Darah Pejuang dari Tenggarong
Dia belajar dari orang-orang tua
karena dia sadar di setiap lembar rambutnya yang memutih itu ada pengalaman
berharga untuk dipetik hikmahnya. Dia simak setiap butir fatwa yang mengalir
dari bibirnya.
KH
Toto Tasmara,
dai kondang
Tenggarong,
64 tahun silam. Baru sekitar tiga tahun Republik Indonesia merdeka. Suasana
negeri, tak terkecuali Kota Tenggarong, Kutai, Kalimantan Timur, masih sedikit
kental nada-nada kolonial. Tenggarong –sebagaimana umumnya kota-kota di
Indonesia— masih terasa sepi dan sunyi. Belum terasa satu denyut perekonomian
yang memadai.
Pemerintahan
daerah Tenggarong, seperti lazimnya di masa kolonial, masih sedikit banyak
diwarnai garis turun-temurun seorang bupati. Sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan oleh Heather Sutherland (1979) bahwa pejabat pribumi pada masa itu ditempatkan
dalam suatu kerangka kerja yang diawasi langsung oleh pemerintah pusat sehingga
seorang residen memiliki tiga fungsi: sebagai representasi kekuasaan Hindia
Belanda terhadap penduduk Asia; sebagai pemegang kekuasaan kepolisian; dan
pelaksana peraturan dan kehendak pemerintah pusat.
Dalam
kerangka kerja kolonial semacam itulah, di Tenggarong sekitar tahun 1947-1949
tercatat nama Awang Ishak sebagai Wakil Kepala Kepolisian Kesultanan Kutai dan kemudian
Asisten Wedana Sanga-sanga. Kendati bekerja sebagai asisten wedana di
Sanga-sanga, isteri (Dayang Djohariah) dan anak-anak Awang Ishak ketika itu
tinggal di Jalan Awang Sabran, Kota Tenggarong.
A. Rumah Sederhana Penuh Kasih
Ya,
Keluarga Awang Ishak tinggal di Jalan Awang Sabran Kota Tenggarong. Di rumah
sederhana penuh kasih dalam bingkai kenangan dan kebersamaan. Meski sampai di
tahun 1947 telah dikaruniai sembilan anak, pasutri Awang Ishak – Dayang
Djohariah ingin membangun sebuah keluarga lebih besar lagi yang kuat dan kokoh.
Sebab itu, mendekati akhir tahun 1947 Dayang Djohariah kembali hamil.
Lalu,
pada akhir Juli 1948, tepatnya tanggal 31 Juli 1948, rumah sederhana di Jalan
Awang Sabran semakin ramai berkat kehadiran bayi mungil dari rahim Dayang
Djohariah. Dalam kebersamaan keluarga besar Awang Ishak, bayi mungil yang
kemudian diberi nama Awang Faroek Ishak itu lahir tanpa kendala yang berarti.
Suaranya keras memecah keheningan suasana waktu itu. Mendengar lengkingan si
jabang bayi, ibunda Dayang Djohariah pun tersenyum bahagia. Bibirnya tiada
henti mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih.
Tidak
ada sesuatu yang istimewa mengiringi kelahiran si jabang bayi yang masih keturunan
trah Kesultanan Tenggarong ini. Yang pasti, hari itu Awang Ishak dan Dayang
Djohariah secara tulus ikhlas berdoa agar anak kesepuluh mereka kelak menjadi
anak yang berguna bagi agama, masyarakat, nusa dan bangsanya.
Bermula
Awang Ishak menikahi Hj. Dayang Djohariah binti Awang Muhammad Seman gelar Ngebei Setia Dalam pada tahun 1930. Dari
pernikahan ini, dalam rentang waktu sekitar 24 tahun, mereka dikarunia 13 anak
dari rahim Hj. Dayang Djohariah. Anak
pertama lahir tahun 1931 diberi nama Hj. Dayang Arhariyah. Kemudian, tahun 1932
lahir anak kedua yang diberi nama Awang Faisjal yang dalam perjalanan hidupnya
pernah menjadi Bupati Kutai dan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda.
Tahun 1934, lahirlah anak ketiga yang kemudian diberi nama Awang Abdullah namun
meninggal ketika masih di usia anak-anak.
