Wednesday, April 10, 2013

Bangsawan dari Kutai (3)


Menapaki Karir Akademisi

Percayailah orang dan mereka akan bersikap tulus padamu, percayailah mereka dengan sungguh-sungguh dan mereka akan melakukan hal-hal hebat untukmu.
Ralph Waldo Emerson, Penulis Kenamaan

Pepatah lama setinggi-tinggi burung bangau terbang surutnya ke kubangan pula, agaknya cukup tepat buat menggambarkan perjalanan hidup Awang Faroek setelah menamatkan kuliah di Jurusan Ekonomi Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP Malang, Jawa Timur, tahun 1973. Bahwa sejauh-jauh Awang Faroek merantau, akhirnya kembali ke daerah asalnya (Kalimantan Timur) juga.
Sebagaimana lulusan IKIP, galibnya Awang Faroek memasuki lapangan kerja sebagai guru di sekolah atau akademisi di universitas. Rupanya, waktu itu, darah pamongpraja lebih kental dan memanggil diri Awang Faroek untuk berkiprah. Harapan kakak tertua Awang Faisjal agar Awang Faroek berkarir di dunia akademis sepertinya jauh panggang dari api. Di tahun 1973 itu Awang Faroek diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kantor Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Kalimantan Timur. Oleh atasannya, dia ditempatkan sebagai Staf Biro Pembangunan pada Kantor Gubernur dengan honor Rp6.000 per bulan. Tidak butuh waktu lama berada di kursi staf, sekitar tahun 1974 Awang Faroek dipromosikan sebagai Kepala Subdirektorat Perencanaan (kini: Direktorat Pembangunan) Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur.
Melihat kinerja dan kondite Awang Faroek yang nyaris tanpa cacat, Gubernur Kalimantan (saat itu) A. Wahab Syahranie merasa terkesan. Di pertengahan dekade 1970-an itu Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur tengah mengembangkan Universitas Mulawarman, Samarinda, yang diharapkan nanti menjadi kebanggaan masyarakat Kalimantan Timur. Gubernur Wahab Syahranie membuka-buka lembar riwayat hidup Awang Faroek. Di kolom pendidikan tertera Sarjana Kependidikan dari IKIP Malang. Kontan saja, Gubernur Wahab Syahranie meminta Awang Faroek untuk ikut berperan aktif mengembangkan Universitas Mulawarman sebagai institusi pendidikan tinggi buat menggembleng dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) daerah Kalimantan Timur khususnya dan Republik Indonesia umumnya. Awang Faroek tidak menampik penugasan dari orang yang dihormatinya itu.

A.   Menjadi Dekan di Usia Empat Windu
Di masa-masa pengembangan, sekitar tahun 1974, Universitas Mulawarman mengalami kekurangan tenaga akademik (dosen). Ketika itu, Pemda Kalimantan Timur sampai menempatkan 14 orang staf Pemda untuk memperkuat jajaran tenaga akademik. Termasuk salah satunya Awang Faroek Ishak yang menyandang gelar Sarjana Kependidikan.
Tahun 1970 sampai tahun 1978 merupakan tahap pengembangan Universitas Mulawarman yang berdiri pada tanggal 27 September 1962. Pada awal berdirinya, Universitas Mulawarman hanya memiliki empat fakultas, yaitu Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan, Fakultas Pertanian, Fakultas Kehutanan, dan Fakultas Pertambangan.
Dalam proses penyelenggaraan keempat fakultas tersebut masih dijumpai berbagai hambatan, sehingga pada saat itu hanya pendidikan di Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan yang dapat diselenggarakan, dan pada tahun 1964 disusul penyelenggaraan proses belajar mengajar di Fakultas Pertanian.
