Monday, March 18, 2013

Pelajaran dari Kabar Kematian


Kematian adalah sebuah keniscayaan. Setiap makhluk yang bernyawa –tak terkecuali manusia-- secara pasti akan mengalami kematian. Dan ketika kematian menyambangi anak manusia, para ulama menganggap sunnah untuk memberitahukan atau mengabarkan kematian seseorang kepada kaum kerabatnya dan orang-orang saleh agar mereka turut memperoleh pahala dari penyelenggaraannya.
Imam Tirmidzi berkata, “Tidak ada salahnya apabila seseorang memberitahukan kaum kerabat dan teman-temannya tentang kematain orang lain.”
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dari Anas r.a., “Nabi saw memberitahukan berpulangnya Zaid, Ja’far dan Ibnu Ruwahah sebelum diketahui oleh khalayak.”
***
BOLEH jadi kalau kita memberitahukan kabar kematian orang terdekat, karib-kerabat, dan tetangga tidak terlalu jadi masalah. Di tengah arus perkembangan dan kemajuan dunia pemberitaan, kabar kematian seseorang tidak lagi sebatas disebarkan oleh orang-orang terdekat dari si ahli mayit. Kabar kematian seseorang dapat saja dikabarkan oleh siapa saja –terutama oleh mereka yang menekuni jagat jurnalistik.
Kematian seseorang pun lalu menjadi sajian yang menarik di mata pemburu berita. Daya tarik kabar kematian bisa berasal dari ketokohan si mayit, dapat pula lantaran jalan kematian orang-orang biasa yang layak berita.
Sekadar contoh adalah perempuan biasa 25 tahun yang dikabarkan mati terbunuh di apartemen di kawasan Daan Mogot, Jakarta Barat. Kabar tidak berhenti pada adanya luka-luka akibat tusukan senjata tajam yang menjadi musabab kematian perempuan biasa tersebut. Kabar dibumbui dengan sepenggal jalan hidup si mayit. Bahwa kasus pembunuhan ini berangkat dari rasa sakit hati seorang gigolo yang diolok-olok tak berdaya padahal sudah dibayar Rp2 juta. Rentetan kisah terus mengular: perempuan biasa itu rupanya menjadi teman tanpa ikatan seorang lelaki berusia 35 tahun. Dari lelaki 35 tahun itulah si perempuan biasa mampu hidup di sebuah apartemen yang berbiaya tinggi.
Sekali lagi kabar kematian perempuan biasa ini cuma contoh. Masih banyak lagi kabar kematian anak manusia yang lebih heboh dan fenomenal dengan bumbu-bumbu kemaksiatan yang pernah dilakukan oleh si mayit semasa hidup.
***
SECARA manusiawi, kabar kematian dengan segenap bumbu yang mewarnai acapkali membuat ahli waris atau keluarga menjadi sedih, penuh nestapa, dan meratap-ratap. Tangis dan meraung-raung kadang disertai pekikan, menjadi salah satu sebab tersiksanya si mayit dan penderitaan yang teramat pahit. Diterima dari Ibnu Umar bahwa ketika Umar ditikam, ia tidak sadarkan diri, lalu ditangisi orang. Setelah Umar sadar, ia mengatakan, “Tidakkah kalian mengetahui bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya mayat itu akan disiksa karena ditangisi oleh orang yang hidup’.”
Maksud hadist tersebut adalah bahwa si mayit akan merasa sedih dan tersiksa oleh tangisan keluarganya lantaran ia akan mendengar tangis dan melihat apa-apa yang mereka lakukan. Maksudnya bukanlah si mayit akan dihukum dan disiksa gara-gara tangis keluarganya, sebab dosa seseorang tidaklah akan dibebankan kepada orang lain.
Seharusnya kita membicarakan yang baik-baik ihwal apa saja yang diamalkan oleh si mayit semasa hidup. Hal-ihwal yang tidak sampai menjadikan hujan tangis dan ratapan menyayat hati. Mari kita renungkan dan camkan riwayat berikut:
“Abdullah bin Ruwahah suatu kali jatuh pingsan. Lalu saudaranya, Umrah, menangisinya, ‘wahai hasibnya, wahai begini, wahai begitu’ dan seterusnya sambil menyebut-nyebut jasa dan perbuatannya. Setelah ia siuman, katanya, ‘Tak satu pun yang kau katakan, hanya ditanyakan pula kepadaku, betulkah begitu yang kau lakukan?’” (Riwayat Bukhari) ***
Budi Nugroho, mantan wartawan yang kini menekuni dunia sufi.
             

No comments:

Post a Comment