomi untuk mengintensifkan mekanisme kebijakan “politik
etis” Hindia Belanda di Hollandia dan Papua pada umumnya.
Dalam perkembangannya, pada
tahun 1922, Pemerintah Kolonial Belanda membagi wilayah kerja asisten residen menjadi
dua, masing-masing di Manokwari yang merupakan wilayah kerja Asisten Residen
Noord Nieuw Guinea dan Fakfak yang menjadi wilayah kerja Asisten Residen Nieuw
Guinea. Pada 1938 sampai menjelang Perang Dunia (PD) II, wilayah pemerintahan Irian
Barat diubah menjadi dua afdeeling,
yaitu Afdeeling Noord Nieuw Guinea
yang membawahi beberapa Onderafdeeling
seperti Manokwari, Sorong, Serui dan Hollandia, dengan ibukota Manokwari; dan Afdeeling West Nieuw Guinea yang
membawahi Onderafdeeling Fakfak,
Inawatan, Mimika dan wilayah yang terbentang dari Fakfak sampai Merauke. Kedua afdeeling tersebut berada di bawah
Karesidenan Amboina dalam wilayah Provinsi Groote Cost (Timur Barat).
Pemerintah Kolonial Belanda
tampaknya sengaja memperlambat pembangunan perekonomian wilayah Tanah Papua.
Bahkan, H. Colijn yang ditugaskan Pemerintah Belanda membuat laporan mengenai
keadaan Papua, tahun 1904, menyarankan agar pemerintah tetap menguasai Papua
secara tidak langsung dengan perantaraan Kesultanan Tidore. Alasannya,
pemerintahan langsung akan memakan biaya terlalu banyak. Pemerintah Pusat
Belanda di Den Haag dan Batavia pun berpendapat sama bahwa pembangunan di Papua
tidak akan menguntungkan, karena alamnya terlalu dahsyat dan penduduknya masih
primitif.
Memang, memasuki awal tahun
1900-an, Belanda hanya membuka perkebunan-perkebunan skala kecil. Baru tahun
1935, perusahaan-perusahaan besar Belanda dan Inggris menggabungkan modal
mereka dan mendirikan Perusahaan Nederlandsch Niuw-Guinnee Petroleum
Mattschappij (NNGPM) bertujuan melakukan eksplorasi untuk mencari sumber-sumber
minyak dan kandungan mineral di wilayah Tanah Papua. Sebelumnya (tahun 1907)
perusahaan pertambangan minyak Royal Duutch Shell telah dibentuk namun tidak beroperasi
secara maksimal. Perusahaan-perusahaan swasta besar yang menanamkan modal dalam
NNGPM adalah Bataafsche Pacific Petroleum Maatschappij, Standard Vacuum Oil
Company, dan Nederlandsche Pacific Proteleum Maatschappij, dengan masing-masing
memiliki saham sekitar 35%. Dari pemerintah Belanda, NNGPM memperoleh hak atas
daerah konsesi seluas 10 juta hektar, yakni seluruh daerah kepala burung atau
1/3 wilayah Tanah Papua. Ini sebagai konsesi pemerintah Belanda terhadap
perusahaan swasta.
Kemudian NNGPM mendirikan
pangkalan-pangkalan pesawat terbang amfibi sikosky di daerah Tanah Merah dan
Ayamaru, guna kepentingan meneliti potensi lainnya dari udara. Hasil penelitian
memperlihatkan adanya sumber-sumber minyak dan sumber mineral lain di wilayah
Papua. Dan, di tahun 1935 itu pula mulai diadakan penggalian percobaan (eksplorasi)
di daerah pedalaman kepala burung (Sorong dan Teluk Bintuni). Dari hasil
industri minyak tersebut, NNGPM mampu membiayai penelitian ilmiah dan mendatangkan
para ilmuwan dari luar –antara lain ahli zoologi, botani, kehutanan, geologi,
geografi dan antropologi-- untuk mengeksplorasi lebih luas lagi dan mencari
potensi mineral. Salah satu ekspedisi eksplorasi tersebut adalah melakukan
pendakian ke Gunung Cartenz dan Ertsberg (gunung bijih), yang sekarang menjadi
tempat beroperasinya penambangan tembaga dan emas berskala besar (PT Freeport
Indonesia). Eksplorasi ini juga sekaligus sebagai upaya mengembangkan peta
Papua. Namun semua usaha perekomomian terhenti gara-gara pecah Perang Pasifik. Akibatnya,
perkembangan modal di Papua pun jadi terhambat.
Yang masih terus berjalan
adalah perkembangan perubahan sosial dan budaya. Karena, Pemerintah Kolonial
Belanda tetap menggandeng misi Kristen Zending yang dibawa oleh dua pendeta
dari Gereja Kristen Jerman. Bahkan, Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan
Zending sebagai bagian yang tak terpisahkan darinya. Sebagai bagian integral
dari pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, Zending pada masa itu diposisikan
sebagai mitra pemerintah dalam membangun peradaban masyarakat dengan mendirikan
pos-pos pelayanan di berbagai tempat di wilayah Tanah Papua. Pada umumnya,
penyelenggaraan misi Zending tersebut memperoleh bantuan atau subsidi dari
Pemerintah Kolonial Belanda. Terkait dengan peranan Zending sebagai organ dan
mitra pemerintah tersebut, sejak awal wilayah pekabaran Injil merupakan cikal-bakal
terbentuknya pos pemerintahan dan proses pelaksanaan pembangunan.
Dengan demikian, telah
terjalin hubungan dan kerja sama antara misi pekabaran Injil, misi
penyelenggaraan pemerintahan dan misi pelaksanaan pembangunan, baik dari sisi
aktivitasnya maupun dari sisi kelembagaan yang mengemban tugas-tugas tersebut.
Sebab itu, keterkaitan dan kemitraan ini tentunya layak dilanjutkan atau
diteruskan pada saat ini dan pada waktu mendatang.
Tugas utama Zending adalah
bagaimana berupaya membangun peradaban untuk mengubah sikap mental masyarakat
di Tanah Papua yang telah lama dikuasai oleh kuasa-kuasa kegelapan dalam bentuk
kepercayaan animisme dan dinamisme. Dengan menggunakan Injil Yesus Kristus
sebagai senjata pamungkas, diharapkan timbul kesadaran masyarakat di wilayah
ini untuk mengubah pola pikir dan pola tindak mereka menuju hidup baru sesuai
dengan tuntutan dan kehendak zaman. Dalam menjalankan tugas pengabdiannya, para
Zendeling menghadapi berbagai tantangan dan risiko karena bersentuhan langsung
dengan masyarakat tradisional di kampung-kampung pelosok Papua. Namun, dengan
sikap persuasif para Zendeling dan semangat cinta kasih sesuai ajaran Injil
Yesus Kristus serta tanpa memperhitungkan untung-rugi, tugas itu dapat
dilaksanakan dengan baik. Mereka rela mengorbankan nyawanya. Bahkan anggota
keluarga mereka ikut pula menderita dan menjadi korban dalam menjalankan misi
gereja tersebut.
Pembangunan peradaban di
Tanah Papua, selain melalui pendidikan dalam bentuk penyelenggaraan
sekolah-sekolah sebagai sarana penyebar-luasan Injil dan agama Kristen
Protestan, Zending juga memperhatikan dan memajukan aspek-aspek kehidupan
praktis lainnya, seperti pola hidup sehat, pertanian, pertukangan dan kesenian.
Pada mulanya, sekolah yang dibangun secara sederhana tersebut disesuaikan
dengan taraf kebudayaan penduduk asli masyarakat lokal dan diselenggarakan oleh
Zendeling sendiri sebagai guru di rumahnya bersama anak-anak asuhnya. Anak-anak
yang telah dibebaskan dari perbudakan dengan uang tebusan oleh Zendeling
tersebut kemudian diasuh sebagai anak-anak didiknya. Kepada mereka diberikan pelajaran
secara praktis yang manfaatnya dapat langsung dirasakan dalam kehidupan
sehari-hari, antara lain berkebun dan bercocok-tanam, prakarya atau pekerjaan
tangan, hidup sehat, membaca, menulis, berhitung, menyanyi dan berdoa sebelum
dan sesudah selesai pelajaran. Semua itu hanya merupakan sarana untuk
menanamkan agama Kristen Protestan sebagai tujuan utama (F.J. van Hasselt,
1922).
Misi para Zendeling tersebut
berlangsung secara simultan bersamaan dengan aktivitas penyelenggaraan pemerintahan
dalam menata struktur dan administrasi tata pemerintahan kota Hollandia
(Jayapura) serta membenahi wajah kota dengan membangun infrastruktur berupa
gedung perkantoran, jalan-jalan, jembatan, instalasi air bersih dan sarana
penerangan. Selain itu juga membangun gedung-gedung sekolah dalam berbagai
level antara lain sekolah pengadaban, sekolah sambungan, dan sekolah guru.
Program pembangunan ini bertujuan untuk memberi pembekalan keterampilan dan
ilmu pengetahuan yang merupakan syarat bagi mereka untuk bekerja di masyarakat
yang sudah maju.
Karya nyata para Zendeling
dalam membangun peradaban masyarakat yang penuh tantangan dan ancaman itu
mendapat respon positif dari Residen Ternate van Horts ketika atas nama
Gubernur Hindia Belanda melantik van Gorterzee sebagai kontrolir pertama di
Manokwari pada 8 November 1898. Saat itu, van Horts dalam pidatonya memuji
semangat dan keberanian para Zendeling serta daya tahan mereka dalam mengemban
tugas dan misinya. Turut pula memberikan sambutan Pendeta J.L. van Hasselt
Senior atas permintaan residen.