Pada tahun 1966 Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan dipecah menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan Fakultas Ekonomi. Karena kesulitan mendapat staf pengajar pada Fakultas Pertambangan yang berada di Balikpapan, pada tahun 1970 Fakultas Pertambangan terpaksa ditutup. Lalu pada tahun 1978 IKIP Samarinda berintegrasi ke dalam Universitas Mulawarman sehingga berdiri Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dengan terbitnya Surat Keputusan Dirjen Dikti Nomor 181/D/E/1978 tanggal 20 Maret 1978 tentang Pembukaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Pada tahun 1978 Universitas Mulawarman terdiri dari lima Fakultas sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 66 Tahun 1982 tanggal 7 September 1982, yakni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ekonomi, Fakultas Pertanian, Fakultas Kehutanan, dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Pertama kali menjadi dosen, Awang Faroek dipercaya mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman. “Pada tahun 1974 itu saya mulai mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman,” ujar Awang Faroek mengenang perjalanan hidupnya di akhir-akhir usia 20-an. Secara tidak langsung, Awang Faroek pun mampu memenuhi harapan sang kakak Awang Faisjal agar dirinya menapaki karir di dunia akademisi.
Sejak tahun 1974 itu pula, hari-hari Awang Faroek diisi dengan aktivitas mengajar, meneliti, dan mengabdikan diri pada masyarakat, sebagai realisasi Tridharma Perguruan Tinggi. Sebagai pengajar perguruan tinggi, Awang Faroek melakoni kesehariannya di kampus dengan enjoy dan nothing to loose.
Berkat kedisiplinan menekuni hari-hari mengajar dan berinteraksi secara intensif dengan civitas akademika, Awang Faroek tidak hanya dikenal sebagai pengajar favorit di Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman. Dia dikenal pula sebagai sosok yang cukup mumpuni dalam manajemen pengelolaan sebuah institusi perguruan tinggi. Dua tahun berkiprah di Universitas Mulawarman, tahun 1976, Awang Faroek diberi mandat sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman.
Tapak karir Awang Faroek di Universitas Mulawarman terus beranjak naik. Tahun 1977, suami dari Hj. E. Amelia Suharni ini diangkat menjadi Kepala Bagian Kemahasiswaan. Sebuah posisi yang amat dekat dengan pengembangan organisasi kemahasiswaan, dunia yang pernah ditekuninya semasa kuliah di IKIP Malang, Jawa Timur.
Selanjutnya di tahun 1978, di rentang usia yang masih relatif sangat muda, 30 tahun, Awang Faroek dipercaya memangku jabatan Pembantu Rektor III Universitas Mulawarman. Dua tahun berselang, tahun 1980, dalam usia empat windu (32 tahun) dia dipercaya sebagai Dekan (Eselon I/b) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Saat mana FKIP yang baru berusia dua tahun di lingkungan Universitas Mulawarman memang membutuhkan sosok yang mampu serta mumpuni mendobrak dan mengembangkan FKIP.
Benar saja, kepemimpinan Awang Faroek di FKIP membawa banyak angin perubahan, pengembangan dan perbaikan. Selama menjadi Dekan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) 1980 hingga 1985, sangat banyak terobosan-terobosan yang ditempuh oleh Awang Faroek untuk mengangkat harkat dan martabat pendidik dan tenaga pendidikan Kalimantan Timur. Tidak kurang dari 20-an staf pengajar dikirim untuk melanjutkan pendidikan setingkat S-2 dan S-3 di dalam dan luar negeri, di mana keputusan tersebut diambil pada saat jumlah dosen masih sangat minim di Universitas Mulawarman. Hasilnya terlihat pada saat Awang tidak lagi menjabat sebagai Dekan, beberapa tahun kemudian, FKIP menjadi salah satu Fakultas yang sangat diperhitungkan di Universitas Mulawarman dengan jumlah doktor dan magister yang cukup signifikan.
Kemudian, pada waktu hampir bersamaan, tahun 1982, Awang Faroek kembali menerima tugas mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman. Kendati tidak berada pada jabatan struktural, secara fungsional dia memperoleh pangkat edukatif Lektor Muda. Sebuah pangkat yang relatif tinggi dalam struktur kepangkatan tenaga pengajar di universitas. Bahkan, di Fakultas Ekonomi ini lah Awang Faroek mampu memperoleh kepangkatan edukatif yang nyaris linear sampai ke puncak: Lektor Madya (1983-1985), Lektor (1985-1987) dan Lektor Kepala (1987-1996).    
Sebuah jalan telah terbentang lebar untuk mencapai gelar guru besar (profesor). Sebuah gelar yang jelas bakal memberikan banyak kenyamanan bagi si penyandang gelar. Di usia yang relatif amat muda, Awang Faroek sudah mampu memasuki zona nyaman dalam karir dan perjalanan hidup.