Anak
keempat, Awang Sabran, lahir di tahun 1935. Awang Sabran yang pernah dipercaya
sebagai Wakil Wali Kota Samarinda gugur dalam kecelakaan speedboat saat menjalankan tugas pada tahun 1971. Lalu, anak kelima
Awang Luthman yang kini memilih jalan hidup sebagai wiraswastawan atau
wirausahawan lahir tahun 1938. Selanjutnya, tahun 1940, lahir anak keenam yang
diberi nama Dayang Narul Fariah. Dua tahun berselang (1942), kemeriahan
keluarga Awang Ishak – Dayang Djohariah semakin bertambah dengan kelahiran anak
ketujuh yang mendapat nama Dayang Sri Mulyati. Kemeriahan terus bertambah
dengan kehadiran anak kedelapan (1945) dan kesembilan (1947), masing-masing
diberi nama Dayang Safiah dan Dayang Sabariah.
Dan
Awang Faroek Ishak sebagai anak kesepuluh lahir pada tahun 1948, tepatnya
tanggal 31 Juli 1948. Awang Faroek pun mewarisi garis kepamongprajaan. Dia
sempat dipercaya menjadi Bupati Kutai Timur (1999-2000), Bupati Definitif Kutai
Timur (2001-2003), Bupati Kutai Timur hasil Pilkada langsung (2006-2011), dan
Gubernur Kalimantan Timur melalui Pilkada langsung (2008-2013).
Kehadiran
bayi mungil Awang Faroek Ishak –yang kemudian akrab disapa Faroek oleh
saudara-saudaranya— menjadi salah satu mutiara, pelengkap etalase kebahagiaan
mahligai rumah tangga Awang Ishak – Dayang Djohariah. Pun demikian bagi saudara-saudaranya yang
lain, kehadiran si kecil Awang Faroek turut menambah keceriaan mereka
sehari-hari. Yang pasti, rumah sederhana ini semakin marak dalam keakraban dan
kebersamaan.
Keluarga
pasangan Awang Ishak - Dayang Djohariah terus menambah anggota baru dengan
kelahiran anak kesebelas, keduabelas dan ketigabelas (bungsu). Ketiga anak-anak
itu masing-masing Awang Fachrul (lahir 1950), Dayang Hartati (lahir 1951) dan
Awang Fachruddin (lahir 1953) yang kemudian berkarir di jalur Pegawai Negeri
Sipil (PNS).
Awang
Faroek Ishak bersama kakak-kakak dan adik-adiknya hidup rukun dalam sebuah
keluarga bersahaja. Kendati ayahnya termasuk trah langsung Kesultanan
Tenggarong atau berdarah biru, Awang Ishak tidak lantas memanjakan semua
anak-anaknya. Anak-anaknya dididik dan dibesarkan sebagai keluarga biasa masyarakat
Tenggarong ketika itu. Meski Awang Ishak tergolong keluarga bangsawan dan
pamongpraja yang cukup disegani namun dia tidak ingin anak-anaknya terkucil,
memisahkan diri dan terasing dari pergaulan masyarakat luas. Karir
kepamongprajaan dan, bahkan, kejuangan, ayahanda Awang Ishak memang tidak
diragukan lagi.
B. Garis Kejuangan Sang Ayahanda
Ayahanda
Awang Ishak bergelar Awang Mas Pati
lahir pada tahun 1909 di Tenggarong, Kutai, Kalimantan Timur, sebagai anak dari
Awang Ibrahim bin Datu Awang Muhammad Saleh gelar Panglima Ribut. Semasa hidupnya, kakek Awang Faroek Ishak yang
memiliki garis turunan langsung trah Kerajaan Kutai ini dikenal sebagai tokoh
pamongpraja yang cukup disegani dan dihormati di wilayah Kalimantan Timur.
Sejak
masa remaja ayahanda Awang Ishak telah menunjukkan jiwa dan semangat
kepamongprajaan. Setahun setelah dia lulus dari pendidikan di Hollandse Inlandse School (HIS) di tahun
1923, masih dalam usia yang relatif sangat muda, Awang Ishak sudah diangkat
sebagai pegawai rendah pada Kesultanan Kutai dengan jabatan juru tulis (schripeen) dan ditempatkan di Onderdistrict Hooft (Kantor Kecamatan)
Muara Kaman.