Setelah memperoleh dukungan
moral dan legitimasi politik dari Pemerintah Hindia Belanda, secara nyata
Pendeta van Hasselt Senior mulai melakukan penjajakan sekaligus kunjungan
pastoral ke Hollandia (Jayapura) di kawasan Teluk Imbi (Teluk Yos Sudarso).
Kunjungan itu dilakukan pada 16 Juli – 2 September 1912, dengan menyinggahi
beberapa gereja dan sekolah di Pulau Debi. Selanjutnya, Teluk Imbi/Humbolt dan
kota Hollandia yang dipimpin seorang controleur
ini dapat disinggahi secara terus-menerus oleh kapal-kapal milik Koninklijk
Paketvaart Maatschappij (KPM), kapal-kapal perang dan kapal-kapal patroli milik
Pemerintah Hindia Belanda. Pun demikian proses pergantian pejabat
berturut-turut sejak saat itu sampai dengan meletusnya Perang Pasifik.
Mengapa Pendeta van Hasselt Senior
memilih Pulau Debi untuk meretas jalan penyebaran agama sekaligus membuka jalur
pelayaran di Tanah Papua? Karena sejak 1908-1912, Pemerintah Hindia Belanda
telah membuka posthouder di pulau
tersebut dengan menempatkan P. Windhouwer. Pada saat itu, wilayah Nieuw-Guinea
bagian utara masih berada di bawah kekuasaan Residen Ternate dengan Asisten
Residen berkedudukan di Manokwari setelah meninggalnya Residen Nieuw-Guinea
Luilofs.
Perlahan namun pasti,
Zendeling van Hasselt Senior yang dibantu oleh beberapa guru jemaat dan
penginjil --baik asli Papua maupun asal Maluku (Ambon), Sangir dan Manado— mulai
mengajar, mendidik dan melatih warga masyarakat Papua di bidang pendidikan dan
pengajaran, kerohanian, disiplin, etika dan moral, serta cara-cara hidup sehat,
sikap mental dan kesenian. Mereka melaksanakan tugas dan kewajiban misi gereja
tersebut dengan penuh kesabaran walau dihadang tantangan medan yang berat dan
mengerikan. Ketangguhan dan kesungguhan serta kerja keras para pengemban misi
gereja dalam proses pembangunan peradaban kehidupan masyarakat di Tanah Papua masa
itu sungguh mengagumkan. Kehadiran para guru misi (Zending) yang disebut
sebagai guru desa itu bukan saja sebagai mediator dalam penyampaian kebudayaan,
menurut antropolog sohor Yan Boelaars (1992), mereka juga tampil sebagai
katalisator dalam proses perubahan sosial yang berlangsung pesat di Tanah
Papua. Guru-guru desa yang berasal dari Maluku dan Minahasa ini disubsidi oleh
pemerintah untuk mengurus sekolah-sekolah dasar. Mereka berperan pula dalam
pembentukan desa, membuat kebun sekolah, membangun rumah-rumah warga yang lebih
baik, memajukan kesehatan masyarakat, membacakan dan menjelaskan surat-surat
yang berisikan instruksi-instruksi pemerintah kepada masyarakat untuk
dilaksanakan. Mereka memimpin kebaktian di gereja pada hari Minggu, menjalankan
katekesasi bagi orang dewasa, dan bertindak sebagai penengah buat menyelesaikan
perkelahian antar-warga di desa maupun antardesa. Dengan begitu, para guru
bersama isteri akhirnya diterima sebagai ayah dan ibu bagi masyarakat desa di
mana mereka bertugas.
Berkat peran strategis para
Zendeling dan “guru rakyat” tadi, dalam perjalanannya, Tanah Papua senantiasa terasa
tenang dan damai dengan segala aktivitasnya, baik pemerintahan, pembangunan
maupun pelayanan kemasyarakatan. Wilayah ini terus stabil sejak tahun 1910
sampai menjelang pecah Perang Dunia II (1939-1945) dan Perang Pasifik
(1942-1945). Tahun 1942-1945, sebagian besar wilayah utara Netherlands New
Guinea diduduki pasukan Jepang. Jepang tidak memberikan pengayoman dan sentuhan
pembangunan apapun di wilayah Tanah Papua.
Karena merasa tertekan oleh
penguasaan Jepang dan ditinggalkan oleh Belanda yang berkonsentrasi di Perang
Dunia II, timbul rasa kebersamaan di kalangan rakyat Papua untuk bangkit. Sebelum
dan selama Perang Dunia II di Pasifik, muncul semacam rasa nasionalisme di
kalangan rakyat Papua yang secara khas dinyatakan melalui gerakan Millinerian,
Mesianic dan “Cargo-Cultis”. Barangkali yang paling terbuka dari gerakan
seperti itu adalah gerakan “Koreri” di Kepulauan Biak, gerakan “Were” atau “Wege”
di Enarotali atau gerakan “Simon Tongkat” di Jayapura. Berhadapan dengan
kebrutalan tentara Jepang pada masa itu, gerakan Koreri di Biak mencapai titik kulminasinya
pada tahun 1942 dengan suatu proklamasi dan pengibaran bendera.
Akibat masih didudukinya
sebagian besar kepulauan Indonesia oleh Jepang, Pemerintah Kolonial Belanda di
Nieuw Guinea mengalami kekurangan personil yang terlatih di berbagai bidang
pemerintahan dan pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pada tahun 1944
Resident J.P. van Eechoud yang terkenal dengan nama “Vader der Papoea’s” (Bapak
Orang Papua) mendirikan sebuah sekolah polisi dan sebuah sekolah pamongpraja (bestuurschool) di Jayapura (Hollandia),
dengan mendidik 400 orang sekitar tahun 1944-1949. Sekolah inilah yang
melahirkan elite politik (borjuis kecil) terdidik di Nieuw Guinea.
Resident J.P. van Eechoud
mempunyai misi khusus dalam mendidik orang Papua di sekolah polisi dan
pamongpraja. Yakni, untuk menanamkam Nasionalisme Papua dan membuat orang Papua
setia kepada Pemerintah Belanda. Sebab itu, setiap orang yang ternyata
pro-Indonesia ditahan (dipenjarakan) atau dibuang keluar Papua sebagai suatu
tindakan untuk mengakhiri aktivitas pro-Indonesia di Papua. Beberapa orang yang
menempuh pendidikan Eechoud dan kemudian menjadi terkemuka dalam aktivitas
politik antara lain Markus dan Frans Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wajoi,
Silas Papare, Albert Karubuy, Moses Rumainum, Baldus Mofu, Eliezer Jan Bonay, Lukas
Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks, Herman Womsiwor dan Abdullah Arfan.
Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 ikut mempengaruhi sikap politik para
pemuda terdidik tersebut --antara lain Silas Papare, Albert Karubuy, dan Martin
Indey. Pada tahun 1946 di Serui (Yapen Waropen), Silas Papare dan sejumlah
pengikutnya mendirikan Organisasi Politik pro-Indonesia dengan nama “Partai
Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII)”. Di Manokwari pada tanggal 17 Agustus 1947
dilakukan upacara penaikan bendera merah-putih yang dipimpin oleh Silas Papare.
Upacara itu dihadiri antara lain oleh Johan Ariks, Albert Karubuy, Lodwijk dan
Baren Mandatjan, Samuel Damianus Kawab, dan Franz Joseph Djopari. Upacara
tersebut untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Akibatnya,
seluruh peserta tersebut harus masuk tahanan polisi Belanda lebih dari 3 bulan.
Pemerintah Kolonial Belanda menghadapi tantangan yang berat dari PKII. Sebab, PKII
mengklaim bahwa seluruh Indonesia Timur --termasuk West Nieuw Guinea (Irian
Barat/Jaya)—menjadi bagian dari Wilayah Republik Indonesia.
Dua orang nasionalis Papua
lainnya (Frans Kaisiepo dan Johan Ariks) juga bergabung dengan Silas Papare. Tapi,
Johan Ariks kemudian menjadi orang yang sangat anti-Indonesia setelah
mengetahui bahwa ada usaha dari Indonesia untuk mengintegrasikan Irian Jaya
dengan Indonesia dan bukannya membantu proses kemerdekaan negara Papua. Pada
tanggal 16-24 Juli 1946 diselenggarakan konferensi Malino yang dipimpin oleh
wakil pemerintah Belanda Dr. H. J van Mook. Hadir pula pada konferensi tersebut tokoh nasionalis
Papua Frans Kaisiepo yang memperkenalkan
nama “IRIAN” bagi West Nieuw Guinea dan secara tegas menuntut West Nieuw Guinea
ke dalam bagian wilayah Indonesia Timur. Namun permintaan tersebut ditolak oleh
van Mook karena Belanda masih berkepentingan di Nieuw Guinea.
Selanjutnya pada tanggal 27
Desember 1949, Ratu Belanda menetapkan pemberlakuan Besluit Bewindsregeling Nieuw Guinea. Ini merupakan peraturan
ketata-negaraan baru bagi wilayah dan hak-hak penduduk Nieuw Guinea. Peraturan
ketata-negaraan ini mengatur keberadaan Dinas-dinas pemerintahan umum;
Pengangkatan, Pemberhentian, Kekuasaan dan tanggung jawab Gubernur Nieuw
Guinea; Dewan para kepala Jawatan dan bidang kerjanya; Dewan Penasehat untuk
kepentingan pribumi, susunan, kekuasaan dan sidang Dewan Perwakilan Nieuw Guinea;
pembagian wilayah pemerintah dan daerah-daerah otonom; urusan keuangan,
pertahanan, pendidikan, kesehatan dan urusan sosial; serta kemakmuran rakyat,
perniagaan, dan pelayaran. Semuanya dirumuskan ke dalam 181 Pasal dengan
ketentuan umum serta aturan peralihannya.