Terlebih, dalam perjalanan karir di dunia pendidikan tinggi ini, pemilik tinggi 170 sentimeter dan beart 87 kilogram ini sempat ‘menelorkan’ mahasiswa-mahasiswa berprestasi. Salah satunya adalah Ir. Isran Noor yang menjadi Wakil Bupati Kutai Timur saat Bupati Kutai Timur dipegang oleh Awang Faroek (2000-2005).
Jejak pendakian di jalur akademisi Awang faroek memang tergolong cukup mengkilap. Hal ini dapat dilihat dari kepangkatan edukatif yang direngkuhnya sejak memasuki Universitas Mulawarman sampai kini. Tahun 1976-1978, dia sebagai Asisten Ahli Madya pada Fakultas Ekonomi. Kemudian tahun 1978-1980, Awang Faroek naik sebagai Asisten Ahli. Selanjutnya pada rentang 1980-1983, pemilik nama lengkap Awang Faroek Ishak ini naik lagi menjadi Lektor Muda Fakultas Ekonomi. Pangkat edukatif Lektor Madya digapainya tahun 1983 dan ditempati sampai 1985.
Masih di Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman, 1985-1987, Awang Faroek menapak sebagai Lektor Madya. Dan sebagai Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman pada tahun 1987-1996. Pada tahun 1996 itu pula, kemudian diperkuat dengan SK Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 603/011.A/KP/SK/2001 tanggal 30 Maret 2001, Awang Faroek dikukuhkan sebagai Lektor Kepala pada Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda. 
Berkat kompetensinya di bidang pendidikan tinggi dan sebagai akademisi yang mumpuni, tahun 1993-1998, Awang Faroek didaulat menjadi Sekretaris Bidang Pendidikan Tinggi Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI). Juga sebagai Ketua Yayasan Pembina Pendidikan 17 Agustus 1945 Samarinda, 1996-sekarang.
Di usia relatif muda, Awang Faroek memang layak telah memasuki zona nyaman di pendakian jalur akademisi. Kerja-kerasnya sebagai akademisi sungguh tidak tanggung-tanggung. Sebagai dosen yang berusaha mengejawantahkan Tridharma Perguruan Tinggi, dia cukup aktif melakukan penelitian-penelitian sosial-masyarakat. Penelitian-penelitian yang pernah ditelorkan seperti Penelitian Pembangunan Masyarakat Desa di Kalimantan Timur, kerja sama Universitas Mulawarman dan Pemda Kaltim, 1982; Penelitian Beberapa Sifat Demografi Penduduk Kabupaten Kutai, Universitas Mulawarman, 1983; Penelitian Pengembangan Daerah Transmigrasi Teluk Dalam (Kabupaten Kutai), kerja sama Universitas Mulawarman – Departemen Transmigrasi, 1984.
Kemudian Penelitian Dampak Lingkungan Proyek LNG Bontang, kerja sama Universitas Mulawarman dan Pertamina, 1985; Penelitian Kelistrikan di Kalimantan Timur, kerja sama Universitas Mulawarman dan PLN, 1986; Penelitian tentang Persiapan Peningkatan Kotif Tarakan Menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II, 1994; Penelitian tentang Kondisi Ketahanan Nasional Daerah Tingkat II Kutai, Kalimantan Timur, Program Pascasarjana Pengkajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia, 1996. Dan, Penelitian tentang Peranan Kawasan Ekonomi Terpadu Sasamba dalam Peningkatan Kewaspadaan Nasional di Kalimantan Timur, 1997.  
Sebagai akademisi, Awang Faroek juga telah memperoleh kepercayaan untuk mengikuti sejumlah seminar, lokakarya dan simposium, terutama yang berkaitan dengan pengembangan daerah dan pendidikan tinggi. Beberapa seminar yang pernah diikuti Awang Faroek: Seminar “Transmigration Area Development Balikpapan”, TAD-Pemda Kaltim, 1982; Seminar “Man and Biosphere”, Universitas Mulawarman, 1982; Seminar Nasional “Kependidikan Seluruh Indonesia”, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Malang, 1982; Seminar “Evaluasi Pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata”, Universitas Mulawarman, 1981.
