Menapaki Karir Akademisi
Percayailah orang dan mereka akan
bersikap tulus padamu, percayailah mereka dengan sungguh-sungguh dan mereka
akan melakukan hal-hal hebat untukmu.
Ralph
Waldo Emerson,
Penulis Kenamaan
Pepatah
lama setinggi-tinggi burung bangau
terbang surutnya ke kubangan pula, agaknya cukup tepat buat menggambarkan
perjalanan hidup Awang Faroek setelah menamatkan kuliah di Jurusan Ekonomi
Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP Malang, Jawa Timur, tahun 1973. Bahwa sejauh-jauh
Awang Faroek merantau, akhirnya kembali ke daerah asalnya (Kalimantan Timur) juga.
Sebagaimana
lulusan IKIP, galibnya Awang Faroek memasuki lapangan kerja sebagai guru di
sekolah atau akademisi di universitas. Rupanya, waktu itu, darah pamongpraja
lebih kental dan memanggil diri Awang Faroek untuk berkiprah. Harapan kakak
tertua Awang Faisjal agar Awang Faroek berkarir di dunia akademis sepertinya
jauh panggang dari api. Di tahun 1973 itu Awang Faroek diterima sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) di Kantor Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Kalimantan
Timur. Oleh atasannya, dia ditempatkan sebagai Staf Biro Pembangunan pada
Kantor Gubernur dengan honor Rp6.000 per bulan. Tidak butuh waktu lama berada
di kursi staf, sekitar tahun 1974 Awang Faroek dipromosikan sebagai Kepala
Subdirektorat Perencanaan (kini: Direktorat Pembangunan) Pemerintah Daerah
Provinsi Kalimantan Timur.
Melihat
kinerja dan kondite Awang Faroek yang nyaris tanpa cacat, Gubernur Kalimantan (saat
itu) A. Wahab Syahranie merasa terkesan. Di pertengahan dekade 1970-an itu
Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur tengah mengembangkan Universitas
Mulawarman, Samarinda, yang diharapkan nanti menjadi kebanggaan masyarakat
Kalimantan Timur. Gubernur Wahab Syahranie membuka-buka lembar riwayat hidup
Awang Faroek. Di kolom pendidikan tertera Sarjana Kependidikan dari IKIP
Malang. Kontan saja, Gubernur Wahab Syahranie meminta Awang Faroek untuk ikut
berperan aktif mengembangkan Universitas Mulawarman sebagai institusi pendidikan
tinggi buat menggembleng dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM)
daerah Kalimantan Timur khususnya dan Republik Indonesia umumnya. Awang Faroek
tidak menampik penugasan dari orang yang dihormatinya itu.
A. Menjadi Dekan di Usia Empat Windu
Di
masa-masa pengembangan, sekitar tahun 1974, Universitas Mulawarman mengalami
kekurangan tenaga akademik (dosen). Ketika itu, Pemda Kalimantan Timur sampai
menempatkan 14 orang staf Pemda untuk memperkuat jajaran tenaga akademik.
Termasuk salah satunya Awang Faroek Ishak yang menyandang gelar Sarjana
Kependidikan.
Tahun
1970 sampai tahun 1978 merupakan tahap pengembangan Universitas Mulawarman yang
berdiri pada tanggal 27 September 1962. Pada awal berdirinya, Universitas Mulawarman
hanya memiliki empat fakultas, yaitu Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan,
Fakultas Pertanian, Fakultas Kehutanan, dan Fakultas Pertambangan.
Dalam
proses penyelenggaraan keempat fakultas tersebut masih dijumpai berbagai
hambatan, sehingga pada saat itu hanya pendidikan di Fakultas Ketatanegaraan
dan Ketataniagaan yang dapat diselenggarakan, dan pada tahun 1964 disusul
penyelenggaraan proses belajar mengajar di Fakultas Pertanian.