Untuk menyesuaikan tata
pemerintahan dengan Besluit
Bewindsregeling Nieuw Guinea tersebut, Gubernur mengeluarkan keputusan
tertanggal 14 Juni 1950 No. 43 untuk mencabut keputusan Pemerintah Hindia
Belanda tanggal 14 Januari 1949 dan 13 Juli 1945 tentang status wilayah Nieuw
Guinea (Irian Jaya) sebagai wilayah Neolandschap. Jadi status itu dihapuskan
terhitung tanggal 1 Juni 1950 dan Nieuw Guinea menjadi Zelfbesturend Landschap
(Gouvernementsblad 1950/12).
Menurut Besluit tersebut, Gubernur menyelenggarakan pemerintahan umum atas
nama Ratu Belanda di Nieuw Guinea (Title I Pasal I). Gubernur menyelenggarakan
pemerintahan-pemerintahan umum di Nieuw Guinea atas nama dan sebagai wakil Ratu
Belanda sesuai dengan ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan itu. Dan dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk Ratu (Pasal 29), Gubernur diangkat dan
diberhentikan oleh Ratu Belanda (Pasal 11). Selama masa pemerintahan Nederland
Nieuw Guinea, jabatan Gubernur berturut-turut dipegang oleh S.L.J. van
Waardenburg (awal 1950 – Maret 1953), J. van Baal (April 1953 – April 1958) dan
terakhir Pieter J. Platteel (Mei 1958 - September 1962).
Dalam melaksanakan tugasnya,
Gubernur Nederland Nieuw Guinea dibantu oleh Diensten van Algemeen Bestuur
(Dinas-dinas Pemerintah Umum) yang tugas dan wewenangnya diatur olehnya dengan
persetujuan Ratu Belanda. Masing-masing dinas itu dikepalai oleh seorang
direktur yang diangkat dan diberhentikan oleh Ratu Belanda setelah
dimusyawarahkan dengan Gubernur (Pasal 60
Besluit Bewindsregeling Nieuw Guinea).
Selain membangun dan
meletakkan dasar-dasar tata pemerintahan, di masa penjajahan Kolonial Belanda
itu, sektor pendidikan boleh dikatakan memperoleh alokasi yang cukup besar
dalam anggaran Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun-tahun terakhir masa
penjajahan, anggaran pendidikan ini mencapai 11% dari seluruh pengeluaran tahun
1961. Sayangnya, waktu itu, pembangunan pendidikan tidak disesuaikan dengan
kebutuhan tenaga kerja di sektor perekonomian modern. Sesuai dengan kepentingan
kaum penjajah, yang lebih diutamakan adalah penanaman nilai-nilai Belanda dan
agama Kristen. Baru pada akhir tahun 1961, rencana pembangunan pendidikan
diarahkan kepada usaha peningkatan keterampilan. Tapi, tetap lebih diutamakan
pendidikan untuk kemajuan rohani dan kemasyarakatan. Walaupun bahasa “Melayu”
dijadikan sebagai bahasa “Franca” (Lingua Franca), bahasa Belanda tetap
diajarkan sebagai bahasa wajib mulai dari tingkat sekolah dasar. Kemudian
bahasa Inggris, Jerman dan Perancis dijadikan bahasa kedua yang mulai diajarkan
di sekolah lanjutan.
Pasca kepergian Jepang dari
Papua setelah kalah dalam Perang Dunia II, pembangunan pendidikan dasar tetap terus
dilakukan oleh misi keagamaan Zending. Tercatat bahwa pada tahun 1961 terdapat
496 sekolah misi tanpa subsidi dengan menampung kurang lebih 20.000 murid.
Sekolah Dasar yang bersubsidi sebanyak 776 sekolah dengan jumlah murid pada
tahun 1961 sebanyak sekitar 45.000 murid dan seluruhnya ditangani oleh misi.
Pelajaran agama merupakan mata pelajaran wajib. Pada tahun 1961 tercatat 1.000
murid belajar di sekolah menengah pertama, 95 orang Irian belajar di luar
negeri yaitu Belanda, Port Moresby, dan Australia. Di antara mereka ada yang sampai
perguruan tinggi serta ada pula yang masuk sekolah pertanian dan sekolah
perawat kesehatan (misalnya pada Nederland National Institut for Tropica
Agriculture dan Papua Medical Collega di Port Moresby).
Belanda boleh dikatakan
hanya setengah hati membangun Papua. Faktanya, walau Belanda harus mengeluarkan
anggaran yang cukup besar untuk membangun Papua, namun hubungan antara kota dan
desa atau kampung tetap saja dibuat terbatas. Tujuannya tak lain untuk tetap
melestarikan kepentingan penjajah, terutama kepentingan bisnis. Hal ini
terlihat pada sektor perhubungan laut dan luar negeri yang dipegang perusahaan
Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM). KPM lah yang menjalankan kapal-kapal
yang berlayar menghubungkan kota-kota Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong,
Fak-Fak, Merauke, Singapura, dan Negeri Belanda. Selain itu ada kapal-kapal
kecil milik pemerintah untuk keperluan tugas pemerintahan. Belanda juga membuka
17 kantor pos dan telekomunikasi yang melayani antar-kota. Terdapat sebuah
telepon radio yang dapat menghubungkan Hollandia-Amsterdam melalui Biak. Pun di
tiap kota terdapat telepon. Terdapat juga perusahaan penerbangan Nederland
Nieuw Guinea Luchvaart Maatschappij (NNGLM) yang melayani penerbangan secara
teratur antara Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Merauke, dan Jayawijaya
dengan pesawat DC-3. Kemudian disusul oleh perusahaan penerbangan Kroonduif dan
Koninklijk Luchvaart Maatschappij (KLM) untuk penerbangan luar negeri di Biak.
Sudah sejak tahun 1950 lapangan terbang Biak menjadi bandar udara
internasional. Selain penerbangan tersebut, masih terdapat juga penerbangan
yang diselenggarakan oleh misi Protestan yang bernama Mission Aviation
Fellowship (MAF) dan penerbangan yang diselenggarakan oleh misi Katolik dengan nama
Associated Mission Aviation (AMA) yang melayani jalur penerbangan ke pos-pos
penginjilan di wilayah pedalaman. Jalan-jalan hanya dibangun di sekitar kota
besar yaitu Hollandia 140 kilometer, Biak 135 kilometer, Manokwari 105 kilometer,
Sorong 120 kilometer, Fak-Fak 5 kilometer, dan Merauke 70 kilometer.
***
PERAN
tokoh agama demikian kuat dalam upaya membangun Papua di masa penjajahan
Kolonial Belanda. Dimulai dengan kehadiran C.W. Ottow dan G.J. Geissler pada
tahun 1855 di Pulau Mansinam (Manokwari). Keduanya kemudian menetap sebagai juru
siar agama Kristen di daerah Doreri. Setelah itu, lambat laun jumlah golongan
orang-orang Belanda di Papua bertambah seiring dengan pertambahan jumlah para juru
siar agama yang berusaha menyebarkan agama Kristen di kalangan penduduk
pribumi. Bahkan, pada tahun-tahun awal masa penjajahan Belanda di Papua, hampir
seluruh golongan orang-orang Belanda di daerah tersebut terdiri dari para
penyiar agama Kristen. Di awal kedatangannya ke Papua, hampir sebagian besar
pasukan Kolonial Belanda yang diterjunkan ke kawasan ini merangkap sebagai rohaniawan
gereja (missionaries). Arti kata, selain
sebagai tentara, dokter atau perawat, juga sebagai juru rohani. Sebab itu, sangat
wajar bila mereka dengan gigih berjuang kendati menghadapi medan yang sulit,
menguasai dan mengontrol wilayah jajahan, sekaligus mengajak warga pribumi masuk
agama Kristen. Minimal dua kepentingan menyatu dalam diri kaum penjajah
Kolonial Belanda.
Para Zending itu selanjutnya
bekerja menyebarkan agama Kristen melalui organisasi benama Utrechtsehe Zending
Vereeniging (UZV) yang berpusat di Negeri Belanda. Begitu pula kemudian
kegiatan yang dilakukan oleh kaum misionaris Katolik, yakni suatu ordo
Franciscan di Tilberg (Belanda) yang merupakan suatu cabang dari pusat misi di
Vatikan (Sacra Congregatio de Propaganda Fide). Akhirnya mereka membagi Papua
menjadi dua wilayah penggarapan, di mana Kristen Protestan di Utara dan Kristen
Katolik di Selatan. Pembagian seperti itu tampaknya identik dengan keadaan di
Negeri Belanda yang mana di sana memang diterapkan sistem seperti itu.
Secara rutin dan teliti,
mereka mendata jumlah penduduk setempat agar dapat mengikuti perkembangan
jumlah penduduk di wilayah kerja masing-masing. Kaum misionaris (Katolik)
memiliki "Buku Jiwa" sedang kaum Zending (Kristen Protestan)
memelihara "Buku Serani" yang berisi catatan tentang penduduk di
wilayah kerjanya itu juga. Dari catatan tersebut kemudian dilaporkan dan diolah
oleh pusat-pusat organisasi mereka.
Kerja keras mereka cukup membawa
hasil. Hal ini tampak pada komposisi pemeluk-pemeluk agama di Papua,
berdasarkan catatan yang dibuat tahun 1963, seperti berikut: Kristen Protestan
130.000 jiwa, Katolik Roma 47.000 jiwa, Islam 11.000 jiwa, Agama Tionghoa 3.000
jiwa dan Agama-agama pribumi 500.000 jiwa. Terhadap data dan komposisi ragam
pemeluk agama tersebut, laporan itu memberikan penjelasan bahwa angka 500.000
yang menunjukkan jumlah penganut agama-agama pribumi bukanlah angka pasti. Karena,
angka itu didasarkan atas taksiran jumlah orang-orang pribumi di daerah
pedalaman yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Kotabaru
(kini Jayapura).