Kemudian Lokakarya Pembina/Pejabat Bidang Kemahasiswaan/Pembantu Rektor III Seluruh Indonesia, Denpasar, 1980; Seminar “Analisa Dampak Lingkungan LNG Bontang”, Universitas Mulawarman – Pertamina, 1989; Seminar “Identifikasi Permasalahan Pendidikan di Kalimantan Timur”, Universitas Mulawarman – Pemda Kaltim, 1983. Dan Seminar “Kualitas Manusia dalam Pembangunan”, HIPIS Universitas Sriwijaya, Palembang, 1984.
Selain itu, Awang Faroek juga aktif menulis dan menerbitkan kertas kerja. Tercatat antara lain Manajemen Koperasi (1976), Program Pembinaan Guidance and Conseling di Perguruan Tinggi (1978), Pokok-pokok Perkuliahan Ekonomi Pembangunan (1982), Pokok-pokok Perkuliahan Filsafat Pancasila (1983), Peranan Sektor Informal dalam Mengatasi Masalah Tenaga Kerja di Kalimantan Timur (1985), dan Peranan LKMD dalam rangka Pembangunan Pedesaan di Indonesia (1985).
Jelas bahwa Awang Faroek telah menemukan jalur ‘pendakian’ di dunia akademisi yang demikian terbuka lebar. Zona nyaman pun cukup enak buat ditempati dan dinikmati tanpa harus bersusah-susah lagi meretas jalur pendakian baru.     

B.    Tak Ingin Berhenti di Zona Nyaman
Di jalur karir akademisi, nama Awang Faroek sungguh tidak diragukan lagi. Bahkan, dia sempat diberi kepercayaan sebagai Ketua Korpri Unit Universitas Mulawarman periode 1981-1986. Dia menjadi tenaga andalan dalam mengembangkan Universitas Mulawarman untuk pencapaian predikat diakui secara nasional maupun internasional.
Kendati begitu, Awang Faroek tak mau berlama-lama berada di zona nyaman (comfort zone) pendakian karir akademisi. Zona nyaman, sebuah zona di mana si anak manusia merasa telah terpenuhi semua kepentingan (baca: kebutuhan) hidupnya secara memadai. Pakar psikologi Abraham Maslow membagi kebutuhan (need) manusia ke dalam lima tingkatan. Pada lapisan paling bawah adalah kebutuhan fisiologis, yakni kebutuhan dasar untuk hidup seseorang, seperti pangan, sandang dan papan. Di tingkat kedua adalah kebutuhan akan rasa aman. Lalu, tingkat ketiga, adalah kebutuhan ikut memiliki dan kasih sayang. Tingkat berikutnya, kebutuhan akan penghargaan. Dan pada lapis tertinggi adalah kebutuhan akan aktualisasi diri.
Kebutuhan adalah sesuatu yang wajib dipenuhi agar manusia tetap hidup, berkembang dan eksis. Kebutuhan merupakan sesuatu yang menggerakkan perilaku manusia. Kebutuhan adalah motivasi bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan hirarki Maslow, seorang anak manusia tidak akan beranjak memenuhi kebutuhannya pada tingkat atas bilamana kebutuhan tingkat dasarnya belum tercapai. Dalam bahasa yang lebih sederhana, umpama, seorang anak manusia jarang akan berpikir untuk memenuhi kebutuhan kasih sayang antar-sesama jika ia sendiri masih lapar atau dalam dirinya masih diselimuti perasaan belum aman.
Mengacu pada kerangkan tingkat kebutuhan manusia ala Maslow tersebut, psikolog Paul G. Stoltz membagi anak manusia yang hendak mendaki kesuksesan ke dalam tiga tipe. Ibarat pencaki gunung, terdapat tiga tipe pendaki. Pertama, quitters. Mereka adalah orang-orang yang memutuskan berhenti atau keluar mundur dari jalur pendakian. Mereka meninggalkan impian-impiannya dan memilih jalan yang mereka anggap lebih datar, lebih mudah dan aman untuk ditempuh. Mereka gagal memaksimalkan potensi. Bahkan, mereka selalu lari dari arena pergulatan yang pahit dan tidak tahan banting. Mereka hidup dalam batas minimal, misalkan jadi pegawai negeri. Karena itu, para quitters selalu menyesal kemudian hari dengan mengatakan, “Seandainya dulu saya ...”   