Pada
tahun 1966 Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan dipecah menjadi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan Fakultas Ekonomi. Karena kesulitan mendapat
staf pengajar pada Fakultas Pertambangan yang berada di Balikpapan, pada tahun
1970 Fakultas Pertambangan terpaksa ditutup. Lalu pada tahun 1978 IKIP
Samarinda berintegrasi ke dalam Universitas Mulawarman sehingga berdiri
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dengan terbitnya Surat Keputusan Dirjen
Dikti Nomor 181/D/E/1978 tanggal 20 Maret 1978 tentang Pembukaan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Pada
tahun 1978 Universitas Mulawarman terdiri dari lima Fakultas sesuai dengan
Surat Keputusan Presiden RI Nomor 66 Tahun 1982 tanggal 7 September 1982, yakni
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ekonomi, Fakultas Pertanian, Fakultas
Kehutanan, dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Pertama
kali menjadi dosen, Awang Faroek dipercaya mengajar di Fakultas Ekonomi
Universitas Mulawarman. “Pada tahun 1974 itu saya mulai mengajar di Fakultas
Ekonomi Universitas Mulawarman,” ujar Awang Faroek mengenang perjalanan
hidupnya di akhir-akhir usia 20-an. Secara tidak langsung, Awang Faroek pun
mampu memenuhi harapan sang kakak Awang Faisjal agar dirinya menapaki karir di
dunia akademisi.
Sejak
tahun 1974 itu pula, hari-hari Awang Faroek diisi dengan aktivitas mengajar,
meneliti, dan mengabdikan diri pada masyarakat, sebagai realisasi Tridharma Perguruan Tinggi. Sebagai
pengajar perguruan tinggi, Awang Faroek melakoni kesehariannya di kampus dengan
enjoy dan nothing to loose.
Berkat
kedisiplinan menekuni hari-hari mengajar dan berinteraksi secara intensif
dengan civitas akademika, Awang Faroek tidak hanya dikenal sebagai pengajar
favorit di Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman. Dia dikenal pula sebagai
sosok yang cukup mumpuni dalam manajemen pengelolaan sebuah institusi perguruan
tinggi. Dua tahun berkiprah di Universitas Mulawarman, tahun 1976, Awang Faroek
diberi mandat sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Ekonomi Universitas
Mulawarman.
Tapak
karir Awang Faroek di Universitas Mulawarman terus beranjak naik. Tahun 1977,
suami dari Hj. E. Amelia Suharni ini diangkat menjadi Kepala Bagian
Kemahasiswaan. Sebuah posisi yang amat dekat dengan pengembangan organisasi
kemahasiswaan, dunia yang pernah ditekuninya semasa kuliah di IKIP Malang, Jawa
Timur.
Selanjutnya
di tahun 1978, di rentang usia yang masih relatif sangat muda, 30 tahun, Awang
Faroek dipercaya memangku jabatan Pembantu Rektor III Universitas Mulawarman. Dua
tahun berselang, tahun 1980, dalam usia empat windu (32 tahun) dia dipercaya
sebagai Dekan (Eselon I/b) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Saat mana
FKIP yang baru berusia dua tahun di lingkungan Universitas Mulawarman memang
membutuhkan sosok yang mampu serta mumpuni mendobrak dan mengembangkan FKIP.
Benar
saja, kepemimpinan Awang Faroek di FKIP membawa banyak angin perubahan,
pengembangan dan perbaikan. Selama menjadi Dekan di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) 1980 hingga 1985, sangat banyak terobosan-terobosan yang
ditempuh oleh Awang Faroek untuk mengangkat harkat dan martabat pendidik dan
tenaga pendidikan Kalimantan Timur. Tidak kurang dari 20-an staf pengajar dikirim
untuk melanjutkan pendidikan setingkat S-2 dan S-3 di dalam dan luar negeri, di
mana keputusan tersebut diambil pada saat jumlah dosen masih sangat minim di Universitas
Mulawarman. Hasilnya terlihat pada saat Awang tidak lagi menjabat sebagai
Dekan, beberapa tahun kemudian, FKIP menjadi salah satu Fakultas yang sangat
diperhitungkan di Universitas Mulawarman dengan jumlah doktor dan magister yang
cukup signifikan.
Kemudian,
pada waktu hampir bersamaan, tahun 1982, Awang Faroek kembali menerima tugas
mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman. Kendati tidak berada pada
jabatan struktural, secara fungsional dia memperoleh pangkat edukatif Lektor Muda.
Sebuah pangkat yang relatif tinggi dalam struktur kepangkatan tenaga pengajar di
universitas. Bahkan, di Fakultas Ekonomi ini lah Awang Faroek mampu memperoleh
kepangkatan edukatif yang nyaris linear sampai ke puncak: Lektor Madya
(1983-1985), Lektor (1985-1987) dan Lektor Kepala (1987-1996).
Sebuah
jalan telah terbentang lebar untuk mencapai gelar guru besar (profesor). Sebuah
gelar yang jelas bakal memberikan banyak kenyamanan bagi si penyandang gelar.