Golongan penganut agama
Kristen Protestan tersebar di seluruh daerah yang pernah dikuasai oleh
pemerintah jajahan Belanda. Golongan penganut agama Katolik Roma terutama
didapati di daerah pantai selatan. Golongan penganut agama Islam banyak
terdapat di daerah semenanjung Doreri dan Merauke. Sedangkan golongan penganut
agama Tionghoa dijumpai di berbagai tempat.
Di masa lalu, dengan
mengusung kepentingan penyebaran agama, peran gereja sangat menonjol dalam
membawa perubahan sosial masyarakat Papua. Gereja aktif menjalin komunikasi
dengan para pemuka adat. Gereja memberi kesempatan pemimpin adat masuk ke
komunitas gereja. Mereka mengumpulkan warga sekitar lalu membangun sekolah.
Dan, Pemerintah Kolonial Belanda membangun Papua setelah melihat tak ada lagi
wilayah lain di Indonesia yang memberi tempat kepada para tentara Kolonial Belanda
bercokol. Begitulah esensi penting peran tokoh agama dalam melakukan perubahan
sosial masyarakat Papua.
***
ERA berganti.
Zaman berubah. Pada 14 Desember 1960, Resolusi Majelis Umum PBB (GA Resolution
No. 1514 [XV]) menegaskan bahwa penjajahan dengan segala bentuk manifestasinya
harus diakhiri sehingga alasan belum adanya kesiapan dari kondisi politik,
ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya kemerdekaan bagi sebuah bangsa.
Pemerintah Kolonial Belanda
merasa terusik oleh resolusi tersebut karena harus menyerahkan wilayah Papua kepada
Republik Indonesia. Tapi, Pemerintah Kolonial Belanda tidak mau meninggalkan
Tanah Papua begitu saja. Sebelum meninggalkan Tanah Papua, Pemerintah Kolonial
Belanda berusaha membentuk pola pikir dan rasa nasionalisme di kalangan rakyat
Papua. Terlebih lagi, sebelumya Pemerintah Kolonial Belanda sempat menyemai
rasa nasionalisme rakyat Papua melalui sekolah polisi dan pamongpraja. Hal ini
diwujudkan pada April 1961 dengan membentuk Nieuw
Guinea Raad (Dewan New Guinea) yang 22 dari 28 anggotanya adalah orang
Papua: ada yang diangkat, dipilih langsung, atau dipilih melalui perwakilan.
Menjelang dilangsungkannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda
memang telah mengambil ancang-ancang untuk mempertahankan Papua. Di mata
Menteri Wilayah Seberang Lautan Belanda HJ van Maarseveen, Indonesia tidak
memiliki hak moral atas wilayah itu; Belanda membutuhkan tanah di Timur Jauh
yang bisa dijadikan Tropical Holland
untuk menampung orang-orang pro-Belanda yang mengalami kesulitan di Indonesia;
dan Papua bisa menjadi pangkalan AL Belanda (Richard Chauvel dan Ikrar Nusa
Bhakti, Policy Studies 5, East-West
Center, Washington, 2004).
Pada 27 September 1961,
Menteri Luar Negeri (Menlu) Belanda Joseph Luns melontarkan "Rencana
Luns" ke Majelis Umum PBB. Intinya, menurut Luns, harus ada organisasi
atau otoritas internasional yang mesti mengambil-alih Irian Barat dan mempersiapkan
penduduknya menentukan nasib sendiri saat kondisi stabil. Ujungnya ialah
kemerdekaan Papua pada tahun 1970. Usulan Luns tentu saja ditolak oleh Menlu RI
(ketika itu) Dr Soebandrio dengan alasan akan merusak kesatuan nasional dan
integritas teritorial Indonesia.
Di tengah perseteruan kedua Menlu
itu, beberapa elite Papua anggota New
Guinea Raad, seperti Nicolaas Jouwe, P. Torey, Markus Kaisiepo, Nicolaas
Tanggahma, dan Eliezer Jan Bonay (kemudian diangkat menjadi Gubernur Irian
Barat yang pertama), mengatur sebuah pertemuan pada 19 Oktober 1961 yang
mengundang 70 pemimpin Papua, 17 di antaranya diangkat sebagai anggota Komite
Nasional. Ini yang kemudian diinterpretasikan sebagai Kongres Nasional Papua I.
Pertemuan ini menghasilkan manifesto politik, bahwa mulai 1 November 1961: a.
Bendera kami (bintang kejora) dikibarkan bersebelahan dengan bendera Belanda;
b. Lagu kebangsaan kami, Hai Tanahku
Papua, dinyanyikan bersama dengan lagu Wilhelmus; c. Nama tanah air kami
adalah Papua Barat; d. Nama rakyat kami adalah orang Papua. Baru pada 1
Desember 1961 administrasi kolonial Belanda membolehkan penaikan bendera
"bintang kejora" dan pelantunan lagu Hai Tanahku Papua di Hollandia (Jayapura sekarang). Arti lebih
jauh, dengan bantuan Belanda saat itu diproklamasikan Negara Papua Barat (Decki
Natalis Pigay, 2000). Dari sini rasa
nasionalisme Papua dipupuk agar lebih subur lagi tertanam di hati sebagian
rakyat Papua.
Sebenarnya, perebutan
kepentingan penguasaan wilayah Papua antara Pemerintah Kolonial Belanda dan
Pemerintah RI telah berlangsung sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Tercatat pada 23 Agustus 1945, Presiden Soekarno mendeklarasikan kesatuan
Indonesia “Dari Sabang Sampai Merauke”. Lalu pada 15 November 1946, melalui
penandatanganan Perjanjian Linggajati antara Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Belanda, bahwa Netherlands New Guinea tidak termasuk wilayah
Republik Indonesia. Soekarno pantang mundur. Pada 16 Agustus 1956, Pemerintah
RI membentuk pemerintahan provinsi otonom Irian Barat yang berkedudukan di
Tidore. Tanggal 1 Desember 1960, sebagai upaya membentuk negara dan menguatkan rasa
nasionalisme Papua, Pemerintah Kolonial Belanda mengganti nama Netherlands New
Guinea menjadi Papua Barat. Soekarno menanggapi hal ini dengan mengumumkan Tri
Komando Rakyat (Trikota) untuk merebut Irian Barat pada tanggal 19 Desember
1961. Trikora berisi: pertama,
Gagalkan pembentukan “Negara Papua” buatan Belanda Kolonial; kedua, Kibarkan Sang Merah Putih di
Irian Barat Tanah Air Indonesia; dan ketiga,
Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan Kemerdekaan dan Kesatuan
Tanah Air dan Bangsa.
Mayjen TNI Soeharto kemudian
ditunjuk menjadi Panglima Komando Mandala yang bertugas untuk merencanakan,
menyiapkan dan menyelenggarakan operasi untuk menggabungkan kembali Papua
dengan NKRI. Meski kemampuan kekuatan militer minim dan tingkat kesiapan
operasional relatif rendah, beberapa operasi yang dilancarkan TNI dapat
memberikan tekanan yang cukup signifikan kepada Angkatan Bersenjata Belanda
yang terdiri dari kekuatan AL Marine Luchtvaartdienst sebagai kekuatan tumpuan
di wilayah perairan dan pasukan darat Koninklijke Landmacht yang ditempatkan
tersebar di wilayah Papua. Pertempuran yang dikenal dengan Pertempuran Laut Aru
merupakan pertempuran antara AL Belanda dan TNI AL dengan kekuatan armada KRI
Macan Tutul, KRI Macan Kumbang dan KRI Harimau yang dikomandani Komodor Yos
Sudarso yang berada di KRI Macan Tutul yang gugur bersama-sama tenggelamnya
kapal tersebut sebelum menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal “Kobarkan
Semangat Pertempuran”. Operasi-operasi lain yang diselenggarakan antara lain
Operasi Brimob Polri yang tergabung dalam Resimen Tim Pertempuran berhasil
melakukan operasi penghancuran beberapa obyek vital Belanda di Fak-Fak dan
sekitarnya; Operasi penerjunan Pulau Tenimbuan; Operasi penerjunan RPKAD di
Tanah Miring; dan Operasi Jayawijaya yang terkenal sebagai operasi amfibi terbesar
sepanjang sejarah TNI.
Selain operasi militer,
upaya diplomasi juga dilaksanakan untuk merebut kembali Papua. Pendekatan
terhadap negara-negara lain dan PBB untuk mendukung integrasi Papua dilakukan.
Sekjen PBB, U Thant, merespon dengan meminta salah seorang diplomat AS,
Ellsworth Bunker, mengajukan usulan yang dikenal dengan Bunker Proposal yang
isinya mendesak Pemerintah Belanda untuk segera menyerahkan Papua kepada RI.
Melalui proses perjuangan diplomasi yang panjang, kesepakatan RI-Belanda
sedikit mencapai titik terang dengan dilaksanakannya New York Agreement pada
tanggal 15 Agustus 1962 di Markas Besar PBB. Isi New York Agreement adalah
Belanda harus menyerahkan wilayah Papua Barat kepada badan khusus PBB (United
Nations Temporary Executive Authority [UNTEA]) yang selanjutnya akan
menyerahkan Papua kepada RI. Dengan syarat, Pemerintah RI harus memberikan
kesempatan kepada masyarakat Papua untuk mengambil keputusan secara bebas tetap
bergabung dengan RI ataukah memisahkan diri dari RI. Untuk menyelenggarakannya,
Pemerintah RI akan dibantu oleh PBB dan diberi batas waktu selambat-lambatnya
akhir tahun 1969. Maka pada tanggal 1 Oktober 1962, Wakil Gubernur H. Veldkamp
menyerahkan kekuasaan kepada UNTEA atas Papua. Baru pada tanggal 1 Mei 1963,
pemerintahan peralihan UNTEA menyerahkan Papua kepada Pemerintah RI. Setelah
itu, RI dengan bantuan PBB pun merancang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera).
