Himpunan Pengusaha Tenaga Kerja Indonesia (Himsaki) meminta DPR dan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) agar membubarkan konsorsium asuransi Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) yang diselenggarakan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kemnakertrans). Pasalnya, konsorsium asuransi itu sama sekali tidak bermanfaat
bagi TKI. Desakan itu disampaikan Direktur Eksekutif Himsataki, Yunus Yamani,
kepada SP, Selasa (19/3).
Yunus mengatakan, sejak awal pembentukan konsorsium asuransi
buat TKI di Kemnakertrans ditentang banyak orang, dan terbukti pelaksanaannya
tidak membawa manfaat bagi TKI. “Banyak mantan TKI mengadu kepada lembaga kami
soal tidak ada manfaatnya asuransi itu,” tegas Yunus.
Yunus menegaskan, asuransi yang ada sekarang berlaku hanya dua
tahun bagi TKI. “Nah kalau TKI yang bekerja di luar negeri lamanya tiga tahun lebih,
ya tak bisa diklaim asuransinya. Inikah merugikan TKI, menguntungkan pihak
asuransi,” kata dia.
Hal yang lain yang dikritisi Yunus adalah asuransi TKI ini
hanya berlaku di Indonesia. Ketika TKI mengalami sakit dan masalah lain di
negara penempatan, TKI tidak bisa mengklaim asuransinya. “Nah, karena
sepertilah saya minta konsorsium asuransi itu dihapus saja,” kata dia.
Permasalahan lain adalah pihak asuransi sangat lama mengklaim
uang asuransi kepada TKI. Bahkan Yunus menegaskan, konsorsium asuransi yang
dilaksanakan Kemnakertrans saat ini tidak lebih seperti “Celengan Semar” . Artinya, uang hanya masuk,
keluar tidak ada,” kata dia.
Data dari Kemnakertrans menyatakan, asuransi TKI berlaku
sebelum berangkat (pra-penempatan, maksimal 5 bulan), saat bekerja (maksimal 2
tahun), sampai TKI pulang ke tanah air (purna-penempatan, maksimal 1 bulan).
Jika melebihi waktu maksimal klaim asuransi, asuransi tidak bisa diklaim lagi.
Risiko yang ditanggung asuransi TKI antara lain risiko meninggal dunia, risiko
sakit, risiko kecelakaan kerja, risiko gagal berangkat bukan karena kesalahan
calon tenaga kerja Indonesia (CTKI), risiko tindak kekerasan fisik dan
pemerkosaan atau pelecehan seksual, risiko gagal ditempatkan bukan karena
kesalahan TKI, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) di negara penempatan,
risiko menghadapi masalah hukum, risiko upah tidak dibayar, risiko pemulangan
TKI yang bermasalah.
Selain itu, risiko kerugian atas tindakan pihak lain selama
perjalanan pulang ke daerah asal, risiko hilangnya akal budi, risiko TKI
dipindahkan ke tempat kerja/tempat lain bukan kehendak TKI. Besarnya premi atau
biaya jaminan asuransi yang harus dibayar oleh CTKI adalah sebesar Rp 50.000
untuk asuransi pra-penempatan, Rp300.000 untuk penempatan, dan Rp50.000 untuk
purna-penempatan.
Ganti rugi risiko bisa didapat bila klaim asuransi diurus
paling lambat 30 hari setelah masalah terjadi. Namun, yang terjadi selama ini
klaim asuransi TKI baru bisa dicairkan setelah satu tahun sampai dua tahun
kemudian. Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Kemnakertrans, Reyna Usman,
sampai tulisan ini diturunkan belum bisa dikonfirnasi.
Sedangkan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Moh Jumhur Hidayat, mengatakan, 100 persen
kewenangan asuransi ada di Kemnakertrans. Dan tidak satu pun ada kata BNP2TKI
di dalam aturan peraturan menteri soal asuransi.
Diakui Jumhur soal asuransi ini sudah banyak yang
mengeluhkannya. Bahkan Kelompok Kerja (Panja) DPR sudah meminta secara resmi
kepada Menakertrans agar membubarkan konsorsium asuransi. Dia menjelaskan,
meski BNP2TKI tidak memiliki kewenangan untuk menegur, melakukan sanksi namun
faktanya seluruh TKI datang ke BNP2TKI untuk meminta pengurusan soal asuransi
mereka.
''Kami tetap memberikan pelayanan untuk membela hak-hak TKI
yang ada dalam asuransi bahkan sudah bekerjasama dengan Asosiasi Advokat
Indonesia (AAI) untuk mempercepat pencairan klaim asuransinya,'' katanya.
Jumhur mengatakan jika para wartawan membaca soal klaim
asuransi TKI hampir bisa dikatakan bahwa sungguh sangat sulit bagi TKI untuk
bisa melakukan pencairan hak-hak mereka. ''Ngeri kalau baca soal polis asuransi
TKI. Pantas saja DPR minta pembubaran konsorsium asuransi TKI,'' katanya.
No comments:
Post a Comment