Mulai
Januari 2011 lalu, jajaran Polri telah menikmati remunerasi yang dikemas dalam
Peraturan Presiden Nomor 73/2010 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di
Lingkungan Kepolisian. Mulai dari pangkat terendah ajun brigadir polisi (Abrip)
sampai jenderal bintang empat segera menikmati remunerasi yang terbagi ke dalam
18 kelas tersebut.
Adakah yang
istimewa dari remunerasi tersebut? Dari sisi angka-angka yang mengikuti kelas (grade) dapat dikatakan tidak ada yang
istimewa. Misalkan kelas 18 yang dihuni Wakapolri ditetapkan remunerasi
Rp21.305.000 atau kelas 11 yang diisi polisi berpangkat Komsaris Besar (Kombes)
Rp2,839 juta dan kelas 8 (Ajun Komisaris Besar Polisi/AKBP) Rp1,453 juta. Boleh
jadi bagi seorang Kombes atau AKBP tanpa jabatan fungsional, angka itu relatif
memadai. Memadaikah angka itu buat seorang Kombes atau AKBP yang mengemban
jabatan fungsional sebagai Kepala Kepolisian Resor? Tak mudah untuk
menjawabnya.
Mari kita
gabungkan angka remunerasi itu dengan gaji polisi yang berlaku selama ini.
Seorang kepala kepolisian resor (Kapolres) berpangkat ajun komisaris besar
polisi (AKBP) sekadar contoh, menerima gaji Rp2.854.554 per bulan plus uang
lauk pauk Rp30 ribu per hari. Maksimal yang dibawa pulang ke rumah, 31 hari
kerja, sebesar Rp3.784.600. Perincian jumlah sebesar itu: gaji pokok
Rp1.725.000, tunjangan isteri Rp172.500, tunjangan anak (dua orang) Rp60.000,
tunjangan beras Rp187.704, tunjangan jabatan Rp900.000. Setelah dipotong 10
persen dan ditambah uang lauk pauk maka terhitung jumlah yang dibayarkan oleh
negara sebesar Rp3.784.600. Bila angka ini ditambah dengan remunerasi maka
diperoleh jumlah Rp5,237 juta. Sebuah angka yang membuat kita tetap
bertanya-tanya, cukupkah jumlah itu untuk memenuhi kebutuhan seorang Kapolres
bersama keluarganya.
Sebagai
pejabat yang memimpin sebuah wilayah kabupaten/kota tentu seorang Kapolres
tidak hanya bekerja ongkang-ongkang kaki di kursi tertinggi di Mapolres. Ada
kalanya dia harus turun ke pelosok wilayahnya, menyambangi stakeholders kepolisian, yang sudah barang tentu membutuhkan biaya.
Seorang Kapolres kerapkali mesti menjalin keakraban dengan berbagai kelompok
masyarakat. Pasal 14 ayat (1) huruf c UU Nomor 2/2002 mengamanatkan Polri untuk
membina masyarakat guna meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warga terhadap
hukum dan peraturan perundang-undangan. Masyarakat di sini dapat berupa mitra
kelembagaan maupun perorangan. Kemitraan ini pun kemudian dikukuhkan oleh
Kepala Polri dengan menerbitkan Surat Keputusan Nomor SKEP/737/X/2005 tentang
Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) tertanggal 13 Oktober 2005. Penerapan
kemitraan seperti dimaksud peraturan tersebut jelas membutuhkan biaya yang
tidak murah. Di sini lah, seorang rekan yang pernah menjadi Kapolres
menuturkan, seorang Kapolres dituntut untuk pandai-pandai menyiasati keadaan
agar tidak terpeleset. Dan di sini pula terlihat betapa tidak mudah menjawab
apakah remunerasi yang mulai diterapkan Januari 2011 itu memadai.
Yang justru
menarik di benak penulis adalah judul Peraturan Presiden Nomor 73/2010, yakni
Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kepolisian. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), kinerja mengandung makna sesuatu yang dicapai atau prestasi
yang diperlihatkan. Makna ini senada dengan kata remunerasi yang berarti
pemberian hadiah atau penghargaan atas jasa. Dengan demikian, tunjangan kinerja
atau remunerasi diberikan berdasarkan prestasi yang telah dicapai oleh seorang
polisi. Boleh saja remunerasi yang segera digulirkan ini diklasifikasikan
menjadi 18 kelas. Tapi, klasifikasi itu tidak berangkat dari kepangkatan dan
jabatan seorang polisi. Klasifikasi itu dibuat memuat kategorisasi raihan
prestasi seorang polisi sesuai dengan peran/fungsinya.
Selama
polisi mengemban peran/fungsi sebagai pemberantas kejahatan, pencegah kejahatan
dan pembina masyarakat dengan prosentase sebagai berikut: 60 persen tugas
Binmas (pembinaan masyarakat), 30 persen preventif dan 10 persen represif
(Awaloeddin Djamin, 1986). Mengacu kepada proporsi fungsi/peran kepolisian
model Awaloeddin Djamin, tentu dapat dibuat klasifikasi tunjangan kinerja
dengan melihat besaran risiko yang tercermin dari fungsi-fungsi tersebut. Misalkan polisi yang mengemban tugas intelkam
dalam upaya preventif dan represif kejahatan jelas memiliki risiko lebih besar
daripada polisi yang bertugas di Binmas. Hal ini sebetulnya sudah
direpresentasikan dalam alokasi dana operasional: dana untuk kegiatan turjawali
(mengatur, menjaga, mengawal dan patroli) sebesar Rp1.500/unit/hari, kegiatan
binamitra sebesar Rp5.000/unit/hari, dan kegiatan Intelkam sebesar Rp20.000/unit/hari.
Alangkah
bagusnya proporsi semacam proporsi alokasi dana operasional tadi dapat
diterapkan pada pengklasifikasian tunjangan kinerja atau remunerasi Polri. Dengan
begitu akan ada semangat kompetisi secara sehat di antara para anggota polisi. Dan
setiap anggota polisi mau tak mau mesti mengerahkan kreativitas dan inovasi
kerjanya. Tentu saja kreativitas dan inovasi yang tetap mematuhi rambu-rambu
yang ada. Pangkat atau jabatan boleh sama tapi tunjangan yang dibawa pulang
dapat saja berbeda. Tunjangan yang diterima betul-betul karena prestasi kerja. Kinerja
dan citra kepolisian secara institusi pun akan ikut terdongkrak. Kita ingin
Polri menjadi lembaga yang mengedepankan prinsip kepada setiap anggota polisi: Buktikan bahwa Anda kreatif. Kita butuh polisi
yang kreatif dan inovatif di tengah intensitas dan kualitas kejahatan yang
terus meningkat. Dan itu dapat dicapai dengan pemberian tunjangan kinerja yang
proporsional yang mengacu pada risiko, kompleksitas dan kerumitan pekerjaan
polisi. (BN)
No comments:
Post a Comment