Proses pelaksanaan Pepera
sendiri mulai diselenggarakan tanggal 24 Juli sampai dengan Agustus 1969.
Dilaksanakan di 8 Kabupaten (Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fak-Fak, Sorong, Manokwari,
Biak dan Jayapura) oleh 1.026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili penduduk
Papua yang berjumlah 809.327 jiwa. DMP tersebut terdiri dari 400 orang mewakili
unsur tradisional (Kepala Suku/Adat), 360 orang mewakili unsur daerah dan 266
orang mewakili unsur organisasi politik/organisasi kemasyarakatan. Petugas PBB
yang mewakili Sekjen PBB adalah Dubes Bolivia, Fernando Ortiz Sanz,
bersama-sama 16 orang pengawas PBB lainnya. Hasilnya, peserta rapat Pepera memilih
dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian mutlak
dari wilayah Republik Indonesia. Hasil tersebut disepakati dan disetujui dengan
membubuhkan tanda tangan semua yang hadir dalam rapat Pepera tersebut. Ini
menandai bahwa secara de facto
masyarakat Papua memilih untuk berintegrasi dengan NKRI. Dengan dikeluarkannya
Resolusi PBB nomor 2504 pada Sidang Umum PBB 19 November 1969, dengan 82 negara
yang setuju, 30 negara abstain dan tidak ada yang tidak setuju, menunjukkan
bahwa dunia Internasional sudah mengakui keabsahan Pepera 1969. Dengan demikian
secara de jure pun Papua sah menjadi
bagian wilayah RI.
Mudahkah integrasi Papua ke
NKRI ketika itu? Ternyata tidak mudah. Di mata sebagian warga masyarakat Papua
waktu itu, klaim Republik Indonesia dan Belanda --baik melalui jalur diplomasi
maupun konfrontasi— hanya dipenuhi dengan sikap kooperatif antar-pemerintah demi
kepentingan pembendungan ideologi komunisme internasional yang tidak simpatik
di lubuk hati orang Papua. Sebagian orang Papua merasa tidak pernah dilibatkan secara
aktif dalam proses integrasi politik. Dari setiap perundingan, sebagian rakyat
Papua diperlakukan sebagai obyek, bukan sebagai subyek, dalam pengambilan
keputusan. Lebih ironis lagi, mereka merasa adanya pelanggaran terhadap hak
menentukan nasib sendiri bagi suatu bangsa (GA Resolution No 1541 [XV]) tahun
1960, di mana pada waktu yang bersamaan sebagian rakyat Papua Barat telah
menyatakan deklarasi kemerdekaan dan sosialisasi simbol-simbol kebangsaan/kenegaraan.
Selain itu sebagian rakyat
Papua merasa bahwa konsensus politik 1969 yang disebut Pepera dilaksanakan di bawah
tekanan Indonesia, terutama pelaksanaan menggunakan sistem demokrasi Pancasila (musyawarah
mufakat) yang berbeda dengan standar internasional (one man one vote) sesuai New York Agreement. Alasan Indonesia bahwa
penyelenggaraan Pepera melalui musyawarah mufakat adalah karena kondisi sosial,
ekonomi, geografis dan peradaban hidup primitif masyarakat Papua. Sebagian
rakyat Papua tadi menilai hal ini merupakan pengingkaran terhadap Resolusi
Majelis Umum PBB 14 Desember 1960 (GA Resolution Nomor 1514 [XV]).
Mengenai polemik ini, tokoh
pejuang Papua Ramses Ohee menegaskan bahwa sejarah masuknya Irian Barat (Papua)
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah benar sehingga tidak
perlu dipertanyakan dan diutak-atik lagi. "Sejarah masuknya Papua ke dalam
NKRI sudah benar, hanya saja dibelokkan oleh sejumlah warga tertentu yang
kebanyakan generasi muda. Fakta sejarah menunjukkan keinginan rakyat Papua
bergabung dengan Indonesia sudah muncul sejak pelaksanaan Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928. Sayangnya, masih ada yang beranggapan bahwa Sumpah Pemuda tidak
dihadiri oleh pemuda Papua. Ini keliru, karena justru sebaliknya, para pemuda
Papua hadir dan berikrar bersama pemuda dari daerah lainnya. Ayah saya, Poreu
Ohee, adalah salah satu pemuda Papua yang hadir pada saat itu," papar
Ramses.
Setelah pelaksanaan Pepera
yang hasilnya disahkan oleh PBB melalui Resolusi Majelis Umum Nomor 2504,
sebagai buntut upaya Pemerintah Kolonial membentuk negara tersendiri di Papua,
muncullah gejolak-gejolak upaya pemisahan diri sebagian rakyat Papua dari NKRI.
Menghadapi gejolak-gejolak ini, Pemerintah RI lantas mengambil kebijakan melalui
serangkaian operasi yang bertujuan menciptakan stabilitas keamanan di wilayah
tersebut.
Selain kebijakan yang
bersifat militeristik tadi, Pemerintah Pusat juga memfokuskan perhatian pada
pembangunan ekonomi dan sosial. Pembangunan sosial ekonomi dilaksanakan secara
politis. Di masa transisi tahun 1963-1969, Pemerintah membangun sektor
pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah, dari TK hingga perguruan Tinggi
(Universitas Cendrawasih), pembangunan sarana prasarana infrastuktur,
pengembangan sumber daya manusia dengan menempatkan elit-elit terdidik Papua di
pos-pos pemerintahan. Bahkan, Gubernur diberikan kepada putra asli Papua di
mana hal ini tidak pernah diperoleh orang Papua pada jaman Belanda. Pada 10
September 1969, Presiden Soeharto meresmikan sembilan kabupaten di Provinsi
Irian Barat dan meresmikan provinsi tersebut sebagai provinsi Indonesia yang
ke-17. Dan pada 1 Maret 1973, Presiden Soeharto mengubah nama Irian Barat
menjadi Irian Jaya.
Dalam konteks pembangunan
sosial ekonomi, beberapa saat setelah mengambil-alih Papua, Pemerintah RI
membuka pintu lebar-lebar bagi investasi asing. Salah satunya, pada 5 April 1967,
mendatangkan Freeport-McMoran Copper & Gold. Perusahaan pertambangan asal
Amerika Serikat ini merupakan investor asing pertama yang menanamkan modal di
Papua dan juga di Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru. Dengan masa kontrak
karya 30 tahun, Freeport-McMoran yang kemudian membentuk PT Freeport Indonesia
memperoleh hak untuk menambang tembaga dan emas Ertsberg (gunung bijih) yang
berada di tanah ulayat Suku Amungme. Tak pelak orang-orang Suku Amungme
melancarkan protes lantaran tanah ulayatnya diambil-paksa. Protes pertama dari
Amungme muncul tahun 1967. Sejumlah warga Amungme menanam patok kayu berbentuk
salib di sekeliling peralatan dan kemah tim eksplorasi Freeport. Dengan bantuan
pemimpin Amungme Moses Kilangin yang waktu itu adalah Kepala Pos Pemerintahan
di Akimuga, konflik dapat diredam. Diyakinkan oleh Moses bahwa Freeport hanya
menguji batu-batuan dan hasilnya pasti akan menguntungkan Amungme. Seusai
pengeboran, ketika tim eksplorasi pergi, semua peralatan dirusak dan
barang-barang dicuri oleh penduduk setempat.
Protes dan keberatan warga
Suku Amungme terhadap Freeport kian mengeras pada tahun 1973. Freeport dan Pemerintah
RI segera merespon melalui perjanjian dengan Amungme dari Tsinga dan Waa ke
dalam January Agreement 1974. Bagi
Freeport, perjanjian ini sangat penting artinya karena dapat dijadikan sebagai
landasan ijin tertulis untuk kegiatan pertambangan dari Amungme (pasal 5) dan
larangan bagi Amungme untuk memasuki lokasi-lokasi kegiatan pertambangan dan
tempat tinggal karyawan (pasal 6 dan
lampiran 4). Dengan demikian Freeport
mendapatkan jaminan tertulis bahwa tidak akan ada lagi gangguan dari Amungme.
Menurut teks perjanjian pada
Pasal 3 dan lampiran 4, Amungme Waa dan Tsinga akan memperoleh bangunan sekolah
dasar untuk siswa-siswa hingga kelas 3 dan selanjutnya dikembangkan sampai
kelas 6. Selain itu, Amungme akan mendapatkan perumahan, klinik kesehatan,
pusat perbelanjaan, dan prioritas kesempatan bekerja di Freeport. Isi
perjanjian ini tidak sepenuhnya dapat dipenuhi. Sebagian warga Amungme memang
kemudian diterima menjadi karyawan Freeport namun lantaran pendidikan dan keterampilan
yang rendah, mereka hanya menjadi karyawan rendahan. Kemudian sebagian bangunan
yang dijanjikan sempat dibangun di Waa dan di Kwamki Lama, Timika. Tapi
kemudian dihancurkan lagi oleh pasukan TNI menyusul gerakan perlawanan
bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1977.
Pada gejolak sosial 1977,
OPM melancarkan aksinya dengan menyerang pegawai pemerintah, anggota TNI, dan para
pendatang. Dalam waktu bersamaan, sebagai bentuk protes terhadap kehadiran
Freeport, Amungme melakukan pemotongan pipa konsentrat (slurry pipe) dan sejumlah serangan fisik ke Tembagapura. TNI segera
menghentikan gangguan ini dengan menggelar operasi militer yang salah satunya
adalah menghancurkan fasilitas-fasilitas umum untuk masyarakat setempat yang
sudah dibangun oleh Freeport di Waa dan di Kwamki Lama. Setelah masalah OPM dan
protes Amungme mereda, pemerintah melalui TNI melarang Freeport untuk membangun
kembali fasilitas tersebut di Waa.
