Oleh Fitria Osin
Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
Meski mendapat
banyak penentangan karena dianggap pembohongan publik, UU SJSN dan BPJS tetap
tidak dibatalkan. Pasalnya, DPR menjamin bila undang-undang ini resmi disahkan
rakyat Indonesia akan menerima setidaknya lima jaminan, yakni kesehatan,
kecelakaan, hari tua, pensiun dan kematian. Masyarakat juga akan menerima
penyuluhan, KB, rawat inap, rawat jalan, obat, cuci darah dan operasi jantung
yang semuanya diberikan cuma-cuma.
Kabar ini tentu
laksana angin surga bagi masyarakat. Namun bila ditilik lebih dalam,
undang-undang yang sarat dengan nilai neoliberal dan kepentingan para kapital
ini telah dikemas sedemikian rupa sehingga seolah-olah memberikan mimpi indah
bagi masyarakat.
Pembohongan
Publik
Meskipun
dinamakan Sistem Jaminan Sosial Nasional, undang-undang ini bekerja dengan
falsafah bisnis asuransi. Hal tersebut tertuang dalam pasal 1 ayat 3 UU SJSN,
yang dimaksud dengan jaminan sosial adalah: "suatu mekanisme pengumpulan
dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan
atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota
keluarganya."
Ditegaskan lagi
oleh UU BPJS pasal 1 ayat 3: "Dana jaminan sosial adalah dana amanat milik
seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya
yang dikelola oleh BPJS untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan
operasional penyelenggaraan program jaminan sosial." Dan yang dimaksud
sebagai peserta adalah: "setiap orang termasuk orang asing yang bekerja
paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran."
Dengan
demikian, pernyataan bahwa rumah sakit tidak boleh lagi menolak orang miskin
dan siapa pun akan mendapat jaminan kesehatan adalah janji kosong belaka.
Faktanya, masyarakat -tanpa pandang bulu- harus terlebih dahulu menyetor premi
setiap bulan. Besarnya premi dibagi sesuai dengan kelompok masyarakat. Kelompok
pertama: fakir miskin. Preminya sebesar Rp 22.500 yang akan ditanggung oleh
pemerintah.Yang terkategori sebagai fakir miskin adalah mereka yang
berpenghasilan Rp 233.000/kapita/bulan. Itupun tidak semua layanan kesehatan
bisa digratiskan. Ada plafon tertentu. Bila melebihi plafon, rakyat fakir
miskin tadi harus bayar sendiri sisanya. Bahkan pakar ekonomi Sri Edi Swasono
mengatakan dalam tulisannya di Kompas (19/7/2011) bahwa fakir miskin hanya
mendapat bantuan iuran pada tahap pertama saja, tahap selanjutnya membayar
sendiri.
Kelompok kedua
adalah kalangan buruh dengan premi 2 persen dari upah. Adapun pengusaha ditarik
3 persen. Kelompok ketiga adalah selain dua kategori diatas yang meliputi para
pekerja swasta, UKM, PKL, supir, dan lain-lain. Besaran preminya dibagi menjadi
tiga plafon. Masyarakat yang membayar Rp 22.500 akan mendapat fasilitas rumah
sakit kelas tiga, Rp 40.000 untuk layanan kelas dua dan Rp 50.000 untuk layanan
kelas tiga.
Karena
undang-undang ini menuntut pembayaran premi bersifat wajib, maka pemerintah
telah menyiapkan seperangkat sanksi bagi masyarakat yang menolak membayar
premi. Ada tiga jenis sanksi yang disiapkan yakni teguran, denda dan/atau tidak
mendapatkan layanan publik. Undang-undang ini menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan layanan publik diantaranya layanan pemrosesan izin usaha, izin
mendirikan bangunan, bukti kepemilikan hak tanah dan bangunan, dan lain-lain.
Artinya, bisa jadi masyarakat yang tidak punya kartu Jamsosnas bahkan tidak
bisa mengurus KTP.
Oleh karena
itu, banyak pihak mengklaim bahwa pemerintah sedang melakukan pembohongan
publik dan pemalakan nasional berkedok jaminan sosial.
Kepentingan
Asing
Sejak reformasi
bergulir, asing semakin leluasa memaksakan kepentingannya di Indonesia. Pada
Desember 2002, ADB menyetujui pinjaman pemerintah Indonesia sebesar US$ 250
atau Rp 2,3 trilyun (US$ 1 = Rp 9.500) dengan embel-embel syarat program
"Financial Governance and Social Security Program". ADB mensyaratkan
bisa memasukkan bantuan teknis dalam program tersebut.
Salah satu
butir dalam proposal kerja sama itu adalah: "Bantuan teknis dari ADB telah
disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN sejalan dengan sejumlah kebijakan
kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain."
Artinya, ADB berperan besar dalam penyusunan draft undang-undang tersebut. ADB
pun menggandeng LSM asing diantaranya GTZ dan FES untuk mengimplementasikan
undang-undang itu. GTZ tampak aktif dalam penyusunan draft UU BPJS dan FES
terlibat dalam kampanye massif terhadap organisasi serikat buruh untuk
pembentukan BPJS melalui berbagai seminar.