Di usia yang relatif amat muda, Awang Faroek sudah mampu memasuki zona nyaman
dalam karir dan perjalanan hidup.
Terlebih,
dalam perjalanan karir di dunia pendidikan tinggi ini, pemilik tinggi 170
sentimeter dan beart 87 kilogram ini sempat ‘menelorkan’ mahasiswa-mahasiswa
berprestasi. Salah satunya adalah Ir. Isran Noor yang menjadi Wakil Bupati
Kutai Timur saat Bupati Kutai Timur dipegang oleh Awang Faroek (2000-2005).
Jejak
pendakian di jalur akademisi Awang faroek memang tergolong cukup mengkilap. Hal
ini dapat dilihat dari kepangkatan edukatif yang direngkuhnya sejak memasuki
Universitas Mulawarman sampai kini. Tahun 1976-1978, dia sebagai Asisten Ahli
Madya pada Fakultas Ekonomi. Kemudian tahun 1978-1980, Awang Faroek naik
sebagai Asisten Ahli. Selanjutnya pada rentang 1980-1983, pemilik nama lengkap
Awang Faroek Ishak ini naik lagi menjadi Lektor Muda Fakultas Ekonomi. Pangkat
edukatif Lektor Madya digapainya tahun 1983 dan ditempati sampai 1985.
Masih
di Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman, 1985-1987, Awang Faroek menapak
sebagai Lektor Madya. Dan sebagai Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas
Mulawarman pada tahun 1987-1996. Pada tahun 1996 itu pula, kemudian diperkuat
dengan SK Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 603/011.A/KP/SK/2001 tanggal 30
Maret 2001, Awang Faroek dikukuhkan sebagai Lektor Kepala pada Fakultas Ekonomi
Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda.
Berkat
kompetensinya di bidang pendidikan tinggi dan sebagai akademisi yang mumpuni,
tahun 1993-1998, Awang Faroek didaulat menjadi Sekretaris Bidang Pendidikan
Tinggi Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI). Juga sebagai
Ketua Yayasan Pembina Pendidikan 17 Agustus 1945 Samarinda, 1996-sekarang.
Di
usia relatif muda, Awang Faroek memang layak telah memasuki zona nyaman di
pendakian jalur akademisi. Kerja-kerasnya sebagai akademisi sungguh tidak
tanggung-tanggung. Sebagai dosen yang berusaha mengejawantahkan Tridharma Perguruan Tinggi, dia cukup aktif
melakukan penelitian-penelitian sosial-masyarakat. Penelitian-penelitian yang
pernah ditelorkan seperti Penelitian
Pembangunan Masyarakat Desa di Kalimantan Timur, kerja sama Universitas
Mulawarman dan Pemda Kaltim, 1982; Penelitian
Beberapa Sifat Demografi Penduduk Kabupaten Kutai, Universitas Mulawarman,
1983; Penelitian Pengembangan Daerah
Transmigrasi Teluk Dalam (Kabupaten Kutai), kerja sama Universitas
Mulawarman – Departemen Transmigrasi, 1984.
Kemudian
Penelitian Dampak Lingkungan Proyek LNG
Bontang, kerja sama Universitas Mulawarman dan Pertamina, 1985; Penelitian Kelistrikan di Kalimantan Timur,
kerja sama Universitas Mulawarman dan PLN, 1986; Penelitian tentang Persiapan Peningkatan Kotif Tarakan Menjadi
Kotamadya Daerah Tingkat II, 1994; Penelitian
tentang Kondisi Ketahanan Nasional Daerah Tingkat II Kutai, Kalimantan Timur,
Program Pascasarjana Pengkajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia,
1996. Dan, Penelitian tentang Peranan
Kawasan Ekonomi Terpadu Sasamba dalam Peningkatan Kewaspadaan Nasional di
Kalimantan Timur, 1997.
Sebagai
akademisi, Awang Faroek juga telah memperoleh kepercayaan untuk mengikuti
sejumlah seminar, lokakarya dan simposium, terutama yang berkaitan dengan
pengembangan daerah dan pendidikan tinggi. Beberapa seminar yang pernah diikuti
Awang Faroek: Seminar “Transmigration Area
Development Balikpapan”, TAD-Pemda Kaltim, 1982; Seminar “Man and Biosphere”, Universitas
Mulawarman, 1982; Seminar Nasional “Kependidikan
Seluruh Indonesia”, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Malang, 1982; Seminar “Evaluasi Pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata”, Universitas Mulawarman,
1981.