Kedua, campers. Mereka adalah individu-individu yang berkemah. Mereka telah mendaki sampai pada ketinggian tertentu lalu memutuskan berhenti, mencari tempat datar yang rata dan nyaman sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Mereka merasa nyaman dengan apa yang mereka capai saat ini. Mereka selalu berkata, “Ini sudah cukup baik.” Mereka menciptakan ‘penjara’ yang nyaman, sebuah tempat yang terlalu enak buat ditinggalkan. Mereka belum mencapai puncak. Tapi, mereka merasa takut kehilangan kenyamannya berada di ketinggian tertentu. Dengan memutuskan berkemah, the campers tidak berniat menggapai puncak tertinggi. Aktualisasi dirinya menjadi relatif terbatas. Mereka adalah pekerja yang baik sampai pada karir profesional, bukan entrepreneur atau wirausahawan.
Ketiga, climbers. Mereka merupakan orang-orang yang seumur hidup membaktikan diri pada pendakian sampai puncak tertinggi. Mereka sampai pada puncak aktualisasi diri. Mereka merasa yakin pada sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri. The climbers (pendaki) berkeyakinan bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana, kendati orang lain lebih banyak bersikap sebagai the quitters dan the campers. Cilmbers sejati memang langka, karena tidak semua orang mampu, mau dan berkesempatan.
Meski Awang Faroek ketika itu telah tercatat sebagai PNS dengan sejumlah disiplin dan aturan yang wajib dipatuhi, namun dia tidak ingin berhenti sebagai campers, apalagi quitters. Dia ingin menjadi climbers sejati sesuai dengan jalur pendakian yang pernah dirintisnya. Sudah sejak SMP di Tenggarong, dia aktif berorganisasi. Terlebih lagi saat masih kuliah di IKIP Malang, 1971-1973, Awang Faroek sempat menjadi anggota Golongan Karya (Golkar).
Ketika mendaki sampai mendekati puncak karir akademisi sebagai Pembantu Rektor III Universitas Mulawarman, tahun 1978, Awang Faroek memutuskan untuk mendaki ke tapak pendakian yang lebih tinggi lagi.  Namun dia tidak memutuskan untuk mendaki di pendakian karir akademisi. Keputusannya adalah mendaki pada jalur pendakian yang diharapkan mampu melambungkan atau mengaktualisasikan nama dirinya di pentas nasional, tidak sebatas lingkup Universitas Mulawarman. Kendati begitu dia tidak mau sepenuhnya meninggalkan Universitas Mulawarman yang kemudian di tahun 1996 memberikan pangkat edukatif Lektor Kepala dan golongan IV-E/Pembina Utama.  

C.   Mendaki di Jalur Organisasi Kepemudaan
Tahun 1979, pendakian Awang Faroek sampai di titik Wakil Ketua DPD Angkatan Muda Pembaruan Indonesia (AMPI) Tingkat I Kalimantan Timur. Sampai tahun 1982 dia ‘berkemah’ di AMPI Kaltim.
Usai berkemah di AMPI, Awang Faroek melanjutkan pengembaraan ke organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Dia pun dipercaya sebagai Ketua Umum DPD KNPI Kaltim periode 1982-1996.
Ada cerita menarik ketika Awang Faroek tengah mengemban amanah sebagai Ketua Umum DPD KNPI Kaltim. Suatu waktu, 1980-an, DPD KNPI Kaltim mengundang Ali Murtopo, Asisten Pribadi Presiden Soeharto, untuk berkunjung ke Kalimantan Timur. Oleh panitia, Awang Faroek diberi mandat untuk menjemput langsung kedatangan Ali Murtopo dan rombongan di Bandar Udara (Bandara) Sepinggan, Balikpapan.
Saat itu Ali Murtopo membawa tiga agenda kerja ke Kalimantan Timur. Yakni, memenuhi undangan DPD Golkar I Kalimantan Timur, undangan DPD KNPI Kaltim dan undangan civitas akademika Universitas Mulawarman, Samarinda. Dan, secara kebetulan pula, Awang Faroek seperti didaulat menjadi ‘tuan rumah’ atas kedatangan tamu di Jakarta tersebut.
