Penyelenggaraan program pensiun sukarela oleh
Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) dan Asosiasi Dana Pensiun Lembaga
Keuangan (ADPLK) hendaknya dipertahankan untuk menjaga tingkat kesejahteraan
pegawai setelah pensiun.
Hal tersebut dikemukakan Ketua Asosiasi Dana
Pensiun Indonesia (ADPI), Djoni Rolindrawan dalam diskusi bertema “Harmonisasi
RPP Program Penyelenggaraan Jaminan Pensiun dengan UU Dana Pensiun” yang
diselenggarakan Suara Pembaruan dan Beritasatu.com, di Jakarta, Jumat (19/4/2013).
Dikatakan, meski kelak BPJS Ketenagakerjaan telah
beroperasi, keberadaan program pensiun sukarela yang dikelola perusahaan yang
tergabung dalam ADPI maupun Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (ADPLK),
hendaknya dipertahankan.
Rancangan peraturan pemerintah (RPP) sebagai aturan
pelaksana BPJS Ketenagakerjaan yang kini sedang disiapkan hendaknya memberi
kebebasan kepada pemberi kerja untuk memilih sendiri lembaga pensiun yang
dikehendakinya.
“Seharusnya RPP yang akan mengatur BPJS
Ketenagakerjaan diharmonisasi dengan UU Dana Pensiun agar jangan sampai
kualitas program dana pensiun yang sudah ada tidak turun,” katanya.
Di tempat yang sama, Direktur Pengupahan dan
Jaminan Sosial Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial,
Kemnakertrans, Wahyu Widodo menjelaskan, program pensiun yang ada dalam Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan tidak akan mematikan
penyelenggaraan pensiun oleh DPPK-DPLK yang telah berlangsung selama ini.
Pasalnya, kondisi penyelenggaraan program yang berbeda.
Wahyu mengatakan, program jaminan pensiun BPJS
merupakan implementasi program jaminan sosial dengan prinsip memberikan
perlindungan dasar dan layak, yang dalam hal ini akan mempunyai pola
penyelenggaraan berbeda dengan pola pensiun DPPK/DPLK yang mengedepankan
manfaat maksimum (on top). Sehingga masyarakat yang membutuhkan pelayanan
dengan manfaat maksimum tetap akan menjadi peserta program yang bersifat on top
yang selama ini diselenggarakan oleh perusahaan asuransi. “Program jaminan
pensiun SJSN tidak bertentangan dengan UU 11 1992 tentang Dana Pensiun,” kata
Wahyu.
Ia mengatakan, pemerintah sedang melaksanakan
kajian harmonisasi antara UU SJSN dengan Ketentuan Pasal 167 UU
Ketenagakerjaan. Sehingga penyelenggaraan program jaminan pensiun tidak
memberikan beban yang berlebihan kepada pemberi kerja.
Wahyu berharap kepada masyarakat, pemberi kerja,
badan penyelenggara dan pelaku industri yang telah beroperasi di Indonesia
untuk tidak tergesa-gesa dalam memberikan statement dan mengambil keputusan
tentang program pensiun yang diselenggarakan oleh BPJS. Pemerintah, kata dia, senantiasa melakukan
perencanaan program pensiun sebagai salah satu program jaminan sosial dengan
memperhatikan semua pihak sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, baik
peserta. Pemberi kerja, badan penyelenggara, negara, serta penyelenggara program
jaminan pensiun komersial yang selama ini telah beroperasi berdasarkan
ketentuan UU 11/1992.
Tak
Rela
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) DKI Jakarta, Soeprayitno mengatakan, pengusaha tak rela BPJS
Ketenagakerjaan beroperasi, karena dianggap hanya akan memberatkan pemberi
kerja.
Diakui Soeprayitno, BPJS Ketenagakerjaan merupakan
amanat UU BPJS. Sesuai UU tersebut, BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi 1
Juli 2015. Hanya saja, Soeprayitno menilai, pemerintah tidak siap mengoperasikan
BPJS Ketenagakerjaan karena keempat jaminan yang diamanatkan UU, yakni jaminan
kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kematian akan
memerlukan banyak dana.
Menurutnya, keempat jaminan tersebut seharusnya
menjadi kewajiban pemerintah. Apabila pemerintah membebankan pemberian jaminan
sosial kepada pengusaha, tentu saja akan semakin memberatkan dunia usaha.
“Jangan sampai pengusaha menjadi sapi perah dengan
beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan. Pengusaha merasa dizalimi apabila BPJS
Ketenagakerjaan jadi beroperasi,” tegas Soeprayitno.
No comments:
Post a Comment