Kemudian
Lokakarya Pembina/Pejabat Bidang
Kemahasiswaan/Pembantu Rektor III Seluruh Indonesia, Denpasar, 1980;
Seminar “Analisa Dampak Lingkungan LNG
Bontang”, Universitas Mulawarman – Pertamina, 1989; Seminar “Identifikasi Permasalahan Pendidikan di
Kalimantan Timur”, Universitas Mulawarman – Pemda Kaltim, 1983. Dan Seminar
“Kualitas Manusia dalam Pembangunan”,
HIPIS Universitas Sriwijaya, Palembang, 1984.
Selain
itu, Awang Faroek juga aktif menulis dan menerbitkan kertas kerja. Tercatat
antara lain Manajemen Koperasi (1976),
Program Pembinaan Guidance and Conseling
di Perguruan Tinggi (1978), Pokok-pokok
Perkuliahan Ekonomi Pembangunan (1982), Pokok-pokok
Perkuliahan Filsafat Pancasila (1983), Peranan
Sektor Informal dalam Mengatasi Masalah Tenaga Kerja di Kalimantan Timur (1985),
dan Peranan LKMD dalam rangka Pembangunan
Pedesaan di Indonesia (1985).
Jelas
bahwa Awang Faroek telah menemukan jalur ‘pendakian’ di dunia akademisi yang
demikian terbuka lebar. Zona nyaman pun cukup enak buat ditempati dan dinikmati
tanpa harus bersusah-susah lagi meretas jalur pendakian baru.
B. Tak Ingin Berhenti di Zona Nyaman
Di
jalur karir akademisi, nama Awang Faroek sungguh tidak diragukan lagi. Bahkan,
dia sempat diberi kepercayaan sebagai Ketua Korpri Unit Universitas Mulawarman
periode 1981-1986. Dia menjadi tenaga andalan dalam mengembangkan Universitas
Mulawarman untuk pencapaian predikat diakui secara nasional maupun
internasional.
Kendati
begitu, Awang Faroek tak mau berlama-lama berada di zona nyaman (comfort zone) pendakian karir akademisi.
Zona nyaman, sebuah zona di mana si anak manusia merasa telah terpenuhi semua
kepentingan (baca: kebutuhan) hidupnya secara memadai. Pakar psikologi Abraham
Maslow membagi kebutuhan (need)
manusia ke dalam lima tingkatan. Pada lapisan paling bawah adalah kebutuhan
fisiologis, yakni kebutuhan dasar untuk hidup seseorang, seperti pangan,
sandang dan papan. Di tingkat kedua adalah kebutuhan akan rasa aman. Lalu,
tingkat ketiga, adalah kebutuhan ikut memiliki dan kasih sayang. Tingkat
berikutnya, kebutuhan akan penghargaan. Dan pada lapis tertinggi adalah
kebutuhan akan aktualisasi diri.
Kebutuhan
adalah sesuatu yang wajib dipenuhi agar manusia tetap hidup, berkembang dan
eksis. Kebutuhan merupakan sesuatu yang menggerakkan perilaku manusia.
Kebutuhan adalah motivasi bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan
hirarki Maslow, seorang anak manusia tidak akan beranjak memenuhi kebutuhannya
pada tingkat atas bilamana kebutuhan tingkat dasarnya belum tercapai. Dalam
bahasa yang lebih sederhana, umpama, seorang anak manusia jarang akan berpikir
untuk memenuhi kebutuhan kasih sayang antar-sesama jika ia sendiri masih lapar
atau dalam dirinya masih diselimuti perasaan belum aman.
Mengacu
pada kerangkan tingkat kebutuhan manusia ala Maslow tersebut, psikolog Paul G.
Stoltz membagi anak manusia yang hendak mendaki kesuksesan ke dalam tiga tipe.
Ibarat pencaki gunung, terdapat tiga tipe pendaki. Pertama, quitters. Mereka adalah orang-orang yang
memutuskan berhenti atau keluar mundur dari jalur pendakian. Mereka
meninggalkan impian-impiannya dan memilih jalan yang mereka anggap lebih datar,
lebih mudah dan aman untuk ditempuh. Mereka gagal memaksimalkan potensi.