“Pada saat pertemuan di DPD Golkar Kaltim, saya dipercaya sebagai panitia dan menyambut langsung kedatangan Pak Ali Murtopo. Esoknya, saya juga dipercaya teman-teman menjadi panitia penyelenggara pertemuan pemuda se-Kaltim. Acaranya digelar dari pagi sampai siang hari. Dalam kapasitas saya sebagai Ketua Umum DPD KNPI Kaltim, lagi-lagi saya disuruh berpidato menyambut beliau,” Awang Faroek bercerita.  
Selesaikah cerita sampai di situ? Ternyata belum. Siang itu pula, masih di hari yang sama, usai bertemu dengan para pemuda se-Kaltim dalam acara yang digelar DPD KNPI Kaltim, Ali Murtopo kemudian melanjutkan agendanya berkunjung ke Kampus Universitas Mulawarman di Samarinda. Menurut agenda acara, Rektor Universitas Mulawarman yang akan menyambut langsung kedatangan Ali Murtopo dan rombongan. “Namun, secara kebetulan Bapak Rektor berhalangan karena berangkat ke Amerika Serikat. Entah kebetulan atau tidak, lagi-lagi saya dipercaya kampus untuk menyambut beliau mewakili Rektor Universitas Mulawarman dalam kapasitas saya sebagai pelaksana tugas rektor,” ungkap Awang Faroek yang memang gemar berorganisasi sejak remaja ini.
Sore hari, usai acara di Kampus Universitas Mulawarman, Ali Murtopo sempat tertegun dan geleng-geleng kepala. Apa persoalan? Tidak lain, karena setiap acara kunjungan dia selalu melihat sosok manusia bernama Awang Faroek. “Itu kok Awang Faroek di mana-mana ada ya?” ujar Ali Murtopo kepada tokoh pemuda Kalsel, H. Anang Adenansi (almarhum), yang kebetulan turut hadir mendampingi Ali Murtopo. Anang Adenansi lantas menjelaskan bahwa Awang Faroek adalah kader muda Golkar dan dia juga aktivis pemuda/kampus.
Esok harinya di Kantor Gubernur Kaltim, ketika mau pamit pulang ke Jakarta, Ali Murtopo yang kembali melihat Awang Faroek juga hadir, tidak bisa lagi menyembunyikan rasa penasarannya. Anak muda yang tampak sibuk melayani tamu itu pun dia panggil.
“Anak muda, kamu ini kok di mana-mana ada terus. Di Golkar ada kamu, di KNPI ada kamu, juga di Kampus Universitas Mulawarman,” ujar Ali Murtopo.
Dicecar pertanyaan semacam itu, Awang Faroek sedikit kaget. “Iya betul Pak, saya memang aktif di organisasi-organisasi tersebut,” jawab Awang Faroek.    
“Jadi, kamu ini satu kakimu di politik, satu kaki lagi masih di kampus. Tidak boleh begitu. Kalau kamu mau sukses di politik, kamu harus angkat kakimu yang satu (di kampus),” saran Ali Murtopo sembari menepuk pundak anak muda di hadapannya.
Pertemuan singkat dengan Ali Murtopo, dengan penggalan dialog selama sekitar lima menit itu, rupanya sangat berkesan dan membekas di benak Awang Faroek. Dia menyadari, sebagai anak muda dan masih berusia sekitar 30-an, karirnya di berbagai organisasi terbilang cemerlang. Saat itu, dia sudah mampu memimpin sedikitnya di lima organisasi berbeda, dalam waktu hampir bersamaan pula. Namun, seperti saran Ali Murtopo, dia harus menjatuhkan pilihan. Yakni, harus memilih salah satu prioritas bagi masa depan pendakian karir politik.
Awang Faroek tampaknya belum memutuskan memilih salah satu prioritas bagi masa depan pendakian karir politik. Dia tetap aktif di karir akademisi. Hal ini terlihat, misalkan, Awang Faroek waktu itu masih aktif mengemban amanah sebagai Pembina Resimen Mahasiswa “Mulawarman” Kalimantan Timur (1978-1981); Pemimpin Umum/Redaksi Surat Kabar Kampus “Mulawarman” (1978-1988); Koordinator Perkuliahan Pancasila dan Kewiraan di Universitas Mulawarman (1978-1985), Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda (1976-1988), dan Sekolah Tinggi Ekonomi Muhammadiyah (1976-1981).
