Tiba-tiba saja, sebuah pesan singkat dari sahabat lama masuk ke
ponselku. Sederhana namun menyentuh. “mengapa
kini banyak orang menafkahi keluarganya dengan hasil kerja jalan pintas? dengan
cara maling, tipu-tipu, korupsi dan macam-macam kecurangan lainnya. jangan2 itu
semua karena dulunya para ortu membesarkan anak2nya dalam suasana dan makanan
hasil perbuatan yang sama dengan yang dilakukan anak2nya setelah dewasa
sekarang.”
Aku sedikit merenung. Korupsi, suap, manipulasi dan penyimpangan
sejenisnya yang semakin masif, tampaknya kekhawatiran sahabat lama “jangan2 itu semua karena dulunya para ortu
membesarkan anak dengan hasil kerja jalan pintas” ada benarnya. Di masa-masa
lalu –sejak zaman kerajaan sampai Orde Baru— korupsi terus berjalan, menggurita
dan baru terasa menyebar ke seluruh relung kehidupan sekarang ini. Di masa Orde
Baru misalkan, kasus korupsi banyak yang langsung dilokalisir dan cukup
diselesaikan di tingkat jenderal besar. Kalau toh masuk pengadilan, hanyalah
kasus-kasus yang kelas teri yang jauh dari tangan kepentingan pusat.
Dari sini dapat dilihat secara tidak langsung kaitan bagaimana
banyak orang tua masa lalu (terutama yang pernah memegang tampuk kekuasaan dan
pemilik kewenangan) menafkahi anak-anaknya dengan harta yang abu-abu, bahkan,
cenderung hitam. Harta yang mereka peroleh acap tidak jelas dari mana asal-muasalnya.
Banyak amplop masuk ke laci kepala biro, kepala seksi, kepala dinas, gubernur,
bupati, camat, sampai pada tingkat lurah. Mereka pun mengeluarkan seenaknya, ada
kolega, mitra dan pihak inspektorat datang langsung ditutup dengan amplop.
Sebuah perjalanan sistem yang kacau-balau.
Kisah pun berlanjut mewarnai kehidupan keluarga mereka. Anak
minta dibelikan apa saja dituruti. Tidak sedikit anak pejabat yang membeli
‘kursi’ sekolah dan perguruan tinggi. Seorang sahabat bercerita bahwa seluruh
mahasiswa angkatan sewaktu dia kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri papan
atas berjalan mulus-mulus saja lantaran ada di antara mahasiswa seangkatannya
adalah anak seorang jenderal. Ujian-ujian yang biasa berlangsung ketat menjadi
melonggar. “Boleh ini berkah bagi saya,” ujar sahabat ini setengah berseloroh.
Kini generasi berganti. Korupsi dan perilaku turunannya terasa menyebar
ke mana-mana, terutama setelah berjalan pengadilan khusus koruptor. Ini pula
yang menyulitkan kita hendak mulai dari mana memangkas mata rantai korupsi yang
demikian endemik dan sistemik.
Ekstrimnya, potong satu generasi. Bentuk generasi baru dengan
pemberian makan yang halalan toyiban. Ihwal makanan (menafkahi) anak bukan hal
main-main. Di masa Rasulullah Muhammad saw, beliau melarang cucunya diberi
makan dari uang yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan
pengumpulan zakat, infak dan sedekah (ZIS). Begitu disiplin Rasulullah
memberikan contoh bagaimana seharusnya kita menafkahi anak.
Memang, tampak sepele, ihwal memberi makan pada anak. Satu
cerita datang dari seorang sahabat lawas yang mantan karyawan swasta. Karena
pekerjaannya, sahabat lawas ini banyak menerima amplop-amplop tanda terima
kasih yang biasanya sudah dianggarkan oleh sebuah instansi, korporasi dan
institusi. Sahabat lawas ini tidak pernah meminta, apalagi sampai memeras. Selama
dia menerima amplop-ampol itu, dua orang anaknya sering sakit-sakitan, sampai-sampai
dua-duanya pernah diopname beberapa pekan di rumah sakit.
Waktu melaju berlalu. Sahabat lawas ini kemudian minta pensiun
dini dan memilih bekerja dari rumah, dengan risiko penghasilan tidak menentu. Namun,
ujar sahabat lawas ini, “Saya sekarang merasa tenang. Tidak lagi harus
menyakiti orang karena menolak pemberian amplop yang telah dianggarkan.
Anak-anak dan isteri saya sehat dan hampir-hampir tidak pernah menemui
aral-lintang yang berarti.”
Sahabat lawas ini sekarang meyakini benar janji Allah Yang Maha
Pemberi Rezeqi. “Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezeqinya hendaklah memberikan nafkah
dari harta yang telah diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS Ath-Thalaaq ayat 7)
Sekali lagi tampak sepele. Menafkahi anak dan keluarga. Dari Abu
Mas’ud al-Badri ra, Rasulullah saw telah melarang harta penjualan anjing, upah
pelacuran dan upah dukun ramalan (HR Bukhari-Muslim). Tentu hadits ini bisa
ditafsirkan ke dalam berbagai aktivitas bisnis masa kini yang terkait ketiga
hal tersebut. Jelas apa yang dilarang dalam mencari nafkah. Bila tidak
hati-hati maka kita akan menciptakan generasi yang jauh dari jalan yang benar
dan lurus. Ini baru imbalan di dunia.
Boleh jadi kita bisa menghindar dari pengadilan dunia saat
terendus dari mana harta yang kita peroleh selama ini dengan membuat alibi, kebohongan,
membual sampai sumpah serapah. Di masa kiamat nanti, siapa yang tahu. Mari kita
yakini, “Tak akan bergeser kedua kaki manusia di hari kiamat sampai selesai
ditanyai mengenai empat perkara: tentang USIA dihabiskan untuk apa; ihwal MASA
MUDA dipergunakan untuk apa; mengenai ILMU-nya, apakah sudah diamalkan; dan tentang
HARTA-nya, dari mana diperoleh dan buat apa dibelanjakan.” (HR At-Tirmidzi)
Sebuah pesan sederhana. Kita mesti hati-hati menafkahi anak dan
keluarga. Cerdas memilih bijak memilah. Membeli yang dibutuhkan, bukan yang
diinginkan. Biar sedikit asal halalan toyiban, hati ini akan tenang, tidak
takut kekurangan, tidak takut bakal kena geser jabatan, dan tidak takut kalah
bersaing. Anak-anak kita pun, insya Allah, akan tampil menjadi anak-anak yang
mudah dididik ke jalan yang lurus. (BN)
No comments:
Post a Comment