Bahkan, mereka selalu lari dari arena pergulatan yang pahit dan tidak tahan
banting. Mereka hidup dalam batas minimal, misalkan jadi pegawai negeri. Karena
itu, para quitters selalu menyesal
kemudian hari dengan mengatakan, “Seandainya dulu saya ...”
Kedua,
campers. Mereka adalah
individu-individu yang berkemah. Mereka telah mendaki sampai pada ketinggian
tertentu lalu memutuskan berhenti, mencari tempat datar yang rata dan nyaman
sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Mereka merasa
nyaman dengan apa yang mereka capai saat ini. Mereka selalu berkata, “Ini sudah
cukup baik.” Mereka menciptakan ‘penjara’ yang nyaman, sebuah tempat yang
terlalu enak buat ditinggalkan. Mereka belum mencapai puncak. Tapi, mereka
merasa takut kehilangan kenyamannya berada di ketinggian tertentu. Dengan
memutuskan berkemah, the campers
tidak berniat menggapai puncak tertinggi. Aktualisasi dirinya menjadi relatif terbatas.
Mereka adalah pekerja yang baik sampai pada karir profesional, bukan
entrepreneur atau wirausahawan.
Ketiga,
climbers. Mereka merupakan
orang-orang yang seumur hidup membaktikan diri pada pendakian sampai puncak
tertinggi. Mereka sampai pada puncak aktualisasi diri. Mereka merasa yakin pada
sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri. The climbers (pendaki) berkeyakinan bahwa segala hal bisa dan akan
terlaksana, kendati orang lain lebih banyak bersikap sebagai the quitters dan the campers. Cilmbers
sejati memang langka, karena tidak semua orang mampu, mau dan berkesempatan.
Meski
Awang Faroek ketika itu telah tercatat sebagai PNS dengan sejumlah disiplin dan
aturan yang wajib dipatuhi, namun dia tidak ingin berhenti sebagai campers, apalagi quitters. Dia ingin menjadi climbers
sejati sesuai dengan jalur pendakian yang pernah dirintisnya. Sudah sejak SMP
di Tenggarong, dia aktif berorganisasi. Terlebih lagi saat masih kuliah di IKIP
Malang, 1971-1973, Awang Faroek sempat menjadi anggota Golongan Karya (Golkar).
Ketika
mendaki sampai mendekati puncak karir akademisi sebagai Pembantu Rektor III
Universitas Mulawarman, tahun 1978, Awang Faroek memutuskan untuk mendaki ke
tapak pendakian yang lebih tinggi lagi.
Namun dia tidak memutuskan untuk mendaki di pendakian karir akademisi.
Keputusannya adalah mendaki pada jalur pendakian yang diharapkan mampu
melambungkan atau mengaktualisasikan nama dirinya di pentas nasional, tidak
sebatas lingkup Universitas Mulawarman. Kendati begitu dia tidak mau sepenuhnya
meninggalkan Universitas Mulawarman yang kemudian di tahun 1996 memberikan
pangkat edukatif Lektor Kepala dan golongan IV-E/Pembina Utama.
C. Mendaki di Jalur Organisasi
Kepemudaan
Tahun
1979, pendakian Awang Faroek sampai di titik Wakil Ketua DPD Angkatan Muda
Pembaruan Indonesia (AMPI) Tingkat I Kalimantan Timur. Sampai tahun 1982 dia
‘berkemah’ di AMPI Kaltim.
Usai
berkemah di AMPI, Awang Faroek melanjutkan pengembaraan ke organisasi Komite
Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Dia pun dipercaya sebagai Ketua Umum DPD KNPI
Kaltim periode 1982-1996.
Ada
cerita menarik ketika Awang Faroek tengah mengemban amanah sebagai Ketua Umum
DPD KNPI Kaltim. Suatu waktu, 1980-an, DPD KNPI Kaltim mengundang Ali Murtopo,
Asisten Pribadi Presiden Soeharto, untuk berkunjung ke Kalimantan Timur. Oleh
panitia, Awang Faroek diberi mandat untuk menjemput langsung kedatangan Ali
Murtopo dan rombongan di Bandar Udara (Bandara) Sepinggan, Balikpapan.
Saat
itu Ali Murtopo membawa tiga agenda kerja ke Kalimantan Timur. Yakni, memenuhi
undangan DPD Golkar I Kalimantan Timur, undangan DPD KNPI Kaltim dan undangan
civitas akademika Universitas Mulawarman, Samarinda. Dan, secara kebetulan
pula, Awang Faroek seperti didaulat menjadi ‘tuan rumah’ atas kedatangan tamu
di Jakarta tersebut.
