Saturday, April 20, 2013

Pertahankan Program Pensiun Sukarela


Penyelenggaraan program pensiun sukarela oleh Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) dan Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (ADPLK) hendaknya dipertahankan untuk menjaga tingkat kesejahteraan pegawai setelah pensiun.

Hal tersebut dikemukakan Ketua Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI), Djoni Rolindrawan dalam diskusi bertema “Harmonisasi RPP Program Penyelenggaraan Jaminan Pensiun dengan UU Dana Pensiun” yang diselenggarakan Suara Pembaruan dan Beritasatu.com, di Jakarta, Jumat (19/4/2013).

Dikatakan, meski kelak BPJS Ketenagakerjaan telah beroperasi, keberadaan program pensiun sukarela yang dikelola perusahaan yang tergabung dalam ADPI maupun Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (ADPLK), hendaknya dipertahankan.

Rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan yang kini sedang disiapkan hendaknya memberi kebebasan kepada pemberi kerja untuk memilih sendiri lembaga pensiun yang dikehendakinya. 
“Seharusnya RPP yang akan mengatur BPJS Ketenagakerjaan diharmonisasi dengan UU Dana Pensiun agar jangan sampai kualitas program dana pensiun yang sudah ada tidak turun,” katanya.

Di tempat yang sama, Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial, Kemnakertrans, Wahyu Widodo menjelaskan, program pensiun yang ada dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan tidak akan mematikan penyelenggaraan pensiun oleh DPPK-DPLK yang telah berlangsung selama ini. Pasalnya, kondisi penyelenggaraan program yang berbeda.

Wahyu mengatakan, program jaminan pensiun BPJS merupakan implementasi program jaminan sosial dengan prinsip memberikan perlindungan dasar dan layak, yang dalam hal ini akan mempunyai pola penyelenggaraan berbeda dengan pola pensiun DPPK/DPLK yang mengedepankan manfaat maksimum (on top). Sehingga masyarakat yang membutuhkan pelayanan dengan manfaat maksimum tetap akan menjadi peserta program yang bersifat on top yang selama ini diselenggarakan oleh perusahaan asuransi. “Program jaminan pensiun SJSN tidak bertentangan dengan UU 11 1992 tentang Dana Pensiun,” kata Wahyu.

Ia mengatakan, pemerintah sedang melaksanakan kajian harmonisasi antara UU SJSN dengan Ketentuan Pasal 167 UU Ketenagakerjaan. Sehingga penyelenggaraan program jaminan pensiun tidak memberikan beban yang berlebihan kepada pemberi kerja.

Wahyu berharap kepada masyarakat, pemberi kerja, badan penyelenggara dan pelaku industri yang telah beroperasi di Indonesia untuk tidak tergesa-gesa dalam memberikan statement dan mengambil keputusan tentang program pensiun yang diselenggarakan oleh BPJS.   Pemerintah, kata dia, senantiasa melakukan perencanaan program pensiun sebagai salah satu program jaminan sosial dengan memperhatikan semua pihak sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, baik peserta. Pemberi kerja, badan penyelenggara, negara, serta penyelenggara program jaminan pensiun komersial yang selama ini telah beroperasi berdasarkan ketentuan UU 11/1992.

Tak Rela
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta, Soeprayitno mengatakan, pengusaha tak rela BPJS Ketenagakerjaan beroperasi, karena dianggap hanya akan memberatkan pemberi kerja.

Diakui Soeprayitno, BPJS Ketenagakerjaan merupakan amanat UU BPJS. Sesuai UU tersebut, BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi 1 Juli 2015. Hanya saja, Soeprayitno menilai, pemerintah tidak siap mengoperasikan BPJS Ketenagakerjaan karena keempat jaminan yang diamanatkan UU, yakni jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kematian akan memerlukan banyak dana.

Menurutnya, keempat jaminan tersebut seharusnya menjadi kewajiban pemerintah. Apabila pemerintah membebankan pemberian jaminan sosial kepada pengusaha, tentu saja akan semakin memberatkan dunia usaha.

“Jangan sampai pengusaha menjadi sapi perah dengan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan. Pengusaha merasa dizalimi apabila BPJS Ketenagakerjaan jadi beroperasi,” tegas Soeprayitno.

No comments:

Post a Comment