Juga menjadi anggota Delegasi Indonesia dalam rangka menghadiri World Confederation of The Teaching Profession, Montreaux Switzerland, 1984; anggota Delegasi Indonesia dalam rangka menghadiri World Assembly of Youth di Barcelona, Spanyol, 1986; anggta Delegasi Indonesia dalam rangka menghadiri ASEAN Teachers Convention, Bangkok, Thailand, 1982; dan Study Comparative ke Malaysia University dan Institute of Technology Mara, Kuala Lumpur, Malaysia, 1983. Kemudian anggota Delegasi Indonesia (rombongan Menteri Pemuda dan Olahraga) ke Moskow, Leningrad (d/h Uni Soviet), Bonn, Berlin Barat (d/h Jerman Barat), Denhaag, Amsterdam (Belanda), Paris (Perancis), dan Madrid (Spanyol), 1986.
Dia memang juga aktif di organisasi keolah-ragaan. Tercatat, tahun 1979-1982, Awang Faroek sebagai Ketua Pembinaan Bidang Organisasi KONI Daerah Tingkat I Kalimantan Timur; Ketua Umum Pengurus Daerah PERBASARI Kalimantan Timur 1978-1983 dan 1983-1988; dan Wakil Ketua Pengembangan PB PELTI 1989-1993.
Kedekatannya dengan kalangan pemerintahan dan dikenal sebagai sosok yang nasionalis ketika itu sempat pula membawa Awang Faroek diberi amanah sebagai anggota Tim Petugas Inti Pembinaan Kewaspadaan Nasional terhadap Bahaya Komunis di Kalimantan Timur sebagaimana dikukuhkan dengan SKEP Pangdam IX Mulawarman/LAKSUS PANGKAMTIB daerah Kalimantan Timur Nomor SKEP/9-KAMDA/VIII/1982. Dia pun pernah ditunjuk sebagai Direktur Pendidikan dan Latihan Proyek Pembinaan Generasi Muda Kalimantan Timur (1982/1983 dan 1983/1984); Ketua Tim Pembina Olahraga dan Kesenian Mahasiswa Provinsi Kalimantan Timur (1978-1984); Tim Pembina Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Budayawan Kalimantan Timur (1979-1983); dan Tim Kerjasama Antar-instansi untuk Pembinaan dan Pengembangan Industri Kecil khusus Ekonomi Lemah Daerah Tingkat I Kalimantan Timur (1980-1985).
Berkat keaktifannya itulah, jaringan pergaulan Awang Faroek dikenal amat luas. Tidak sebatas kalangan intelektual kampus, dia juga dekat dengan kalangan militer, pemerintahan daerah, politik, dan kepemudaan. Dia mampu menjadi perekat berbagai kalangan di wilayah Kalimantan Timur. Sampai kemudian di tahun 1982 dan 1987, Awang Faroek memperoleh penghargaan sukses penyelenggaraan Pemilu 1982 dan Pemilu 1987 dari Presiden Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina Golkar. Pun penghargaan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Wilayah III Ujungpandang (LAKSUS PANGKOPKAMTIB) tentang Penataran Peningkatan Kewaspadaan Nasional bagi Pejabat Tinggi Negara, tahun 1982. Dia cukup dekat dengan Menteri Koperasi dan UKM, Menteri Kehutanan, Panglima Kodam IX Mulawarman, Kepala Polda Kaltim, elit partai politik di pusaran pusat kekuasaan seperti Megawati Soekarnoputeri, pengusaha jamu Jago Jaya Suprana, tokoh-tokoh ICMI, dan masih banyak lagi yang tidak akan cukup disebutkan satu per satu di halaman buku ini.    
Awang Faroek muda penuh dengan kegiatan organisasi, baik kampus, olahraga, ekonomi-industri maupun kepemudaan. Sebagai akademisi di Universitas Mulawarman, dia dikenal dekat dengan mahasiswa. Termasuk ketika terjadi peristiwa 15 Januari (Malari) 1974 di Jakarta. Peristiwa sebagai bentuk protes mahasiswa di awal perjalanan Orde Baru yang cukup menegangkan. Peristiwa demo mahasiswa yang kemudian melambungkan nama Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia.