“Pada
saat pertemuan di DPD Golkar Kaltim, saya dipercaya sebagai panitia dan
menyambut langsung kedatangan Pak Ali Murtopo. Esoknya, saya juga dipercaya
teman-teman menjadi panitia penyelenggara pertemuan pemuda se-Kaltim. Acaranya
digelar dari pagi sampai siang hari. Dalam kapasitas saya sebagai Ketua Umum
DPD KNPI Kaltim, lagi-lagi saya disuruh berpidato menyambut beliau,” Awang
Faroek bercerita.
Selesaikah
cerita sampai di situ? Ternyata belum. Siang itu pula, masih di hari yang sama,
usai bertemu dengan para pemuda se-Kaltim dalam acara yang digelar DPD KNPI
Kaltim, Ali Murtopo kemudian melanjutkan agendanya berkunjung ke Kampus
Universitas Mulawarman di Samarinda. Menurut agenda acara, Rektor Universitas
Mulawarman yang akan menyambut langsung kedatangan Ali Murtopo dan rombongan.
“Namun, secara kebetulan Bapak Rektor berhalangan karena berangkat ke Amerika Serikat.
Entah kebetulan atau tidak, lagi-lagi saya dipercaya kampus untuk menyambut
beliau mewakili Rektor Universitas Mulawarman dalam kapasitas saya sebagai
pelaksana tugas rektor,” ungkap Awang Faroek yang memang gemar berorganisasi
sejak remaja ini.
Sore
hari, usai acara di Kampus Universitas Mulawarman, Ali Murtopo sempat tertegun
dan geleng-geleng kepala. Apa persoalan? Tidak lain, karena setiap acara kunjungan
dia selalu melihat sosok manusia bernama Awang Faroek. “Itu kok Awang Faroek di mana-mana ada ya?”
ujar Ali Murtopo kepada tokoh pemuda Kalsel, H. Anang Adenansi (almarhum), yang
kebetulan turut hadir mendampingi Ali Murtopo. Anang Adenansi lantas
menjelaskan bahwa Awang Faroek adalah kader muda Golkar dan dia juga aktivis
pemuda/kampus.
Esok
harinya di Kantor Gubernur Kaltim, ketika mau pamit pulang ke Jakarta, Ali
Murtopo yang kembali melihat Awang Faroek juga hadir, tidak bisa lagi
menyembunyikan rasa penasarannya. Anak muda yang tampak sibuk melayani tamu itu
pun dia panggil.
“Anak
muda, kamu ini kok di mana-mana ada
terus. Di Golkar ada kamu, di KNPI ada kamu, juga di Kampus Universitas
Mulawarman,” ujar Ali Murtopo.
Dicecar
pertanyaan semacam itu, Awang Faroek sedikit kaget. “Iya betul Pak, saya memang aktif di organisasi-organisasi
tersebut,” jawab Awang Faroek.
“Jadi,
kamu ini satu kakimu di politik, satu kaki lagi masih di kampus. Tidak boleh
begitu. Kalau kamu mau sukses di politik, kamu harus angkat kakimu yang satu
(di kampus),” saran Ali Murtopo sembari menepuk pundak anak muda di hadapannya.
Pertemuan
singkat dengan Ali Murtopo, dengan penggalan dialog selama sekitar lima menit
itu, rupanya sangat berkesan dan membekas di benak Awang Faroek. Dia menyadari,
sebagai anak muda dan masih berusia sekitar 30-an, karirnya di berbagai
organisasi terbilang cemerlang. Saat itu, dia sudah mampu memimpin sedikitnya
di lima organisasi berbeda, dalam waktu hampir bersamaan pula. Namun, seperti
saran Ali Murtopo, dia harus menjatuhkan pilihan. Yakni, harus memilih salah
satu prioritas bagi masa depan pendakian karir politik.
Awang
Faroek tampaknya belum memutuskan memilih salah satu prioritas bagi masa depan
pendakian karir politik. Dia tetap aktif di karir akademisi. Hal ini terlihat,
misalkan, Awang Faroek waktu itu masih aktif mengemban amanah sebagai Pembina
Resimen Mahasiswa “Mulawarman” Kalimantan Timur (1978-1981); Pemimpin
Umum/Redaksi Surat Kabar Kampus “Mulawarman” (1978-1988); Koordinator
Perkuliahan Pancasila dan Kewiraan di Universitas Mulawarman (1978-1985),
Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda (1976-1988), dan Sekolah Tinggi Ekonomi
Muhammadiyah (1976-1981).