Setelah
tujuh tahun bekerja sebagai schripeen
di Kantor Kecamatan Muara Kaman, Awang Ishak kemudian dipindahkan pada jabatan
yang sama di Kantor Kecamatan Melak. Berselang dua tahun di Melak, tepatnya
tahun 1932, dia dipindah-tugaskan lagi ke Kantor Kecamatan Muara Kaman dengan
pangkat Schripeen Eerste Klaas (Juru
Tulis Kelas I). Pada tahun 1938, setelah mengabdi selama enam tahun di Muara
Kaman, dia kembali berpindah tugas. Kali ini ke Kantor Kecamatan Sangkulirang,
sampai akhir tahun 1941.
Perjalanan
karir ayahanda Awang Ishak terus menanjak. Di antaranya dia pernah dipercaya sebagai
jaksa, wakil kepala kepolisian Kesultanan Kutai di Tenggarong serta Asisten
Wedana (Camat) di sejumlah daerah, seperti di Sanga-Sanga (1947-1949), Long
Iram (1949), Muara Ancalong (1950-1951), serta Muara Pahu. Setelah itu,
1952-1953, Awang Ishak menjalani tour of
duty sebagai camat di Kutai Tengah dan Tenggarong. Tak lama memang dia
bertugas di sana, tahun 1953, tugas baru sebagai camat di Samarinda telah
menanti. Dan, tahun 1954-1955, Awang Ishak diberi amanah untuk mengemban
jabatan Wedana di Barongtongkok.
Di
tengah-tengah masa pergolakan dan perlawanan bersenjata terhadap tentara
Kolonial Belanda zaman itu, elan dan semangat kejuangan dan nasionalisme
ayahanda sungguh menggelora. Dia ikut andil dan bahu-membahu dalam membantu
perjuangan masyarakat dan bangsa waktu itu untuk mencapai kemerdekaan. Rupanya
hal ini yang menjadi salah satu sebab mengapa ayahanda Awang Ishak kerapkali
dipindah-tugaskan sebagai camat atau asisten wedana ke beberapa daerah.
Padahal,
bila mau jujur, melihat kedudukannya masa itu, ayahanda Awang Ishak merupakan
orang penting dan terpandang di daerahnya. Berkat posisinya kala itu, ekonomi
keluarganya boleh dikatakan berkecukupan. Namun, ayahanda tidak bisa tinggal
diam melihat anak bangsanya dijajah dan diinjak-injak harkat dan martabatnya. Karena
itu, secara sembunyi-sembunyi, dia memutuskan untuk membantu para pejuang
pro-merah-putih di daerahnya. Meskipun, dia menyadari akan risiko yang bakal
dihadapinya, termasuk digeser dari jabatannya, bahkan kemungkinan ditangkap dan
dijebloskan ke penjara.
Kekhawatiran
itu benar adanya. Sejumlah bukti yang diperoleh dari seorang pejuang di
Samarinda, melalui laporan rahasia (Gcheiin
Verslag) dari Residen van Oost Borneo
(Kalimantan Timur) kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, akhirnya diketahui
segala sepak terjang ayahanda Awang Ishak selama ini. Dari laporan itu pula,
ayahanda lantas dituduh terlibat dalam pergerakan bawah tanah terhadap Belanda.
Sebab itu, Belanda menghubungi Sultan Kutai (masa itu) Adji Muhammad Parikesit
dan menyarankan agar Awang Ishak dipindahkan ke Long Iram sebagai wujud
“hukuman” terhadap dirinya. Namun, Surat Keputusan itu kemudian dibatalkan,
lantaran Sultan Kutai tidak berkenan akan bentuk hukuman terhadap ayahanda
Awang Ishak.
C. Teladan Kejujuran dan Disiplin Ayahanda
Awang Ishak
Awang Faroek kecil, di
masa-masa umur nol sampai delapan tahun, benaknya dipenuhi kesan-kesan positif
yang dipancarkan oleh ayahanda Awang Ishak. Kesannya yang demikian kuat
menancap di benaknya bahwa ayahanda Awang Ishak bergelar Awang Mas Pati merupakan sosok ayah yang mampu mewariskan nilai-nilai
kejuangan dan keteladanan bagi anak-anaknya. Hal yang paling berkesan pada
sosok ayahanda, tutur Awang Faroek, bahwa ayahanda sangat menjunjung tinggi
makna sebuah kejujuran.