Pasca gejolak sosial 1977,
keadaan di areal pertambangan Freeport relatif tenang. Namun ketegangan hubungan
antara warga masyarakat Amungme dan Freeport masih terasa. Bahkan semakin
menguat di bawah permukaan. Tidak ada satu jua kerusuhan yang mencuat ke
permukaan. Pada 1983 ketegangan kembali mengemuka
manakala tersebar isu bahwa kota Tembagapura akan dihancurkan oleh OPM dengan
bantuan orang-orang Amungme yang sudah bekerja di Freeport. Tak pelak, karyawan
Freeport dari Suku Amungme lantas ditangkapi. Sejumlah orang Amungme yang
ketakutan melarikan diri ke hutan.
Suku Amungme pun semakin
terpinggirkan. Tanah-tanah ulayat Amungme yang biasa digunakan untuk berkebun, berkampung
dan berburu terus saja menyempit. Freeport sudah menambang dan membongkar
gunung-gunung dan mengambi-lalih sebagian lahan tradisional mereka yang demikian
luas. Yelsegel Ongopsegel atau Ertzberg (gunung bijih) sudah ditambang sejak
1967 dan mulai berproduksi tahun 1972. Warga Suku Amungme hanya bisa termangu menyaksikan
gunung keramatnya yang dulu dipercaya sebagai tempat bersemayam terakhir bagi
para roh, pada sekitar 1996, sudah rata dengan tanah dan bahkan menyisakan lobang
raksasa. Kekayaan sosial-kultural Amungme ikut lenyap pula.
Kuatnya daya tarik-menarik
kepentingan ketika proses integrasi Papua ke wilayah NKRI membawa konsekuensi
Pemerintah menggariskan kebijakan sosial ekonomi yang dikendalikan oleh militer
dengan mengusung prinsip Keamanan dan Pembangunan. Militer menjadi panglima
dalam seluruh pengambilan keputusan akhir. Ketika itu, pembangunan melalui
program task forces dengan bantuan
dana Asian Development Bank (ADB) lebih banyak dialokasikan ke dana pertahanan
dan keamanan. Akibatnya, dana pembangunan sosial ekonomi yang sesungguhnya justru
relatif kecil. Pernah satu waktu pada dekade tahun 1970-an, pemerintah
menggelar apa yang disebut dengan Operasi Koteka. Yang dilakukan kala itu
adalah mencoba menggantikan koteka —celana berbentuk tabung yang berasal dari
kulit labu dan digunakan oleh laki-laki di wilayah pegunungan— dengan celana
dari bahan kain. Di saat yang sama, untuk menjamin stabilitas wilayah,
pemerintah menerapkan pendekatan keamanan di Papua. Berbagai operasi militer
digelar, mulai dari Operasi Sadar, Operasi Baratayudha, Operasi Wibawa, Operasi
Pamungkas, Operasi Teritorial sampai penerapan daerah operasi militer (DOM).
Baru setelah keamanan
relatif stabil, gerak pembangunan ekonomi mulai bergulir. Mulai tahun 1984,
provinsi Papua yang saat itu disebut Irian Jaya mulai dilirik investor asing
dan lokal di bidang kehutanan. ’Keperawanan’ hutan Papua mulai dijamah atas nama
pembangunan nasional dan menciptakan kesejahteraan masyarakat seutuhnya. Karena
itu, hutan Papua harus dibuka untuk pemukiman transmigrasi dan perkebunan skala
besar. Pemukiman transmigrasi, perkebunan sawit dan persawahan padi merupakan
satu paket pembangunan dalam rencana pembangunan Orde Baru.
Pemerintah Indonesia
mentransmigrasikan orang luar Papua (Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi
dan Maluku) ke Papua. Orang asli Papua mendapat tempat di lokasi transmigrasi
sebagai ’transmigran lokal’ yang dinomor-duakan dalam derap pembangunan. Transmigrasi
dihidupkan secara paksa untuk ’membabat’ hutan buat mencetak persawahan (padi),
selain menjadi tenaga kerja (buruh) di lahan-lahan perkebunan kelapa sawit
milik perusahaan besar seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Sinar Mas.
Dalam rentang masa 1980-an pula, menjamur perusahaan-perusahaan pemilik izin
HPH (Hak Pengusahaan Hutan) di Tanah Papua. Sampai dengan tahun 2002, jumlah
perusahaan HPH di Papua adalah 57 unit perusahaan yang sejak tahun 1980-an ’membagi-bagi’
luasan Tanah Papua untuk kepentingan areal konsesi pengusahaan hutan.
Kebijakan transmigrasi pada
masa Orde Baru menyebabkan keresahan sosio-kultural yang telah mengubah wajah
demografis di Papua. Selama tiga dekade, kebijakan transmigrasi telah
mengundang penduduk yang berasal dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, NTT, Bali dan
Maluku untuk memasuki Papua. Dan kini, kaum transmigran yang telah
beranak-pinak itu jumlahnya mencapai 15 persen dari total penduduk Papua.
Pengelolaan sumberdaya hutan
kayu di Papua yang dioperasikan oleh perusahaan-perusahaan pemegang HPH
ditujukan untuk orientasi ekspor hasil hutan berupa kayu jenis komersil seperti
kayu merbau (intsia sp), kayu agathis (damar), kayu linggua dan aneka jenis
kayu rimba campuran (miks). Sampai dengan tahun 2005, jenis kayu merbau menjadi
’primadona’ hasil hutan Papua. Berbagai perusahaan pengambil hasil hutan kayu
bermunculan di Papua baik yang beroperasi secara legal maupun yang ilegal. Hal
yang sangat ceroboh adalah kemunculan kebijakan Gubernur Provinsi Papua berupa Surat
Keputusan Nomor SK.56/Gub/Papua/2000 tentang Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat di mana masyarakat asli (adat) Papua yang memiliki hak ulayat atas
tanah adatnya mendapat peluang secara besar-besaran untuk mengelola hasil hutan
kayu dengan membentuk badan usaha berupa koperasi. Koperasi untuk usaha hutan
yang dikembangkan di Papua ini disebut Koperasi Peranserta Masyarakat
(Kopermas). Badan usaha yang dikelola oleh masyarakat adat Papua ini ternyata
kalah posisi tawarnya dibandingkan perusahaan swasta pemegang HPH. Karena,
Kopermas tidak mempunyai peralatan kerja (chainsaw,
eksavator, dan truk) dan modal usaha, serta tenaga terampil untuk operasional
penebangan kayu. Kopermas pun didekati agar bersedia menjadi ’anak angkat’
perusahaan HPH dengan alasan untuk pembinaan. Selain itu, Kopermas sendiri juga
diberi kebebasan mencari mitra usaha pemilik modal dan peralatan. Konsekuensinya,
kesempatan ini menjadi peluang dan sekaligus ancaman bagi masyarakat adat, lantaran
banyak investor asing dan lokal yang masuk Papua secara ilegal. Penebangan liar
lalu merajalela. Tahun 2004 menjadi puncak terungkapnya kasus illegal logging di Indonesia dengan
jumlah kasus terbesar di Papua. Pemerintah Indonesia menyikapi hal ini secara
tidak serius, karena penanganan kasus illegal
logging oleh Tim Operasi Hutan Lestari (OHL) yang menjalankan instruksi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata tidak berhasil. Ternyata hanya masyarakat
adat Papua (pemilik tanah adat dan hak atas kelola hutan melalui Kopermas) yang
diproses secara hukum. Sedangkan para mafia pelaku illegal logging tidak satu jua yang diungkap dan ditangkap oleh Tim
OHL sepanjang tahun 2004-2006.
Kendati begitu, perlu diakui,
bahwa di satu sisi penanganan kasus illegal
logging di Papua cukup berhasil karena mampu menghentikan aktivitas
perusahaan-perusahaan HPH dan Kopermas. Aktivitas para pengambil manfaat hasil
hutan kayu komersil (terutama merbau) ini dihentikan untuk waktu yang tidak
ditentukan, sampai ada kebijakan (peraturan) baru dari Pemerintah Indonesia (Kementerian
Kehutanan RI). Di sisi lain, Tim OHL gagal lantaran tidak mampu membuat
perubahan kebijakan, misalkan menawarkan suatu usulan peraturan baru atau amandemen
UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Akibatnya, usaha-usaha illegal logging kembali marak pada tahun
2006 hingga tahun 2007. Bahkan, perusahaan pemegang HPH dapat seenak sendiri mengubah
statusnya menjadi perusahaan perkebunan sawit.
Karena itu, dengan seolah
menomor-duakan orang Papua dalam proses pembangunan, tidaklah mengherankan bila
sampai pada tahun 1996 sekitar 77% desa di Irian Jaya berada di bawah garis
kemiskinan dan menjadi desa binaan program IDT. Dan pada tahun 2005 hampir 85
persen penduduk Papua berkategori miskin. Sebagian besar orang Papua adalah
bertani. Sayangnya, sebagian besar lahan di wilayah Tanah Papua telah dikapling
oleh para penguasa misalnya untuk pertanian seluas 8,65%, pemukiman penduduk
3,36%, sarana sosial budaya sebesar 1,75 %, transmigrasi seluas 0,55% dan
penggunaan tanah untuk keperluan lainnya kurang dari 1%. Dengan demikian
sebagian besar tanah --seluas 1.528.277 ha (84,69%)-- di Papua dimiliki oleh
negara. Rakyat kesulitan mencari tempat tinggal yang layak huni. Lantaran
menempati pemukiman yang basah dikhawatirkan akan menjadikan masa depan anak
cucu rakyat asli Papua merana di atas tanahnya sendiri. Selain itu, pembukaan
industrialisasi yang mengandalkan penggunaan teknologi canggih nyaris tanpa
melibatkan tenaga kerja orang asli Papua menjadi pemicu semakin melebarnya kesenjangan,
terutama setelah kehadiran PT Freeport Indonesia. Implikasinya, rakyat Papua
merasa pemerintah mengabaikan pembangunan sosial ekonomi sebab rakyat Papua
tetap berada pada kondisi stagnan dan marginal. Rakyat Papua merasa tingkat
harapan hidup mereka diperpendek, tingkat pertumbuhan diperlambat, angka
kematian meningkat, epidemi penyakit merajalela, dan dikebiri menuju
uniformitas etnik, kultural, kesenian, serta sistem sosial budaya.
