Kematian adalah sebuah keniscayaan. Setiap makhluk yang bernyawa –tak terkecuali manusia-- secara pasti akan mengalami kematian. Dan ketika kematian menyambangi anak manusia, para ulama menganggap sunnah untuk memberitahukan atau mengabarkan kematian seseorang kepada kaum kerabatnya dan orang-orang saleh agar mereka turut memperoleh pahala dari penyelenggaraannya.
Imam Tirmidzi
berkata, “Tidak ada salahnya apabila seseorang memberitahukan kaum kerabat dan
teman-temannya tentang kematain orang lain.”
Diriwayatkan
oleh Ahmad dan Bukhari dari Anas r.a., “Nabi saw memberitahukan berpulangnya
Zaid, Ja’far dan Ibnu Ruwahah sebelum diketahui oleh khalayak.”
***
BOLEH jadi kalau kita memberitahukan kabar kematian orang terdekat,
karib-kerabat, dan tetangga tidak terlalu jadi masalah. Di tengah arus
perkembangan dan kemajuan dunia pemberitaan, kabar kematian seseorang tidak
lagi sebatas disebarkan oleh orang-orang terdekat dari si ahli mayit. Kabar
kematian seseorang dapat saja dikabarkan oleh siapa saja –terutama oleh mereka
yang menekuni jagat jurnalistik.
Kematian
seseorang pun lalu menjadi sajian yang menarik di mata pemburu berita. Daya
tarik kabar kematian bisa berasal dari ketokohan si mayit, dapat pula lantaran
jalan kematian orang-orang biasa yang layak berita.
Sekadar contoh
adalah perempuan biasa 25 tahun yang dikabarkan mati terbunuh di apartemen di
kawasan Daan Mogot, Jakarta Barat. Kabar tidak berhenti pada adanya luka-luka
akibat tusukan senjata tajam yang menjadi musabab kematian perempuan biasa
tersebut. Kabar dibumbui dengan sepenggal jalan hidup si mayit. Bahwa kasus pembunuhan
ini berangkat dari rasa sakit hati seorang gigolo yang diolok-olok tak berdaya
padahal sudah dibayar Rp2 juta. Rentetan kisah terus mengular: perempuan biasa
itu rupanya menjadi teman tanpa ikatan seorang lelaki berusia 35 tahun. Dari
lelaki 35 tahun itulah si perempuan biasa mampu hidup di sebuah apartemen yang
berbiaya tinggi.
Sekali lagi
kabar kematian perempuan biasa ini cuma contoh. Masih banyak lagi kabar
kematian anak manusia yang lebih heboh dan fenomenal dengan bumbu-bumbu kemaksiatan
yang pernah dilakukan oleh si mayit semasa hidup.
***
SECARA manusiawi, kabar kematian dengan segenap bumbu yang mewarnai
acapkali membuat ahli waris atau keluarga menjadi sedih, penuh nestapa, dan
meratap-ratap. Tangis dan meraung-raung kadang disertai pekikan, menjadi salah
satu sebab tersiksanya si mayit dan penderitaan yang teramat pahit. Diterima dari
Ibnu Umar bahwa ketika Umar ditikam, ia tidak sadarkan diri, lalu ditangisi
orang. Setelah Umar sadar, ia mengatakan, “Tidakkah kalian mengetahui bahwa
Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya mayat itu akan disiksa karena ditangisi
oleh orang yang hidup’.”
Maksud hadist
tersebut adalah bahwa si mayit akan merasa sedih dan tersiksa oleh tangisan
keluarganya lantaran ia akan mendengar tangis dan melihat apa-apa yang mereka
lakukan. Maksudnya bukanlah si mayit akan dihukum dan disiksa gara-gara tangis
keluarganya, sebab dosa seseorang tidaklah akan dibebankan kepada orang lain.
Seharusnya kita membicarakan
yang baik-baik ihwal apa saja yang diamalkan oleh si mayit semasa hidup. Hal-ihwal
yang tidak sampai menjadikan hujan tangis dan ratapan menyayat hati. Mari kita
renungkan dan camkan riwayat berikut:
“Abdullah bin Ruwahah suatu kali jatuh
pingsan. Lalu saudaranya, Umrah, menangisinya, ‘wahai hasibnya, wahai begini,
wahai begitu’ dan seterusnya sambil menyebut-nyebut jasa dan perbuatannya. Setelah
ia siuman, katanya, ‘Tak satu pun yang kau katakan, hanya ditanyakan pula
kepadaku, betulkah begitu yang kau lakukan?’” (Riwayat Bukhari) ***
Budi Nugroho, mantan
wartawan yang kini menekuni dunia sufi.
No comments:
Post a Comment