Kejujuran
berarti tulus, tidak culas, lurus hati. Kejujuran mencakup semua hal dalam
aktivitas kehidupan kita. Dalam berniat kita harus jujur. Jika kita memiliki
niat untuk melakukan sesuatu hal maka niat itu harus tulus dan ikhlas.
Kemudian, kejujuran dalam berbicara. Kita hendaknya berbicara benar dan tepat,
tidak berbohong atau mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran.
Dalam
bertindak pun kita mesti jujur. Jangan curang, menipu atau memanipulasi fakta
dan data. Termasuk, sebagai pamongpraja, dalam melayani warga masyarakat.
Ayahanda
Awang Ishak mengajarkan anak-anaknya untuk senantiasa berperilaku, bertindak,
berbuat dan berkata jujur tanpa kecuali. Jujur pada diri sendiri. Kejujuran
pada diri sendiri adalah kejujuran yang dilandasi pada pengakuan diri bahwa
diri ini memiliki kemampuan dan kekurangan. Jadi, jika dirinya tidak mampu mengerjakan sesuatu
maka dia akan katakan “tidak mampu”. Apabila dirinya tidak tahu maka dia akan
katakan “tidak tahu”.
Jujur
pula pada orang lain. Kita harus jujur kepada isteri/suami, anak-anak, orang
tua, kakak, adik dan seterusnya. Tanpa kejujuran maka seseorang tidak bisa
mempertahankan hubungan yang harmonis dengan orang lain. Sebagai pamongpraja,
melayani warga masyarakat harus dilandasi dengan niat ikhlas dan kejujuran.
Dengan begitu warga masyarakat akan memberikan feedback yang baik dan hubungan pamongpraja-masyarakat berjalan
harmonis dan sistemis.
Dan
mesti jujur kepada Tuhan. Sebagai umat beragama, kita harus jujur kepada Sang
Maha Pencipta. Dampak dari kejujuran ini adalah sebuah ketulusan serta
keikhlasan pada Tuhan dalam segala tindakan kita. Berkat-Nya akan melimpah
kepada siapa saja yang melakukan perbuatan jujur dan benar.
Sebagai
seorang Muslim, ayahanda Awang Ishak senantiasa menanamkan kejujuran dan amanah
yang berbuah pada integritas diri sebagaimana diteladankan oleh Manusia Agung
Rasulullah Muhammad saw. Integritas yang bermakna keutuhan dalam segala aspek
kehidupan, khususnya antara perkataan dan perbuatan. Orang yang memiliki
integritas adalah orang yang menyatu kata dan perbuatannya. Ia berkata jujur
dan tentu saja tidak akan berbohong.
Pakar
kepemimpinan Stephen R. Covey membedakan antara kejujuran dan integritas.
Menurut Covey, kejujuran berarti menyampaikan kebenaran, ucapannya sesuai
dengan kenyataan. Sedangkan integritas membuktikan tindakannya sesuai dengan
ucapannya. Lebih tegas lagi, orang yang berintegritas didefinisikan sebagai
orang yang iman dan perbuatannya menyatu, bahkan dari perbuatannya, orang
melihat imannya.
Kejujuran
dan integritas ini tidak hanya diomongkan di mulut saja. Ayahanda Awang Ishak
langsung mencontohkan dalam tindakan nyata. Awang Faroek berkisah, dengan
jabatan sebagai wedana dan pernah bertugas di Kota Tarakan, ayahanda Awang
Ishak bisa saja bertindak tidak jujur alias korupsi. Apalagi saat itu Kota Tarakan
terkenal sebagai wilayah ramai oleh aktivitas penyelundupan. Arti kata, kalau
ayahanda Awang Ishak mau menyelewengkan kekuasaan dan jabatannya, sangat mudah
membawa keluarganya ke dalam gelimang kekayaan materi. Karena, peluang dan
kesempatan untuk itu sangat terbuka lebar. Namun, jabatan wedana di Kota
Tarakan itu tidak lantas membuat ayahanda Awang Ishak terlena.