Juga
menjadi anggota Delegasi Indonesia dalam rangka menghadiri World Confederation of The Teaching Profession, Montreaux
Switzerland, 1984; anggota Delegasi Indonesia dalam rangka menghadiri World Assembly of Youth di Barcelona,
Spanyol, 1986; anggta Delegasi Indonesia dalam rangka menghadiri ASEAN Teachers Convention, Bangkok,
Thailand, 1982; dan Study Comparative
ke Malaysia University dan Institute of Technology Mara, Kuala Lumpur,
Malaysia, 1983. Kemudian anggota Delegasi Indonesia (rombongan Menteri Pemuda
dan Olahraga) ke Moskow, Leningrad (d/h Uni Soviet), Bonn, Berlin Barat (d/h
Jerman Barat), Denhaag, Amsterdam (Belanda), Paris (Perancis), dan Madrid
(Spanyol), 1986.
Dia
memang juga aktif di organisasi keolah-ragaan. Tercatat, tahun 1979-1982, Awang
Faroek sebagai Ketua Pembinaan Bidang Organisasi KONI Daerah Tingkat I
Kalimantan Timur; Ketua Umum Pengurus Daerah PERBASARI Kalimantan Timur
1978-1983 dan 1983-1988; dan Wakil Ketua Pengembangan PB PELTI 1989-1993.
Kedekatannya
dengan kalangan pemerintahan dan dikenal sebagai sosok yang nasionalis ketika
itu sempat pula membawa Awang Faroek diberi amanah sebagai anggota Tim Petugas
Inti Pembinaan Kewaspadaan Nasional terhadap Bahaya Komunis di Kalimantan Timur
sebagaimana dikukuhkan dengan SKEP Pangdam IX Mulawarman/LAKSUS PANGKAMTIB daerah
Kalimantan Timur Nomor SKEP/9-KAMDA/VIII/1982. Dia pun pernah ditunjuk sebagai
Direktur Pendidikan dan Latihan Proyek Pembinaan Generasi Muda Kalimantan Timur
(1982/1983 dan 1983/1984); Ketua Tim Pembina Olahraga dan Kesenian Mahasiswa
Provinsi Kalimantan Timur (1978-1984); Tim Pembina Teknologi Komunikasi
Pendidikan dan Budayawan Kalimantan Timur (1979-1983); dan Tim Kerjasama
Antar-instansi untuk Pembinaan dan Pengembangan Industri Kecil khusus Ekonomi
Lemah Daerah Tingkat I Kalimantan Timur (1980-1985).
Berkat
keaktifannya itulah, jaringan pergaulan Awang Faroek dikenal amat luas. Tidak
sebatas kalangan intelektual kampus, dia juga dekat dengan kalangan militer,
pemerintahan daerah, politik, dan kepemudaan. Dia mampu menjadi perekat
berbagai kalangan di wilayah Kalimantan Timur. Sampai kemudian di tahun 1982
dan 1987, Awang Faroek memperoleh penghargaan sukses penyelenggaraan Pemilu
1982 dan Pemilu 1987 dari Presiden Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina Golkar.
Pun penghargaan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Wilayah III
Ujungpandang (LAKSUS PANGKOPKAMTIB) tentang Penataran Peningkatan Kewaspadaan
Nasional bagi Pejabat Tinggi Negara, tahun 1982. Dia cukup dekat dengan Menteri
Koperasi dan UKM, Menteri Kehutanan, Panglima Kodam IX Mulawarman, Kepala Polda
Kaltim, elit partai politik di pusaran pusat kekuasaan seperti Megawati
Soekarnoputeri, pengusaha jamu Jago Jaya Suprana, tokoh-tokoh ICMI, dan masih
banyak lagi yang tidak akan cukup disebutkan satu per satu di halaman buku ini.
Awang
Faroek muda penuh dengan kegiatan organisasi, baik kampus, olahraga,
ekonomi-industri maupun kepemudaan. Sebagai akademisi di Universitas
Mulawarman, dia dikenal dekat dengan mahasiswa. Termasuk ketika terjadi
peristiwa 15 Januari (Malari) 1974 di Jakarta. Peristiwa sebagai bentuk protes
mahasiswa di awal perjalanan Orde Baru yang cukup menegangkan. Peristiwa demo
mahasiswa yang kemudian melambungkan nama Hariman Siregar, Ketua Dewan
Mahasiswa Universitas Indonesia.
