Sunday, March 3, 2013

Menafkahi Anak


Tiba-tiba saja, sebuah pesan singkat dari sahabat lama masuk ke ponselku. Sederhana namun menyentuh. “mengapa kini banyak orang menafkahi keluarganya dengan hasil kerja jalan pintas? dengan cara maling, tipu-tipu, korupsi dan macam-macam kecurangan lainnya. jangan2 itu semua karena dulunya para ortu membesarkan anak2nya dalam suasana dan makanan hasil perbuatan yang sama dengan yang dilakukan anak2nya setelah dewasa sekarang.”

Aku sedikit merenung. Korupsi, suap, manipulasi dan penyimpangan sejenisnya yang semakin masif, tampaknya kekhawatiran sahabat lama “jangan2 itu semua karena dulunya para ortu membesarkan anak dengan hasil kerja jalan pintas” ada benarnya. Di masa-masa lalu –sejak zaman kerajaan sampai Orde Baru— korupsi terus berjalan, menggurita dan baru terasa menyebar ke seluruh relung kehidupan sekarang ini. Di masa Orde Baru misalkan, kasus korupsi banyak yang langsung dilokalisir dan cukup diselesaikan di tingkat jenderal besar. Kalau toh masuk pengadilan, hanyalah kasus-kasus yang kelas teri yang jauh dari tangan kepentingan pusat.

Dari sini dapat dilihat secara tidak langsung kaitan bagaimana banyak orang tua masa lalu (terutama yang pernah memegang tampuk kekuasaan dan pemilik kewenangan) menafkahi anak-anaknya dengan harta yang abu-abu, bahkan, cenderung hitam. Harta yang mereka peroleh acap tidak jelas dari mana asal-muasalnya. Banyak amplop masuk ke laci kepala biro, kepala seksi, kepala dinas, gubernur, bupati, camat, sampai pada tingkat lurah. Mereka pun mengeluarkan seenaknya, ada kolega, mitra dan pihak inspektorat datang langsung ditutup dengan amplop. Sebuah perjalanan sistem yang kacau-balau.

Kisah pun berlanjut mewarnai kehidupan keluarga mereka. Anak minta dibelikan apa saja dituruti. Tidak sedikit anak pejabat yang membeli ‘kursi’ sekolah dan perguruan tinggi. Seorang sahabat bercerita bahwa seluruh mahasiswa angkatan sewaktu dia kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri papan atas berjalan mulus-mulus saja lantaran ada di antara mahasiswa seangkatannya adalah anak seorang jenderal. Ujian-ujian yang biasa berlangsung ketat menjadi melonggar. “Boleh ini berkah bagi saya,” ujar sahabat ini setengah berseloroh.

Kini generasi berganti. Korupsi dan perilaku turunannya terasa menyebar ke mana-mana, terutama setelah berjalan pengadilan khusus koruptor. Ini pula yang menyulitkan kita hendak mulai dari mana memangkas mata rantai korupsi yang demikian endemik dan sistemik.

Ekstrimnya, potong satu generasi. Bentuk generasi baru dengan pemberian makan yang halalan toyiban. Ihwal makanan (menafkahi) anak bukan hal main-main. Di masa Rasulullah Muhammad saw, beliau melarang cucunya diberi makan dari uang yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pengumpulan zakat, infak dan sedekah (ZIS). Begitu disiplin Rasulullah memberikan contoh bagaimana seharusnya kita menafkahi anak.

Memang, tampak sepele, ihwal memberi makan pada anak. Satu cerita datang dari seorang sahabat lawas yang mantan karyawan swasta. Karena pekerjaannya, sahabat lawas ini banyak menerima amplop-amplop tanda terima kasih yang biasanya sudah dianggarkan oleh sebuah instansi, korporasi dan institusi. Sahabat lawas ini tidak pernah meminta, apalagi sampai memeras. Selama dia menerima amplop-ampol itu, dua orang anaknya sering sakit-sakitan, sampai-sampai dua-duanya pernah diopname beberapa pekan di rumah sakit.
Waktu melaju berlalu. Sahabat lawas ini kemudian minta pensiun dini dan memilih bekerja dari rumah, dengan risiko penghasilan tidak menentu. Namun, ujar sahabat lawas ini, “Saya sekarang merasa tenang. Tidak lagi harus menyakiti orang karena menolak pemberian amplop yang telah dianggarkan. Anak-anak dan isteri saya sehat dan hampir-hampir tidak pernah menemui aral-lintang yang berarti.”

Sahabat lawas ini sekarang meyakini benar janji Allah Yang Maha Pemberi Rezeqi. “Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezeqinya hendaklah memberikan nafkah dari harta yang telah diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS Ath-Thalaaq ayat 7)

Sekali lagi tampak sepele. Menafkahi anak dan keluarga. Dari Abu Mas’ud al-Badri ra, Rasulullah saw telah melarang harta penjualan anjing, upah pelacuran dan upah dukun ramalan (HR Bukhari-Muslim). Tentu hadits ini bisa ditafsirkan ke dalam berbagai aktivitas bisnis masa kini yang terkait ketiga hal tersebut. Jelas apa yang dilarang dalam mencari nafkah. Bila tidak hati-hati maka kita akan menciptakan generasi yang jauh dari jalan yang benar dan lurus. Ini baru imbalan di dunia.

Boleh jadi kita bisa menghindar dari pengadilan dunia saat terendus dari mana harta yang kita peroleh selama ini dengan membuat alibi, kebohongan, membual sampai sumpah serapah. Di masa kiamat nanti, siapa yang tahu. Mari kita yakini, “Tak akan bergeser kedua kaki manusia di hari kiamat sampai selesai ditanyai mengenai empat perkara: tentang USIA dihabiskan untuk apa; ihwal MASA MUDA dipergunakan untuk apa; mengenai ILMU-nya, apakah sudah diamalkan; dan tentang HARTA-nya, dari mana diperoleh dan buat apa dibelanjakan.” (HR At-Tirmidzi)

Sebuah pesan sederhana. Kita mesti hati-hati menafkahi anak dan keluarga. Cerdas memilih bijak memilah. Membeli yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan. Biar sedikit asal halalan toyiban, hati ini akan tenang, tidak takut kekurangan, tidak takut bakal kena geser jabatan, dan tidak takut kalah bersaing. Anak-anak kita pun, insya Allah, akan tampil menjadi anak-anak yang mudah dididik ke jalan yang lurus. (BN)          

No comments:

Post a Comment