Sebagaimana dataran tinggi di tempat-tempat lain,
Gunung Kawi pun menawarkan keindahan panorama pegunungan asri dengan udara yang
menyegarkan. Lebih dari itu, Gunung Kawi ternyata memiliki magnet “lain” yang sangat kuat sebagai daya
tarik. Karena bagi sebagian orang, Gunung Kawi adalah salah satu tujuan wisata
religius sekaligus simbol kemakmuran.
Memiliki ketinggian 2.860 meter di atas
permukaan laut, Gunung Kawi nyaris tidak pernah sepi pengunjung. Gunung yang
oleh warga Jawa Timur kerap dicitrakan sebagai tempat pesugihan itu bagi
kalangan Kejawen, penggiat budaya Jawa, Gunung Kawi lebih dilihat sebagai
tempat pelestarian budaya Jawa. Banyak ritual Kejawen diadakan di sini secara
teratur dan diikuti aktivis budaya Jawa di seluruh Pulau Jawa.
Di Gunung Kawi terdapat makam dua tokoh Kejawen:
RM Imam Soedjono (wafat 8 Februari 1876) dan Kanjeng Zakaria II alias Mbah
Djoego (wafat 22 Januari 1871). Keterangan tertulis di prasasti depan makam
menyebutkan, Mbah Djoego ini buyut dari Susuhanan Pakubuwono I (yang memerintah
Kraton Kartosuro 1705-1717). Sedangkan RM Imam Soedjono buyut dari Sultan
Hamengku Buwono I (memerintah Kraton Yogyakarta pada 1755-1892). Konon,
keduanya merupakan pengikut setia Pangeran Diponegoro yang berhasil selamat
dari peperangan melawan kompeni Belanda, dan kemudian menetap di lereng Gunung
Kawi hingga akhir hayatnya.
Jadi, kedua tokoh ini orang Islam, dimakamkan
secara Islam serta adat keraton. Makam keduanya berdampingan di gedung utama.
Ada larangan keras untuk memotret atau mengambil gambar saat kita masuk
kompleks ziarah utama ini. Para pekerja, semua berbusana adat Jawa, mengawasi
semua pengunjung dengan keramahan yang khas.
Memasuki kawasan pesarean, pengunjung disambut gapura selamat datang “Pendopo Pesarean Agung” berbentuk
seperti candi lengkap dengan aksara Jawa di bagian atasnya. Bagian depan
dinding gapura kanan-kiri terdapat lukisan timbul yang mengisahkan aktivitas
Eyang Djoego dan Eyang Soedjo semasa hayat, lengkap dengan tahun keberadaan
mereka, tahun 1871.
Yang cukup menarik, masih di gerbang pesarean,
pengelola memasang papan pengumuman berisi jadwal kunjungan. Ada empat jadwal
kunjungan, yakni pagi, siang, malam, dan tengah malam. Jadwal kunjungan pagi
dimulai pukul 08.00, siang 14.00, dan malam 19.00. Sementara jadwal berkunjung
dan berkeliling pesarean tengah malam dibatasi hanya satu jam dari pukul 24.00.
Selain ziarah di makam kedua bangsawan
Yogyakarta itu, di kawasan pesarean terdapat pula Kelenteng Dewi Kwan Im dan
kediaman Tan Kie Lam. Lilin-lilin merah, besar, terus bernyala. Puluhan warga
Tionghoa secara bergantian berdoa di sana. Juga ada ciamsi --metode meramal nasib a la Tiongkok kuno. Mpek Lam (sapaan
Tan Kie Lam) adalah warga Tionghoa yang merupakan murid kesayangan Eyang
Soedjo. Itu sebabnya, meski Mpek Lam telah lama meninggal dunia, kawasan
Pesarean Gunung Kawi --terutama Kuil Kwan Im dan kediaman Mpek Lam-- menjadi
tempat tujuan warga keturunan Tionghoa. Bahkan, kehadiran mereka sampai
sekarang sangat dominan dibanding etnis-etnis yang lain.
Pluralitas umat beragama
ini terlihat cukup harmonis. Ini bisa terlihat pada harmoni letak Masjid Imam
Soedjono yang berdiri tak jauh dari Kuil Kwan Im.
Selain lokasinya yang dekat dengan masjid,
keberadaan kuil itu tampak mencolok dengan lilin raksasa sebagai simbol dari Ti
Kong. Lilin jumbo itu tampak mewah berada di lantai kuil berbahan batu granit. Yang
paling menarik dari kuil itu adalah patung Dewi Kwan Im berwarna emas berbahan
dasar perunggu setinggi delapan meter yang diletakkan di ruang khusus di depan
tempat lilin Ti Kong.