Kesan itu menjadi semakin menguat
manakala disandingkan dengan anggapan sementara orang yang mengidentikkan Papua
dengan keterbelakangan. Lambat laun, berbagai kasus muncul menjadi bagian dari
lipatan-lipatan persoalan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan keamanan.
Gugatan masyarakat atas berbagai kebijakan pemerintah kerap kali ditanggapi
dengan sikap keras dan kerap berujung pada stigmatisasi negatif terhadap
masyarakat Papua.
Tak pelak, pasca Orde Baru,
bermunculan berbagai LSM atau organisasi, baik di Jakarta maupun di Irian Jaya
yang mengusung isu kemerdekaan Papua. Kegiatan mereka adalah melakukan unjuk
rasa di kantor-kantor pemerintahan dan Kedubes Asing di Jakarta, menyuarakan
pelanggaran HAM selama masa pemberlakuan kebijakan Daerah Operasi Militer
(DOM), ketidak-adilan, keterbelakangan, dan kerusakan lingkungan hidup. ***
Boks:
Dari Masa Majapahit Sampai Otonomi Khusus
Papua selalu
saja menjadi ajang perebutan kepentingan dan kekuasaan dari waktu ke waktu.
Catatan berikut menggambarkan betapa Papua menjadi arena perebutan pengaruh
yang ujung-ujungnya mengorbankan penduduk asli Tanah yang Diberkati ini.
Jauh sebelum jatuh di tangan
Pemerintah Kolonial Belanda mulai 17 Maret 1824 (sesuai dengan isi Perjanjian
London), beberapa wilayah Tanah Papua berada dalam kekuasaan Kerajaan
Majapahit. Kitab Negarakertagama menuliskan bahwa pada abad ke-14 dua wilayah
di Irian –yakni Onin dan Seran— menjadi bagian dari wilayah Kerajaan yang sohor
dengan Mahapatih Gajah Mada itu. Namun demikian, lebih lanjut diterangkan
Negarakertagama, armada-armada perdagangan yang berdatangan dari Maluku dan
barangkali juga dari Pulau Jawa di sebelah barat kawasan ini, telah memiliki
pengaruh jauh sebelumnya.
Dari data tersebut terlihat bahwa
pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di Papua sempat menjadi bagian
dari wilayah kekuasaan Kerajaan yang pernah dipimpin oleh Prabu Hayamwuruk.
Seiring dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit (1527) yang pernah menguasai
sejumlah kawasan di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Brunai, hingga
Thailand, lalu hadir kekuatan kerajaan Islam Demak. Dapat dikatakan bahwa sejak
zaman baru itu, pengaruh Kerajaan Islam Demak menyebar sampai ke Tanah Papua. Terutama
melalui jalur perdagangan para saudagar. Tak lama setelah muncul Kerajaan Islam
Demak, berdiri pula Kesultanan Ternate, Tidore dan Jailolo di wilayah Maluku
Utara. Pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate dapat ditemukan di Raja Ampat (Sorong)
dan di seputar Fak-Fak dan di wilayah Kaimana.
Memasuki abad 19, Pemerintah
Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya dari Jawa dan Sumatera ke Papua. Hal
ini diperkokoh dengan penanda-tanganan Perjanjian London pada 17 Maret 1824
antara Belanda dan Inggris. Intinya, Belanda dan Inggris berbagi wilayah di
Hindia. Belanda memperoleh wilayah Sumatera, Jawa, Maluku, dan Netherlands New
Guinea (New Guinea sebelah Barat).
Namun Pemerintah Kolonial
Belanda tidak serta merta membangun Netherlands New Guinea atau Papua. Pemerintah
Kolonial merasa masih ada tempat untuk menancapkan pengaruhnya di luar Papua. Tanah
yang Diberkati Tuhan itu hanya sebatas dijadikan cadangan tanah jajahan. Bumi
Cenderawasih yang masih perawan ketika dibiarkan saja tanpa sentuhan. Di tengah
pembiaran itu, melihat Papua yang tampak masih terbelakang, pada 5 Februari
1855, Zending (misi Kristen dari Jerman) tergerak hati mengirimkan dua orang
pendetanya Carl W. Ottow dan Johann G. Geissler untuk mewartakan Injil
sekaligus membawa peradaban baru ke tengah-tengah penduduk Papua yang masih tertinggal
waktu itu.
Sampai akhir abad 19,
Pemerintah Kolonial Belanda masih setengah hati menjejakkan kaki di Tanah Papua.
Bahkan, di awal abad 20, tepatnya tahun 1904, H. Colijn (utusan Pemerintah
Belanda) yang diterjunkan ke Papua menyarankan agar Pemerintah Kolonial tetap
menguasai Papua secara tidak langsung dengan perantaraan Kesultanan Tidore yang
telah terlebih dulu menjadi bagian wilayah Hindia Belanda. Alasannya,
pemerintahan langsung akan memakan biaya terlalu banyak. Pemerintah pusat
Belanda di Den Haag dan di Batavia pun berpendapat senada bahwa pembangunan di
Papua tidak akan menguntungkan, karena alamnya terlalu dahsyat dan penduduknya
masih primitif.
Tapi sesungguhnya sejak
pertengahan abad 19 sudah ada denyut kepentingan ekonomi di Tanah Papua. Mulai
medio abad itu, perusahaan perkapalan Renesse van Duivenbode melayarkan enam
buah kapal modern di perairan Papua. Selain itu, ada sedikit usaha perikanan
oleh kapal-kapal Eropa dan Amerika, di mana penyelaman mutiara merupakan cabang
usaha paling penting. Tahun 1891 KPM membuka pelayaran bulanan ke tempat-tempat
persinggahan penting di pulau Papua. Kapal-kapal tersebut membawa segala macam
pedagang, yang membantu perkembangan lebih lanjut perburuan burung-burung
cenderawasih. Karena alasan melindungi pelayaran dan perdagangan ini,
Pemerintah Kolonial Belanda tergerak untuk lebih tegas mencampuri jalannya
segala sesuatu di Tanah Papua.
Ketika perkembangan Papua sudah
sejauh itu, tidak hanya Pemerintah Kolonial yang menunjukkan minat kuat menjejakkan
kaki di wilayah yang berkelimpahan sumberdaya alam itu. Perusahaan-perusahan
Barat pada umumnya mulai melirik Bumi Cenderawasih. Lantas muncullah berbagai
ekspedisi, mulai dari meneliti salju abadi, pertanian, perkebunan sampai
pertambangan. Dan minyak menjadi incaran paling utama. Tahun 1905 Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) melakukan
pelacakan geologis. Kemudian dinas pertambangan pemerintah Hindia Belanda juga
aktif di bidang ini. Satu dan lain hal mendorong orang di tahun 1935 untuk
mendirikan NV Nederlandsch Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) –satu
kombinasi Belanda-Amerika di mana BPM berpartisipasi dengan 40%. Walaupun
minyak dibor di dekat Klamono, di daerah penyangga Sorong, pada tahun-tahun
sebelum Perang Dunia II hal ini tidak sampai mengakibatkan eksploitasi. Selain
NNGPM masih ada lagi Standard Vacuum Oil
Company dan Nederlandsche Pacific
Petroleum Maatschappij. Kehadiran orang-orang Amerika dan Belanda menjadi
pemicu pertama untuk mengembangkan kota kecil ini. Juga di bidang-bidang lain,
minyak mendorong kegiatan-kegiatan antara lain pembuatan lapangan terbang di
dekat Sorong dan Babo. Tempat-tempat pengeboran memberi pekerjaan kepada
orang-orang Papua dari wilayah Kepala Burung, yang mendapat reputasi baik
sebagai buruh. Pendek kata, mulai saat itu terjadi perubahan sosial ekonomi di
Papua.
Sebab itu, tidaklah
mengherankan bila Resident Nieuw-Guinea yang pertama setelah Perang Dunia II,
Jan F.K. van Eechoud, tokoh yang dianggap berperan utama di balik lahirnya
“nasionalisme Papua” pernah secara eksplisit mengakui bahwa untuk jangka waktu
lama Pemerintah Belanda tidak sungguh-sungguh memperhatikan kemajuan penduduk
Papua dan cenderung melupakannya. Eechoud bahkan kemudian menulis sebuah buku yang
berjudul Vergeten Aarde: Nieuw-Guinea
(1952), artinya: “Tanah yang Dilupakan”.
Kesadaran di kalangan
Pemerintah Hindia Belanda tentang ketertinggalan rakyat Papua akibat tiadanya
perhatian serius dari Belanda sendiri untuk jangka waktu lama memang datang
terlambat. Kesadaran itu baru muncul ketika wilayah jajahannya yang sangat luas
dan kaya, Hindia Belanda, melepaskan diri dan menjadi negara Indonesia merdeka
pada 17 Agustus 1945. Ditambah lagi, enam hari setelah proklamasi kemerdekaan,
Presiden Soekarno mendeklarasikan kesatuan Indonesia “Dari Sabang Sampai
Merauke”.