Peristiwa
itu sempat merembet ke daerah, termasuk wilayah Indonesia Tengah-Timur. Ketika
itu Awang Faroek berusaha menenangkan mahasiswa Universitas Mulawarman.
“Sekitar tahun 1975, saya sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Hasanudin
dan Pak Awang Faroek dari Universitas Mulawarman melakukan pertemuan Dewan
Mahasiswa di Makassar. Waktu itu bersamaan dengan terjadinya Peristiwa Malari.
Kami mahasiswa luar Jawa mencoba melihat alternatif gerakan mahasiswa, tidak
hanya menyatakan bahwa mahasiswa Indonesia itu identik dengan beberapa
universitas ternama di Jawa. Kami juga mengundang mahasiswa lain (dari Bagian
Barat). Nah, Pak Awang Faroek juga datang. Jadi, dia memang sudah sedari muda
menjiwai semangat kegiatan pergerakan mahasiswa di luar Jawa. Sosok Pak Awang
Faroek bukanlah sosok karbitan, cukup lama dia berkecimpung di dunia mahasiswa
dan kepemudaan. Bisa jadi sampai akhir tahun 1980-an,” ujar Ir. H. Tadjudin
Noor Said, tokoh Partai Golkar.
Wajar
saja bila Awang Faroek di rentang umur 24-32 tahun waktu itu belum memutuskan
untuk memantapkan satu kaki: di dunia akademisi saja ataukah cukup di jagad
politik. Semangat mudanya masih demikian menggelora dan energinya mesti
disalurkan di banyak bidang kehidupan agar aktualisasi dirinya ada di
mana-mana. Seperti kata Ali Murtopo, Menteri Penerangan periode 1977-1982, “Awang Faroek ada di
mana-mana, satu kaki di kampus dan satu kaki lainnya di politik.”
Gelora
jiwa muda Awang Faroek masa itu masih sangat memungkinkan untuk bertualang
setinggi langit. Aktualisasi dirinya belum dapat dipastikan hendak berada di
titik puncak yang mana. Hari-hari setelah bertemu dengan Ali Murtopo memang
terus mengiang di benaknya. Suatu hari, dia harus memutuskan ke puncak mana pendakian hendak dilanjutkan.
Awang
Faroek berpikir bahwa sebelum usia 40 tahun (kata orang hidup dimulai di umur
40 tahun) harus sudah mantap pada pilihan pendakiannya. Sebelum usia lima windu
itu, dia ingin tegas meniti sebuah garis yang semakin menantang dan menuntut
pemanfaatan dan aktualisasi kompetensinya lebih maksimal daripada yang telah
dilakukan selama ini. Sebelum memasuki usia 40, dia ingin menjawab
tawaran-tawaran yang terus ‘mengganggu’ dirinya sebagai sosok yang
sedikit-banyak bersinggungan dengan kehidupan politik praktis. Sebuah jalur
pengabdian yang juga tidak kalah menarik dan menantang dibandingkan dengan
jalur akademisi yang telah membesarkan namanya di jagad pendidikan tinggi.
“Jika
kita berikan nilai, Awang Faroek itu prestasinya di atas rata-rata. Dia
termasuk orang yang senantiasa gelisah, punya cita-cita dan impian. Orangnya
sangat dinamis. Segala tugas yang diberikan dikerjakannya dengan sebaik
mungkin. Dunia politik butuh orang semacam dia,” ujar politisi lokal Kalimantan
Timur Drs. H.M. Rusli, suatu waktu.
Ibarat
baju, wilayah Kaltim dan juga Universitas Mulawarman rasanya terlalu sempit
buat Awang Faroek saat melewati usia empat atau lima windu. Dia membutuhkan baju
yang lebih besar dan longgar. “Bung Awang Faroek memiliki pemikiran yang
bernuansa dan berwawasan nasional. Namun tidak berarti kemudian beliau tidak
memikirkan daerahnya. Sepantasnya bila Bung Awang Faroek memperoleh kesempatan
berkiprah di dunia politik yang lebih luas,” ujar Harmoko, tokoh Golkar yang
juga Menteri Penerangan RI periode 1982-1987, 1987-1992 dan 1992-1997.
No comments:
Post a Comment