Peristiwa itu sempat merembet ke daerah, termasuk wilayah Indonesia Tengah-Timur. Ketika itu Awang Faroek berusaha menenangkan mahasiswa Universitas Mulawarman. “Sekitar tahun 1975, saya sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Hasanudin dan Pak Awang Faroek dari Universitas Mulawarman melakukan pertemuan Dewan Mahasiswa di Makassar. Waktu itu bersamaan dengan terjadinya Peristiwa Malari. Kami mahasiswa luar Jawa mencoba melihat alternatif gerakan mahasiswa, tidak hanya menyatakan bahwa mahasiswa Indonesia itu identik dengan beberapa universitas ternama di Jawa. Kami juga mengundang mahasiswa lain (dari Bagian Barat). Nah, Pak Awang Faroek juga datang. Jadi, dia memang sudah sedari muda menjiwai semangat kegiatan pergerakan mahasiswa di luar Jawa. Sosok Pak Awang Faroek bukanlah sosok karbitan, cukup lama dia berkecimpung di dunia mahasiswa dan kepemudaan. Bisa jadi sampai akhir tahun 1980-an,” ujar Ir. H. Tadjudin Noor Said, tokoh Partai Golkar.
Wajar saja bila Awang Faroek di rentang umur 24-32 tahun waktu itu belum memutuskan untuk memantapkan satu kaki: di dunia akademisi saja ataukah cukup di jagad politik. Semangat mudanya masih demikian menggelora dan energinya mesti disalurkan di banyak bidang kehidupan agar aktualisasi dirinya ada di mana-mana. Seperti kata Ali Murtopo, Menteri Penerangan  periode 1977-1982, “Awang Faroek ada di mana-mana, satu kaki di kampus dan satu kaki lainnya di politik.”  
Gelora jiwa muda Awang Faroek masa itu masih sangat memungkinkan untuk bertualang setinggi langit. Aktualisasi dirinya belum dapat dipastikan hendak berada di titik puncak yang mana. Hari-hari setelah bertemu dengan Ali Murtopo memang terus mengiang di benaknya. Suatu hari, dia harus memutuskan  ke puncak mana pendakian hendak dilanjutkan.
Awang Faroek berpikir bahwa sebelum usia 40 tahun (kata orang hidup dimulai di umur 40 tahun) harus sudah mantap pada pilihan pendakiannya. Sebelum usia lima windu itu, dia ingin tegas meniti sebuah garis yang semakin menantang dan menuntut pemanfaatan dan aktualisasi kompetensinya lebih maksimal daripada yang telah dilakukan selama ini. Sebelum memasuki usia 40, dia ingin menjawab tawaran-tawaran yang terus ‘mengganggu’ dirinya sebagai sosok yang sedikit-banyak bersinggungan dengan kehidupan politik praktis. Sebuah jalur pengabdian yang juga tidak kalah menarik dan menantang dibandingkan dengan jalur akademisi yang telah membesarkan namanya di jagad pendidikan tinggi.
“Jika kita berikan nilai, Awang Faroek itu prestasinya di atas rata-rata. Dia termasuk orang yang senantiasa gelisah, punya cita-cita dan impian. Orangnya sangat dinamis. Segala tugas yang diberikan dikerjakannya dengan sebaik mungkin. Dunia politik butuh orang semacam dia,” ujar politisi lokal Kalimantan Timur Drs. H.M. Rusli, suatu waktu.
Ibarat baju, wilayah Kaltim dan juga Universitas Mulawarman rasanya terlalu sempit buat Awang Faroek saat melewati usia empat atau lima windu. Dia membutuhkan baju yang lebih besar dan longgar. “Bung Awang Faroek memiliki pemikiran yang bernuansa dan berwawasan nasional. Namun tidak berarti kemudian beliau tidak memikirkan daerahnya. Sepantasnya bila Bung Awang Faroek memperoleh kesempatan berkiprah di dunia politik yang lebih luas,” ujar Harmoko, tokoh Golkar yang juga Menteri Penerangan RI periode 1982-1987, 1987-1992 dan 1992-1997.     

No comments:

Post a Comment