Sementara itu,
ADB terus melakukan monitoring implementasi program ini. Pada proposal kerja
sama tersebut dalam poin 55 disebutkan "ADB akan memonitor secara terus
menerus perkembangan implementasi dan asesmen terhadap dampak dari reformasi
kepada tata kelola keuangan dan sektor jaminan sosial. ADB juga akan memberikan
perhatian khusus terhadap dampak reformasi pada proses pengentasan kemiskinan
dan biaya penyesuaian akibat dari pengetatan yang dilakukan pada industri
asuransi. Pemerintah akan memberikan informasi kepada ADB agar dapat melakukan
evaluasi pengeluaran belanja publik yang memperlihatkan bahwa program ini telah
diimplementasikan dengan baik."
Pengamat
kebijakan publik Ichsanudin Noorsy mengatakan ada gelagat asing mengambil alih
pangsa pasar industri asuransi sosial. Namun karena terhalang UU Jamsostek, UU
Askes, UU Taspen dan lainnya, mereka berupaya membongkar undang-undang tersebut
dan menggantinya dengan UU BPJS dan SJSN. Ditengah kondisi keuangan
negara-negara Barat yang parah, tidak mungkin mereka menarik iuran dari rakyat
sendiri. Maka, Indonesia dengan penduduk diatas 230 juta menjadi pasar empuk
yang menggiurkan.
Dana asuransi
sosial yang bisa terkumpul memang tidak main-main. Jika yang tidak ditanggung
pemerintah ada 100 juta orang saja dan mereka membayar premi terendah yakni Rp
22.500, akan terkumpul Rp 2,25 trilyun/bulan. Belum ditambah dengan aset 4 BUMN
(Asabri, Taspen, Jamsostek dan Askes) yang direncanakan akan dikonsolidasi
dengan BPJS. Ketika BPJS berdiri, pemerintah sudah menyuntikkan modal awal
sebesar Rp 2 trilyun.
Dana besar itu
tentu tidak akan habis selama setahun mengingat tidak semua orang Indonesia
bakal sakit. Mantan Menkes Siti Fadilah Supari menyebutkan perhitungan normal
hanya 15 persen saja per tahun rakyat yang sakit. Ia membandingkan dengan
Jamkesmas yang preminya dibayarkan pemerintah hanya Rp 5.000/orang, tidak habis
selama setahun. Maka bisa dibayangkan besarnya dana yang terhimpun.
Dana yang besar
ini akan dikelola BPJS sebagai badan pelaksana program jaminan sosial. Lembaga
ini sangat independen sehingga tidak boleh ada intervensi pemerintah dalam
aktivitasnya. BPJS berhak menginvestasikan dana ini pada berbagai portofolio
seperti saham, obligasi dan deposito perbankan -yang tetap mengalami
kemungkinan kerugian. Juga berhak digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok
tertentu, termasuk perusahaan asing yang sulit dipertanggungjawabkan. Direksi
dapat memindahtangankan aset sebesar Rp 100 milyar hanya dengan persetujuan
dewan pengawas, diatas itu hingga Rp 500 milyar dengan persetujuan presiden,
dan diatas Rp 500 milyar dengan persetujuan DPR. Ini artinya sudah menyangkut
dana keringat rakyat yang ‘dimainkan’ segelintir orang.
Pandangan Islam
Undang-undang
ini sebenarnya dibangun dengan paradigma keliru mulai dari konsep hingga
tataran teknis baik menurut konstitusi negara apalagi menurut tinjauan syariah
Islam.
Kesalahan
mendasar dari undang-undang ini adalah meminimalkan intervensi pemerintah
terhadap pengaturan urusan rakyat sebagaimana dipesankan oleh ideologi
Kapitalisme. Urusan rakyat dilemparkan pada mekanisme pasar. Rakyat pun
diombang-ambing sesuai kepentingan para kapital. Ini adalah buah dari penerapan
sistem ekonomi Kapitalisme.
Islam memandang
negara adalah pelayan rakyat yang wajib mengurus dan menjamin pemenuhan
kebutuhan mereka (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan).
Pemerintah tidak perlu menarik iuran dari rakyat untuk memenuhi kebutuhan
mereka sebab potensi alam Indonesia sangat besar. Sekedar contoh, hasil migas
dari Blok Tangguh dan Mahakam saja mencapai 4.000 triliun (APBN 2012 hanya 1.358
triliun ; 74,5 persen berasal dari pajak), padahal Indonesia setidaknya
memiliki 37 blok migas, belum ditambah hasil laut dan hutan yang melimpah ruah.
Dana tersebut
sangat berlebih untuk menyediakan dana kesehatan dasar masyarakat yang hanya Rp
25 trilyun setahun. Bahkan lebih dari cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan
rakyat. Namun ternyata, pemimpin negeri ini lebih suka mengadopsi sistem rusak
dan menghamba pada kepentingan asing daripada mengurus rakyatnya sendiri.
Disinilah relevansinya mengubah sistem demokrasi-kapitalisme dengan sistem
syariah Islam. ***
No comments:
Post a Comment