Bagi
ayahanda Awang Ishak, jabatan wedana adalah sebuah amanah. Dia tidak ingin
mengkhianati amanah yang telah dititipkan kepadanya. Karena itu, tidaklah
mengherankan bila di saat harus pulang ke Tenggarong usai tugas di Kota
Tarakan, barang-barang yang dibawa pindah menggunakan kapal Bango, ya itu-itu
saja. Yakni, satu set mesin jahit tua merek Singer,
ranjang besi dengan banyak baut dan sekerupnya, serta sejumlah pakaian
anak-anak. Dengan kata lain, kehidupan keluarga ini relatif sederhana dan
bersahaja untuk ukuran seorang wedana.
Kejujuran
dan integritas itu pula yang kemudian membawa ayahanda Awang Ishak disegani
warga masyarakat dan dihormati oleh sesama kolega di masanya. Bahkan, di mata
Pemerintah Kolonial Belanda sekalipun.
Tidak
selamanya Pemerintah Kolonial Belanda menanamkan nilai-nilai negatif. Ayahanda
Awang Ishak mampu menangkan banyak pelajaran dari Pemerintah Kolonial saat
dirinya bekerja sebagai pamongpraja di masa-masa akhir penjajahan. Satu hal
yang cukup melekat di benak Awang Faroek, nilai pemerintahan kolonial yang
langsung dipelajari ayahanda dan kemudian ditularkan kepada anak-anaknya adalah
sikap disiplin. Salah satu kunci sukses Pemerintah Kolonial Belanda cukup lama
bercokol di negeri kita adalah disiplin terhadap waktu: kapan berbaik hati pada
rakyat yang dijajah dan kapan pula harus bersikap keras terhadap kaum pribumi.
Bahkan, Pemerintah Kolonial sangat disiplin mempelajari kultur dan kebiasaan
masyarakat pribumi.
Ayahanda
Awang Ishak berusaha menarik nilai positif dari sikap hidup disiplin. Secara
agak luas disiplin dapat dimaknai sebagai kepatuhan pada peraturan, tata tertib
dan dikaitkan dengan peraturan yang berlaku di lingkungan hidup seseorang. Kedisiplinan
tidak dapat terpaku pada teori saja lantaran faktor penting dari kedisiplinan
adalah kemauan untuk mengaplikasikan peraturan-peraturan yang berlaku secara
baik.
Islam
–agama yang dianut ayahanda Awang Ishak— pun memperingatkan agar kita jangan
lengah. Islam menjelaskan bahwa yang paling berarti dalam kehidupan ini adalah
waktu. Nabi Muhammad saw bersabda: “Tidak
ada satu hari pun yang fajarnya menyingsing kecuali ia pasti mengatakan, ‘Wahai
anak Adam, aku adalah ciptaan baru yang menjadi saksi atas amal perbuatan
kalian. Berbekallah dengan menggunakan kesempatan yang ada, karena sesungguhnya
aku tidak akan pernah kembali hingga hari kiamat.’”
Waktu
itu amat terbatas. Dan perbuatan manusia setiap waktu akan dihitung. Para
malaikat siang dan malaikat malam secara bergiliran senantiasa mengawasi
manusia. Putaran siang berakhir hingga ashar dan putaran malam berakhir sampai
subuh. Segala amal perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk akan selalu
dihitung dan dicatat. “Sebenarnya Kami selalu mendengar, dan utusan-utusan Kami
pun senantiasa mencatat di sisi mereka.” (QS Az-Zukhruf ayat 80)
Islam
datang untuk mengajarkan anak manusia untuk menghargai hari dan waktu untuk
diisi dengan perbuatan yang bermanfaat. Maka kewajiban si anak manusia untuk
membekali diri dengan mengisi waktu, karena dalam kehidupan ini, sesuatu yang
paling mahal nilainya adalah waktu. Bila waktu sudah berakhir maka tidak akan
bisa diganti. Jika telah lewat maka ia takkan kembali. Kita mesti disiplin
memanfaatkan waktu.
Karena
nilai plus kedisiplinan dari berbagai segi, ayahanda Awang Ishak menerapkan
kedisiplinan itu dalam mendidik anak-anaknya. Misalkan kapan waktu bagi
anak-anaknya untuk bangun pagi, sarapan, berangkat dan pulang sekolah, hingga
waktu mereka bermain, semuanya telah diatur sedemikian rupa. Dan, anak-anaknya
harus patuh serta menurut pada aturan tersebut.