Patung seharga Rp2,5 miliar itu sumbangan Liem
Hong Sien alias Anthony Salim, putra Liem Sioe Ling alias Sudono Salim, pendiri
Salim Grup. Patung Dewi Kwan Im dalam posisi Boddhisattva Avalokitesvara itu
didatangkan langsung dari Taiwan pada Oktober 2008 lalu. Untuk mempermudah
pengiriman, patung dipotong-potong kemudian dirakit kembali di Gunung Kawi.
“Perakitan
baru selesai akhir tahun kemarin,” ujar Eko, cucu juru
kunci Gunung Kawi.
Logika
“Pesugihan”
Setiap hari kediaman Mpek Lam dan Kuil Dewi
Kwan Im nyaris tidak pernah sepi pengunjung. Selain berziarah, para pengunjung
umumnya mempunyai satu tujuan, yakni ngalap
berkah (mencari kemakmuran). Bahkan, pada hari-hari tertentu jumlah
pengunjung bisa berlipat-lipat, mengikuti penanggalan Jawa dan China, misalkan
hari Jumat Legi, Hari Raya Imlek, dan perayaan Tahun Baru Jawa (bulan Suro).
Tentu lengkap dengan ritual-ritual dalam versi masing-masing (Tionghoa dan
Jawa).
Pengunjung yang tak pernah sepi di Pesarean
Gunung Kawi tampaknya memberi berkah tersendiri bagi warga Wonosari. Kecamatan
di sebelah barat Kabupaten Malang itu berkembang pesat. Penginapan dan hotel
tumbuh subur di sepanjang jalan menuju pesarean. Tak ketinggalan kios-kios
suvenir khas Gunung Kawi. Oleh-oleh kuliner asli adalah telo (ketela) Gunung Kawi. Bentuknya sangat kecil memanjang seperti
ibu jari. Berwarna ungu tua. Bila dimasak terutama dengan cara dikukus, rasanya
sangat manis seperti madu.
Dan, aliran Kejawen yang berkait erat dengan
ritual selamatan tampaknya juga menjadi ladang bisnis tersendiri. Pengunjung tidak
perlu repot-repot menyiapkan aneka masakan dan sesaji ubo rumpe seperti cok bakal, pisang raja, dan kelapa muda untuk
keperluan selamatan, karena di sana ada loket pemesanan tumpeng dan
perlengkapan selamatan, lengkap dengan jadwal selamatan.
Menu selamatan, harganya bervariasi mulai dari
Rp35.000 sampai Rp550.000, dan tumpeng ayam Rp 110.000. Harga barang dan
keperluan nazar juga bervariasi, mulai dari satu kotak minyak tanah Rp70.000,
seekor sapi Rp10 juta, hingga menanggap wayang Rp5 juta.
Suatu waktu, tepatnya tanggal 12 Suro atau 9
Januari 2009 lalu, warga Wonosari memperingati haul (hari meninggalnya) Eyang
Soedjo. Saat ngalap berkah, para
peziarah galibnya menjalani ritual tertentu yang mereka yakini. Setelah itu
mereka mencari tempat di sekitar kawasan Pesarean Gunung Kawi untuk menyepi.
Yang paling menarik adalah berjibunnya pengunjung duduk di bawah pohon
dewandaru. Konon katanya, kalau sampai kepala kejatuhan daun dewandaru,
keinginan bisa terwujud.
Masuk akalkah? Salah seorang anak muda asal Gunung
Kawi Asli dulu sering merasa kurang sreg atas pandangan pesugihan (ngalap berkah, mencari kemakmuran) Gunung
Kawi. Bersama lima orang temannya dari Kepanjen dan Slorok, dia melakukan
penelitian kecil tentang mitologi dan pengaruh sosial ekonomi bagi masyarakat
sekitarnya. Kebetulan mereka bertemu dan bergabung dengan dua mahasiswi (Antropologi
dan Sosiologi) asal Australia dan Jerman yang juga melakukan penelitian yang
sama.
Logika pesugihan yang mereka simpulkan begini:
“Yang datang ke sana kebanyakan orang etnis Tionghoa
yang ingin mengembangkan usahanya dan juga mereka yang merasa telah berhasil
usaha yang ditempuhnya. Dalam pertemuan inilah terjadi transaksi secara tidak
disengaja yang kemudian mereka saling menjadi rekan bisnis yang penting.”
Ringkasnya, si anak muda itu mengilustrasikan:
“Ayen Si Bakul roti ambil plastik dari Ko Jang, tepung
dari yuk Liek, Sementara Liong Shen yang di usaha distribusi menjadi agen
penting bagi Ayen. Sebab-akibat inilah yang membuat mereka makin sugih. Apalagi
bila kerjasamanya dalam kualitas dan kapasitas yang lebih besar.”
Logika inilah yang harus diluruskan agar warga
masyarakat tidak semakin terbenam dalam mimpi-mimpi yang menghanyutkan dan
menjerumuskan. Bahkan, menyesatkan dua-akherat. (dari beberapa sumber)
No comments:
Post a Comment