Sebab itu, Belanda lantas berjuang
melalui berbagai cara agar Papua tidak lepas dari tangannya. Tanggal 15
November 1946, Belanda dan Republik Indonesia (RI) menanda-tangani Perjanjian
Linggajati yang isinya menyebutkan bahwa Netherlands New Guinea tidak termasuk
wilayah RI. Perjanjian tinggallah pernyataan di atas kertas. Sepuluh tahun
berselang, Pemerintah RI membentuk pemerintahan provinsi otonom Irian Barat
yang berkedudukan di Tidore. Aksi ini dibalas Belanda dengan mengubah nama
Netherlands New Guinea menjadi Papua Barat pada tanggal 1 Desember 1961.
Presiden Soekarno tak mau
kalah. Pada 19 Desember 1961, Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat
(Trikora). Trikora merupakan momentum politik yang penting. Sebab, dengan Trikora,
Pemerintah Belanda dipaksa untuk menanda-tangani perjanjian di PBB yang dikenal
dengan New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962 mengenai Nieuw Guinea. Dan
melalui New York Agreement itu, Belanda harus menyerahkan Papua Barat kepada
Indonesia lewat badan PBB. Tanggal 1 Oktober 1962, PBB melalui United Nation
Temporary Executive Authority (UNTEA) mengambil alih pemerintahan dari Belanda.
Dan 1 Mei 1963 UNTEA menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada RI.
Kini sudah lebih dari 45
tahun Papua berintegrasi dengan RI di bawah tiga pemerintahan yang berbeda:
Orde Lama (1963-1965), Orde Baru (1965-1998), dan pemerintahan pasca-reformasi
(1999-sekarang). Dua tahun era Orde Lama tak banyak perubahan sosial-ekonomi
terjadi di Bumi Cenderawasih. Perubahan cukup besar terjadi di masa Orde Baru
yang di tahun 1967 membawa masuk pemodal asing ke Tanah Papua, terutama dengan
masuknya PT Freeport Indonesia. Orde Baru juga terkenal dengan program
transmigrasi terpadu yang membawa masuk sumber daya manusia dari Jawa dan Bali
ke wilayah yang luasnya sekitar empat kali pulau Jawa ini. Dengan alasan
menjaga stabilitas keamanan, tentara pun memainkan peran yang cukup dominan dalam
membangun Papua di era Orde Pembangunan. Yang terjadi kemudian, rakyat Papua
merasa terpinggirkan. Banyak di antara mereka yang melakukan perlawanan yang
kemudian akrab dalam gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Tak ingin mengulangi
kesalahan Orde Baru yang terasa memarginalkan rakyat Papua, pada 4 Oktober 1999
Presiden BJ Habibie mendorong pemberlakuan UU Nomor 45 Tahun 1999 Tentang
Provinsi Irian Jaya Tengah dan Provinsi Irian Jaya Barat. Sepekan kemudian,
dengan Dekrit Nomor 327/1999, Presiden Habibie mengangkat Gubernur Irian Jaya
Tengah dan Irian Jaya Barat. Namun dua keputusan ini ditolak DPRD Irian Jaya. Pemberlakuan
UU Nomor 45/1999 lantas ditunda dan Dekrit Nomor 327/1999 dibatalkan.
Pergantian kekuasaan selepas
Orde Baru itu berlangsung relatif cepat. Setelah Pemilu 1999, Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) naik menjadi Presiden RI. Pada 1 Januari 2000, Gus Dur meresmikan
pergantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Di tengah eforia reformasi di
masa-masa itu, lewat wadah Kongres Rakyat Papua (KRP), rakyat Papua menolak
penyatuan Papua dalam NKRI. Belum sempat memberikan tanggapan atas gerakan KRP,
Gus Dur mendapat mosi tak percaya dari MPR-RI. Dia lalu digantikan oleh
Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya menjabat Wakil Presiden.
Menanggapi aspirasi KRP,
pada 21 November 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri mengundangkan UU Nomor
21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Untuk Papua. Selain itu, pada 27 Januari
2003, Megawati menerbitkan Inpres Nomor 1/2003 tentang Percepatan Pelaksanaan
UU Nomor 45/1999 yang sempat tertunda.
Dalam kurun waktu yang
panjang dan berujung pada pemberlakuan otonomi khusus sejak tahun 2001 itu
jelas telah membawa perubahan sosial, budaya, budaya dan ekonomi yang cukup
besar di wilayah Tanah Papua. Persoalannya, sejauh mana proses perubahan itu
telah membawa dampak berarti bagi kehidupan penduduk asli Papua?
Berbagai laporan –baik dari
media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun pemerintah—telah
menggambarkan secara jelas realitas yang ada dan implikasi dari proses
perubahan sosial tersebut terhadap kehidupan rakyat asli Papua. Kendati
terkadang berbagai laporan itu memperlihatkan optimisme dan hal-hal
menggembirakan, namun secara umum berbagai laporan tersebut justru menyiratkan
pesimisme dan keprihatinan mengenai perikehidupan penduduk asli Papua yang
secara sosial-ekonomi malah semakin tertinggal dan menderita di tanahnya
sendiri.
Sembilan tahun belakangan,
Provinsi Papua telah menjalankan kebijakan pembangunan berdasarkan UU Nomor
21/2001 tentang Otonomi Khusus Untuk Papua. Selain merupakan solusi politik, UU
ini juga secara jelas menegaskan adanya keberpihakan (affirmative policy) terhadap penduduk asli Papua, di samping
mengesahkan kucuran dana yang sangat besar bagi pembangunan Papua. Sayangnya,
setelah sembilan tahun berjalan, ternyata kebijakan dalam kerangka otonomi
khusus itu belum membawa perubahan yang signifikan bagi rakyat asli Papua,
khususnya dalam bidang sosial-ekonomi.
Memang dari tolok ukur PDRB,
Provinsi Papua menempati posisi kelima tertinggi setelah DKI Jakarta,
Kalimantan Timur, Kepulauan Riau dan Riau. Tapi dari segi pembangunan manusia,
data memperlihatkan bahwa sebagian besar rakyat Papua masih hidup dalam kondisi
memprihatinkan. Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Index/HDI) Papua pada tahun 2008 hanyalah 64,00. Angka IPM
sebesar itu menempati urutan ke-33 dari 33 provinsi di Republik Indonesia.
Belum lagi angka kemiskinan
yang bukan menurun, tapi makin bertambah justru di tengah realitas kekayaan alamnya
yang melimpah. Tahun 2010 tercatat 36,8% penduduk provinsi Papua masuk kategori
Miskin. Kemudian, di Papua Barat, penduduk miskin mencapai 34,88%. Kondisi tingkat
kemiskinan ini merupakan yang tertinggi di Indonesia. Secara nasional, tingkat
kemiskinan hanya 13,33% (Data BPS 2010). Kota Jayapura adalah wilayah dengan
penduduk miskin terbesar sebanyak 52,11%. Kondisi ini dipengaruhi oleh arus
urbanisasi dari desa ke kota tanpa diimbangi dengan keterampilan yang cukup untuk
ikut berperan dalam perekonomian kota. Juga disebabkan oleh kurangnya kapasitas
pembuat kebijakan dalam mengantisipasi hal tersebut. Wilayah kabupaten dengan
prosentase penduduk miskin terbesar adalah Kabupaten Jayawijaya: 50,31%. Angka
kematian bayi mencapai 79 per 1.000 kelahiran dan tingkat gizi penduduk sangat
buruk. Penderita penyakit endemis dan penyakit menular, seperti HIV/AIDS,
semakin tinggi, sedangkan pelayanan kesehatan masih amat terbatas.
Berdasarkan hasil penelitian
Universitas Cenderawasih tahun 2005 tentang berbagai indikator pembangunan di
Papua, 74 persen penduduknya hidup di daerah terisolasi lantaran tidak memiliki
akses sarana dan prasarana transportasi ke pusat-pusat pelayanan pemerintahan,
pelayanan sosial, dan ekonomi. Dari penduduk asli Papua sekitar 1,5 juta jiwa,
penduduk yang tamat SD 21,64 persen, tamat SMA hanya 10,5 persen, sedangkan
tamat perguruan tinggi cuma 1,91 persen.
Sekitar 45,98% kelompok usia 16-18 tahun tidak melanjutkan sekolah.
Dari segi ekonomi dan mata
pencarian, mayoritas rakyat Papua masih hidup dalam taraf ekonomi subsisten
bahkan sebagian lagi masih dalam taraf peramu (food-gathering complex). Sebab itu, mereka jelas tidak akan mampu
bersaing dengan saudara-saudaranya dari luar Papua dalam persaingan sistem
ekonomi pasar. Sekitar 30,6% pencari kerja tidak lulus SD.
Laporan Ekspedisi Tanah
Papua Kompas 2007 tentang fenomena
mama-mama penjual sayur di lapangan parkir di samping Pasar Swalayan Gelael di Kota
Jayapura adalah gambaran ironis sekaligus memprihatinkan tentang masyarakat
asli Papua yang semakin termarginalisasi di tanahnya sendiri. Itulah realitas
ketimpangan sosial ekonomi penduduk asli Papua di tengah kekayaan alamnya yang
melimpah.
Kini, di tengah arus besar otonomi
khusus, Papua terbagi ke dalam dua provinsi, yakni Provinsi Papua di bawah
kepemimpinan Gubernur Barnabas (Bas) Suebu dan Provinsi Papua Barat dengan
Gubernur Abraham (Bram) Octavianus Atururi. Di bawah kepemimpinan kedua tokoh
yang merupakan generasi intelektual Papua itu, ada demikian besar harapan
diletakkan ke pundak mereka: bagaimana dengan kebijakan otonomi khusus mereka
mampu mewujudkan cita-cita “Papua Baru” –di mana rakyat asli Papua semakin
sejahtera secara sosial-ekonomi, dan terutama, semakin meningkat harkat,
martabat dan harga dirinya sebagai manusia Indonesia. ***
No comments:
Post a Comment