“Ayah
biasanya selalu bangun sebelum subuh. Setelah shalat subuh, beliau tidak pernah
tidur lagi. Pukul 06.30 pagi, ayah sudah siap berangkat kerja sembari mengawasi
kami anak-anaknya. Tepat pukul 07.00, biasanya kami semua sudah siap di meja
makan lalu kami makan bersama-sama,” kenang Awang Faroek tentang kedisiplinan
yang diterapkan ayahanda.
Usai
sarapan pagi, Awang Faroek kecil dan saudara-saudaranya yang lain dibiasakan
mencium tangan kedua orang-tuanya sembari izin pamit hendak berangkat ke
sekolah. “Begitulah disiplin yang kami lakukan setiap hari,” ujar Awang Faroek
suatu kali.
Kendati
sangat disiplin dalam memanfaatkan waktu, toh Awang Faroek dan
saudara-saudaranya tetap merasa enjoy
melewatkan masa kanak-kanak dalam bingkai peraturan ayahanda. Hal ini tak terlepas
dari penanaman disiplin ayahanda sejak anak-anak masih dalam usia yang sangat
dini. Lambat namun pasti, nilai disiplin itu menancap kuat dalam diri Awang
Faroek dan saudara-saudaranya.
Berkat
disiplin itu pula, keluarga Awang Ishak dengan 13 orang anak tidak berniat
mencari pembantu rumah tangga guna meringankan beban pekerjaan domestik. Justru
dengan kebiasaan disiplin keras itulah, Awang Faroek dan saudara-saudaranya
mudah diatur untuk berbagi tugas mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga.
“Seperti
saya, tugasnya setiap hari mengisi air untuk kami mandi, mencuci atau untuk
berwudhu. Dan tugas ini rutin saya lakukan setiap hari sejak kecil,” ucap Awang
Faroek.
Tidak
sekadar ucapan di mulut, ayahanda Awang Ishak senantiasa memberi teladan tindakan
dalam menanamkan sikap jujur, integritas, amanah dan disiplin pada
anak-anaknya. Dia memahami betul petuah lama bahwa keteladanan adalah perintah
tanpa kata-kata. Orang lain lebih senang mengikuti teladan daripada kata-kata perintah.
Keteladan menjadi cara yang efektif untuk mempengaruhi atau mendidik anak dalam
bersikap dan bertindak. Jika kita diberi amanah sebagai orang tua dan
menginginkan anak-anak berperilaku sesuai dengan keinginan kita, maka kita
harus memberikan keteladanan. Keteladanan adalah memberikan contoh melalui
perbuatan atau tindakan yang nyata.
Berkat
keteladan nyata disiplin, jujur, amanah dan integritas itulah, sampai sekarang Awang
Faroek dan saudara-saudaranya berusaha terus menjaga nama baik ayahanda Awang
Ishak.
D. Ibunda Dayang Djohariah yang
Telaten pada Anak-anak
Kekuatan
ayahanda Awang Ishak dalam mendidik Awang Faroek dan saudara-saudaranya tidak
terlepas pula dari sentuhan kasih sayang ibunda Hj. Dayang Djohariah. Ibunda
Dayang Djohariah menyadari bahwa wanita atau isteri adalah pemimpin atas
penghuni rumah suaminya dan anak-anaknya, dan bertanggung-jawab terhadap
mereka. Wanita atau isteri bertanggung-jawab mengatur urusan rumah tangga. Ibunda
menyadari benar peran isteri atau ibu dalam mengasuh dan mendidik anak-anak.
Dalam
benak Awang Faroek, ibunda Dayang Djohariah merupakan figur seorang ibu rumah
tangga yang mandiri dan penuh kasih sayang, telaten dan kreatif, serta sangat
memperhatikan detail perkembangan anak-anaknya.
“Ibu
saya sangat memperhatikan pendidikan kami, anak-anaknya. Beliau itu biasa
menjahit sendiri pakaian kami dengan mesin jahit Singer tua yang selalu beliau bawa saat ayah berpindah-pindah
tugas. Sehingga, saat itu kami tidak pernah membeli pakaian jadi, karena
dijahit langsung oleh ibu,” ujar Awang Faroek suatu waktu.
