Prasasti Batu
Tulis ini terletak di tepi Jalan Batutulis, namun agak susah dikenali karena
bentuknya mirip dengan rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Sepintas malah mirip
dengan semacam kantor RT atau RW atau sejenis kantor emerintah lainnya.
Terlebih lagi Jalan
Batutulis ini tergolong sebagai jalur yang padat, karena jalur tengah yang
menghubungkan antara Kota Bogor, Cihideung dan Sukabumi. Bahkan, pada jam-jam
tertentu dan akhir pekan lebih sering macet. Hal ini juga yang membuat orang
malas untuk berkunjung ke situs ini.
Apalagi bentuk
bangunan rumahnya yang biasa, dengan tempat kecil ukuran 5X5 meter, semakin
kurang menarik perhatian para pengunjung yang lewat. Papan namanya pun searah
dengan jalan, sehingga kalau memacu kendaraan secara cepat, niscaya papan nama
yang menunjukkan keberadaan prasati tersebut tidak akan terlihat.
Bicara Prasasti
Batutulis, tentunya tak bisa lepas dari sejarah kota Bogor. Terletak di
Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kotamadya Bogor, lokasi ini
ratusan tahun yang lalu merupakan tempat yang hening, sepi dan berkabut.
Sehingga, dengan alasan itu pulalah dibuat parasasti di tempat ini.
Scipio, seorang
ekspedisi Belanda yang ditugaskan untuk membuka daerah pedalaman Jakarta,
melukiskan betapa hormat dan khidmatnya mereka (orang pribumi dalam rombongan
ekspedisi), menghadapi situs Batutulis sampai mereka berani melarang Scipio
yang merupakan pimpinannya menginjakkan kaki ke dalamnya karena ia bukan orang
Islam. Jelas sekali mereka menganggap tempat itu "keramat". Karena,
di situ, menurut mereka, terletak tahta atau singgasana raja Pajajaran. Dengan
keyakinan seperti itu, bila pada saat mereka pertama kali menemukan tempat
tersebut lalu melihat seekor atau beberapa ekor harimau keluar dari dalamnya,
mereka tidak akan menganggapnya sebagai hewan biasa.
Menurut catatan
sejarah, prasasti itu dibangun tahun 1533 oleh Prabu Surawisesa, sebagai
peringatan terhadap ayahandanya, Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Prabu Siliwangi
memerintah pada tahun 1482-1521. Raja sakti mandraguna itu dinobatkan dengan
gelar Prabu Guru Dewata Prana, lalu bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di
Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Di kompleks itu
terdapat 15 peninggalan berbentuk terasit, batu yang terdapat di sepanjang
Sungai Cisadane. Ada enam batu di dalam cungkup, satu di luar teras cungkup,
dua di serambi dan enam di halaman. Satu batu bercap alas kaki, satu batu
bercap lutut, dan satu batu besar lebar yang berisi tulisan Pallawa dan
berbahasa Sanskerta.
Prasasti Batutulis
itu dibuat oleh Prabu Surawisesa sebagai bentuk penyesalannya karena ia tidak
mampu mempertahankan keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang diamanatkan
padanya, akibat kalah perang dengan kerajaan Cirebon.
Perang
Pakuan-Pajajaran berlangsung selama 5 tahun. Cirebon yang didukung kerajaan
Demak berhasil mengalahkan kerajaan Pakuan setelah pasukan meriam Demak datang
membantu tepat pada saat pasukan Cirebon mulai terdesak mundur. Laskar Galuh
(Pakuan) tidak berdaya menghadapi "panah besi yang besar, menyemburkan
kukus ireng, bersuara seperti guntur dan memuntahkan logam panas". Tombak
dan anak panah mereka lumpuh karena meriam, sehingga jatuhlah Galuh diikuti dua
tahun kemudian dengan jatuhnya pula kerajaan Talaga, benteng terakhir kerajaan
Galuh.
Di sebelah
prasasti itu terdapat sebuah batu panjang dan bulat sama tingginya dengan batu
prasasti. Batu panjang dan bulat (lingga batu) ini mewakili sosok Sri Baduga
Maharaja sedangkan prasasti itu sendiri mewakili sosok Surawisesa. Penempatan
kedua batu itu diatur sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah
amat mudah terlihat. Si anak ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya
dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang; akan tetapi ia tidak berani
berdiri sejajar dengan si bapak. Demikianlah batutulis itu diletakkan agak ke belakang
di samping kiri lingga batu.
Surawisesa
tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di
depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan dan satunya berisi
padatala, ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan
dengan upacara srada yakni "penyempurnaan sukma" yang dilakukan
setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu sukma orang yang
meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Dengan kata
lain, prasasti batutulis merupakan bukti rasa hormat seorang anak terhadap
ayahnya, dan merupakan suatu hal yang perlu diteladani oleh generasi sekarang
maupun yang akan datang. Adapun tulisan yang ada di batu berbunyi sebagai
berikut :
Prasasti yang
terpahat dibatu tersebut tersusun dalam 9 baris tulisan. Adapun bunyi dan arti
dari prasasti tersebut tiap baris adalah:
1. wangna pun ini sasakla prabu ratu purane pun
diwastu: Wangna ini tanda peringatan bagi Prabu almarhum dinobatkan.
2. diya wingaran prebu guru dewata prana
diwastu diya dingaran sri: Dia bernama prabu guru dewata parana dinobatkan
lagi dengan nama Sri.
3. baduga maharaja ratu haji di pakuan
pajajaran sri baduga ratu de: Baduga maharaja ratu haji dipakwan Pajajaran
sang ratu de-
4. wata pun ya nu nyusuk na pakuan diya anaka
rahyang dewa nis: wata dialah yang
membuat parit pakwan dia anak sangyang dewa nis.
5. kala sang sida mokta di guna tiga incu
rahyang nisakala wastu: kala yang mendiang di guna tida cucu rahyang
niskala wastu.
6. kancana sang sida mokta ka nusa larang ya
siya nu nyian sakaka: kencana yang mendiang ke nu salarang dialah yang
membuat tanda pe.
7. la gugunungan ngabalay nyian sanghyang
talaga: ringatan gugunungan, membuat teras di lereng bukit membuat hutan
samida, telaga
8. rena maha wijaya ya siya pun i saka panca
panda: rena maha wijaya ya dialah itu dalam tahun saka lima li-
9. wa emaban bumi .. : ma empat satu (1455)
=> dalam tahum masehi 1533
(Disaring dari
berbagai sumber, AMGD/mlancong.com)
No comments:
Post a Comment