Dengan
sentuhan kasih sayang dan kemandirian ibunda, Awang Faroek dan
saudara-saudaranya mampu menapaki terjalnya kehidupan saat itu. Perhatian dan
kepedulian pada pendidikan umum di sekolah maupun bekal pendidikan agama,
termasuk perkembangan masa depan anak-anaknya, menjadi hal penting yang
senantiasa diprioritaskan ibunda Dayang Djohariah. Dari mulai menyiapkan
makanan, pakaian, sepatu, memeriksa buku-buku pelajaran, mengawasi anak-anak
usai pulang sekolah, menjadi hal rutin yang ibunda lakukan. Singkat kata,
ibunda Dayang Djohariah saat itu merupakan representasi ibu yang baik hati,
sabar dan ikhlas menjalankan tugasnya, dan ia sangat perhatian, serta penuh
kasih pada buah hatinya. Pada saat yang sama, ibunda juga mampu menampilkan
sosok ibu yang telaten dan kreatif dalam tugas-tugas rumah tangga.
“Dengan
penuh kasih sayangnya, ibu mengawasi kami belajar, bermain, termasuk menanamkan
kedisiplinan dalam menjalankan ibadah, terutama shalat lima waktu,” tutur Awang
Faroek menegaskan besarnya perhatian ibunda Dayang Djohariah.
Tak
hanya di mata anak-anaknya, ibunda Dayang Djohariah demikian sempurna
menjalankan perannya sebagai isteri dan ibu bagi anak-anaknya. Di mata para
tetangga, ibunda Dayang Djohariah dikenal sebagai sosok yang baik hati dan
peduli lingkungan sekitarnya. Sebagai makhluk sosial, ibunda Dayang Djohariah
yang melahirkan 13 putera-puteri ini selalu aktif membantu tetangganya bilamana
mereka sedang ditimpa kesusahan atau tengah sibuk menyiapkan suatu kenduri atau
hajatan. Tidak mengherankan, bila keakraban antar-tetangga senantiasa terjalin
harmonis dan di antara mereka nyaris tidak pernah cekcok.
Ibunda
Dayang Djohariah berusaha membangun komunikasi yang baik dengan anak-anaknya.
Ibunda berusaha senantiasa mendengar kata-kata apa yang diinginkan anak-anaknya
tanpa memotong untuk memberi nasihat atau membesarkan hati mereka. Dengan
begitu ibunda bisa merefleksikan kembali apa yang dikatakan anak-anaknya dengan
kata-kata sendiri. Hal ini menunjukkan kepada anak-anak bahwa ibunda telah
mendengar apa yang dikatakan anak-anak dan menerima perasaan mereka.
Merefleksikan
perasaan, meskipun anak-anak tidak secara langsung mengatakannya dalam
kata-kata, sangatlah membantu si anak untuk berpikir dan berpendapat. Perasaan
yang terlalu kuat akan menghalangi anak berpikir secara terang dan menghalangi
kemampuan mereka untuk memecahkan permasalahan. Mendengarkan reflektif dapat menenangkan
perasaan si anak dan dengan demikian merupakan langkah pertama buat memecahkan
permasalahan.
Dengan
komunikasi reflektif yang diterapkan ibunda Dayang Djohariah, Awang Faroek dan
saudara-saudaranya senantiasa mampu membangun pola pikir yang tegas dan jelas.
Dan, hal ini pula yang menjadi bekal Awang Faroek di kemudian hari dalam meniti
jalan kehidupan.
Kata
pepatah lama air cucuran atap jatuh ke
pelimbahan juga, tampaknya mewarnai Awang Faroek dalam menapaki delapan tahun
(sewindu) pertama kehidupannya. Awang Faroek menuruti teladan kejujuran,
integritas dan disiplin ayahanda Awang Ishak. Dia pun meneladani ketelatenan,
kesabaran, dan komunikasi reflektif dari ibunda Dayang Djohariah.
Ibarat
kertas yang masih putih bersih, benak Awang Faroek kecil dilukis dengan
nilai-nilai teladan, kejujuran, integritas, disiplin, ketelatean dan kesabaran.
Lukisan itu terpateri kuat dan membentuk pribadi yang kuat seorang Awang
Faroek.
No comments:
Post a Comment